BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pengantar (Sejarah perkembngan Hukum Internasional)
Hukum Internasional sebenarnya sudah sejak lama dikenal eksisitensinya,
yaitu pada zaman Romawi Kuno. Orang-orang Romawi Kuno mengenal dua jenis hukum,
yaitu Ius Ceville dan Ius Gentium, Ius Ceville adalah hukum nasional yang berlaku bagi masyarakat
Romawi, dimanapun mereka berada, sedangkan Ius
Gentium adalah hukum yang diterapkan bagi orang asing, yang bukan
berkebangsaan Romawi. Dalam
perkembangannya, Ius Gentium berubah
menjadi Ius Inter Gentium yang lebih dikenal juga dengan Volkenrecth (Jerman), Droit
de Gens (Perancis) dan kemudian juga dikenal sebagai Law of Nations (Inggris). (Kusumaatmadja, 1999 ; 4) Sesungguhnya, hukum internasional modern mulai berkembang pesat
pada abad XVI, yaitu sejak ditandatanganinya Perjanjian Westphalia 1648, yang
mengakhiri perang 30 tahun (thirty years
war) di Eropa.
Sejak
saat itulah, mulai muncul
negara-negara yang bercirikan kebangsaan, kewilayahan atau teritorial,
kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat. Dalam kondisi semacam inilah sangat dimungkinkan tumbuh dan berkembangnya prinsip-prinsip dan
kaidah-kaidah hukum internasional. (Phartiana, 2003 ; 41) Perkembangan hukum internasional modern ini, juga dipengaruhi oleh karya-karya tokoh
kenamaan Eropa, yang terbagi menjadi dua aliran utama, yaitu golongan Naturalis
dan golongan Positivis. Menurut golongan Naturalis, prinsip-prinsip hukum dalam
semua sistem hukum bukan berasal dari buatan manusia, tetapi berasal dari
prinsip-prinsip yang berlaku secara universal, sepanjang masa dan yang dapat
ditemui oleh akal sehat. Hukum harus dicari, dan bukan dibuat. Golongan
Naturalis mendasarkan prinsip-prinsip atas dasar hukum alam yang bersumber dari
ajaran Tuhan. Tokoh terkemuka dari golongan ini adalah Hugo de Groot atau
Grotius, Fransisco de Vittoria, Fransisco Suarez dan Alberico Gentillis.
(Mauna, 2003 ; 6) Sementara itu, menurut
golongan Positivis, hukum yang mengatur hubungan antar negara adalah
prinsip-prinsip yang dibuat oleh negara-negara dan atas kemauan mereka sendiri.
Dasar
hukum internasional adalah kesepakatan bersama antara negara-negara yang
diwujudkan dalam perjanjian-perjanjian dan kebiasaan-kebiasaan internasional.
Seperti yang dinyatakan oleh Jean-Jacques Rousseau dalam bukunya Du Contract
Social, La loi c’est l’expression de la
Volonte Generale, bahwa hukum adalah pernyataan kehendak bersama. Tokoh
lain yang menganut aliran Positivis ini, antara lain Cornelius van Bynkershoek,
Prof. Ricard Zouche dan Emerich de Vattel. Pada abad XIX, hukum internasional berkembang dengan cepat,
karena adanya factor faktor penunjang, antara lain :
1.
Setelah
Kongres Wina 1815, negara-negara Eropa berjanji untuk selalu menggunakan
prinsip-prinsip hukum internasional dalam hubungannya satu sama lain.
2.
Banyak
dibuatnya perjanjian-perjanjian (law-making treaties) di bidang perang, netralitas, peradilan dan
arbitrase.
3.
Berkembangnya perundingan-perundingan
multilateral yang juga melahirkan ketentuan-ketentuan hukum baru.
Di
abad XX, hukum internasional mengalami perkembangan yang sangat pesat, karena
dipengaruhi faktor-faktor sebagai berikut:
1. Banyaknya negara-negara baru yang lahir
sebagai akibat dekolonisasi dan meningkatnya hubungan antar negara.
2. Kemajuan pesat teknologi dan ilmu
pengetahuan yang mengharuskan dibuatnya ketentuan-ketentuan baru yang mengatur
kerjasama antar negara di berbagai bidang.
3. Banyaknya perjanjian-perjanjian
internasional yang dibuat, baik bersifat bilateral, regional maupun bersifat
global.
4. Bermunculannya organisasi-organisasi
internasional, seperti Perserikatan Bangsa
Bangsa
dan berbagai organ subsidernya, serta Badan-badan Khusus dalam kerangka
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyiapkan ketentuan-ketentuan baru dalam
berbagai bidang. (Mauna, 2003; 7) Hukum
Internasional Klasik dimulai sejak 4000 SM sedangkan Hukum
InternasionalnModeren dimulai sejak ratusan tahun yang lalu,
ditandai dengan beberapa Hal yaitu:
1.
Kebudayaan India Kuno
Terdapat kaedah dan lembaga hukum yang mengatur hubungan antar kasta,
suku-suku bangsa dan raja-raja yang diatur oleh adat kebiasaan. Menurut
Bannerjce, adat kebiasaan yang mengatur hubungan antara raja-raja dinamakan
Desa Dharma. Pujangga yang terkenal pada saat itu Kautilya atau Chanakya.
Penulis buku Artha Sastra Gautamasutra salah satu karya abad VI SM di bidang
hukum.
2.
Kebudayaan Yahudi.
Dalam hukum kuno mereka antara lain Kitab
Perjanjian Lama, mengenal ketentuan mengenai perjanjian, diperlakukan terhadap
orang asing dan cara melakukan perang.
Dalam hukum perang masih dibedakan (dalam hukum perang Yahudi ini)
perlakuan terhadap mereka yang dianggap
musuh bebuyutan, sehingga diperbolehkan diadakan penyimpangan ketentuan perang.
3.
Kebudayaan Yunani.
Hidup dalam negara-negara kota. Menurut hukum negara kota penduduk digolongkan dalam 2 golongan
yaituorang Yunani dan orang luar yang dianggap sebagai orang biadab (barbar).
Masyarakat Yunani sudah mengenal ketentuan mengenai perwasitan (arbitration)
dan diplomasi yang tinggi tingkat perkembangannya. Sumbangan yang berharga
untuk Hukum Internasional waktu itu ialah konsep hukum alam yaitu hukum yang
berlaku secara mutlak dimanapun juga dan yang berasal dari rasio atau akal
manusia.
4.
Kebudayaan Romawi
Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antara
kerajaan-kerajaan tidak mengalami perkembangan yang pesat pada zaman
Romawi. Karena masyarakat dunia
merupakan satu imperium yaitu imperium roma yang menguasai seluruh wilayah
dalam lingkungan kebudayaan Romawi.
Sehingga tidak ada tempat bagi kerajaan-kerajaan yang terpisah dan
dengan sendirinya tidak ada pula tempat bagi hukum bangsa-bangsa yang mengatur hubungan antara
kerajaan-kerajaan. Hukum Romawi telah
menyumbangkan banyak sekali asas atau konsep yang kemudian diterima dalam hukum
Internasional ialah konsep seperti occupatio
servitut dan bona fides. Juga asas “pacta
sunt servanda” merupakan warisan kebudayaan Romawi yang berharga.
5.
Abad Pertengahan
Selama abad pertengahan dunia
Barat dikuasai oleh satu sistem feodal yang berpuncak pada kaisar
sedangkan kehidupan gereja berpuncak
pada Paus sebagai Kepala Gereja Katolik Roma.
Masyarakat Eropa waktu itu merupakan satu masyarakat Kristen yang terdiri
dari beberapa negara yang berdaulat dan Tahta Suci, kemudian sebagai pewaris
kebudayaan Romawi dan Yunani. Disamping masyarakat Eropa Barat, pada waktu itu
terdapat 2 masyarakat besar lain yang termasuk lingkungan kebudayaan yang
berlaianan yaitu Kekaisaran Byzantium dan Dunia Islam. Kekaisaran Byzantium
sedang menurun mempraktekan diplomasi untuk mempertahankan supremasinya. Oleh
karenanya praktek Diplomasi sebagai sumbangan yang terpenting dalam
perkembangan Hukum Internasional dan Dunia Islam terletak di bidang Hukum
Perang.
6. Abad Modern
a. Perjanjian Perdamaian Wesphalia (1618-
1648)
Perjanjian Westphalia sangat berfungsi sebagai:
1) Menghakhiri Thirty Yaers War di Eropa
2) Persoalan anatar negara lepas dari persoalan gereja
3) Telah didasarkan atas kepentingan nasional
4) Negara-negara mempunyai persamaan derajat
5) Timbulnya Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika. (Pemerintahan Demokrasi).
Penyebab terjadinya
sejarah Westphalia
Perjanjian Perdamaian Westphalia
dianggap sebagai titik saat lahirnya negara-negara nasional yang modern
biasanya diambil saat ditandatanganinya Perjanjian Perdamaian yang mengakhiri
Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa. Hukum Internasional modern sebagai suatu
sistem hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara, lahir dengan
kelahiran masyarakat Interansional yang didasarkan atas negara-negara nasional.
Perdamaian Westphalia dianggap
sebagai peristiwa penting dalam sejarah Hukum Internasional modern, bahkan
dianggap sebagai suatu peristiwa Hukum Internasional modern yang didasarkan
atas negara-negara nasional. Sebabnya adalah : Selain mengakhiri perang 30
tahun, Perjanjian Westphalia telah meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik
yang telah terjadi karena perang itu di Eropa; perjanjian perdamaian mengakhiri
untuk selama-lamanya usaha Kaisar Romawi yang suci; hubungan antara
negara-negara dilepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan dan didasarkan atas
kepentingan nasional negara itu masing-masing; dan kemerdekaan negara Belanda,
Swiss dan negara-negara kecil di Jerman diakui dalam Perjanjian Westphalia.
Perjanjian Westphalia meletakkan
dasar bagi susunan masyarakat Internasional yang baru, baik mengenai bentuknya
yaitu didasarkan atas negara-negara nasional (tidak lagi didasarkan atas
kerajaan-kerajaan) maupun mengenai hakekat negara itu dan pemerintahannya yakni
pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja. Dasar-dasar
yang diletakkan dalam Perjanjian Westphalia diperteguh dalam Perjanjian Utrech
yang penting artinya dilihat dari sudut politik Internasional, karena menerima
asas keseimbangan kekuatan sebagai asas politik internasional.
Perdamaian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah
Hukum Internasional modern, bahkan dianggap sebagai suatu peristiwa Hukum
Internasional modern yang didasarkan atas negara-negara nasional.
Sebabnya adalah :
1. Selain mengakhiri perang 30 tahun, Perjanjian Westphalia telah
meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik yang telah terjadi karena perang
itu di Eropa .
2. Perjanjian perdamaian mengakhiri untuk selama-lamanya usaha Kaisar
Romawi yang suci.
3. Hubungan antara negara-negara dilepaskan dari persoalan hubungan
kegerejaan dan
didasarkan atas kepentingan nasional negara itu masing-masing.
didasarkan atas kepentingan nasional negara itu masing-masing.
4. Kemerdekaan negara Nederland, Swiss dan negara-negara kecil di Jerman diakui dalam Perjanjian Westphalia.
Perjanjian
Westphalia meletakan dasar bagi susunan masyarakat Internasional yang baru,
baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas negara-negara nasional (tidak
lagi didasarkan atas kerajaan-kerajaan) maupun mengenai hakekat negara itu dan
pemerintahannya yakni pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh
gereja. Ciri masyarakat Internasional yang terdapat di Eropa yang dasarnya
diletakkan oleh Perjanjian Westphalia. Ciri-ciri pokok yang membedakan
organisasi susunan masyarakat Internasional yang baru ini dari susunan masyarakat
Kristen Eropa pada zaman abad pertengahan:
a. Negara merupakan satuan teritorial yang berdaulat.
b. Hubungan nasional yang satu dengan yang lainnya didasarkan atas
kemerdekaan dan persamaan derajat.
c. Masyarakat negara-negara tidak mengakui kekuasaan di atas mereka seperti
seorang kaisar pada zaman abad pertengahan dan Paus sebagai Kepala Gereja.
d. Hubungan antara negara-negara berdasarkan atas hukum yang banyak
mengambil oper pengertian lembaga Hukum Perdata, Hukum Romawi.
e. Negara mengakui adanya Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur
hubungan antar negara tetapi menekankan peranan yang besar yang dimainkan
negara dalam kepatuhan terhadap hukum ini.
f. Tidak adanya Mahkamah (Internasional) dan kekuatan polisi internasional
untuk memaksakan ditaatinya ketentuan hukum Internasional.
g. Anggapan terhadap perang yang dengan lunturnya segi-segi keagamaan beralih
dari anggapan mengenai doktrin bellum justum (ajaran perang suci) kearah ajaran
yang menganggap perang sebagai salah satu cara penggunaan kekerasan.
Dasar-dasar yang diletakkan dalam Perjanjian Westphalia diperteguh dalam
Perjanjian Utrech yang penting artinya dilihat dari sudut politik
Internasional, karena menerima asas keseimbangan kekuatan sebagai asas politik
internsional.
b. Konferensi Perdamaian (1856) dan Konperensi Jenewa
(1864), Konferensi Den Haag (1899). Terbentuklah
Mahkamah Arbitrase Permanen.
c. Perjanjian Versailles. Didirikan Liga Bangsa-bangsa (League
Of Nations)
d. PD II
-
Didirikan Perserikatan Bangsa-bangsa (United
Nations Organition).
-
Perjanjian Briand Kellocg Pact (1928) :
Melarang penggunaan Perang sebagai alat untuk mencapai Tujuan Nasional.
Hukum
Internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara,
lahir dengan kelahiran masyarakatInteransional yang didasarkan atas Negara negara
nasional. Sebagai titik saat lahirnya
Negara negara nasional yang modern biasanya diambil saat ditandatanganinya Perjanjian
Perdamaian Westphalia yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa.Zaman
dahulu kala sudah terdapat ketentuan yang mengatur, hubungan antara raja-raja atau
bangsa-bangsa:
B.
Asal-usul istilah
·
Indonesia :
Hukum Bangsa-bangsa,
Hukum, Antar Bangsa, Hukum Antar
Negara
Negara
·
Inggris : International Law, common Law, Law of
mankind,Law of Nation, Transnational
Law (Inggris)
·
Perancis :
Droit de gens
·
Belanda :
Voelkenrecht
·
Jerman :
Woelkrrecht
·
Romawi :
Ius Gentium, Ius Inter Gentes
C.
Persamaan dan perbedaan istilah HI dengan Hk. Bangsa-bangsa, Hukum Antar
Bangsa, dan Antar Negara
Hukum Internasional
ialah keseluruhan kaedah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang
melintasi batas negara antara: (i)
negara dengan negara; (ii) negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek
hukum bukan negara satu sama lain.
Istilah hukum
internasional adalah hukum bangsa-bangsa, hukum antar bangsa atau hukum antar
negara. Hukum bangsa-bangsa dipergunakan untuk menunjukkan pada kebiasaan dan aturan
hukum yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu. Hukum
antar bangsa atau hukum antar negara menunjukkan pada kompleks kaedah dan asas yang mengatur
hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara.
Grotius mendasarkan sistem hukum Internasionalnya atas
berlakunya hukum alam. Hukum alam telah dilepaskannya dari pengaruh keagamaan
dan kegerejaan. Banyak didasarkan atas praktek negara dan perjanjian negara
sebagai sumber Hukum Internasional disamping hukum alam yang diilhami oleh akal
manusia, sehingga disebut Bapak Hukum Internasional. Selain Hugo Grotius ada
pula Sarjana yang menulis Hukum Internasional: - Fransisco Vittoria (biarawan
Dominikan – berkebangsaan Spanyol Abad XIV menulis buku Relectio de Indis
mengenai hubungan Spanyol dan Portugis dengan orang Indian di AS. Bahwa negara
dalam tingkah lakunya tidak bisa bertindak sekehendak hatinya. Maka hukum
bangsa-bangsa ia namakan ius intergentes. - Fransisco Suarez (Yesuit) menulis
De legibius ae Deo legislatore (on laws and God as legislator) mengemukakan
adanya suatu hukum atau kaedah obyektif yang harus dituruti oleh negara-negara
dalam hubungan antara mereka. – Balthazer Ayala (1548-1584) dan Alberico
Gentilis mendasarkan ajaran mereka atas falsafah keagamaan atau tidak ada
pemisahan antara hukum, etika dan teologi.
Hukum Internasional terdapat beberapa bentuk perwujudan atau pola
perkembangan yang khusus berlaku di suatu bagian dunia (region) tertentu :
(1) Hukum Internasional regional : Hukum
Internasional yang berlaku/terbatas daerah lingkungan berlakunya, seperti Hukum
Internasional Amerika / Amerika Latin, seperti konsep landasan kontinen (Continental
Shelf) dan konsep perlindungan kekayaan hayati laut (conservation of the living
resources of the sea) yang mula-mula tumbuh di Benua Amerika sehingga menjadi
hukum Internasional Umum.
(2) HukumInternasional Khusus : Hukum
Internasional dalam bentuk kaedah yang khusus berlaku bagi negara-negara tertentu
seperti Konvensi Eropa mengenai HAM sebagai cerminan keadaan, kebutuhan, taraf
perkembangan dan tingkat integritas yang berbeda-beda dari bagian masyarakat
yang berlainan. Berbeda dengan regional yang tumbuh melalui proses hukum kebiasaan.
D. Hukum Internasional dan Hukum Dunia
Prof. Dr. Mochtar Kusumaadmadja, mangatakan bahwa aneka ragam istilah Hi
itu bermula dari. Hk. Romawi, yang dikenal denga ius gentium, yang berarti :
- Hukum
antar bangsa-bangsa Romawi.
- Orang
Romawi dan bukan orang Romawi
- Orang
bukan Romawi satu sama lainnya.
Baru kemudian, orang membedakan antara hubungan
kesatuan-kesatuan public (kerajaan dan republik) dengan hubungan antar individu,
dengan ius inter gentes. Dari istilah ius inter gentes kemudian lahirlah
istilah Hk. Bangsa-bangsa, Hk. Antar Bangsa, Hk. Antar Negara. Kemudian
lahirlah istilah Hukum (publik) yang mejadi cabang ilmu Hukum yang berdiri
sendiri. Hukum Internasional didasarkan atas pikiran adanya masyarakat
internasional yang terdiri atas sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka
dalam arti masing-masing berdiri sendiri yang satu tidak dibawah kekuasaan lain
sehingga merupakan suatu tertib hukum koordinasi antara anggota masyarakat
internasional yang sederajat.
Hukum Dunia berpangkal pada dasar pikiran lain.
Dipengaruhi analogy dengan Hukum Tata Negara (constitusional law), hukum dunia
merupakan semacam negara (federasi) dunia yang meliputi semua negara di dunia
ini. Negara dunia secara hirarki berdiri di atas negara-negara nasional. Tertib
hukum dunia menurut konsep ini merupakan suatu tertib hukum subordinasi.
a.
Persamaan
-
Semuannya bersumber pada hukum Romawi.
-
Persamaan landasan sosiologis : Masyarakat
Internasional, Masyarakat bangsa-bangsa.
-
Persamaan subjek dan
sumbernya : negara.
b.
Perbedaan.
1. Istilah
- Perbedaan istilah dan bahasa yang digunakan
oleh setiap negara
- Perbedaan istilah menunjukakan tingkat perkembangannya :
- Ius Gentium, ius Inter Gentes, Hukum Bangsa-bangsa, Hukum Antar Bangsa, Hukum Antar Negara.
- Perbedaan istilah menunjukakan tingkat perkembangannya :
- Ius Gentium, ius Inter Gentes, Hukum Bangsa-bangsa, Hukum Antar Bangsa, Hukum Antar Negara.
-
Hukum bangsa-bangsa menunjukan pada
kebiasaan dan aturan (hukum) yang berlaku dalam hubungan raja-raja pada zaman
dahulu.
-
Hukum antar bangsa menunjukkan kompleksitas kaidah-kaidah dan asas-asas
hukum yang mengatur hubungan antar anggota masayarkat bangsa-bangsa atau negara
yang kita kenal sejak meunculnya negara dalam bentuknya yang modern (nation
satte).
-
Hukum
Internasional menunjukan pada kaidah-kaidah dan asas-asas
hukum, selain mengatur hubungan antara negara, menga
2. Perbedaan terletak pada skop hubungan yang diatur;
-
Hukum Bangsa-bangsa mengatur hubungan antar bangsa
-
Hukum Antar Negara mengatur hubungan anatar negara dengan negara (bangsa dalam bentuk
negara)
-
Hukum Internasional mengatur yang melintasi batas negara antara
negara dengan negara, antara subjek hukum bukan negara dengan negara, antar subjek hukum bukan negara satu dengan yang lain.
Alasan Hukum Internasional yang kemudian di pakai termasuk dalam perkuliahan
ini ? Alasan :
a) Istilah Hukum Internasional paling mendekatai kenyataan dengan sifat-sifat hubungannya dan
masalah-malsah yang menjadi objek bidang hukum ini, yang dewasa ini tidak hanya terbatas pada hubungan antar bangsa
atau antar negara saja, seperti yang dilaksanakan oleh istilah Hukum Antar Bangsa dan Hukum Antar Negara.
b) Istilah Hukum Internasional dalam penggunaannya tidak menimbulkan keberatan di kalangan para
sarjana, karena telah lazim dipakai orang untuk segala peristiwa yang melintasi
batas-batas negara.
c) Penggunaan istilah HI secara tidak langsung menunjukkan suatu taraf
perkembangan tertentu dalam bidang HI (sebagai perkembangan mutakhir).
D. Pengertian Hukum Internasional dan Batasan
Hukum Internasional
1.
Pengertian menurut para sarjana
a. Pandangan Klasik : “sistem Hukum yang mengatur hubungan negara-negara.”
b. Prof. Hyde : “sekumpulan hukum, yang sebagaian besar terdiri
dari asas-asas dan peraturan-peraturan tingkah laku yang mengikat
negara-negara, karena itu biasanya ditaati dalam hubungan negara-negara satu
sama lain.”
c. J.L. Brierly : “ himpunan kaidah-kaidah dan asas-asas
tindakan yang mengikat bagi negara-negara beradab dalam hubungan mereka satu
sama liannya.”
d. Oppenheim : “International
law is the name of the body of customary and treaty rules which are of
considered legally binding by states in their intercource which each other”.
e. Max Rosense :”International
law is a strict term of art, connoting that sistem of law whose primary
function it is to regulate the relation of stateswhic one another “
f. G. Schwarzenberger : “ International
law is the body of legal rules binding upon sovereign state and such other en
tities as have been granted International personality”.
g. Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH.,L.L.M. :
“keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas- batas negara antara:
1. Negara dengan Negara
2. Negara dengan Subjek Hukum lain
bukan Negara
3. Subjek hukm bukan Negara satu dengan yang lainnya
Pengertian secara umum dari hukum Internasional adalah
bahwa istilah “hukum” masih diterjemahkan sebagai aturan, norma atau kaidah.
Sedangkan istilah internasional menunjukankan bahwa hubungan hukum yang diatur
tersebut adalah subjek hukum yang melewati batas wilayah suatu negara, yaitu
hubungan antara negara dengan negara, negara dengan subjek hukum bukan negara
satu dengan lainnya, serta hubungan antara subjek hukum bukan negara satu
dengan subjek hukum bukan negara lainnya.
2.
Dasar-dasar berlakunya Hukum Internasional
a. Golongan Naturalis
Menurut golongan Naturalis prinsip-prinsip hukum dalam
semua sistem
hukum
bukan berasal dari buatan manusia, tetapi berasal dari prinsip-prinsip yang
berlaku secara universal sepanjang masa dan yang dapat ditemui dengan akal
sehat. Hukum harus dicari bukan di buat, menurut aliran ini yang merumuskan
prinsip-prinsip atas dasar hukum alam bersumberkan pada ajaran Tuhan. Tuhan
mengajarkan umat manusia dilarang berbuat jahat dan harus berbuat baik antara satu dengan yang
lainnya. Atas dasar itulah Negara-negara harus bersikap baik dalam hubungannya
satu sama lain demi keselamatan dan perdamaian masyarakat internasional.
Tokoh dari golongan ini diantaranya warga Belanda Hugo de
Groot atau Grotius, sumbangan Grotius sangat besar, bahkan ia telah diberi
julukan pendiri hukum internasional modern. Karyanya yang terkenal ialah De Jure belli Ac pacis (hukum perang dan
damai) yang berisikan dasar-dasar baru yang mengatur hubungan antarnegara.
Dengan karyanya tersebut, hukum internasional selanjutnta merupakan suatu sistem
hukum yang terpisah, suatu cabang tersendiri
Teori Hukum Alam atau Kodrat (natural Law) Hukum Ideal yang
didasarkan atas hakekat manusia sebagai mahluk yang berakal, atau kesatuan kaidah-kaidah
yang diilhami alam pada akal manusia. HI tidak lain merupakan Hukum Alam yang
diterapkan pada kehidupan masyarakat bangsa-bangsa.
Kelemahan :
1. Konsep alam yang masih membutuhkan konsep rasio, keadilan, keagaman pada
kenyataannya banyak menimbulkan kegaduhan.
2. Kurang jelas dan menjadi doktrin yang subjektif.
3. Tidak ada perhatian dalam praktek actual antar negara.
4. Bersifat sangat samar terutama berkaitan dengan keadilan dan kepentingan
masyarakat Internasional.
Kelebihan:
Menjadi
dasar moral dan dasar etis Hukum Internasional
b. Golongan Positivisme
b. Golongan Positivisme
Menurutnya Kekuatan mengikatnya Hukum Internasional pada kehendak negara itu sendiri untuk tunduk pada Hukum Internasional. Hukum Internasional berasal dari kemauan negara dan berlaku Karena disetujui oleh negara. Dasar dari hukum internasional adalah kesepakatan bersama antara negara-negara yang
diwujudkan dalam perjanjian-perjanjian dan kebiasaan-kebiasaan internasional.
Seperti yang dinyatakan Jean-Jeacques Rousseau (1712-1778) dalam bukunya Du Contract Social “ la loi’ c’est l’expression de la volonte generale” hukum adalah
pernyataan kehendak bersama.
Kelemahan
;
1. Tidak dapat menjelaskan jika ada negara yang tidak setuju apakah HI
tidak lagi mengikat.
2. Tidak dapat menjelaskan jika ada negara baru tetapi langsung terikat
oleh HI
3. Tidak dapat menjelaskan mengapa ada hukum kebiasaan.
4. Kemauan negara hanya Facon De Parler (perumpaan).
5. Berlakunya HI tergantung dari society of state.
Kelebihan :
Praktek-praktek
negara dan hanya peraturan-peraturan yang benar-benar ditaati yang menjadi HI.
c. Teori Aliran Madzab Viena
Kekuatan mengikat HI bukan kehendak negara melainkan
norma hukum yang merupakan dasar terakhir ; Grudnorm. Kekeuatan mingikat HI
didasarkan pada suatu kaidah yang lebih tinggi lagi dst. “Pacta Sunt Servanda” sebagai kaidah yang paling tinggi (Hans Kelsen).
Kelemahan
:
Tidak
dapat menerangkan mengapa kaidah dasar itu mengikat.
d. Teori Aliran Madzhab Perancis.
Kekuatan mengikatnya HI
dihubungkan dengan kenyataan – kenyataan hidup manusia. Hukum Internasional mengikat karena faktor biologis, social, sejarah, atau fakta kemasyarakatan, Tokoh Fauchile, Scelle, Leon
Duguit. Persoalan yang dihadapi manusia sama dengan persoalan negara-negara.
e. Perbedaan HI dengan Moral Internasional
Dalam aplikasi akademis, Hukum Internasional
banyak diargumentasikan hanyalah Moral Internasional karena tidak ada badan
hukum (legislatif) yang membuat aturan Hukum Internasional dan pelaksana serta
penegak Hukum Internasional (fungsi eksekutif dan legislatif). John Austin adalah tokoh pemikir
tersebut. Gejolak dan jurisprudensi invasi AS dan sekutunya terhadap Irak,
Serangan Israel terhadap Penduduk Sipil Palestina, merupakan bukti nyata pendapat tersebut karena
masyarakat Internasional tidak bisa berbuat apa-apa terhadap negara adidaya
sehingga pemberlakuan Hukum Internasional identik dengan Moral Internasional
karena tidak bisa dipertahankan oleh eksetrnal power dari masyarakat
internasional.
Menyikapi konfrotasi pendapat yang berbeda antara para
pakar Hukum Internasional mengenai sifat “hukum” dalam hukum Internasional : John Austin yang mengatakan bahwa
hukum Internasional adalah “bukan hukum”, hanya “properly so called”, “moral saja” dengan alasan yang mendasari
bahwa hukum Internasional tidak memiliki sifat “hukum”, yakni dalam hal:
a) Hukum Internasional tidak memiliki lembaga legeslatif sebagai lembaga
yang bertuga membuat hukum;
b) Hukum Internasional tidak memiliki lembaga eksekutif sebagai lembaga
yang melaksanakan hukum,
c) Hukum Internasional juga tidak memilki lembaga yudikatif sebagai lembaga
yang megakakan hukum
d) Hukum Internasional juga tidak memiki polisional sebagai lembaga yang
mengawasi jalanya atau pelaksanaan hukum,
Namun demikian dalam studi Hukum
Internasional pendapat bahwa Hukum Internasional itu hanyalah Moral
Internasional memiliki 2 kelemahan mendasar. Pertama, Hukum Internasional
mengenal eksistensi hukum kebiasaan internasional (customary international
law) yang timbul dalam tata pergaulan internasional yang keberadaannya
dipertahankan oleh masyarakat internasional juga. Kedua, jika Hukum
Internasional adalah moral internasional saja, maka eksistensinya sama dengan
teori bahwa hukum hanyalah kekuasaan belaka yaitu siapa yang kuat dialah yang
menang, padahal dalam tertib hukum internasional hukum digunakan untuk sarana
kontrol terhadap pencapaian bersama (common goals) masyarakat
internasional.
Dengan demikian menurut Austin jika terdapat negara yang
melanggar hukum internasional maka tidak ada kekuasaan apapun yang dapat
memberikan sanksi kepada negara tersebut. Negara mau mentaati atau tidak
terhadap ketentuan internasional itu adalah terserah dari negara yang
bersangkutan. Jadi hukum internasional tidak tepat dikatakan sebagai hukum
melainkan hanya norma saja atau adat istiadat saja. Pendapat yang demikian
kiranya perlu ditinjau ulang, sebab keraguan akan keberadaan lembaga eksekutif,
legeslatif , yudikatif serta polisional dalam hukum Internasional telah digantikan oleh peranan
beberapa badang khusus sejak dibentuknya Organisasi Internasional PBB.
Keberadaan lembaga pembuat undang-undang atau legeslatif
dapat digantikan oleh kesepakatan-kesepakatan yang dibuat oleh dan diantara subjek hukum Internasional baik yang
bersifat bileteral, atau multilateral. Hal ini karena kedudukan negara sebagai subjek
hukum Internasional adalah koordinatif atau sejajar. Tidak ada negara yang
melebihi atau di atas negara yang lain. Lembaga penegak hukum atau yudikatif
perannya dapat kita lihat keberadaan Mahkamah Internasional maupun
Arbitrase Internasional. Lembaga eksekutif tidak lain adalah subjek hukum
internasional itu sendiri. Meskipun hukum Internasional tidak memiliki sanksi
yang tegas dan memaksa dalam pelaksanaannya, bukan berarti sifat aturan yang
demikian tidak dapat dikategorikan sebagai ‘hukum’. Kita dapat melihat “hukum
adat’ yang berlaku di Indonesia. Meskipun ‘hukum adat’ tersebut munculnya dari
kebiasaan yang dilakukan oleh masyrakat, namun kebiasaan tersebut ditaati dan
dilaksanakan meskipun tidak ada sanksi yang tegas.
Jadi Austin telah mencampur adukan antara pengertian
efektifitas hukum dengan sifat hukum itu sendiri. Jika dalam perkembangannya
atau pelaksaannya ternyata hukum Internasional masih banyak yang melanggar,
maka hal yang demikian itu merupakan sisi belum efektifnya hukum Internasional,
tetapi bukan berarti “hukum internasional” menjadi bukan hukum. Sebab pada
kenyataanya masih banyak aturan-aturan yang dibuat oleh dan antara subjek hukum
Internasional yang masih di taati oleh negara-negara dan dilaksanakan. Munculnya
subjek hukum bukan negara sebagai salah satu subjek hukum Internasional adalah
tidak terlepas dari perkembangan hukum Internasional itu sendiri. Semakin
berkembangnya keberadaan organisasi Internasional, serta adanya
organisasi-organisasi lain yang bersifat khusus yang keberadaannya secara
fungsional kemudian diakui sebagai subjek hukum internasional yang bukan
negara. Diantaranya adalah vatikan atau tahta suci, Palang Merah Internasional,
Pemberontak atau Belligerent. Bahkan pada perkembangannya tindakan
individu yang mewakili negara dan bertindak dalam kapasitasnya sebagai wakil
negara juga dianggap sebagai subjek hukum Internasional bukan negara.
Dengan
melihat sifat dan hakekat dan sifat Hukum Internasional, maka ciri
khasnya adalah:
1. Tidak mengenal suatu kekuasaan eksekutif yang kuat
2. HI bersifat koordinatif tidak Sub ordinatif
3. HI tidak memiliki badan-badan legeslatif dan yudikatif dan kekuasaan
Polisional
4. Tidak dapat memaksakan kehendak masyarakat Internasional sebagai kaidah
Hukum Nasional
Atas
kelemahan di atas ada pendapat yang mengatakan Hukum Internasional tidak mempunyai sifat hokum. Tokoh
yang sependapat dengan ini adalah JL. Van Apeldoorn, John Austin, Spinoza,
Jeremy Bethan.JOHN AUSTIN :
Sejarah telah membuktikan bahwa pendapat John
Austin dan ahli lain tidak benar alasannya adalah:
1. Sifat Hukum tidak selamanya ditentukan oleh badan-badan tsb. Tidak
berarti tidak ada badan maka tidak ada hukum, Contohnya :
Hukum Adat Indonesia.
2. Pendapat mereka telah menyamarakatan pengertian antara
dijalankannya hukum secara efektif dengan sifat dari Hukum.
3. Lembaga legislative diisi : Perjanjian Internasional oleh MI
4. Kebiasaan Internasional diterima sebagai hukum karena keyakinan.
5. Badan Yudikatif : diisi oleh Mahkamah Internasional dan
Mahkamah Arbritase Permanent.
Hakekat HI Hukum Internasional benar-benar mempunyai sifat hukum. Hakekat
HI sebagai
hukum koordinasi tidak perlu
diragukan lagi.
F. Perbedaan antara Hukum Internasional Publik dan Hukum Internasional Perdata
Hukum Internasional publik berbeda dengan Hukum
Perdata Internasional. Hukum Perdata Internasional ialah keseluruhan kaedah dan
asas hukum yang mengatur
hubungan perdata yang melintasi batas negara atau hukum yang mengatur hubungan
hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum
perdata (nasional) yang berlainan. Sedangkan Hukum Internasional adalah
keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang
melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata. Persamaannya adalah
bahwa keduanya mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas
negara(internasional).
Pengertian Hukum Internasional Publik dan Hukum Internasional Perdata
HI Publik (HI) adalah “keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang
mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas- batas negara yang bukan
bersifat perdata”.
H Perdata Internasional “keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau
persoalan yang melintasi batas- batas negara yang berfat perdata”
Persamaan
Keduanya mengatur hubungan-hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara.
Keduanya mengatur hubungan-hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara.
Perbedaan
1. Perbedaan keduanya terletak pada : sifat hubungna/ persoalan dan obyek
yang diaturnya.
2. Cara membedakan berdasarkan sifat dan obyeknya adalah tepat, dari pada
membedakan berdasarkan pelaku-pelaku (subjeknya), yaitu dengan mengatakan HI
Publik mengatur hubungan atara negara, sedangkan H Perdata Internasional
mengatur hubungan orang-perorang.
G. Perwujudan Hukum Internasional
Hukum Internasional terdapat beberapa bentuk
perwujudan atau pola perkembangan yang khusus berlaku di suatu bagian dunia
(region) tertentu :
Hukum Internasional Regional
Hukum Internasional yang berlaku/terbatas daerah
lingkungan berlakunya, seperti Hukum Internasional Amerika / Amerika Latin,
seperti konsep landasan kontinen (Continental Shelf) dan konsep perlindungan
kekayaan hayati laut (conservation of the living resources of the sea) yang
mula-mula tumbuh di Benua Amerika sehingga menjadi hukum Internasional Umum.
Hukum Internasional Khusus
Hukum Internasional dalam bentuk kaedah yang khusus
berlaku bagi negara-negara tertentu seperti Konvensi Eropa mengenai HAM sebagai
cerminan keadaan, kebutuhan, taraf perkembangan dan tingkat integritas yang
berbeda-beda dari bagian masyarakat yang berlainan. Berbeda dengan regional
yang tumbuh melalui proses hukum kebiasaan.
Hukum
Internasional dan Hukum Dunia
Hukum Internasional
didasarkan atas pikiran adanya masyarakat internasional yang terdiri atas
sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka dalam arti masing-masing berdiri
sendiri yang satu tidak dibawah kekuasaan lain sehingga merupakan suatu tertib
hukum koordinasi antara anggota masyarakat internasional yang sederajat.
Hukum Dunia berpangkal
pada dasar pikiran lain. Dipengaruhi analogi dengan Hukum Tata Negara
(constitusional law), hukum dunia merupakan semacam negara (federasi) dunia
yang meliputi semua negara di dunia ini. Negara dunia secara hirarki berdiri di
atas negara-negara nasional. Tertib hukum dunia menurut konsep ini merupakan
suatu tertib hukum subordinasi.
Masyarakat dan Hukum Internasional
Adanya
masyarakat-masyarakat Internasional sebagai landasan sosiologis hukum
internasional.
- Adanya masyarakat internasional ditunjukkan adanya hubungan yang terdapat antara anggota masyarakat internasional, karena adanya kebutuhan yang disebabkan antara lain oleh pembagian kekayaan dan perkembangan industri yang tidak merata di dunia seperti adanya perniagaan atau pula hubungan di lapangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, keagamaan, sosial dan olah raga mengakibatkan timbulnya kepentingan untuk memelihara dan mengatur hubungan bersama merupakan suatu kepentingan bersama. Untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan Internasional inilah dibutuhkan hukum dunia menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam setiap hubungan yang teratur. Masyarakat Internasional pada hakekatnya adalah hubungan kehidupan antar manusia dan merupakan suatu kompleks kehidupan bersama yang terdiri dari aneka ragam masyarakat yang menjalin dengan erat.
- Asas hukum yang bersamaan sebagai unsur masyarakat hukum internasional. Suatu kumpulan bangsa untuk dapat benar-benar dikatakan suatu masyarakat Hukum Internasional harus ada unsur pengikat yaitu adanya asas kesamaan hukum antara bangsa-bangsa di dunia ini. Betapapun berlainan wujudnya hukum positif yang berlaku di tiap-tiap negara tanpa adanya suatu masyarakat hukum bangsa-bangsa merupakan hukum alam (naturerech) yang mengharuskan bangsa-bangsa di dunia hidup berdampingan secara damai dapat dikembalikan pada akal manusia (ratio) dan naluri untuk mempertahankan jenisnya.
Hakekat dan Fungsi Kedaulatan Negara Dalam
Masyarakat Internasional
Negara dikatakan
berdaulat (sovereian) karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki
negara. Negara berdaulat berarti negara itu mempunyai kekuasaan tertentu.
Negara itu tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi daripada
kekuasaannya sendiri dan mengandung 2 (dua) pembatasan penting dalam dirinya:
- Kekuasaan itu berakhir dimana kekuasaan suatu negara lain mulai.
- Kekuasaan itu terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu.
Konsep kedaulatan,
kemerdekaan dan kesamaan derajat tidak bertentangan satu dengan lain bahkan
merupakan perwujudan dan pelaksanaan pengertian kedaulatan dalam arti wajar dan
sebagai syarat mutlak bagi terciptanya suatu masyarakat Internasional yang
teratur.
Masyarakat Internasional mengalami berbagai perubahan
yang besar. Perbaikan peta bumi politik yang terjadi terutama setelah Perang Dunia II. Proses ini sudah dimulai pada permulaan abad XX
mengubah pola kekuasaan politik di dunia. Timbulnya negara-negara baru yang
merdeka, berdaulat dan sama derajatnya satu dengan yang lain terutama sesudah
Perang Dunia Perubahan Kedua ialah kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi berbagai alat perhubungan
menambah mudahnya perhubungan yang melintasi batas negara. Perkembangan golongan
ialah timbulnya berbagai organisasi atau lembaga internasional yang mempunyai
eksistensi terlepas dari negara-negara dan adanya perkembangan yang memberikan
kompetensi hukum kepada para individu. Kedua gejala ini menunjukkan bahwa disamping
mulai terlaksananya suatu masyarakat internasional dalam arti yang benar dan
efektif berdasarkan asas kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat antar
negara sehingga dengan demikian terjelma Hukum Internasional sebagai hukum
koordinasi, timbul suatu komplek kaedah yang lebih memperlihatkan ciri-ciri
hukum subordinasi.
H. Hubungan Hukum Internasional dengan Hukum Nasional
Pengertian Hubungan HI dengan HN Berdasarkan kajian
yuridis-historis, perkembangan hukum internasional yang sebagian besar berasal
dari Eropa Barat (baca: Yunani dan Romawi) adalah suatu sistem hukum masyarakat
bangsa-bangsa yang konsep, kaedah dan prinsip-prinsip hukumnya berasal dari
kaedah-kaedah hukum nasional Romawi yang tumbuh dan berkembang melalui
kebiasaan-kebiasaan internasional (international
customary). pembahasan secara teoretis perlu dikembangkan dan mengemukakan
aliran-aliran hukum yang mempersoalkannya.
1. Monisme
Faham monism berpendapat, bahwa antara hukum internasional dengan hukum nasional merupakan satu kesatuan sistem hukum yang tak terpisahkan secara bulat dan utuh. Pendapat monis didukung oleh pernyataan: “international law and municipal law are both species of one genus-law. Law is command whether it is the case of international law or municipal law”
(Hukum internasional dan hukum nasional kedua-duanya adalah dua spesies dari satu genus. Hukum adalah perintah, baik di dalam hukum internasional maupun di dalam hukum nasional).
2. Dualisme
Faham monism berpendapat, bahwa antara hukum internasional dengan hukum nasional merupakan satu kesatuan sistem hukum yang tak terpisahkan secara bulat dan utuh. Pendapat monis didukung oleh pernyataan: “international law and municipal law are both species of one genus-law. Law is command whether it is the case of international law or municipal law”
(Hukum internasional dan hukum nasional kedua-duanya adalah dua spesies dari satu genus. Hukum adalah perintah, baik di dalam hukum internasional maupun di dalam hukum nasional).
2. Dualisme
Berbeda
dengan kaum monis, kaum dualism menganggap hukum internasional dengan hukum
nasional merupakan dua perangkat hukum yang berbeda. Perbedaannya terletak pada
subjek dan sumber hukum, termasuk berbeda dalam konsep. Hukum internasional
adalah sistem hukum yang mengatur hubungan Negara-negara berdaulat, sedangkan
hukum nasional adalah perangkat hukum yang mengatur hubungan individu.
2. Teori Transformasi
Menurut teori transformasi,
hukum internasional tidak akan pernah berlaku sebelum konsep, kaedah dan
prinsip-prinsip hukumnya belum menjadi bagian dari prinsip atau kaedah-kaedah
hukum nasional. Agar dapat berlaku, maka prinsi-prinsip hukum internasional
harus terlebih dahulu menjadi bagian dari prinsip-prinsip hukum nasional.
Misalnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Lingkungan Hidup
sebagai hasil transformasi dari hukum Lingkungan Internasional, yaitu Deklarasi
Stockholm 1972. Demikian pula dengan Undang-Undang pembaharuannya, yaitu
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup sebagai hasil
transformasi Deklarasi Rio 1992. Proses transformasi ini dilakukan dengan
melakukan perubahan terhadap Undang-undang. Perubahan dapat dilakukan dengan
melakukan penambahan, pengurangan atau pembaharuan secara keseluruhan terhadap
isi Undang-undang dan menggantikannya dengan yang baru. Proses perubahan tunduk
dan diatur dalam ketentuan-ketentuan hukum ketatanegaraan yang mekanisme
kerjasamanya dengan pembuatan Undang-undang, yaitu dilakukan dengan melakukan
pengajuan oleh DPR/DPRD atau presiden. Sebagaimana yang telah terjadi di
Negara-negara lain yang memiliki proses yang sama:
4.Teori Adopsi
Teori adopsi, cara berfikirnya sangat sederhana. Hal ini sangat
tergantung dari kemauan hakim untuk menerapkan prinsip-prinsip Hukum
Internasional dalam menyelesaikan kasus-kasus nasional. “a judge is entitle to resort to a rule of international law without
requiring that it be consciously promulgate by the sovereign as one municipal
law” (Hakim berhak menggunakan ketentuan-ketentuan hukum internasional
tanpa terlebih dahulu diumumkan oleh Negara atau pengadilan dari suatu Negara)
5.Teori Delegasi
Berlakunya ketentuan-ketentuan hukum internasional setelah didelegasikan
ke hukum nasional yang dapat dilegalkan dengan pencantuman kaedah-kaedah hukum
internasional kedalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional atau
dengan menerapkan kaedah-kaedahnya dalam memutus atau menyelesaikan sengketa
nasional. R.C. Hingorani menjelaskan:
6. Teori Harmonisasi
D.P.O. Connell menggambarkan teori ini melalui suatu pernyataan yang
berbunyi:
“the theory of harmonization assumes that international law, as a rule of human behavior, form part of municipal law and hence is available to a municipal judge; but in the rare instance conflict between the two sistem theory acknowledges that he is obligade by his jurisdictional rules” (teori harmonisasi menganggap bahwa hukum internasional sebagai hukum yang mengatur tingkah laku bagian hukum internasional dan diatur oleh hukum nasional, tetapi teori ini juga mengakui adanya konflik antar kedua hukum tersebut). Berdasarkan pendapat diatas, titik tolak teori harmonisasi adalah “tingkah laku atau tindakan” yang sama antara hukum internasional dengan hukum nasional dengan batas-batas dan kewenangan yang berbeda.
“the theory of harmonization assumes that international law, as a rule of human behavior, form part of municipal law and hence is available to a municipal judge; but in the rare instance conflict between the two sistem theory acknowledges that he is obligade by his jurisdictional rules” (teori harmonisasi menganggap bahwa hukum internasional sebagai hukum yang mengatur tingkah laku bagian hukum internasional dan diatur oleh hukum nasional, tetapi teori ini juga mengakui adanya konflik antar kedua hukum tersebut). Berdasarkan pendapat diatas, titik tolak teori harmonisasi adalah “tingkah laku atau tindakan” yang sama antara hukum internasional dengan hukum nasional dengan batas-batas dan kewenangan yang berbeda.
BAB II
SUMBER HUKUM INTERNASIONAL
A. Pengertian Sumber Hukum Internasional
Sumber hukum dibedakan menjadi dua yaitu sumber hukum
formil dan sumber hukum materiil. Sumber hukum formil adalah sumber hukum yang
dilihat dari bentuknya/ merujuk kepada adanya proses formal yang diakui
metodenya oleh institusi yang berwenang menerbitkan ketentuan yang mengikat
yang biasanya diterapkan dalam sebuah sistem hukum tertentu. Dari sebuah hukum
formal inilah validitas sebuah hukum ditemukan. Sedang sumber hukum materiil
adalah segala sesuatu yang menentukan isi dari hukum atau merujuk kepada
bukti-bukti baik secara umum maupun khusus yang menunjukkan bahwa hukum
tertentu telah diterapkan dalam suatu kasus tertentu. Dari sebuah hukum
materiil inilah isi dari sebuah hukum bisa ditemukan.. Menurut Starke, sumber hukum materiil hukum
internasional diartikan sebagai bahan-bahan aktual yang digunakan oleh para
ahli hukum intrenasional untuk menetapkan hukum yang berlaku bagi suatu
peristiwa atau situasi tertentu. Dengan kata lain, sumber hukum materiil
memberikan isi dari hukum sementara hukum formil memberikan kewenangan dan
validitas pemberlakuannya.
B. Macam-macam sumber hukum Internasional
Sumber hukum internasional dapat dibedakan berdasarkan:
Sumber hukum internasional dapat dibedakan berdasarkan:
a. Berdasarkan penggolongannya
Berdasarkan penggolongannya sumber hukum internasional dibedakan menjadi
dua:
1. Menurut Pendapat Para sarjana Hukum Internasional
Para sarjana Hukum Internasional menggolongkan sumber hukum internasional yaitu, meliputi:
1. Kebiasaan
2. Traktat
3. Keputusan Pengadilan atau Badan-badan Arbitrase
4. Karya-karya Hukum
5. Keputusan atau Ketetapan Organ-organ/lembaga Internasional
Para sarjana Hukum Internasional menggolongkan sumber hukum internasional yaitu, meliputi:
1. Kebiasaan
2. Traktat
3. Keputusan Pengadilan atau Badan-badan Arbitrase
4. Karya-karya Hukum
5. Keputusan atau Ketetapan Organ-organ/lembaga Internasional
2. Menurut Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice) Sumber Hukum Internasional menurut ketentuan
Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional adalah terdiri dari :
1. Perjanjian Internasional (International
Conventions)
2. Kebiasaan International (International
Custom)
3. Prinsip Hukum Umum (General
Principles of Law) yang diakui oleh negara-negara beradab
4. Keputusan Pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli yang
telah diakui kepakarannya (Theachings of the most highly qualified publicists).
Jelas bahwa penggolongan sumber hukum internasional menurut
pendapat para sarjana dan menurut pasal 38 ayat 1 Satatuta Mahkamah
Internasional terdapat perbedaan yaitu yang dapat dijelaskan berikut ini:
a. Pembagian menurut para sarjana telah memasukan keputusan badan-badan
arbitrase internasional sebagai sumber hukum sedangkan dalam pasal 38 tidak disebutkan hal ini menurut
Bour mauna karena dalam praktek penyelesaian sengketa melalui badan
arbitrase internasional hanya merupakan pilihan hukum dan kesepakan para pihak
pda perjanjian.
b. Penggolongan sumber hukum internasional menurut para sarjana tidak mencantumkan
prinsip-prinsip hukum umum sebagai salah satu sumber hukum, padahal sesuai
prinsip-prinsip hukum ini sangat penting bagi hakim sebagai bahan bagi mahkamah
internasional untuk membentuk kaidah hukum baru apabila ternyata sumber hukum
lainnya tidak dapat membantu Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan suatu sengketa.
Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 38 ayat 2 yang menaytakan bahwa: This propivisons shall not prejudice the
power of the Court to decide a case ex aequo et bono, if the parties agree
thereto.“Asas ex aequo et bono” ini berarti bahwa hakim dapat memutuskan
sengketa internasional berdasarkan rasa keadilannya (hati nurani) dan
kebenaran. Namun sampai saat ini sangat disayangkan bawasannya asas ini belum
pernah dipakai oleh hakim dalam Mahkamah Internasional. Keputusan atau Ketetapan Organ-organ
Internasional atau lembaga-lembaga lain tidak terdapat dalam pasal 38, karena
hal ini dinilai sama dengan perjanjian internasional.
b. Berdasarkan sifat daya ikatnya
Sumber hukum Internasional jika dibedakan berdasarkan sifat daya ikatnya
maka dapat dibedakan menjadi sumber hukum primer dan sumber hukum subsider.
Sumber hukum primer adalah sumber hukum yang sifatnya paling utama artinya
sumber hukum ini dapat berdiri sendiri-sendiri meskipun tanpa keberadaan sumber
hukum yang lain. Sedangkan sumber hukum subsider merupakan sumber hukum
tambahan yang baru mempunyai daya ikat bagi hakim dalam memutuskan perkara
apabila didukung oleh sumber hukum primer. Hal ini berarti bahwa sumber hukum
subsider tidak dapat berdiri sendiri sebagaimana sumber hukum primer.
1. Sumber Hukum Primer hukum Internsional
1. Sumber Hukum Primer hukum Internsional
Sumber hukum Primer dari hukum internasional meliputi:
1. Perjanjian Internasional (International Conventions)
2. Kebiasaan International (International Custom)
3. Prinsip Hukum Umum (General Principles of Law) yang diakui oleh negara-negara beradab.
Oleh karena sumber hukum internasional nomor
1,2,3 merupakan sumber hukum primer maka
Mahkamah Internasional dapat memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya
dengan berdasarkan sumber hukum nomor 1 saja, 2 saja, atau 3 saja. Namun perlu
diketahui bahwa pemberian nomor 1, 2, 3 tidak menunjukan herarki dari sumber
hukum tersebut. Artinya bahwa ketiga sumber hukum tersebut mempunyai kedudukan
yang sama tingginya atau yang satu tidak lebih tinggi atau lebih rendah kedudukannya
dari sumber hukum yang lain.
b Sumber Hukum Subsider
Bahwa yang termasuk sumber hukum tambahan dalam hukum internasional adalah:
4. Keputusan Pengadilan.
5. Pendapat Para sarjana Hukum Internasional yang terkemuka.
Oleh karena sumber hukum internasional nomor 4 dan 5 merupakan sumber
hukum subsider maka Mahkamah Internasional tidak dapat memutuskan suatu perkara
yang diajukan kepadanya dengan hanya berdasarkan sumber hukum nomor 4 saja, 5
saja, atau 4 dan 5 saja. Hal ini berarti bahwa kedua sumber hukum
tersebut hanya bersifat menambah sumber hukum primer sehingga tidak dapat
berdiri sendiri.
1. Perjanjian Internasional (International Convenction)
Perjanjian internasional adalah persetujuan antara dua atau lebih negara
dalam bentuk tertulis, diatur sesuai dengan prinsip-prinsip hukum
internasional.
Secara
umum dikelompok menjadi dua:
a) Perjanjian Multilateral
yaitu
sebuah persetujuan yang disepakati oleh lebih dari dua negara. Ketika
perjanjian ini merupakan cerminan dari pendapat masyarakat internasional pada
umumnya, maka perjanjian tersebut bisa menjadi apa yang disebut dengan “Law-Making Treaty”. Traktat yang
membuat Hukum. Perjanjian ini menciptakan norma umum hukum yang akan dipakai
oleh masyarakat internasional sebagai prinsip utama di masa mendatang guna
menyelesaikan suatu perkara di antara mereka.
b) Perjanjian Bilateral
adalah Kontrak Internasional antara dua
negara. Tujuan perjanjian ini adalah menetapkan kewajiban-kewajiban hukum
tertentu dan segala akibatnya jika melakukan atau tidak melakukan kewajiban
tersebut terhadap pihak yang menandatangani kontrak tersebut. Konvensi Wina tahun 1969 tentang Perjanjian
Internasional (Vienna Convention on the
Law of Treaties 1969) telah mengatur hal-hal yang menyangkut proses
negosiasi atau penundukkan (accession), validitas, perubahan (amendment), penggantian (modification), pengecualian (reservation), penundaan (suspension) atau pemberhentian (termination) dari sebuah perjanjian
internasional. Pernyataan Sepihak (Unilateral Statement) atau Deklarasi yang
memuat hak dan kewajiban suatu negara dalam hubungannya dengan peristiwa
tertentu dapat pula dianggap sebagai sebuah perjanjian sepihak yang menjadi
suatu sumber hukum terbatas bagi negara yang mengeluarkan pernyataan tersebut.
43
Perjanjian Internasional dapat pula berfungsi sebagai bukti adanya kebiasaan internasional ketika:
Perjanjian Internasional dapat pula berfungsi sebagai bukti adanya kebiasaan internasional ketika:
a) Ada beberapa perjanjian bilateral terhadap kasus yang serupa yang
memakai prinsip-prinsip yang sama atau ketentuan-ketentuan yang serupa sehingga
bisa menimbulkan akibat hukum yang sama. Lihat Lotus Case (1927) PCIJ reports,
Series A, No. 10
b) Sebuah perjanjian yang ditandatangani oleh beberapa negara bisa menjadi
sebuah kebiasaan jika aturan yang disepakati merupakan generalisasi dari
praktek negara-negara dan persyaratan bahwa hal tersebut dianggap sebagai
sebuah hukum dapat dipenuhi. Lihat North
Sea Continental Shelf Cases (1969) ICJ Report, hal 3
c) Sebuah perjanjian yang ditandatangani beberapa negara yang merupakan
hasil kodifikasi dari beberapa prinsip dalam kebiasaan internasional dan secara konsekuen telah
mengikat pihak-pihak yang tidak terlibat dalam perjanjian tersebut. Lihat preamble
Geneva Convention on the High Seas 1958
dan treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration
and Use of Outer Space 1967.
2. Kebiasaan Internasional (Customary Law)
Ada
dua elemen yang harus ada dalam kebiasaan internasional untuk bisa dipakai sebagai
sumber hukum internasional:
a) Praktek Negara-negara: Unsur-unsur yang dilihat dalam praktek negara
adalah seberapa lama hal itu sudah dilakukan secara terus menerus (duration); keseragaman atau kesamaan dari
praktek tersebut dalam berbagai kesempatan dan berbagai pihak yang terlibat (uniformity) serta kadar kebiasaan yang
dimunculkan oleh tindakan tersebut (generality).
Lihat Fisheries Jurisdiction (Merits)
Case (1974) ICJ Reports, hal 3 dan North Sea Continental Shelf Cases (1969)
ICJ Report, hal 3
b) Opinio Juris sive Necessitatis. Ini adalah pengakuan subjektif dari negara-negara yang melakukan
kebiasaan internasional tertentu dan kehendak untuk mematuhi kebiasaan
internasional tersebut sebagai sebuah hukum yang memberikan hak dan kewajiban
bagi negara-negara tersebut.
Bukti keberadaan sebuah kebiasaan internasional ialah: Korespondensi
Diplomatik, pernyataan kebijakan, siaran pers, pendapat dari pejabat yang
berwenang tentang hukum, keputusan eksekutif dan prakteknya, komentar resmi
dari pemerintah tentang rancangan yang dibuat oleh ILC, Undang-undang nasional,
keputusan pengadilan nasional, kutipan dalam sebuah perjanjian internasional,
paktek lembaga-lembaga internasional, dan resolusi yang dikeluarkan Sidang Umum
PBB.
Suatu negara bisa secara terus menerus melakukan penolakan terhadap
sebuah kebiasaan internasional (persistent
objector). Bukti penolakan tersebut harus jelas. Lihat Anglo Norwegian Fisheries Case (1951) ICJ Reports, hal 116. Namun
demikian, suatu negara yang diam saja ketika proses pembentukan kebiasaan
internasional berlangsung tidak dapat menghindar dari pemberlakuan kebiasaan
tersebut terhadapnya. Suatu kebiasaan internasional bisa saja “exist” di
wilayah tertentu saja, misal antar dua negara atau regional saja. Lihat Asylum Case (1950) ICJ Reports, hal. 266
dan The Rights of Passage over Indian
Territory Case (1960) ICJ Reports,hal 6
3. Prinsip-Prinsip Hukum Umum (General Principle of Law)
Sumber hukum ini dgunakan ketika perjanjian internasional dan kebiasaan
yang ditemukan tidak kuat dipakai sebagai dasar untuk memutuskan suatu perkara.
Hal ini penting dilakukan agar pengadilan tidak berhenti begitu saja karena
tidak ada aturan yang mengatur (non
liquet). Namun sampai saat ini belum terlalu jelas apakah yang dimaksud
sebagai prinsip hukum hanya yang telah diakui oleh masyarakat internasional
ataukah prinsip hukum nasional tertentu saja sudah cukup. Prinsip hukum umum
seringkali berguna dan berfungsi sebagai keterangan untuk menginterpretasikan sebuah
kebiasaan atau perjanjian internasional. Hal ini terutama ditemukan dalam
naskah persiapan suatu perjanjian internasional.
Prinsip-prinsip yang pernah digunakan oleh Mahkamah Internasional antara
lain adalah Good Faith, Estoppel, Res Judicata, Circumstantial Evidence, Equity, Pacta Sunt Servanda dan
Effectivites. Lihat Diversion of
Water from the Meuse Case (1937) PCIJ Reports, Series A/B, no 70; Temple of
Preah Vihear Case (Merits) (1962) ICJ Reports, hal 6 dan the Corfu Channel Case
(Merits) (1949) ICJ Reports hal 4
4.Keputusan Pengadilan, Ajaran Para Ahli dan
Keputusan Badan Internasional Keputusan Pengadilan
a)
Keputusan Pengadilan
Pasal 59 Statuta Mahkamah Internasional menegaskan bahwa “the decision of the Court shall have no
binding effect except between the parties and in respect of that particular
case”.
Konsekuensinya:
Mahkamah tidak mengakui prinsip Preseden dan keputusan sebelumnya tidak
mengikat secara teknis. Tujuannya adalah bahwa mencegah sebuah prinsip yang
sudah dipakai Mahkamah dalam putusannya digunakan untuk negara lain atas kasus
yang berbeda. Lihat Certain German
Interest in Polish Upper Silesia Case (1926) PCIJ Reports, Series A, no 7.
Keputusan Mahkamah bukan merupakan sumber formal dari sumber hukum
internasional. Keputusan Peradilan hanya memiliki nilai persuasif. Sementara
keputusan peradilan nasional berfungsi sebagai acuan tidak langsung adanya opinio juris terhadap suatu praktek
negara tertentu. Hal yang sama juga berlaku untuk ajaran para ahli hukum
internasional. Selain dilihat sebagai sebuah doktrin yang melengkapi
interpretasi sebuah perjanjian, kebiasaan maupun prinsip umum hukum, sekaligus
juga merupakan buki tidak langsung dari praktek dan opinio juris dari suatu negara.
b)
Ajaran Para Ahli Hukum Internasional
Dalam hukum internasional kontemporer, ajaran para ahli
berfungsi terbatas hanya dalam analisa fakt-fakta, pembentukan
pendapat-pendapat dan kesimpulan-kesimpulan yang mengarah kepada terjadinya
trend atau kecenderungan dalam hukum internasional. Tentu saja pendapat dan
ajaran-ajaran tersebut bersifat pribadi dan subjektif, namun dengan semakin
banyaknya ajaran yang menyetujui akan suatu prinsip tertentu maka bisa
dikatakan akan membentuk suatu kebiasaan baru. Pendapat dari para pejabat di
bagian hukum masing-masing negara, tidak bisa dianggap sebagai ajaran para ahli
hukum internasional namun justru bisa dilihat sebagai bagian dari praktek
negara-negara.
c)
Resolusi Majelis Umum PBB
Resolusi PBB memiliki kekuatan mengikat terhadap hal-hal
yang ditetapkan dalam statuta. Hal-hal tersebut adalah yang terkait dengan urusan
administrasi dan keuangan. PBB sendiri tidak memiliki mandat untuk mengeluarkan prinsip-prinsip
hukum internasional sehingga satu-satunya cara agar apa yang disepakati di
dalam resolusi bisa menjadi prinsip hukum internasional adalah dengan melalui
prosedur hukum kebiasaan internasional. Resolusi PBB hanya dianggap
merefleksikan opinio juris dari
negara-negara yang menyetujui resolusi itu. Meski demikian tetap harus diperhatikan
dengan seksama apakah negara yang menyetujui memang menghendaki pernyataan
persetujuannya itu dianggap sebagai opinio
juris dan bukan sekedar pernyataan persetujuan belaka.
Kasus-Kasus yang Relevan:
• Nuclear Test Case (1974) ICJ Reports,
hal 253: Pernyataan Sepihak sebagai hukum
• North Sea Continental Shelf Cases (1969) ICJ Reports, hal 3: lamanya (duration) dan tingkat generalisasi (generality) dari praktek negara-negara sebagai prasyarat tercukupi suatu praktek negara menjadi hukum kebiasaan internasional
• North Sea Continental Shelf Cases (1969) ICJ Reports, hal 3: lamanya (duration) dan tingkat generalisasi (generality) dari praktek negara-negara sebagai prasyarat tercukupi suatu praktek negara menjadi hukum kebiasaan internasional
• Fisheries Jurisdiction Case (1974) ICJ
Reports, hal 3: Komentar tentang lamanya dan tingkat generalisasi sebagai
prasyarat praktek negara dalam menjadi hukum kebiasaan internasional
• Lotus Case (1927) PCIJ Reports, Series A, no 10: Pernyataan akibat hukum dari pembiaran (acquiescence) dalam pembentukan kebiasaan internasional dan makna dari opinio juris sive necessitatis.
• Asylum Case (1950) ICJ Reports, hal 266: Pernyataan yang mendukung keberadaan hukum nasional sebagai bagian dari hukum internasional
• Lotus Case (1927) PCIJ Reports, Series A, no 10: Pernyataan akibat hukum dari pembiaran (acquiescence) dalam pembentukan kebiasaan internasional dan makna dari opinio juris sive necessitatis.
• Asylum Case (1950) ICJ Reports, hal 266: Pernyataan yang mendukung keberadaan hukum nasional sebagai bagian dari hukum internasional
• The Diversion of Water fromthe Meuse Case
(1937) PCIJ Reports, Series A/B, no 70: pertimbangan konsep Equity sebagai
Prinsip Umun Internasional.
Anglo-Norway
Fisheries Case
Prinsip hukum internasional yang
terdapat dalam kasus “Anglo-Norway Fisheries Case” ini adalah mengenai
penetapan base line zona perikanan Norwegia. Laut teritorial atau laut
wilayah, adalah jalur laut yang terletak pada sisi laut dari garis pangkal
(base line) dan di sebelah luar dibatasi oleh garis atau batas luar (outer
limit) yang ditarik sejajar dengan garis pangkal di atas. Base line merupakan
garis pangkal yang dijadikan sebagai pedoman untuk menarik garis zona perikanan
sepanjang 3 mil atau 4 mil dari garis pangkal tersebut. Sesuai dengan kebiasaan
internasional yang dianut kedua negara penetapan garis zona perikanan sejauh 3
mil diadopsi oleh United Kingdom sedangkan jarak 4 mil diadopsi oleh Norwegia.
Sehingga dalam sengketa ini perbedaan prinsip antara kedua negara tentang
penetapan laut territorial dari garis pangkal merupakan tugas Mahkamah
Internasional untuk memutuskannya, manakah kiranya prinsip yang sesuai dengan
hukum internasioanal
Inggris menganggap penetapan garis pangkal
oleh Norwegia tidak sesuai dengan hukum internasional. Dikarenakan Norwegia
menetapkan garis pangkalnya dari skjaergaard. Skjaergaard rmerupakan
wilayah laut yang memisahkan pulau-pulau kecil, gugusan fjord, dan karang.
Sedangkan menurut Inggris penetapan garis pangkal oleh Norwegia tidak sesuai
dengan hukum internasional, karena seharusnya garis pangkal ditarik dari daratan
yang kering.Inggris membawa kasus ini ke mahkamah internasional dengan alasan
utama bahwa Inggris merasa dirugikan dalam penetapan garis pangkal zona
perikanan tersebut. Inggris merasa Norwegia salah dalam menetapkan base-line
sehingga dapat mengekploitasi daerah sejauh 4 miles yang memang kaya akan
sumber daya perikanan. Pada proses pengadilan, kedua pihak sama-sama berpegang
teguh pada prinsip masing-masing. Namun Kerajaan Norwegia mengungkapkan dalam
argumentasi-argumentasi mereka bahwa faktor sejarah dari zona perikanan
tersebut telah disepakati oleh kedua belah pihak sejak berabad-abad yang lalu.
Mahkamah internasional akhirnya memutus
perkara ini pada 18 desember 1951 setelah dua tahun melewati proses
persidangan, dengan menghasilkan keputusan bahwa metode dan hasil dari
penetapan baseline oleh Norwegia berdasarkan dekritnya itu sesuai dengan hukum
internasional. Pertimbangan mahkamah internasional adalah pertama, sudah
menjadi hukum kebiasaan pada Norwegia sejak abad ke-17 daerah tersebut milik
Norwegia. Yang kedua, bahwa skaejgaard yang dimaksud masih memiliki
hubungan territorial dengan daratan Noorwegia, sehingga secara yurisdiksi masih
menjadi wilayah kedaulatan Norwegia. Yang ketiga, bahwa wilayah tersebut
memiliki kepentingan ekonomi dari penduduk local Norwegia, dimana wilayah yang
kaya akan sumber perikanan tersebut dijadikan sumber matapencaharian bagi
nelayan-nelayan Norwegia, sejak abad ke 17. Yang keempat adalah melihat kondisi
geografis dari Norwegia sendiri yang memang relief negaranya merupakan gugusan
pegunungan dan pantai-pantainya yang berkarang sehingga skaejgaard juga
dianggap sebagai daratan. Pertimbangan-pertimbangan tersebut yang diambil oleh
mahkamah internasional untuk memutus bahwa kasus ini dimenangkan oleh Norwegia.
Dari kasus ini general principles yang dapat diambil adalah bahwa penetapan
baseline atau garis pangkal laut territorial sebuah Negara pantai dapat pula
diambil dari gugusan pulau-pulau kecil yang masih mempunyai hubungan
territorial dengan daratan. Kasus ini juga dianggap sebagai sebagai salah satu landmark
dalam hukum kebiasaan internasional sehingga melahirkan Konvensi Jenewa
Konvensi I Jenewa tahun 1958 mengenai laut
teritorial dan jalur tambahan (Convention on the Territoal Sea and
Contiguous Zone) menetapkan bahwa apabila penarikan garis pangkal dari
ujung ke ujung diberlakukan maka tadinya laut yang merupakan laut lepas menjadi
laut pedalaman di mana harus ada hak lalu-lintas damai (right of innocent
passage). Dalam Konvensi I Jenewa tahun 1958 Pasal 4 ayat (1) menetapkan
dalam hal-hal mana dapat dipergunakan sistem penarikan garis pangkal lurus,
yakni: (1) di tempat-tempat di mana pantai banyak liku-liku tajam atau laut
masuk jauh ke dalam dan (2) apabila terdapat deretan pulau yang letaknya tak
jauh dari pantai. Ayat 2, 3, dan 5 memuat syarat-syarat yang harus diperhatikan
di dalam menggunakan penarikan garis pangkal menurut sistem garis pangkal lurus
dari ujung ke ujung. Syarat pertama adalah bahwa garis-garis lurus demikian
tidak boleh menyimpang terlalu banyak dari arah umum daripada pantai dan bahwa
bagian laut yang terletak pada sisi dalam (sisi darat) garis-garis demikian
harus cukup dekat pada wilayah daratan untuk dapat diatur oleh ketentuan
perairan pedalaman (ayat 2). Syarat kedua adalah bahwa garis-garis lurus tidak
boleh ditarik di antara dua pulau atau bagian daratan yang hanya timbul di atas
permukaan air di waktu pasang surut (low-tide elevations) kecuali apabila di
atasnya telah didirikan mercusuar atau instalasi-instalasi serupa yang
setiap waktu ada di atas permukaan air (ayat 3). Syarat ketiga adalah penarikan
garis pangkal tidak boleh dilakukan sedemikian rupa hingga memutuskan hubungan
laut wilayah negara lain dengan laut lepas ( ayat 5).
Ayat 4 dapat dianggap sebagai tambahan
ketentuan ayat 1 menegenai penetapan garis lurus sebagai garis pangkal.
Ayat ini menetapkan bahwa dalam penetapan garis pangkal lurus dapat
diperhatikan kebutuhan-kebutuhan istimewa yang bersifat ekonomis daripada suatu
daerah yang dapat dibuktikan oleh kebiasaan-kebiasaan dan kebutuhan yang telah
berlangsung lama. Ketentuan dalam ayat 1 menunjukkan bahwa sistem garis pangkal
lurus adalah cara penarikan garis pangkal istimewa yang dapat
dipergunakan suatu negara. Ketentuan ini berarti bahwa satu Negara dapat
menggunakannya disebagian pantainya, yang memenuhi syarat ayat 1. Dengan
perkataan lain, suatu Negara dapat menggunakan satu kombinasi pada sistem
“normal base-line” dan “straight base-line” .
BAB III
SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL
A.
Negara Sebagai Subjek Utama Hukum Internasional
Subjek hukum internasional diartikan sebagai pemilik, pemegang atau
pendukung hak dan pemikul kewajiban berdasarkan hukum internasional. Pada awal
mula, dari kelahiran dan pertumbuhan hukum internasional, hanya negaralah yang
dipandang sebagai subjek hukum internasional. Menurut Konvensi Montevideo 1949,
mengenai Hak dan Kewajiban Negara, kualifikasi suatu negara untuk disebut
sebagai pribadi dalam hukum internasional adalah:
a. Penduduk
yang tetap;
b. Wilayah
tertentu;
c.
Pemerintahan;
d. Kemampuan
untuk mengadakan hubungan dengan negara lain
B.
Unsur-unsur konstitutif suatu Negara
Menurut
Oppenheim-Lauterpacht,
unsur-unsur negara adalah:
a)
Unsur pembentuk negara (konstitutif):
wilayah/ daerah, rakyat, pemerintah yang berdaulat
b)
Unsur deklaratif: pengakuan oleh negara lain
1. Wilayah/ Daerah
1)
Daratan
Wilayah daratan ada di permukaan bumi dalam
batas-batas tertentu dan di dalam tanah di bawah permukaan bumi. Artinya, semua
kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi dalam batas-batas negara adalah hak
sepenuhnya negara pemilik wilayah.
Batas-batas wilayah daratan suatu negara
dapat berupa:
- Batas alam, misalnya: sungai, danau, pegunungan, lembah
- Batas buatan, misalnya: pagar tembok, pagar kawat berduri, parit
- Batas menurut ilmu alam: berupa garis lintang dan garis bujur peta bumi
2) Lautan
Lautan yang merupakan wilayah suatu negara
disebut laut teritorial negara itu, sedangkan laut di luarnya disebut laut
terbuka (laut bebas, mare
liberum).
Ada dua konsepsi pokok tentang laut, yaitu:
1) Res Nullius,
yang menyatakan bahwa laut tidak ada pemiliknya, sehingga dapat diambil/
dimiliki oleh setiap negara; 2) Res
Communis, yang menyatakan bahwa laut adalah milik bersama
masyarakat dunia dan karenanya tidak dapat diambil/ dimiliki oleh setiap
negara.
Tidak ada ketentuan dalam hukum internasional
yang menyeragamkan lebar laut teritorial setiap negara. Kebanyakan negara
secara sepihak menentukan sendiri wilayah lautnya. Pada umumnya dianut tiga (3)
mil laut (± 5,5 km) seperti Kanada dan Australia. Tetapi ada pula yang
menentukan batas 12 mil laut (Chili dan Indonesia), bahkan 200 mil laut (El
Salvador). Batas laut Indonesia sejauh 12 mil laut diumumkan kepada masyarakat
internasional melalui Deklarasi
Juanda pada tanggal 13 Desember 1957.
Pada tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay
(Jamaica), ditandatangani traktat multilateral yang mengatur segala sesuatu
yang berhubungan dengan lautan, misalnya: permukaan dan dasar laut, aspek
ekonomi, perdagangan, hukum, militer dan lingkungan hidup. Traktat tersebut
ditandatangani 119 delegasi peserta yang terdiri dari 117 negara dan dua
organisasi kebangsaan.
Tentang batas lautan ditetapkan sebagai
berikut:
1.
Batas laut teritorial
Setiap negara berdaulat atas lautan
teritorial yang jaraknya sampai 12 mil laut, diukur dari garis lurus yang
ditarik dari pantai.
2.
Batas zona bersebelahan
Di luar batas laut teritorial sejauh 12 mil
laut atau 24 mil dari pantai adalah batas zona bersebelahan. Di dalam wilayah
ini negara pantai dapat mengambil tindakan dan menghukum pihak-pihak yang
melanggar undang-undang bea cukai, fiskal, imigrasi, dan ketertiban negara.
3.
Batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
ZEE adalah wilayah laut suatu engara pantai
yang batasnya 200 mil laut diukur dari pantai. Di dalam wilayah ini, negara
pantai yang bersangkutan berhak menggali kekayaan laut dan menangkap nelayan
asing yang kedapatan menangkap ikan di wilayah ini serta melakukan kegiatan
ekonomi lainnya. Negara lain bebas berlayar atau terbang di atas wilayah itu
serta bebas pula memasang kabel dan pipa di bawah laut.
4.
Batas landas benua
Landas benua adalah wilayah lautan suatu
engara yang batasnya lebih dari 200 mil laut. Dalam wilayah ini negara pantai
boleh melakukan eksplorasi dan eksploitasi dengan kewajiban membagi keuntungan
dengan masyarakat internasional.
3)
Udara
Wilayah udara suatu negara ada di atas
wilayah daratan dan lautan negara itu. Kekuasaan atas wilayah udara suatu
negara itu pertama kali diatur dalam Perjanjian Paris pada tahun 1919 (dimuat
dalam Lembaran Negara Hindia Belanda No.536/1928 dan No.339/1933). Perjanjian
Havana pada tahun 1928 yang dihadiri 27 negara menegaskan bahwa setiap negara
berkuasa penuh atas udara di wilayahnya. Hanya seizin dan atau menurut
perjanjian tertentu, pesawat terbang suatu negara boleh melakukan penerbangan
di atas negara lain. Demikian pula Persetujuan Chicago 1944 menentukan bahwa
penerbangan internasional melintasi negara tanpa mendarat atau mendarat untuk
tujuan transit dapat dilakukan hanya seizin negara yang bersangkutan. Sedangkan
Persetujuan Internasional 1967 mengatur tentang angkasa yang tidak bisa
dimiliki oleh negara di bawahnya dengan alasan segi kemanfaatan untuk semua
negara dan tujuan perdamaian.
4)
Wilayah Ekstrateritorial
Wilayah
ekstrateritorial adalah tempat-tempat yang menurut hukum internasional diakui sebagai
wilayah kekuasaan suatu negara – meskipun tempat itu berada di wilayah negara
lain. Termasuk di dalamnya adalah tempat bekerja perwakilan suatu negara,
kapal-kapal laut yang berlayar di laut terbuka di bawah suatu bendera negara
tertentu. Di wilayah itu pengibaran bendera negara yang bersangkutan
diperbolehkan. Demikian pula pemungutan suara warga negara yang sedang berada
di negara lain untuk pemilu di negara asalnya. Contoh: di atas kapal (floating island)
berbendera Indonesia berlaku kekuasaan negara dan undang-undang NKRI.
2.Penduduk Yang tetap / Rakyat
Rakyat (Inggris: people; Belanda: volk) adalah kumpulan manusia yang hidup
bersama dalam suatu masyarakat penghuni suatu negara, meskipun mereka ini
mungkin berasal dari keturunan dan memiliki kepercayaan yang berbeda. Selain
rakyat, penghuni negara juga disebut bangsa. Para ahli menggunakan istilah
rakyat dalam pengertian sosiologis dan bangsa dalam pengertian politis. Rakyat
adalah sekelompok manusia yang memiliki suatu kebudayaan yang sama, misalnya
memiliki kesamaan bahasa dan adat istiadat. Sedangkan bangsa – menurut Ernest Renan – adalah
sekelompok manusia yang dipersatukan oleh kesamaan sejarah dan cita-cita.
Hasrat bersatu yang didorong oleh kesamaan sejarah dan cita-cita meningkatkan
rakyat menjadi bangsa. Dengan perkataan lain, bangsa adalah rakyat yang
berkesadaran membentuk negara. Suatu bangsa tidak selalu terbentuk dari rakyat
seketurunan, sebahasa, seagama atau adat istiadat tertentu kendati kesamaan itu
besar pengaruhnya dalam proses pembentukan bangsa. Sekadar contoh, bangsa
Amerika Serikat sangat heterogen, banyak ras, bahasa dan agama; bangsa Swiss
menggunakan tiga bahasa yang sama kuatnya; bangsa Indonesia memiliki ratusan
suku, agama, bahasa dan adat istiadat yang berbeda. Secara geopolitis, selain
harus memiliki sejarah dan cita-cita yang sama, suatu bangsa juga harus terikat
oleh tanah air yang sama.
Beberapa pandangan
tentang pengertian bangsa:
- Otto Bauer berpendapat bahwa bangsa adalah suatu kesatuan yagn terjadi karena persatuan yang telah dijalani rakyat.
- Kranenburg dalam bukunya “Allgemeine Staatslehre” mengaitkan konsepsi bangsa dengan budi pekerti rakyat.
- Jacobsen dan Lipman dalam buku “Political Science” menyatakan bahwa bangsa adalah suatu kesatuan budaya (cultural unity).
- Ernest Renan dalam pidatonya di Universitas Sorbone (Paris) pada tanggal 11 Maret 1882 menyatakan bahwa bangsa adalah satu jiwa atau satu azas kerohanian yang ditimbulkan oleh adanya kemuliaan bersama di masa lampau. Bangsa tumbuh karena adanya solidaritas kesatuan.
- G.S. Dipondo mengatakan bahwa rakyat hanyalah sebagian kecil dari bangsa, yaitu mereka yang tidak duduk dalam pucuk pimpinan. Sedangkan pengertian bangsa mencakup baik pimpinan maupun rakyat itu sendiri.
- Padmo Wahyono menggunakan istilah bangsa sebagai unsur negara: bangsa dari suatu negara jika dilihat secara perorangan berarti warga negara.
Beberapa istilah yang
erat pengertiannya dengan rakyat:
- Rumpun (ras), diartikan sebagai sekumpulan manusia yang merupakan suatu kesatuan karena berciri jasmaniah yang sama, misalnya: warna kulit, warna rambut, bentuk badan, wajah, etc.
- Bangsa (volks), diartikan sebagai sekumpulan manusia yang merupakan suatu kesatuan karena kesamaan kebudayaan, misalnya: bahasa, adat/ kebiasaan, agama dan sebagainya.
- Nation (natie), diartikan sebagai sekumpulan manusia yang merupakan suatu kesatuan karena memiliki kesatuan politik yang sama.
Rakyat merupakan unsur terpenting dalam
negara karena manusialah yang berkepentingan agar organisasi negara dapat
berjalan dengan baik. Rakyat suatu negara dibedakan antara: a) penduduk dan
bukan penduduk; b) warga negara dan bukan warga negara.
Penduduk ialah mereka yang bertempat tinggal
atau berdomisili tetap di dalam wilayah negara. Sedangkan bukan penduduk ialah
mereka yang ada di dalam wilayah negara, tetapi tidak bermaksud bertempat
tinggal di negara itu. Warga negara ialah mereka yang berdasarkan hukum
merupakan anggota dari suatu negara. Sedangkan bukan warga negara disebut orang
asing atau warga negara asing (WNA).
Cara menentukan kewarganegaraan
Pada
umumnya ada tiga cara penetapan kewarganegaraan sesuai hukum nasionalnya:
1. Jus Sanguinis
Penetapan
kewarganegaraan berdasarkan kewarganegaraan orang tua mereka
1. Jus Soli
Menurut sistem ini penetapan kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh
tempat kelahirannya dan bukan orangtua mereka.
2. Naturalis
Suatu Negara memberikan kemungkinan kepada waerga Negara asing untuk
memperoleh kewarganegaraan setempat
setelah memenuhi syarat---syarat tttertentu.
Istilah Pemerintah merupakan terjemahan dari
kata asing Gorvernment
(Inggris), Gouvernement
(Prancis) yang berasal dari kata Yunani κουβερμαν yang berarti mengemudikan
kapal (nahkoda). Dalam arti luas, Pemerintah adalah gabungan dari semua badan
kenegaraan (eksekutif, legislatif, yudikatif) yang berkuasa memerintah di
wilayah suatu negara. Dalam arti sempit, Pemerintah mencakup lembaga eksekutif
saja.
Menurut Utrecht, istilah Pemerintah meliputi
pengertian yang tidak sama sebagai berikut:
- Pemerintah sebagai gabungan semua badan kenegaraan atau seluruh alat perlengkapan negara adalam arti luas yang meliputi badan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
- Pemerintah sebagai badan kenegaraan tertinggi yang berkuasa memerintah di wilayah suatu negara (dhi. Kepala Negara).
- Pemerintah sebagai badan eksekutif (Presiden bersama menteri-menteri: kabinet).
Istilah kedaulatan merupakan terjemahan dari sovereignty (Inggris), souveranete (Prancis), sovranus (Italia) yang
semuanya diturunkan dari kata supremus
(Latin) yang berarti tertinggi. Kedaulatan berarti kekuasan yang tertinggi,
tidak di bawah kekuasaan lain.
Pemerintah yang berdaulat berarti pemerintah
yang memegang kekuasaan tertinggi di dalam negaranya dan tidak berada di bawah
kekuasaan pemerintah negara lain. Maka, dikatakan bahwa pemerintah yang
berdaulat itu berkuasa ke dalam dan ke luar:
- Kekuasaan ke dalam, berarti bahwa kekuasaan pemerintah itu dihormati dan ditaati oleh seluruh rakyat dalam negara itu;
- Kekuasaan ke luar, berarti bahwa kekuasaan pemerintah itu dihormati dan diakui oleh negara-negara lain.
Jean Bodin
(1530-1596), seorang ahli ilmu negara asal Prancis, berpendapat bahwa negara
tanpa kekuasaan bukanlah negara. Dialah yang pertama kali menggunakan kata
kedaulatan dalam kaitannya dengan negara (aspek internal: kedaulatan ke dalam).
Kedaulatan ke dalam adalah kekuasaan tertinggi di dalam negara untuk mengatur
fungsinya. Kedaulatan ke luar adalah kekuasaan tertinggi untuk mengatur pemerintahan
serta memelihara keutuhan wilayah dan kesatuan bangsa (yang selayaknya
dihormati oleh bangsa dan negara lain pula), hak atau wewenang mengatur diri
sendiri tanpa pengaruh dan campur tangan asing.
Grotius
(Hugo de Groot) yang dianggap sebagai bapak
hukum internasional memandang kedaulatan dari aspek
eksternalnya, kedaulatan ke luar, yaitu kekuasaan mempertahankan kemerdekaan
negara terhadap serangan dari negara lain.
Sifat-sifat kedaulatan
menurut Jean Bodin:
- Permanen/ abadi, yang berarti kedaulatan tetap ada selama negara masih berdiri.
- Asli, yang berarti bahwa kedaulatan itu tidak berasal adari kekuasaan lain yang lebih tinggi.
- Tidak terbagi, yang berarti bahwa kedaulatan itu merupakan satu-satunya yang tertinggi di dalam negara.
- Tidak terbatas, yang berarti bahwa kedaulatan itu tidak dibatasi oleh siapa pun, karena pembatasan berarti menghilangkan ciri kedaulatan sebagai kekuasaan yang tertinggi.
Para ahli hukum sesudahnya menambahkan satu
sifat lagi, yaitu tunggal, yang berarti bahwa hanya negaralah pemegang
kekuasaan tertinggi.
Macam-macam teori
kedaulatan
1.
Teori Kedaulatan Tuhan
Teori ini merupakan teori kedaulatan yang
pertama dalam sejarah, mengajarkan bahwa negara dan pemerintah mendapatkan
kekuasaan tertinggi dari Tuhan sebagai asal segala sesuatu (Causa Prima). Menurut
teori ini, kekuasaan yang berasal dari Tuhan itu diberikan kepada tokoh-tokoh
negara terpilih, yang secara kodrati ditetapkan-Nya menjadi pemimpin negara dan
berperan selaku wakil Tuhan di dunia. Teori ini umumnya dianut oleh raja-raja
yang mengaku sebagai keturunan dewa, misalnya para raja Mesir Kuno, Kaisar
Jepang, Kaisar China, Raja Belanda (Bidde
Gratec Gods, kehendak Tuhan), Raja Ethiopia (Haile Selasi, Singa
penakluk dari suku Yuda pilihan Tuhan). Demikian pula dianut oleh para raja
Jawa zaman Hindu yang menganggap diri mereka sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Ken
Arok bahkan menganggap dirinya sebagai titisan Brahmana, Wisnu, dan Syiwa
sekaligus.
Pelopor teori kedaulatan Tuhan antara lain: Augustinus (354-430),
Thomas Aquino (1215-1274), juga F. Hegel (1770-1831) dan F.J. Stahl
(1802-1861).
Karena berasal dari Tuhan, maka kedaulatan
negara bersifat mutlak dan suci. Seluruh rakyat harus setia dan patuh kepada
raja yang melaksanakan kekuasaan atas nama dan untuk kemuliaan Tuhan. Menurut
Hegel, raja adalah manifestasi keberadaan Tuhan. Maka, raja/ pemerintah selalu
benar, tidak mungkin salah.
2. Teori Kedaulatan Raja
Dalam Abad Pertengahan Teori Kedaulatan Tuhan
berkembang menjadi Teori Kedaulatan Raja, yang menganggap bahwa raja
bertanggung jawab kepada dirinya sendiri. Kekuasaan raja berada di atas
konstitusi. Ia bahkan tak perlu menaati hukum moral agama, justru karena
“status”-nya sebagai representasi/ wakil Tuhan di dunia. Maka, pada masa itu
kekuasaan raja berupa tirani bagi rakyatnya.
Peletak dasar utama teori ini adalah Niccolo Machiavelli
(1467-1527) melalui karyanya, Il
Principe. Ia mengajarkan bahwa negara harus dipimpin oleh seorang
raja yang berkekuasaan mutlak. Sedangkan Jean Bodin menyatakan bahwa kedaulatan
negara memang dipersonifikasikan dalam pribadi raja, namun raja tetap harus
menghormati hukum kodrat, hukum antarbangsa, dan konstitusi kerajaan (leges imperii). Di
Inggris, teori ini dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679) yang mengajarkan
bahwa kekuasaan mutlak seorang raja justru diperlukan untuk mengatur negara dan
menghindari homo homini lupus.
3.
Teori Kedaulatan Negara
Menurut teori ini, kekuasaan tertinggi
terletak pada negara. Sumber kedaulatan adalah negara, yang merupakan lembaga
tertinggi kehidupan suatu bangsa. Kedaulatan timbul bersamaan dengan berdirinya
suatu negara. Hukum dan konstitusi lahir menurut kehendak negara, diperlukan
negara, dan diabdikan kepada kepentingan negara. Demikianlah F. Hegel mengajarkan
bahwa terjadinya negara adalah kodrat alam, menurut hukum alam dan hukum Tuhan.
Maka kebijakan dan tindakan negara tidak dapat dibatasi hukum. Ajaran Hegel ini
dianggap yang paling absolut sepanjang sejarah. Para penganut teori ini
melaksanakan pemerintahan tiran, teristimewa melalui kepala negara yang
bertindak sebagai diktator. Pengembangan teori Hegel menyebar di negara-negara
komunis.
Peletak dasar teori ini antara lain: Jean
Bodin (1530-1596), F. Hegel (1770-1831), G. Jellinek (1851-1911), Paul Laband
(1879-1958).
4.
Teori Kedaulatan Hukum
Berdasarkan pemikiran teori ini, kekuasaan
pemerintah berasal dari hukum yang berlaku. Hukumlah (tertulis maupun tidak
tertulis) yang membimbing kekuasaan pemerintahan. Etika normatif negara yang
menjadikan hukum sebagai “panglima” mewajibkan penegakan hukum dan
penyelenggara negara dibatasi oleh hukum. Pelopor teori Kedaulatan Hukum antara
lain: Hugo de Groot,
Krabbe, Immanuel Kant dan Leon Duguit.
5.
Teori Kedaulatan Rakyat (Teori Demokrasi)
Teori ini menyatakan bahwa kedaulatan
tertinggi ada di tangan rakyat. Pemerintah harus menjalankan kehendak rakyat.
Ciri-cirinya adalah: kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat (teori ajaran
demokrasi) dan konstitusi harus menjamin hak azasi manusia.
Beberapa pandangan
pelopor teori kedaulatan rakyat:
- J.J. Rousseau menyatakan bahwa kedaulatan itu perwujudan dari kehendak umum dari suatu bangsa merdeka yang mengadakan perjanjian masyarakat (social contract).
- Johanes Althuisiss menyatakan bahwa setiap susunan pergaulan hidup manusia terjadi dari perjanjian masyarakat yang tunduk kepada kekuasaan, dan pemegang kekuasaan itu dipilih oleh rakyat.
- John Locke menyatakan bahwa kekuasaan negara berasal dari rakyat, bukan dari raja. Menurut dia, perjanjian masyarakat menghasilkan penyerahan hak-hak rakyat kepada pemerintah dan pemerintah mengembalikan hak dan kewajiban azasi kepada rakyat melalui peraturan perundang-undangan.
- Montesquieu yang membagi kekuasaan negara menjadi: kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif (Trias Politica).
4. Pengakuan oleh negara lain
Pengakuan oleh negara lain didasarkan pada
hukum internasional. Pengakuan itu bersifat deklaratif/ evidenter, bukan
konstitutif. Proklamasi kemerdekaan Amerika Serikat dilaksanakan pada tanggal 4
Juli 1776, namun Inggris (yang pernah berkuasa di wilayah AS) baru mengakui
kemerdekaan negara itu pada tahun 1783.
Adanya pengakuan dari negara lain menjadi
tanda bahwa suatu negara baru yang telah memenuhi persyaratan konstitutif
diterima sebagai anggota baru dalam pergaulan antarnegara. Dipandang dari sudut
hukum internasional, faktor pengakuan sangat penting, yaitu untuk:
- tidak mengasingkan suatu kumpulan manusia dari hubungan-hubungan internasional;
- menjamin kelanjutan hubungan-hubungan intenasional dengan jalan mencegah kekosongan hukum yang merugikan, baik bagi kepentingan-kepentingan individu maupun hubungan antarnegara.
Menurut
Oppenheimer,
pengakuan oleh negara lain terhadap berdirinya suatu negara semata-mata
merupakan syarat konstitutif untuk menjadi an
international person. Dalam kedudukan itu, keberadaan negara
sebagai kenyataan fisik (pengakuan de
facto) secara formal dapat ditingkatkan kedudukannya menjadi suatu judicial fact (pengakuan de jure).
Pengakuan
de facto adalah
pengakuan menurut kenyataan bahwa suatu negara telah berdiri dan menjalankan
kekuasaan sebagaimana negara berdaulat lainnya. Sedangkan pengakuan de jure adalah pengakuan
secara hukum bahwa suatu negara telah berdiri dan diakui kedaulatannya
berdasarkan hukum internasional.
Perbedaan
antara pengakuan de facto dan
pengakuan de jure
antara lain adalah:
- Hanya negara atau pemerintah yang diakui secara de jure yang dapat mengajukan klaim atas harta benda yang berada dalam wilayah negara yang mengakui.
- Wakil-wakil dari negara yang diakui secara de facto secara hukum tidak berhak atas kekebalan-kekebalan dan hak-hak istimewah diplomatik secara penuh.
- Pengakuan de facto – karena sifatnya sementara – pada prinsipnya dapat ditarik kembali.
- Apabila suatu negara berdaulat yang diakui secara de jure memberikan kemerdekaan kepada suatu wilayah jajahan, maka negara yang baru merdeka itu harus diakui secara de jure pula.
Pada
tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Unsur-unsur
negara terpenuhi pada tanggal 18 Agustus 1945. Pengakuan pertama diberikan oleh
Mesir, yaitu pada tanggal 10 Juni 1947. Berturut-turut kemerdekaan Indonesia
itu kemudian diakui oleh Lebanon, Arab Saudi, Afghanistan, Syria dan Burma.
Pengakuan de facto
diberikan Belanda kepada Republik Indonesia atas wilayah Jawa, Madura dan
Sumatra dalam Perundingan Linggarjati tahun 1947. Sedangkan pengakuan de jure diberikan Belanda
pada tanggal 27 Desember 1949 dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).
Pengakuan
terhadap negara baru dalam kenyataannya lebih merupakan masalah politik
daripada masalah hukum. Artinya, pertimbangan politik akan lebih berpengaruh
dalam pemberian pengakuan oleh negara lain. Pengakuan itu merupakan tindakan
bebas dari negara lain yang mengakui eksistensi suatu wilayah tertentu yang
terorganisasi secara politik, tidak terikat kepada negara lain, berkemampuan
menaati kewajiban-kewajiban hukum internasional dalam statusnya sebagai anggota
masyarakat internasional.
Menurut
Starke,
tindakan pemberian pengakuan dapat dilakukan secara tegas (expresss), yaitu pengakuan
yang dinyatakan secara resmi berupa nota diplomatik, pesan pribadi kepala
negara atau menteri luar negeri, pernyataan parlemen, atau melalui traktat.
Pengakuan juga dapat dilakukan secara tidak tegas (implied), yaitu pengakuan yang ditampakkan
oleh hubungan tertentu antara negara yang mengakui dengan negara atau
pemerintahan baru.
Ada
dua teori pengakuan yang saling bertentangan:
- Teori Konstitutif, yaitu teori yang menyatakan bahwa hanya tindakan pengakuanlah yang menciptakan status kenegaraan atau yang melengkapi pemerintah baru dengan otoritasnya di lingkungan internasional
- Teori Deklaratoir atau Evidenter, yaitu teori yang menyatakan bahwa status kenegaraan atau otoritas pemerintah baru telah ada sebelum adanya pengakuan dan status itu tidak bergantung pada pengakuan yang diberikan. Tindakan pengakuan hanyalah pengumuman secara resmi terhadap fakta yang telah ada.
Pendukung
teori pengakuan antara lain: Brierly, Francois, Fischer, Williams.
B. Bentuk-Bentuk Negara
1.
Konfidersi
Bagi
L. Oppenheim, “konfederasi terdiri dari beberapa negara yang berdaulat penuh
yang untuk mempertahankan kedaulatan ekstern (ke luar) dan intern (ke dalam)
bersatu atas dasar perjanjian internasional yang diakui dengan menyelenggarakan
beberapa alat perlengkapan tersendiri yang mempunyai kekuasaan tertentu
terhadap negara anggota Konfederasi, tetapi tidak terhadap warganegara anggota
Konfederasi itu.”
Menurut kepada definisi yang diberikan oleh L. Oppenheim
di atas, maka Konfederasi adalah negara yang terdiri dari persatuan beberapa
negara yang berdaulat. Persatuan tersebut diantaranya dilakukan demi
mempertahankan kedaulatan dari negara-negara yang masuk ke dalam Konfederasi
tersebut. Pada tahun 1963, Malaysia dan Singapura pernah membangun suatu
Konfederasi, yang salah satunya dimaksudkan untuk mengantisipasi politik luar
negeri yang agresif dari Indonesia di masa pemerintahan Sukarno. Malaysia dan
Singapura mendirikan Konfederasi lebih karena alasan pertahanan masing-masing
negara.
Dalam
Konfederasi, aturan-aturan yang ada di dalamnya hanya berefek kepada
masing-masing pemerintah (misal: pemerintah Malaysia dan Singapura), dengan
tidak mempengaruhi warganegara (individu warganegara) Malaysia dan Singapura.
Meskipun terikat dalam perjanjian, pemerintah Malaysia dan Singapura tetap
berdaulat dan berdiri sendiri tanpa intervensi satu negara terhadap negara
lainnya di dalam Konfederasi.
Miriam Budiardjo
menjelaskan bahwa Konfederasi itu sendiri pada hakekatnya bukan negara, baik
ditinjau dari sudut ilmu politik maupun dari sudut hukum internasional.
Keanggotaan suatu negara ke dalam suatu Konfederasi tidaklah menghilangkan
ataupun mengurangi kedaulatan setiap negara yang menjadi anggota Konfederasi.
Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat skema berikut :
Garis putus-putus yang melambangkan ‘rantai komando’ dari Konfederasi menuju Pemerintah Negara A, B, dan C, dimaksudkan guna menunjukkan hirarki yang kurang tegas antara kedua ‘negara’ tersebut (tanpa petunjuk panah plus garis putus-putus). Dapat dilihat misalnya, garis ‘komando’ hanya beranjak dari Konfederasi menuju pemerintah negara A, B, dan C, tetapi tidak pada warganegara di ketiga negara. Garis ‘komando’ langsung terhadap warganegara di masing-masing negara dilakukan oleh pemerintah masing-masing. Kesediaan pemerintah ketiga negara berdaulat untuk bergabung ke dalam konfederasi lebih disebabkan oleh motivasi sukarela ketimbang kewajiban. Pengaruh Konfederasi terhadap ketiga negara berdaulat (A, B, dan C) hanya bersifat kecil saja. Mengenai ‘lingkaran’ yang melingkupi masing-masing pemerintah dan negara bagaian mengindikasikan kedaulatan yang tetap ada di masing-masing negara anggota Konfederasi.
2. Kesatuan
Garis putus-putus yang melambangkan ‘rantai komando’ dari Konfederasi menuju Pemerintah Negara A, B, dan C, dimaksudkan guna menunjukkan hirarki yang kurang tegas antara kedua ‘negara’ tersebut (tanpa petunjuk panah plus garis putus-putus). Dapat dilihat misalnya, garis ‘komando’ hanya beranjak dari Konfederasi menuju pemerintah negara A, B, dan C, tetapi tidak pada warganegara di ketiga negara. Garis ‘komando’ langsung terhadap warganegara di masing-masing negara dilakukan oleh pemerintah masing-masing. Kesediaan pemerintah ketiga negara berdaulat untuk bergabung ke dalam konfederasi lebih disebabkan oleh motivasi sukarela ketimbang kewajiban. Pengaruh Konfederasi terhadap ketiga negara berdaulat (A, B, dan C) hanya bersifat kecil saja. Mengenai ‘lingkaran’ yang melingkupi masing-masing pemerintah dan negara bagaian mengindikasikan kedaulatan yang tetap ada di masing-masing negara anggota Konfederasi.
2. Kesatuan
Negara
Kesatuan adalah negara yang pemerintah pusat atau nasional memegang kedudukantertinggi,
dan memiliki kekuasaan penuh dalam pemerintahan sehari-hari. Tidak ada bidang
kegiatan pemerintah yang diserahkan konstitusi kepada satuan-satuan
pemerintahan yang lebih kecil (dalam hal ini, daerah atau provinsi). Dalam negara Kesatuan,
pemerintah pusat (nasional) bisa melimpahkan banyak tugas (melimpahkan
wewenang) kepada kota-kota, kabupaten-kabupaten, atau satuan-satuan
pemerintahan lokal. Namun, pelimpahan wewenang ini hanya diatur oleh
undang-undang yang dibuat parlemen pusat (di Indonesia DPR-RI), bukan diatur di
dalam konstitusi (di Indonesia UUD 1945), di mana pelimpahan wewenang tersebut
bisa saja ditarik sewaktu-waktu. Pemerintah pusat
mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah
berdasarkan hak otonomi, di mana ini dikenal pula sebagai desentralisasi.
Namun, kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan pemerintah pusat dan dengan
demikian, baik kedaulatan ke dalam maupun kedaulatan ke luar berada pada
pemerintah pusat.
Miriam
Budiardjo menulis bahwa yang menjadi hakekat negara Kesatuan adalah
kedaulatannya tidak terbagi dan tidak dibatasi, di mana hal tersebut dijamin di
dalam konstitusi. Meskipun daerah diberi kewenangan untuk mengatur sendiri
wilayahnya, tetapi itu bukan berarti pemerintah daerah itu berdaulat, sebab
pengawasan dan kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan pemerintah pusat.
Pemerintah pusat-lah sesungguhnya yang mengatur kehidupan setiap penduduk
daerah.
Keuntungan negara Kesatuan adalah adanya keseragaman
Undang-Undang, karena aturan yang menyangkut ‘nasib’ daerah secara keseluruhan
hanya dibuat oleh parlemen pusat. Namun, negara Kesatuan bisa tertimpa beban
berat oleh sebab adanya perhatian ekstra pemerintah pusat terhadap
masalah-masalah yang muncul di daerah. Penanganan setiap masalah
yang muncul di daerah kemungkinan akan lama diselesaikan oleh sebab harus
menunggu instruksi dari pusat terlebih dahulu. Bentuk negara Kesatuan juga tidak
cocok bagi negara yang jumlah penduduknya besar, heterogenitas (keberagaman)
budaya tinggi, dan yang wilayahnya terpecah ke dalam pulau-pulau. Untuk lebih
memperjelas masalah negara Kesatuan ini, baiklah kami buat skema berikut :
Ada sebagian kewenangan yang didelegasikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, yang dengan kewenangan tersebut pemerintah daerah mengatur penduduk yang ada di dalam wilayahnya. Namun, pengaturan pemerintah daerah terhadap penduduk di wilayahnya lebih bersifat ‘instruksi dari pusat’ ketimbang improvisasi dan inovasi pemerintah daerah itu sendiri. Dalam negara Kesatuan, pemerintah pusat secara langsung mengatur masing-masing penduduk yang ada di setiap daerah. Misalnya, pemerintah pusat berwenang menarik pajak dari penduduk daerah, mengatur kepolisian daerah, mengatur badan pengadilan, membuat kurikulum pendidikan yang bersifat nasional, merelay stasiun televisi dan radio pemerintah ke seluruh daerah, dan bahkan menunjuk gubernur kepala daerah.
Ada sebagian kewenangan yang didelegasikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, yang dengan kewenangan tersebut pemerintah daerah mengatur penduduk yang ada di dalam wilayahnya. Namun, pengaturan pemerintah daerah terhadap penduduk di wilayahnya lebih bersifat ‘instruksi dari pusat’ ketimbang improvisasi dan inovasi pemerintah daerah itu sendiri. Dalam negara Kesatuan, pemerintah pusat secara langsung mengatur masing-masing penduduk yang ada di setiap daerah. Misalnya, pemerintah pusat berwenang menarik pajak dari penduduk daerah, mengatur kepolisian daerah, mengatur badan pengadilan, membuat kurikulum pendidikan yang bersifat nasional, merelay stasiun televisi dan radio pemerintah ke seluruh daerah, dan bahkan menunjuk gubernur kepala daerah.
3.Federasi
Negara
Federasi ditandai adanya pemisahan kekuasaan negara antara pemerintahan
nasional dengan unsur-unsur kesatuannya (negara bagian, provinsi, republik,
kawasan, atau wilayah). Pembagian kekuasaan ini dicantumkan ke dalam konstitusi
(undang-undang dasar). Sistem pemerintahan Federasi sangat cocok untuk
negara-negara yang memiliki kawasan geografis luas, keragaman budaya daerah
tinggi, dan ketimpangan ekonomi cukup tajam.
Apakah
ada perbedaan antara Konfederasi dengan Federasi ? Ya, ada! Negara-negara yang
menjadi anggota suatu Konfederasi tetap merdeka sepenuhnya atau berdaulat,
sedangkan negara-negara yang tergabung ke dalam suatu Federasi kehilangan
kedaulatannya, oleh sebab kedaulatan ini hanya ada di tangan pemerintahan
Federasi. Di Amerika Serikat, terdapat
50 negara bagian semisal Alabama, New Hampshire, New Mexico, Maine, Utah,
Wisconsin, South Dakota, Wyoming, West Virginia, Nevada, New Jersey, Florida,
Hawaii, Alaska, New Mexico, California, Kansas, Phoenix, Nebraska,
Pennsylvania, atau Texas.
Negara-negara
bagian ini tidaklah berdaulat sendiri-sendiri melainkan kedaulatan tersebut
hanya ada di tangan pemerintah Federasi yang dikenal sebagai United States of
America (Amerika Serikat) dengan ibukotanya di Washington D.C. (District
Columbia) itu!
Bagaimana selanjutnya, adakah perbedaan antara negara
Federasi dengan negara Kesatuan ? Ya, juga ada! Negara-negara bagian suatu
Federasi memiliki wewenang untuk membentuk undang-undang dasar sendiri serta
pula wewenang untuk mengatur bentuk organisasi sendiri dalam batas-batas
konstitusi federal, sedangkan di dalam negara Kesatuan, organisasi pemerintah
daerah secara garis besar telah ditetapkan oleh undang-undang dari pusat. Selanjutnya pula, dalam negara
Federasi, wewenang membentuk undang-undang pusat untuk mengatur hal-hal
tertentu telah terperinci satu per satu dalam konstitusi Federal, sedangkan
dalam negara Kesatuan, wewenang pembentukan undang-undang pusat ditetapkan
dalam suatu rumusan umum dan wewenang pembentukan undang-undang lokal
tergantung pada badan pembentuk undang-undang pusat itu. Berikut hirarki negara Federasi:
Di dalam negara Federasi, kedaulatan hanya milik pemerintah Federal, bukan milik negara-negara bagian. Namun, wewenang negara-negara bagian untuk mengatur penduduk di wilayahnya lebih besar ketimbang pemerintah daerah di negara Kesatuan. Wewenang negara bagian di negara Federasi telah tercantum secara rinci di dalam konstitusi federal, misalnya mengadakan pengadilan sendiri, memiliki undang-undang dasar sendiri, memiliki kurikulum pendidikan sendiri, mengusahakan kepolisian negara bagian sendiri, bahkan melakukan perdagangan langsung dengan negara luar seperti pernah dilakukan pemerintah Indonesia dengan negara bagian Georgia di Amerika Serikat di masa Orde Baru. Kendatipun negara bagian memiliki wewenang konstitusi yang lebih besar ketimbang negara Kesatuan, kedaulatan tetap berada di tangan pemerintah Federal yaitu dengan monopoli hak untuk mengatur Angkatan Bersenjata, mencetak mata uang, dan melakukan politik luar negeri (hubungan diplomatik). Kedaulatan ke dalam dan ke luar di dalam negara Federasi tetap menjadi hak pemerintah Federal bukan negara-negara bagian.
Di dalam negara Federasi, kedaulatan hanya milik pemerintah Federal, bukan milik negara-negara bagian. Namun, wewenang negara-negara bagian untuk mengatur penduduk di wilayahnya lebih besar ketimbang pemerintah daerah di negara Kesatuan. Wewenang negara bagian di negara Federasi telah tercantum secara rinci di dalam konstitusi federal, misalnya mengadakan pengadilan sendiri, memiliki undang-undang dasar sendiri, memiliki kurikulum pendidikan sendiri, mengusahakan kepolisian negara bagian sendiri, bahkan melakukan perdagangan langsung dengan negara luar seperti pernah dilakukan pemerintah Indonesia dengan negara bagian Georgia di Amerika Serikat di masa Orde Baru. Kendatipun negara bagian memiliki wewenang konstitusi yang lebih besar ketimbang negara Kesatuan, kedaulatan tetap berada di tangan pemerintah Federal yaitu dengan monopoli hak untuk mengatur Angkatan Bersenjata, mencetak mata uang, dan melakukan politik luar negeri (hubungan diplomatik). Kedaulatan ke dalam dan ke luar di dalam negara Federasi tetap menjadi hak pemerintah Federal bukan negara-negara bagian.
3.
Subjek Hukum Internasional Lainnya
- Organisasi Internasional
Klasifikasi organisasi
internasional menurut Theodore A Couloumbis dan James H. Wolfe :
a. Organisasi
internasional yang memiliki keanggotaan secara global dengan maksud dan tujuan
yang bersifat umum, contohnya adalah Perserikatan Bangsa Bangsa ;
b. Organisasi
internasional yang memiliki keanggotaan global dengan maksud dan tujuan yang
bersifat spesifik, contohnya adalah World Bank, UNESCO, International
Monetary Fund, International Labor Organization, dan lain-lain;
c. Organisasi internasional
dengan keanggotaan regional dengan maksud dan tujuan global, antara lain: Association
of South East Asian Nation (ASEAN), Europe Union.
- Palang Merah Internasional
Sebenarnya Palang Merah
Internasional, hanyalah merupakan salah satu jenis organisasi internasional.
Namun karena faktor sejarah, keberadaan Palang Merah Internasional di dalam
hubungan dan hukum internasional menjadi sangat unik dan di samping itu juga
menjadi sangat strategis. Pada awal mulanya, Palang Merah Internasional
merupakan organisasi dalam ruang lingkup nasional, yaitu Swiss, didirikan oleh
lima orang berkewarganegaraan Swiss, yang dipimpin oleh Henry Dunant dan
bergerak di bidang kemanusiaan. Kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Palang
Merah Internasional mendapatkan simpati dan meluas di banyak negara, yang
kemudian membentuk Palang Merah Nasional di masing-masing wilayahnya. Palang
Merah Nasional dari negar-negara itu kemudian dihimpun menjadi Palang Merah
Internasional (International Committee of the Red Cross/ICRC) dan
berkedudukan di Jenewa, Swiss. (Phartiana, 2003; 123)
- Tahta Suci Vatikan
Tahta Suci Vatikan di akui
sebagai subjek hukum internasional berdasarkan Traktat Lateran tanggal 11
Februari 1929, antara pemerintah Italia dan Tahta Suci Vatikan mengenai
penyerahan sebidang tanah di Roma. Perjanjian Lateran tersebut pada sisi lain
dapat dipandang sebagai pengakuan Italia atas eksistensi Tahta Suci sebagai
pribadi hukum internasional yang berdiri sendiri, walaupun tugas dan
kewenangannya, tidak seluas tugas dan kewenangan negara, sebab hanya terbatas
pada bidang kerohanian dan kemanusiaan, sehingga hanya memiliki kekuatan moral
saja, namun wibawa Paus sebagai pemimpin tertinggi Tahta Suci dan umat Katholik
sedunia, sudah diakui secara luas di seluruh dunia. Oleh karena itu, banyak
negara membuka hubungan diplomatik dengan Tahta Suci, dengan cara menempatkan
kedutaan besarnya di Vatikan dan demikian juga sebaliknya Tahta Suci juga
menempatkan kedutaan besarnya di berbagai negara. (Phartiana, 2003, 125)
- Kaum Pemberontak / Beligerensi (belligerent)
Kaum belligerensi pada
awalnya muncul sebagai akibat dari masalah dalam negeri suatu negara berdaulat.
Oleh karena itu, penyelesaian sepenuhnya merupakan urusan negara yang
bersangkutan. Namun apabila pemberontakan tersebut bersenjata dan terus
berkembang, seperti perang saudara dengan akibat-akibat di luar kemanusiaan,
bahkan meluas ke negara-negara lain, maka salah satu sikap yang dapat diambil
oleh adalah mengakui eksistensi atau menerima kaum pemberontak sebagai pribadi
yang berdiri sendiri, walaupun sikap ini akan dipandang sebagai tindakan tidak
bersahabat oleh pemerintah negara tempat pemberontakan terjadi. Dengan
pengakuan tersebut, berarti bahwa dari sudut pandang negara yang mengakuinya,
kaum pemberontak menempati status sebagai pribadi atau subjek hukum
internasional
- Individu
Pertumbuhan dan
perkembangan kaidah-kaidah hukum internasional yang memberikan hak dan
membebani kewajiban serta tanggungjawab secara langsung kepada individu semakin
bertambah pesat, terutama setelah Perang Dunia II. Lahirnya Deklarasi Universal
tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada
tanggal 10 Desember 1948 diikuti dengan lahirnya beberapa konvensi-konvensi hak
asasi manusia di berbagai kawasan, dan hal ini semakin mengukuhkan eksistensi
individu sebagai subjek hukum internasional yang mandiri.
6.
Perusahaan
Multinasional
Perusahaan multinasional
memang merupakan fenomena baru dalam hukum dan hubungan internasional.
Eksistensinya dewasa ini, memang merupakan suatu fakta yang tidak bisa
disangkal lagi. Di beberapa tempat, negara-negara dan organisasi internasional
mengadakan hubungan dengan perusahaan-perusahaan multinasional yang kemudian
melahirkan hak-hak dan kewajiban internasional, yang tentu saja berpengaruh
terhadap eksistensi, struktur substansi dan ruang lingkup hukum internasional
itu sendiri.
BAB IV
PERSOALAN PENGAKUAN DALAM HUKUM
INTERNASIONAL
Persoalan pengakuan dalam
hukum internasional adalah persoalan yang cukup rumit karena melibatkan masalah
politik dan masalah hukum. Unsur-unsur
politik sangat susah dilepaskan dalam masalah
pengakuan, karena pemberian dan penolakan pengakuan oleh suatu Negara sering
dipengaruhi oleh pertimbangan politik sedangkan, akibat dari pemberian
pengakuan ini mempunyai akibat hukum. Dalam hukum internasional tidak
mengharuskan suatu Negara untuk mengakui Negara lain dan suatu Negara atau
pemerintahan tidak mempunyai hak untuk diakui oleh Negara lain.
Walaupun masalah pengakuan
melibatkan dua aspek yaitu politik dan hukum, namun pakar hukum internasional selalu berupaya untuk menentukan
aspek mana yang lebih menonjol diantara keduanya. Banyak yang berpendapat bahwa
pengakuan merupakan suatu perbuatan hukum, namun banyak pula yang mengatakan
dan diperkuat oleh praktek Negara bahwa pengakuan lebih bersifat politik yang
mempunyai akibat hukum..
A. LAHIRNYA SUATU NEGARA
Dalam tinjauan mengenai pengakuan ini tentu saja penelitian terhadap
Negara adalah mutlak karena perannya sebagai pelaku utama hukum internasional.
Pertanyaan pertama yang timbul daris egi hukum ialah, apakah lahirnya suatu
Negara merupakan peristiwa hukum atau peristiwa ekstra yuridik?
Terhadap persoalan ini ada 2 opini;
Opini Pertama
Opini pertama dipelopori oleh tokoh-tokoh hukum internasional terkemuka
seperti Jellinck, Cavaglieri, dan Strupp yang menyatakan bahwa lahirnya suatu
Negara hanyalah merupakan peristiwa fakta yang sama sekali lepas dari
ketentuan-ketentuan hukum internasional. Formulasi yang dikemukakan oleh
tokoh-tokoh tersebut berbeda-beda yaitu ada yang menyatakan kelahiran tersebut
sebagai fakta politis, historis, sosiologis meta yuridik.
Opini Kedua
Opini pertama ditolak oleh Kelompok Austria yang dipelopori oleh Kelsen
yangmenyatakan bahwa lahirnya suatu Negara adalah proses hukum yang diatur oleh
ketentuan-ketentuan hukum internasional.
Diantara
kedua opini tersebut yang lebih tepat adalah opini pertama yang menyatakan
bahwa kelahiran Negara bukan merupakan peristiwa hukum. Tidak mungkin hukum
internasional mengatur lahirnya suatu Negara karena hukum tersebut baru
lahirsetelah adanya Negara-negara.
Untuk menjawab teori tersebut
marilah kita lihat perbedaan antara dua teori yaitu teori konstitutif dan teori deklaratif.
1. Teori Konstitutif
Menurut teori ini suatu Negara baru lahir bila doakui oleh Negara lain.
Ini berarti suatu Negara belum lahir sebelum adanya pengakuan terhadap Negara
tersebut. Dalah hal ini pengakuan mempunyai kekuatan konstitutif.
2.
Teori Deklaratif
Menurut
teori ini pengakuan tidak menciptakan suatu Negara karena lahirnya suatu Negara
semata-mata merupakan suatu fakta murni dan dalam hal ini pengakuan hanyalah
berupa penerimaan fakta tersebut. Mereka menegaskan bahwa suatu Negara begitu
lahir langsung menjadi anggota masyarakat internasional dan pengakuan hanya
merupakan pengukuhan dari kelahiran
tersebut. Jadi, pengakuan tidak menciptakan suatu Negara. Pengakuan bukan
merupakan syarat bagi kelahiran suatu Negara.
Jadi, dapat dikatakan bahwa kelahiran suatu Negara adalah suatu
peristiwa yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan hukum internasional,
sedangkan pengakuan yang diberikan kepada Negara yang baru lahir tersebut hanya
bersifat politik. Semacam pengukuhan terhadap statusnya sebagai anggota
masyarakat internasional yang baru dengan segala hak dan kewajiban yang
dimilikinya sesuai dengan hukum internasional.
B. PENGAKUAN NEGARA
Pengakuan adalah pernyataan suatu Negara yang
mengakui suatu Negara lain sebagai subjek hukum internasional. Untuk mengakui
suatu Negara baru, pada umumnya Negara-negara memakai criteria antara lain:
a. Keyakinan adanya stabilitas di Negara tersebut
b. Dukungan umum dari penduduk
c. Kesanggupan dan kemauan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban
internasional
C. BENTUK-BENTUK PENGAKUAN
Ada beberapa macam bentuk-bentuk pengakuan
sebagai berikut:
1.
Pengakuan secara terang-terangan dan individual
Pengakuan ini berasal dari pemerintah atau
organ berwenang di bidang hubungan luar negeri.
Cara yang paling sering dulakukan adalah:
a.
Nota Diplomatik, Suatu Pernyataan atau Telegram
Pada umumnya suatu Negara mengakui Negara
lain secara individual yang hanya melibatkan Negara itu saja. Pengakuan
individual ini mempunyai arti diplomatok tersendiri bila diberikan oleh suatu
Negara kepada bekas Negara jajahannya. Sebagai contoh pernyataan Presiden
Prancis pada tanggal 3 Juli 1962 yang mengakui
kemerdekaan Aljazair memberikan
arti tersendiri bagi Negara tersebut.
b.
Suatu Perjajnjian Internasional
a)
Pengakuan Prancis terhadap Laos tanggal 19
Juli 1949 dan Kamboja tanggal 18 November 1949
b) Pengakuan Jepang terhadap Korea tanggal 8 September 1951 melalui Pasal
12 Peace Treaty
2.Pengakuan Secara Diam-diam
Pengakuan secara
Implisit ini terjadi bila suatu Negara mengadakan hubungan dengan pemerintah
atau Negara baru dengan mengirimkan seorang wakil diplomatic, mengadakan
pembicaraan dengan pejabat-pejabat resmi ataupun kepala Negara setempat,
membuat persetujuan dengan Negara tetsebut. Namun dalam semua keadaan ini harus
ada indikasi yang nyata untuk mengakui pemerintahan atau Negara baru.
Contohnya AS dengan Cina. Walaupun As secara
resmi tidak mengakui keberadaan RRC tetapi semenjak tahun 1955 negara tersebut
telah mengadakan perundingan-perundingan tingkat Duta Besar di Jenewa, Warsawa,
dan Prancis yang diikuti dengan pembukaan kantor-kantor penghubung di kedua
Negara di akhir mei 1973.
3. Pengakuan Secara Kolektif
Pengakuan secara kolektif ini diwujudkan
dalam suatu Perjanjian Internasional atau konferensi multilateral. Melalui
Helsinki Treaty tahun1976, contohnya Negara-negara NATO mengakui Tepublik
Demokrasi Jerman Timur dan Negara-negara Pacta Warsawa Mengakui pula Republik
Federal Jerman.
Perlu dicatat, bahwa masuknya suatu Negara sebagai anggota PBB sama
sekali tidak berarti adanya pengakuan secara kolektif dari Negara-negara anggota
oganisasi dunia tersebut. Penerimaan suatu Negara sebagai anggota PBB hanya
berarti bahwa Negara tersebut telah memenuhi persyaratan untuk keanggotaan
organisasi masyarakat internasional tersebut. Prof. Quincy Wrigt berpendapat
bahwa yang ada hanyalah pengakuan kolektif dari PBB tetapi bukanlah pengakuan
individual dari masing-masing anggotanya.
Sementara Prof. George Scelle menyatakan, tidak amsuk akal Negara-negara yang sama
anggota suatu organisasi internasional yangs ama-sama memutuskan resolusi,
pernyataan, dan instrument-instrumen hukum tetapi saling menolak eksistensi
satu sama lain.
4.
Pengakuan Secara Prematur
Dalam pengakuan internasional terdapat pula contoh-contoh dimana suatu
Negara memberikan pengakuan kepada Negara yang baru tanpa lengkapnya
unsur-unsur konstitutif yang harus dimiliki oleh entitas yang baru tersebut
untuk menjadi suatu Negara.
Contonhnya, Pengakuan jenis ini sering terjadi pada Negara yang
memisahkan diri dari Negara induk. India misalnya mengakui Bangladesh tanggal 6
Desember 1971 sedangkan kemerdekaan Negara tersebut baru di umumkan beberapa
waktu kemudian yakni tanggal 25 Marfet 1972. Sudah jelas bahwa Pakistan
menganggap kebijaksanaan India tersebut sebagai campur tangan terhadap masalah
dalam negerinya.
D. PENGAKUAN PEMERINTAH
Pengakuan Pemerintah ialah suatu pernyataan dari suatu Negara bahwa
Negara tersebut telah siap dan bersedia berhubungan dengan pemerintah yang baru
diakui sebagai organ yang bertindak untuk dan atas nama negaranya. Pengakuan pemerintah ini penting karena suatu
Negara tidak mungkin mengadakan hubungan resmi dengan nega lain yang tidak
mengakui pemerintahnya. Namun secara logika pengakuan terhadap suatu Negara
juga berarti pengakuan terhadap pemerintah Negara tersebut, karena tidak
mungkin mengakui entitas baru tanpa mengakui lembaga operasionalnya yaitu
pemerintah.
E. PENGAKUAN TERHADAP PEMBERONTAK (
BELLIGERENCY)
Bila di suatu Negara terjadi pemberontakan
dan pemberontakan tersebut telah memecah belah kesatuan nasional dan
efektifitas pemerintahan maka keadaan ini menempatkan Negara-negara ketiga
dalam keadaan sulit terutama melindungi berbagai kepentingan nya di Negara
tersebut. Dalam keadaan ini lahirlah sistem pengakuan namanya Belligerency. Negara-negara ketiga dalam
sikapnya membatasi diri hanya sekedar mencatat bahwa pemberontak tidak kalah
dantelah menguasai sebagian wilayah nasional dan mempunyai kekuasaan secara
fakta. Bentuk pengakuan ini dilakukan beberapa kali di masa lampau oleh Amerika
Serikat dan Inggris. Contohnya Pengakuan Belligerency
yang diberikan kepada orang selatan di Amerika Serikat pada waktu perang
saudara oleh Prancis dan Inggris serta Negara-negara Eropa lainnya.
Implikasi jika tidak ada pengakuan
Jika menganut teori konstitutif maka suatu
negara yang belum mendapatkan pengakuan tidak memiliki hak dan kewajiban dalam
masyarakat internasional. Resikonya adalah, jika negara itu melakukan kegiatan
yang bertentangan dengan hukum internasional, maka secara teoritis, negara
tersebut tidak dapat dikenai sanksi karena memang tidak memiliki hak dan
kewajiban. Hal ini tentu saja sangat menyulitkan posisi suatu negara untuk
tidak mengakui keberadaan negara lain. Lihat putusan Tinoco Arbitration (1923) 1 RIAA 369 Di sisi lain, jika pengakuan
hanya merupakan pernyataan tanpa memiliki implikasi hukum apapun sebagaimana
dianut dalam teori deklarasi maka, begitu secara de facto negara tersebut ada
maka secara de jure pula negara tersebut telah terikat dengan hak dan kewajiban
sebagai anggota masyarakat hukum internasional.
BAB V
KEDAULATAN DAN YURISDIKSI
Yurisdiksi Negara
Yurisdiksi adalah kewenangan yang dimiliki negara untuk membuat peraturan perundang undangan (prescriptive jurisdiction) dan kewenangan untuk menegakkan suatu keputusan yang didasarkan kepada perundang-undangan yang dibuat tadi (enforcement jurisdiction). Konsep tentang yurisdiksi negara dalam hal ini lebih diterapkan dalam hukum pidana.
A.
Dasar-dasar Yurisdiksi Negara menurut
Hukum Internasional
Territorial Jurisdiction
/Yursidiksi Wilayah
Yurisdiksi wilayah adalah
dasar yang dipakai untuk menuntut penegakan suatu peristiwa terhadap hukum
negara setempat. Semua peristiwa kriminal yang terjadi dalam wilayah suatu
negara telah membuat negara tersebut memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum
yang telah dibuatnya. Dalam Compania Naviera Vascongado v Chrisina SS (1938) AC
485, disebutkan bahwa prinsip yurisdiksi wilayah ini telah membuat semua orang,
tanpa melihat kewarganegaraannya dapat diperiksa, dituntut dan dihukum menurut
hukum dimana peristiwa pidana dilakukan.
Dalam hal ini bisa terjadi
setidak-tidaknya dua kemungkinan:
1.
Subjective Territorial
Principles,
terkait dengan tindakan awal suatu kejahatan dilakukan. Seseorang yang
mengirimkan roti beracun ke negara lain, bisa dianggap telah melakukan tindak
pidana di wilayah dimana roti tersebut dikirimkan. Lihat Treacy v DPP (1971) AC
537.
2.
Objective Territorial
Principles;
terkait dengan dimana akibat dari kejahatan tersebut terjadi. Ketika orang yang
memakan roti beracun itu meinggal dunia, maka disitulah menurut prinsip
dianggap telah terjadi tindak pidana. Lihat
Lotus Case (1923) PCIJ Reports, Series A, no 10 Active Nationality Principle/Nationalitas Aktif
Hubungan antara negara dan
warganegaranya menjadi dasar bagi pengenaan prinsip yurisdiksi nasionalitas
aktif. Setiap warga negara berkewajiban untuk mematuhi hukum negaranya,
sekalipun saat melakukan kejahatan itu tidak berada di wilayah negara tersebut.
Misalnya, Negara Indonesia masih memiliki yurisdiksi atas warga negara
Indonesia yang melakukan pembunuhan di Amerika Serikat. Meski demikian,
tindakan untuk membawa warganegaranya ke depan meja hukum tidak boleh dilakukan
bila hal tersebut membuat kewajiban suatu negara terhadap negara lainnya jadi
terabaikan. Lihat Nottebohm Case (1955) ICJ Reports, hal 4
3.
Passive Personality
Principle/ Personalitas
Pasif, Prinsip ini memungkinkan suatu negara untuk memiliki yurisdiksi terhadap
pelaku tindak pidana yang korbannya adalah warga negara mereka.
Misalnya, jika terjadi
pembunuhan warga negara Indonesia yang dilakukan oleh warga negara Australia di
wilayah Australia, maka Indonesia masih bisa diberi hak untuk melakukan
penuntutan dan pemeriksaaan serta menghukum pelaku atas dasar prinsip ini.
Lihat United States v Yunis (1989) 83
AJIL 94. Namun, suatu negara yang secara konsisten menolak penerapan
prinsip dalam sistem hukumnya (perssistent objector) dapat tidak mengakui
yurisdiksi negara lain yang mengakui prinsip ini. Lihat kasus Cutting Case
(1887) 2 Moore’s Digest 228
Protective (Security) Jurisdiction
Perluasan dari yurisdiksi
negara dapat diberikan kepada tindakan-tindakan yang mengancam keselamatan
suatu negara. Tindakan yang dimaksud antara lain: Rencana untuk menggulingkan
suatu pemerintahan yang dilakukan negara lain di negaar lain, tindakan
spionase, memalsukan maat uang atau sebuah konspirasi untuk melanggar peraturan
keiimigrasian. Dua alasan mengapa hal ini perlu diadakan:
1)
Jika
dibiarkan maka tindakan itu akan merugikan dan bahkan mengancam keberlangsungan
suatu Negara.
2)
Jika
tidak ada perluasan yurisdiksi maka negara dimana tindakan itu dilakukan
mungkin tidak akan menganggap bahwa tindakan itu adalah tindak pidana
terhadapnya dan proses extradisi yang dimaksud susah dilakukan karena nuansa
politik yang ada dalam tindakan kriminal tersebut. Lihat kasus Attorney-General for Israel v Eichmann (1962)
36 ILR 5
Universality
Principle/Kejahatan
universal Dasar pengenaan yurisdiksi ini adalah ketika suatu negara menahan
seseorang yang diduga menurut hukum internasional telah melakukan kejahatan
internasional. Beberapa kejahatan yang dianggap sebagai kejahatan internasional
antara lain adalah:
1)
Piracy Jure Gentium/ pembajakan di laut telah
diakui sebagai kejahatan internasional baik dalam hukum kebiasaan internasional
maupun dalam Pasal 14 dan 17 dari The Geneva Convention on the High Seas 1958
dan Pasal 101-107 dari The UN Conventions on the Law of the Seas 1982. Negara
yang menahan pembajak boleh mengajukannya ke pengadilan tanpa melihat
kewarganegaraan pelaku ataupun korban maupun kapal yang dibajaknya.
2)
War Crimes/ kejahatan perang
sebagaimana diakui dalam hukum kebiasaan internasional maupun dalam berbagai
konvensi Jenewa dan Den Haag telah dianggap sebagai kejahatan yang bersifat
universal. Prinsip-prinsip dalam Nuremberg trial atau Tokyo trial menajdi
bagian yang tidak bisa dipisahkan untuk memberikan yurisdiksi kepada negara
yang menangkap pelaku kejahatan perang.
3)
War-related Crimes ada dua hal yaitu Crimes
against Humanity ( kejahatan terhadap kemanusiaan) dan Crimes against Peace (kejahatan terhadap perdamaian)
b.
Yurisdiksi Khusus yang diakui dalam perjanjian internasional
Kejahatan terhadap Penerbangan
Kejahatan terhadap Penerbangan
1.
Tokyo
Convention on Offences and Certain other Acts Committed on Board Aircraft 1963
2.
Hague
Conventions for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft 1970
3.
Montreal
Convention for teh Suppression of Unlawful Act againts the Safety of Civil
Aviation 1971Perbudakan tindakan perbudakan telah dilarang melalui Pasal 4
4.
Deklarasi
universal Hak Asasi Manusia 1948
c. Ekstradisi
Konsep ekstradisi selalu
dilandaskan pada adanya suatu perjanjian internasional antara negara yang ingin
melakukan ekstradisi dan tidak ada hukum kebiasaan interansional yang mengatur
tentang itu. Dalam perjanjian itu biasanya disebut, antara lain:
1.
Jenis-jenis
kejahatan yang bisa diekstradisikan
2.
Kriteria
orang yang bisa diekstradisikan
3.
Perkecualian
terhadap kejahatan politik dari jenis-jenis kejahatan yang bisa diekstradisikan
4.
Pernyataan
bahwa orang yang diekstradisi tak bisa diadili karena perkara yang tidak disebutkan dalam perjanjian ekstradisi
5.
Adanya
Prima facie, bukti-bukti atas kesalahan yang dilakukan (dikenal dalam common
law dan tidak pada civil law sistem)
Kasus-kasus
yang relevan
1.
The
Lotus Case (1927) PCIJ Reports, Series A no 10: penerapan prinsip subjective
dan objective territorial
2.
Joyce
v Director of Public Prosecutions (1946) AC 347: prinsip nasionalitas aktif
3.
Attorney-General
for Israel v Eichmann (1962) 36 ILR 5: prinsip protektif
4.
Lockerbie
Case (Libya v United Kingdom/United States) (1992) ICJ Reports, hal 3: terkait
dengan konsep jurisdiksi dengan berbagai macam prinsip dasar
BAB VI
PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA
A. Pendahuluan
Pertanggungjawaban negara merujuk kepada kewajiban negara karena
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam hukum internasional dan
menyebabkan kerugian negara lain. Semua sistem hukum di negara-negara dunia
mengenal prinsip pertanggungjawaban bagi subjek hukum yang tidak mematuhi
ketentuan yang ada. Daalm kasus Spanish
Zones of Morroco Claim (1925) 2 RIAA 615, ditegaskan bahwa konsep
pertanggungjawaban negara ialah: “
Responsibility is the necessary corollary of a right. All rights of an
international character involve international liability. If the obligation is
not met, responsibility entails the duty to make raparations”.
Komisi Hukum Internasional (The International Law Commission) dalam
draft Pasal-Pasal untuk Pertanggungjawaban Negara telah merumuskan beberapa hal
penting (sebagaimana tercantum dalam Yearbook of the ILC, 1979, II, hal 90). Perbedaan antara Pertanggungjawaban Kriminal dan Perdata
Dalam hukum internasional pertanggungjawaban negara untuk kasus-kasus pidana secara umum lebih tidak jelas dibandingkan dalam kasus-kasus perdata.
Dalam hukum internasional pertanggungjawaban negara untuk kasus-kasus pidana secara umum lebih tidak jelas dibandingkan dalam kasus-kasus perdata.
B.
Pertanggungjawaban Perdata
Semua pelanggaran terhadap hukum internasional, termasuk diantaranya
adalah pelanggaran kontrak, bisa dianggap baik sebagai delik internasional
ataupun perbuatan melawan hukum internasional. Namun yang harus disadari ada
perbedaan antara kejahatan-kejahatan yang disebut sebagai kejahatan
internasional dan tindakan pidana yang memiliki unsur internasional. Dalam
draft Pasal 19 (4) yang dibuat oleh ILC ditegaskan bahwa “any international wrongful act which is not an international
crime...constitutes an international delict”. Dengan kata lain, setiap
tindakan atau kelalaian yang dilarang oleh hukum internasional merupakan delik
internasional sepanjang tidak disebut sebagai kejahatan internasional.
C.
Pertanggung Jawaban Pidana
1) Pasal 19 (2) dari draft ILC menyebutkan bahwa: “An international wrongful act which results from the breach by a state
of an international obligation so essential for the protection of fundamental
interests of the international community that its breach is recognized as a
crime by that community as a whole...” Empat kategori kejahatan
internasional adalah:
Kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan, seperti larangan untuk melakukan tindakan agresi.
Kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan, seperti larangan untuk melakukan tindakan agresi.
2) Kejahatan yang bertentangan dengan prinsip mendasar seperti hak untuk
menentukan nasib sendiri, seperti ketentuan yang mendorong terjadinya dominasi colonial.
3) Kejahatan serius terhadap kewajiban internasional yang sudah diakui
secara mendunia sebagai langkah minimum untuk melindungi harkat dan martabat
manusia seperti pelarangan terhadap perbudakan, pembantaian masal dan
apartheid.
4) Kejahatan serius terhadap perlindungan mendasar bagi pengamanan dan
pelestarian lingkungan hidup seperti larangan untuk mencemari lingkungan secara
massal dan mencemari lautan .
Meski demikian sebenarnya, masih banyak kejahatan lain yang bisa
dikategorikan sebagai kejahatan yang bersifat internasional dan belum
ditetapkan sebagai kejahatan internasional membuat suatu negara harus
mempertanggungjawabkan tindakannya. Namun, banyak hal yang masih kontroversial
untuk kasus pidana.
Imputability (Kekebalan)
Untuk bisa meminta pertanggungjawaban inetrnasional dari suatu negara
terhadap tindakan atau pembiaran yang dilakukan harus bisa ditunjukkan bahwa
kegiatan tersebut dilakukan oleh lembaga-lembaga negara, badan dan perwakilan
yang dapat dikaitkan dengan negara tersebut. Tindakan/kegiatan tersebut antara
lain:
1) Tindakan yang dilakukan oleh eksekutif, legislatif dan yudikatif sebagai
pilar utama pemerintahan.
2) Segala tindakan yang dilakukan oleh pemerintahan lokal dan dinas-dinas
yang ada di wilayahnya masing-masing.
3) Segala tindakan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan atau agen-agen
pemerintahan lainnya sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.
Sebuah tindakan yang sah menurut hukum nasional tetapi bertentangan
dengan hukum internasional tetap bisa membuat negara tersebut dimintai
pertanggungjawaban secara internasional. Lihat kasus Polish Upper Silesia Case
(1926) PCIJ Reports, Series A, No 7
1) Negara harus bertanggungjawab terhadap tindakan yang dilakukan
aparatnya, serendah apapun jabatan dari aparat tersebut (Draft Pasal 6) Lihat
pula Masey Case (1927) 4 RIAA 15
2) Negara juga bertanggungjawab
terhadap tindakan individu atau kelompok yang bisa membuktikan bahwa
tindakannya tersebut dilakukan atas nama negara atau sedang melakukan
kewenangan negara tanpa ada tindakan negara untuk mencegahnya
3) Negara bertanggungjawab terhadap tindakan aparatnya sekalipun tindakan
itu adalah tindakan ultra vires dari kewenangannya. Lihat Youman Claims (1926)
4 RIAA 110
4) Negara tidak harus
bertanggungjawab terhadap tindakan perwakilan negara asing ataupun organisasi
internasional yang sedang bertugas di wilayahnya. (Draft Pasal 12 dan 13)
5) Negara tidak bertanggungjawab terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh kelompok-kelompok revolusioner (Draft Pasal 14). Lihat pula Sambaggio
Claim (1903) 10 RIAA 499
6) Negara tidak bertanggungjawab terhadap tindakan individu atau kelompok
yang bertindak tidak atas nama negara
c. Dasar Pertanggungjawaban
1) Objective Responsibility
Pertanggungjawaban mutlak dan langsung dilakukan terhadap negara yang
melakukan delik internasional. Dalam hal ini tidak lagi diperlukan adanya bukti
dari kesalahan atau itikad buruk dari aparat atau pelakunya. Lihat Claire Claim
(1929) 5 RIAA 516 “ the doctrine of objective responsibility of the state, that
is to say, a responsibility for those acts committed by its officials or its
organs...despite the absence of fault on their part...”
2) Subjective Responsibility
Teori ini menuntut perlunya sebuah kesalahan agar suatu negara dapat
dimintai pertanggungjawaban secara internasional. Lihat Home Missionary Society
Claim (1920) 6 RIAA 42
d.
Alasan Pemaaf dan Alasan Pembenar
Alasan Pemaaf:
1. Tindakan tersebut dilakukan karena ada paksaan dari negara lain
2. Tindakan tersebut adalah tindakan balasan yang dapat diterima dalam
hukum internasional
3. Ada force majeure (keadaan
darurat)
Alasan
Pembenar:
1. Tindakan itu dilakukan sebagai satu-satunya tindakan yang mungkin
dilakukan untuk melindungi kepentingan utama negara tersebut dan tidak ada
negara lain yang dirugikan atas tindakan tersebut.
2. Tindakan tersebut dilakukan dalam rangka mempertahankan diri
e.
Reparations (Perbaikan)
Setiap
pelanggaran yang dilakukan negara terhadap hukum internasional akan memunculkan
suatu kewajiban untuk melakukan perbaikan (reparations). Dalam Chorzow Factory
Case (Indemnity) (Merits) (1928) PCIJ Reports Series A, No 17, disebutkan bahwa
“Reparation should be made through
restitution in kind” Dalam British Petroleum v Libya (1974) 53 ILR 297
disebutkan bahwa “...his sole remedy is
an action for damages...”
Sementara itu dalam Norwegian Shipowners Claim (1922) 1 RIAA 307
disebutkan “Just Compensation implies a
complete restitution of the status quo ante, based not upon future gains but
upon the loss of profits of the Norwegian owners as compares with owners of
similar property”
f. Nationality of Claims (Kewarganegaraan Penuntut)
Agar suatu negara dapat melakukan tuntutan terhdap negara lain terhadap
pelanggaran ketentuan hukum internasional yang dilanggar, maka harus bisa
dibuktikan bahwa pelanggaran yang dilakukan telah menimbulkan kerugian bagi
negara tersebut. Lihat Panevezys-Saldutiskis Railway Case (1939) PCIJ Reports,
Series A/B, No 76.
a. Menentukan kewarganegaraan Individu
memiliki kebebasan untuk menentukan siapa
sajakah yang bisa mendapatkan kewarganegaraan dari negara tersebut. Dua prinsip
utama dalam hal ini adalah:
Ius Sanguinis: kewarganegaraan berdasarkan keturunan/ garis darah;
Ius Soli: kewarganegaraan yang didasarkan kepada tanah kelahiran; disamping itu masih dimungkinkan melalui Naturalisasi: mengajukan diri untuk menjadi warga dari negara tertentu sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh negara tersebut Namun ada kalanya muncul situasi yang membuat seseorang memiliki dua kewarganegaraan (dual nationality) atau sebaliknya tidak memiliki kewarganegaraan (stateless). Dalam Nottebohm Case (1955) ICJ Reports, hal 4, Mahkamah mengatakan bahwa perlu ditemukan adanya genuine link agar bisa menentukan kewarganegaraan dari orang-orang yang bermasalah tersebut.
Ius Sanguinis: kewarganegaraan berdasarkan keturunan/ garis darah;
Ius Soli: kewarganegaraan yang didasarkan kepada tanah kelahiran; disamping itu masih dimungkinkan melalui Naturalisasi: mengajukan diri untuk menjadi warga dari negara tertentu sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh negara tersebut Namun ada kalanya muncul situasi yang membuat seseorang memiliki dua kewarganegaraan (dual nationality) atau sebaliknya tidak memiliki kewarganegaraan (stateless). Dalam Nottebohm Case (1955) ICJ Reports, hal 4, Mahkamah mengatakan bahwa perlu ditemukan adanya genuine link agar bisa menentukan kewarganegaraan dari orang-orang yang bermasalah tersebut.
Perusahaan
Dalam Barcelona Traction, Light and Power Co Case (1970) ICJ Reports, hal 3 mengatakan bahwa suatu perusahaan memiliki “status hukum nasional tertentu di bawah negara di mana perusahaan tersebut didaftarkan”
Dalam Barcelona Traction, Light and Power Co Case (1970) ICJ Reports, hal 3 mengatakan bahwa suatu perusahaan memiliki “status hukum nasional tertentu di bawah negara di mana perusahaan tersebut didaftarkan”
Kapal Laut
Sesuai
dengan The Geneva Convention on the High Seas 1958, Pasal 5, Kapal memiliki
nasionalitasnya sesuai dengan bendera kapal yang terpasang. Hal ini dipertegas
dalam Pasal 91 the UN Convention on the Law of the Sea 1982. Dalam hal ini
perlu ditambahkan pula perlunya genuine
link antara kapal tersebut dan negara bendera kapal jika terjadi
keragu-raguan akan status kapal tersebut.
Kapal Udara
Pasal
17 dari the Chicago Convention on International Civil Aviation 1944 ditegaskan
bahwa pesawat udara memiliki nasionalitas dimana pesawat udara tersebut
didaftarkan dan dengan demikian memiliki bendera pesawat.
b. Exhaustion of Local remedies
Dalam
upaya untuk menekan jumlah kasus tuntutan internasional, maka sebelum bisa
berperkara di level internasional, ada persyaratan untuk sudah mencoba
melakukan semua cara dalam level nasional masing-masing.
Kasus-kasus yang relevan
•
Chorzow Factory Case (Indemnity) (merits) (1928) PCIJ Reports, Series A no 17:
Sah dan Tidaknya suatu expropriation
•
Barcelona Traction, Light and Power Co Case (1970) ICJ Reports, hal 3: Nasionalitas
perusahaan
•
Nottebohm Case (1955) ICJ Reports, hal 4: Kewarganegaraan dan Genuine link
individual
•
Texaco v Libya (1977) 53 ILR 389: Ketentuan tentang reparations
• Interhandel Case (1959) ICJ Reports, hal 6: Pentingnya menghabiskan dulu cara-cara penuntutan dalam level nasional
• Interhandel Case (1959) ICJ Reports, hal 6: Pentingnya menghabiskan dulu cara-cara penuntutan dalam level nasional
BAB VII
PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL
A.
PENDAHULUAN
Penyelesaian Sengketa Internasional
|
Pilihan
|
Kekerasan
|
Damai
|
POLITIK
|
HUKUM
(Yurisdiksional
|
Ditinjau dari konteks hukum internasional publik,
sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan
salah satu subjek hukum
internasional mengenai sebuah
fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain atau adanya
ketidaksepakatan mengenai masalah hukum atau fakta-fakta atau konflik mengenai
penafsiran atau kepentingan antara 2 bangsa yang berbeda.
Kedamaian dan keamanan internasional
hanya dapat diwujudkan apabila tidak ada kekerasan yang
digunakan dalam menyelesaikan sengketa, yang ditegaskan dalam pasal 2 ayat (4)
Piagam. Penyelesaian sengketa secara damai ini, kemudian dijelaskan lebih
lanjut dalam pasal 33 Piagam yang mencantumkan beberapa cara damai dalam
menyelesaikan sengketa, diantaranya:
a. Negosiasi;
b. Enquiry atau penyelidikan;
c. Mediasi;
d. Konsiliasi
e. Arbitrase
f. Judicial Settlement atau Pengadilan;
g. Organisasi-organisasi atau Badan-badan Regional.
b. Enquiry atau penyelidikan;
c. Mediasi;
d. Konsiliasi
e. Arbitrase
f. Judicial Settlement atau Pengadilan;
g. Organisasi-organisasi atau Badan-badan Regional.
Dari tujuh penyelesaian sengketa yang tercantum dalam
Piagam, dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu
penyelesaian sengketa secara hukum dan secara politik/diplomatik. Yang termasuk
ke dalam penyelesaian sengketa secara hukum adalah arbitrase dan judicial settlement ( melalui
Pengadilan) . Sedangkan yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa
secara diplomatik adalah negosiasi; enquiry; mediasi; dan konsiliasi. Hukum
internasional publik juga mengenal good
offices atau jasa-jasa baik yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa
secara diplomatik/ Politik. Pada dasarnya, tidak ada tata urutan yang mutlak mengenai
penyelesaian sengketa secara damai. Para pihak dalam sengketa internasional
dapat saja menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka melalui prosedur hukum ke badan
peradilan internasional seperti International Court of Justice (ICJ/Mahkamah
Internasional), tanpa harus melalui mekanisme negosiasi, mediasi, ataupun cara
diplomatik lainnya.
PBB tidak memaksakan prosedur apapun kepada negara
anggotanya. Dengan kebebasan dalam memilih prosedur penyelesaian sengketa,
negara-negara biasanya memilih untuk memberikan
prioritas pada prosedur penyelesaian secara politik/diplomatik, daripada
mekanisme arbitrase atau badan peradilan tertentu, karena penyelesaian secara
politik/diplomatik akan lebih melindungi kedaulatan mereka.
Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai
adalah:
1. Prinsip itikad baik (good faith);
2. Prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa;
3. Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa;
4. Prinsip kebebasan memilih hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa;
5. Prinsip kesepakatan para pihak yang bersengketa (konsensus);
6. Prinsip penggunaan terlebih dahulu hukum nasional negara untuk menyelesaikan suatu sengketa prinsip exhaustion of local remedies);
7. Prinsip-prinsip hukum internasional tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah negara-negara.
1. Prinsip itikad baik (good faith);
2. Prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa;
3. Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa;
4. Prinsip kebebasan memilih hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa;
5. Prinsip kesepakatan para pihak yang bersengketa (konsensus);
6. Prinsip penggunaan terlebih dahulu hukum nasional negara untuk menyelesaikan suatu sengketa prinsip exhaustion of local remedies);
7. Prinsip-prinsip hukum internasional tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah negara-negara.
Disamping ketujuh prinsip di atas, Office of the Legal
Affairs PBB memuat prinsip-prinsip lain yang bersifat tambahan, yaitu:
1. Prinsip larangan intervensi baik terhadap masalah dalam atau luar negeri para pihak;
2. Prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri;
3. Prinsip persamaan kedaulatan negara-negara;
4. Prinsip kemerdekaan dan hukum internasional.
1. Prinsip larangan intervensi baik terhadap masalah dalam atau luar negeri para pihak;
2. Prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri;
3. Prinsip persamaan kedaulatan negara-negara;
4. Prinsip kemerdekaan dan hukum internasional.
Penyelesaian
Sengketa secara Politik
Seperti yang telah dijelaskan di
atas, yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah
negosiasi; enquiry atau penyelidikan; mediasi; konsiliasi; dan good offices
atau jasa-jasa baik. Kelima metode tersebut memiliki ciri khas, kelebihan, dan
kekurangan masing-masing.
b) Negosiasi
Negosiasi
adalah perundingan yang dilakukan secara langsung antara para pihak dengan
tujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui dialog tanpa melibatkan pihak
ketiga. Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan
paling tuas digunakan oleh umat manusia. Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB
menempatkan negosiasi sebagai cara pertama dalam menyelesaikan sengketa.
Perundingan merupakan pertukaran
pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu
persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
Segi positif/kelebihan dari negosiasi adalah:
Segi positif/kelebihan dari negosiasi adalah:
1. Para
pihak sendiri yang menyelesaikan kasus dengan pihak lainnya;
2. Para
pihak memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana cara penyelesaian melalui negosiasi
dilakukan menurut kesepakatan bersama;
3. Para
pihak mengawasi atau memantau secara langsung prosedur penyelesaian;
4. Negosiasi
menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri.
Segi negatif/kelemahan dari
negosiasi adalah:
1. Negosiasi tidak pernah akan tercapai
apabila salah satu pihak berpendirian keras;
2. Negosiasi menutup kemungkinan keikutsertaan pihak
ketiga, artinya kalau salah satu pihak berkedudukan
lemah tidak ada pihak yang membantu.
Penyelesaian sengketa ini dilakukan
secara langsung oleh para pihak yang bersengketa melalui dialog
tanpa ada keikutsertaan dari pihak ketiga. Dalam pelaksanaannya, negosiasi
memiliki dua bentuk utama, yaitu bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat
dilangsungkan melalui saluran diplomatik pada konferensi internasional atau
dalam suatu lembaga atau organisasi internasional.
Negosiasi merupakan cara
penyelesaian sengketa secara damai yang cukup lama dipakai. Sampai pada
permulaan abad ke-20, negosiasi menjadi satu-satunya cara yang dipakai dalam
penyelesaian sengketa. Sampai saat ini cara penyelesaian melalui negosiasi
biasanya adalah cara yang pertama kali ditempuh oleh para pihak yang
bersengketa. Penyelesaian sengketa ini dilakukan secara langsung oleh para
pihak yang bersengketa melalui dialog tanpa ada keikutsertaan dari pihak
ketiga. Dalam pelaksanaannya, negosiasi memiliki dua bentuk utama, yaitu
bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran
diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau
organisasi internasional.
Dalam praktek negosiasi, ada dua bentuk prosedur yang dibedakan. Yang pertama adalah negosiasi ketika sengketa belum muncul, lebih dikenal dengan konsultasi. Dan yang kedua adalah negosiasi ketika sengketa telah lahir.
Dalam praktek negosiasi, ada dua bentuk prosedur yang dibedakan. Yang pertama adalah negosiasi ketika sengketa belum muncul, lebih dikenal dengan konsultasi. Dan yang kedua adalah negosiasi ketika sengketa telah lahir.
Keuntungan yang diperoleh ketika
negara yang bersengketa menggunakan mekanisme negosiasi, antara lain :
1) Para
pihak memiliki kebebasan untuk menentukan penyelesaian sesuai dengan
kesepakatan diantara mereka
2) Para
pihak mengawasi dan memantau secara langsung prosedur penyelesaiannya
3) Dapat
menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri.
4) Para
pihak mencari penyelesaian yang bersifat win-win solution, sehingga dapat
diterima dan memuaskan kedua belah pihak
b) Enquiry atau Penyelidikan
J.G.Merrills
menyatakan bahwa salah satu penyebab munculnya sengketa antar negara adalah
karena adanya ketidaksepakatan para pihak mengenai fakta. Untuk menyelesaikan
sengketa ini, akan bergantung pada penguraian fakta-fakta para pihak yang tidak
disepakati. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, para pihak kemudian
membentuk sebuah badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta yang terjadi
di lapangan. Fakta-fakta yang ditemukan ini kemudian dilaporakan kepada para
pihak, sehingga para pihak dapat menyelesaikan sengketa diantara mereka.
Dalam beberapa kasus, badan yang
bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta dalam sengketa internasional dibuat oleh
PBB. Namun dalam konteks ini, enquiry yang dimaksud adalah sebuah badan yang
dibentuk oleh negara yang bersengketa. Enquiry telah dikenal sebagai salah satu
cara untuk menyelesaikan sengketa internasional semenjak lahirnya The Hague
Convention pada tahun 1899, yang kemudian diteruskan pada tahun 1907.
c. Mediasi
Melibatkan pihak
ketiga (third party) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pihak
ketiga dapat berupa individu atau kelompok (individual or group), negara atau
kelompok negara atau organisasi internasional. Dalam
mediasi, negara ketiga bukan hanya sekedar mengusahakan agar para pihak yang
bersengketa saling bertemu, tetapi juga mengusahakan dasar-dasar perundingan
dan ikut aktif dalam perundingan, contoh: mediasi yang dilakukan oleh Komisi
Tiga Negara (Australia, Amerika, Belgia) yang dibentuk oleh PBB pada bulan
Agustus 1947 untuk mencari penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Belanda
dan juga mediasi yang dilakukan oleh Presiden Jimmy Carter untuk mencari
penyelesaian sengketa antara Israel dan Mesir hingga menghasilkan Perjanjian
Camp David 1979.
Dengan demikian,
dalam mediasi pihak ketiga terlibat secara aktif (more active and actually takes
part in the negotiation). Mediasi biasanya dilakukan oleh pihak ketiga ketika pihak
yang bersengketa tidak menemukan jalan keluar dalam penyelesaian suatu
masalah.Maka pihak ketiga merupakan salah satu jalan keluar dari jalan buntu
perundingan yang telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh
kedua belah pihak. Seorang mediator harus netral (tidak memihak salah satu
pihak yang bersengketa) dan independen. Dalam menjalankan tugasnya, mediator tidak
terikat pada suatu hukum acara tertentu dan tidak dibatasi pada hukum yang ada.
Mediator dapat menggunakan asas ex aequo et bono untuk menyelesaikan sengketa
yang ada.
Ketika
negara-negara yang menjadi para pihak dalam suatu sengketa internasional tidak
dapat menemukan pemecahan masalahnya melalui negosiasi, intervensi yang
dilakukan oleh pihak ketiga adalah sebuah cara yang mungkin untuk keluar dari
jalan buntu perundingan yang telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat
diterima oleh kedua belah pihak. Pihak ketiga yang melaksanakan mediasi ini
tentu saja harus bersifat netral dan independen. Sehingga dapat memberikan
saran yang tidak memihak salah satu negara pihak sengketa.
Intervensi yang
dilakukan oleh pihak ketiga ini dapat dilakukan dalam beberapa bentuk.
Misalnya, pihak ketiga memberikan saran kepada kedua belah pihak untuk
melakukan negosiasi ulang, atau bisa saja pihak ketiga hanya menyediakan jalur
komunikasi tambahan. Pelaksanaan mediasi dalam penyelesaian sengketa
internasional diatur dalam beberapa perjanjian internasional, antara lain The
Hague Convention 1907; UN Charter; The European Convention for the Peaceful
Settlement of Disputes.
d.Konsiliasi
Sama seperti
mediasi, penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi menggunakan intervensi
pihak ketiga. Pihak ketiga yang melakukan intervensi ini biasanya adalah
negara, namun bisa juga sebuah komisi yang dibentuk oleh para pihak. Komisi
konsiliasi yang dibentuk oleh para pihak dapat saja terlembaga atau bersifat ad
hoc, yang kemudian memberikan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para
pihak. Namun keputusan yang diberikan oleh komisi konsiliasi ini tidak mengikat
para pihak. Proses penyelesaian sengketa melalui konsiliasi mempunyai
kemiripan dengan mediasi. Pembedaan yang dapat diketahui dari kedua cara ini
adalah konsiliasi memiliki hukum acara yang lebih formal jika dibandingkan
dengan mediasi. Karena dalam konsiliasi ada beberapa tahap yang biasanya harus
dilalui, yaitu penyerahan sengketa kepada komisi konsiliasi, kemudian komisi
akan mendengarkan keterangan lisan para pihak, dan berdasarkan fakta-fakta yang
diberikan oleh para pihak secara lisan tersebut komisi konsiliasi akan
menyerahkan laporan kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan
penyelesaian sengketa.
Konsiliasi
merupakan suatu cara penyelesaian sengketa oleh suatu organ yang dibentuk
sebelumnya atau dibentuk kemudian atas kesepakatan para pihak yang bersengketa.
Organ yang dibentuk tersebut mengajukan usul-usul penyelesaian kepada para
pihak yang bersengketa (to the ascertain the facts and suggesting possible
solution). Rekomendasi yang diberikan oleh organ tersebut tidak bersifat
mengikat (the recommendation of the commission is not binding). Contoh
dari konsiliasi adalah pada sengketa antara Thailand dan Perancis, kedua belah
pihak sepakat untuk membentuk Komisi Konsiliasi. Dalam kasus ini Thailand
selalu menuntut sebagian dari wilayah Laos dan Kamboja yang terletak di bagian
Timur tapal batasnya. Karena waktu itu Laos dan Kamboja adalah protektorat Perancis
maka sengketa ini menyangkut antara Thailand dan Perancis.
e) Good Offices atau
Jasa-jasa Baik
Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui
bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga berupaya agar para pihak yang bersengketa
menyelesaikan sengketanya dengan negosiasi. Menurut pendapat Bindschedler, yang
dikutip oleh Huala Adolf, jasa baik dapat didefinisikan sebagai berikut: the
involvement of one or more States or an international organization in a dispute
between states with the aim of settling it or contributing to its settlement.
Pada pelaksanaan di lapangan, jasa baik dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu jasa baik teknis (technical good offices), dan jasa baik politis (political good offices).
Pada pelaksanaan di lapangan, jasa baik dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu jasa baik teknis (technical good offices), dan jasa baik politis (political good offices).
Jasa baik teknis adalah jasa baik oleh negara atau
organisasi internasional dengan cara mengundang para pihak yang bersengketa
ikut serta dalam konferensi atau menyelenggarakan konferensi. Tujuan dari jasa
baik teknis ini adalah mengembalikan atau memelihara hubungan atau kontak
langsung di antara para pihak yang bersengketa setelah hubungan diplomatik
mereka terputus. Sedangkan jasa baik politis adalah jasa baik yang dilakukan
oleh negara atau organisasi internasional yang berupaya menciptakan suatu perdamaian
atau menghentikan suatu peperangan yang diikuti dengan diadakannya negosiasi
atau suatu kompetensi.
PENYELESAIAN
SENGKETA SECARA HUKUM
Judicial
Settlement / Putusan
Pengadilan Melalui Mahkamah Internasional
Mahkamah Internasional (International
Court of Justice/ ICJ) adalah organ yuridis dari Perserikatan Bangsa
Bangsa. Kedudukan Mahkamah berada di
Istana Perdamaian (Peace Palace) di
kota Den Haag, Belanda. Mahkamah ini sejak tahun 1946 telah menggantikan posisi
dari Mahkamah Permanen untuk Keadilan Internasional (Permanent Court of International Justice) yang sudah beroperasi
sejak tahun 1922. Statuta Mahkamah Internasional menjadi bagian yang tak
terpisahkan dengan Piagam PBB.
a. Fungsi Mahkamah
ICJ memiliki dua peranan yaitu untuk menyelesaikan sengketa menurut
hukum internasional atas perkara yang diajukan ke mereka oleh negara-negara dan
memberikan nasehat serta pendapat hukum terhadap pertanyaan yang diberikan oleh
organisasi-organisasi internasional dan agen-agen khususnya.
b.
Komposisi
Mahkamah terdiri dari 15 orang hakim yang dipilih untuk masa tugas 9
tahun oleh Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan. Pemilihan dilakukan setiap tiga
tahun sekali untuk menggantikan sepertiga kursi yang ada. Hakim yang ada dapat
dipilih kembali. Keanggotaan hakim tidak merupakan perwakilan dari
negara-negaranya melainkan sesuai dengan kapasitas pribadi mereka. Sekalipun
demikian, peta geopolitik yang ada pada saat pemilihan sangat mempengaruhi
variasi kewarganegaraan sang hakim. Tidak mungkin ada dua hakim yang berasal
dari satu negara yang sama. Jika dalam suatu perkara antar dua negara atau
lebih, ada salah satu negara yang tidak memiliki warga negaranya sebagai hakim
sementara “lawan”nya memiliki warga negaranya menjadi hakim dalam Mahkamah,
maka negara tersebut berhak mengajukan warga negaranya sebagai hakim ad hoc
untuk mengadili perkara tersebut.
c.
Penanganan Perkara
Hanya negaralah yang bisa berperkara di
Mahkamah. Semua anggota PBB secara ipso facto adalah anggota Mahkamah
Internasional yang karena satu dan lain hal dapat menyatakan diri tunduk kepada
kewenangan Mahkamah untuk memutuskan sengketa diantara mereka.
Mahkamah hanya punya kewenangan untuk mengadili perkara jika negara menyatakan pengakuannya atas kewenangan mahkamah melalui:
Mahkamah hanya punya kewenangan untuk mengadili perkara jika negara menyatakan pengakuannya atas kewenangan mahkamah melalui:
1. Perjanjian
khusus di antara para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perkaranya
melalui Mahkamah (Special Agreement)
2. Pernyataan
yang secara nyata tertera dalam sebuah perjanjian. Misalnya, ketika suatu
negara menyatakan diri terikat ke dalam sebuah konvensi yang di dalamnya secara
tegas menunjukkan bahwa setiap sengketa yang muncul karena ketentuan-ketentuan
dalam konvensi itu akan diselesaikan melalui Mahkamah Internasional. Ada banyak
konvensi internasional yang ada saat ini mencantumkan pasal semacam itu.
3. Adanya
dampak dari asas timbal balik (reciprocal effect) dari pernyataan negara untuk
tunduk kepada kewenangan mahkamah jika muncul sengketa atas peristiwa hukum
tertentu yang sama dengan pernyataan sejenis dari negara lain yang kebetulan
bersengketa dengan negaar tersebut atas peristiwa hukum tersebut. Jika terjadi keragu-raguan apakah Mahkamah
memiliki kewenangan terhadap penanganan suatu perkara yang diajukan kepadanya,
maka Mahkamah punya kebebasan untuk menentukan apakah akan menangani perkara
itu atau tidak.
d.
Tata Cara Penyelesaian Sengketa
Ada dua tahap dalam menangani perkara yang
diajukan ke Mahkamah. Pertama adalah pengajuan secara tertulis segala
argumentasi dari masing-masing pihak disertai dengan bukti-bukti tertulis
lainnya. Kemudian para pihak akan saling menyampaikan gagasannya secara lisan
melalui rangkaian persidangan melalui agen dan penasehat hukum mereka
masing-masing.
Mahkamah menggunakan dua bahasa resmi yaitu Inggris dan Perancis
sehingga setiap keterangan baik lisan maupun tulisan selalu akan diterjemahkan
ke dalam dua bahasa tersebut. Sesudah keterangannya dibaca dan didengar hakim akan bersidang secara tertutup dan setelah sampai kepada keputusan baru diumumkan secara
terbuka. Keputusan yang diambil adalah final dan tidak ada peradilan banding
atasnya. Jika ada pihak yang “kalah” dalam peradilan tidak mau melakukan
kewajibannya sesuai dengan keputusan Mahkamah, maka pihak yang lain bisa
mnegajukan perkara tersebut ke Dewan Keamanan. Mahkamah secara umum akan
bersidang dengan jumlah hakim yang lengkap (full court), minimal 9 orang hakim
hadir dari 15 hakim yang ada. Namun jika dikehendaki oleh para pihak dapat
dilakukan pemeriksaan dengan jumlah hakim yang terbatas (Chamber)
e. Sumber Hukum
Sumber hukum yang dipakai oleh Mahkamah tanpa melihat hirarkinya adalah
perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum
umum dan sumber tambahan adalah keterangan para ahli, ajaran dan doktrin serta
keputusan pengadilan
f.
Nasehat dan Pendapat Hukum
Hanya organisasi internasional yang bisa
mengajukan permintaan kepada Mahkamah untuk memberikan pendapat yang akan
berfungsi sebagai nasehat bagi organisasi internasional tersebut dalam memahami
atau menjelaskan sebuah perkara hukum. Dalam upaya memberikan nasehat tersebut,
Mahkamah bisa mencari penjelasan dari
negara atau organisasi internasional manapun dengan memberikan kebebasan bagi
negara-negara ataupun organisasi-organisasi internasional untuk memebrikan
informasi atau keterangan baik tertulis ataupun lisan kepada Mahkamah. Setelah
mendengar keterangan dan informasi dari berbagai pihak barulah Mahkamah
menuliskan nasehat dan pendapat hukumnya atas pertanyaan yang diajukan kepada
mereka. Mengingat pendapat mereka dalam kasus ini adalah berupa nasehat maka
tidak ada kewajiban bagi pihak yang meminta untuk tunduk dan terikat pada
nasehat tersebut. Namun, dengan tambahan tata cara lain seperti dijanjikan
terlebih dahulu oleh para pihak yang meminta, nasehat dari Mahkamah bisa saja
ditetapkan untuk mengikat.
Contoh Kasus-kasus yang Pernah disidangkan
ü Application of the Convention on the Prevention and Punishment of the
Crime of Genocide (Bosnia and Herzegovina v. Serbia and Montenegro)
ü Gabčíkovo-Nagymaros Project
(Hungary/Slovakia)
ü Sipadan and Ligitan Case ( Malaysia Vs Indonesia)
ü Application of the Convention on the Prevention and Punishment of the
Crime of Genocide (Croatia v. Serbia and Montenegro)
ü Maritime Delimitation between Nicaragua and Honduras in the Caribbean
Sea (Nicaragua v. Honduras)
ü Territorial and Maritime Dispute (Nicaragua v. Colombia)
ü Certain Criminal Proceedings in France (Republic of the Congo v. France)
ü Sovereignty over Pedra Branca/Pulau Batu Puteh, Middle Rocks and South
Ledge(Malaysia/Singapore)
ü Maritime Delimitation in the Black Sea (Romania v. Ukraine)
ü Dispute regarding Navigational and Related Rights (Costa Rica v.
Nicaragua)
Perbedaan Penyelesaian Sengketa Secara Politik dan Secara
Hukum
Pada
umumnya Hukum Internasional membedakan sengketa internasional atas
sengketa yang bersifat politik dan
sengketa yang bersifat hukum . sengketa politik adalah sengketa yang
mendasarkan tuntutannya atas pertimbangan non yuridik misalnya atas dasar
kepentingan nasional lainnya. Biasanya penyelesaiannya pun melalui prosedur non
yurisdiksional. Sedangkan sengketa hukum adalah sengketa dimana suatu Negara
mendasarkan tuntutannya atas ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam suatu
perjanjian atau yang telah diakui oleh hukum internasional.
Perbedaan
kedua cara penyelesaian sengketa ini terletak pada tingkat kekuatan mengikat
dari keputusan yang diambilnya. Keputusan yang diambil dalam penyelesaian
sengketa secara poliyik hanya berbentuk usul-usul yang tidak mengikat Negara
yang bersengketa. Usul-usul tersebut tetap mengutamakan kedaulatan Negara yang
bersengketa dan tidak harus didasarkan atas ketentuan-ketentuan hukum.
Konsiderasi-konsiderasi politik dan kepentingan lainya juga dapat menjadi dasar
pertimbangan dalam perumusan keputusan yang diambil. Keputusan-keputusan yang
diambil dalam penyelesaian sengketa secara hukum mempunyai sifat mengikat dan
membatasi kedaulatan Negara-negara yang bersengketa, ini disebabkan karena
keputusan yang diambil hanya didasarkan atas prinsip-prinsip hukum intenasional.
BAB VIII
HUKUM INTERNASIONAL TENTANG HAM
A. Sejarah dan Perkembangan Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia (HAM)
adalah hak yang dimiliki manusia karena dirinya manusia. Konsep HAM membuat
perbedaan status seperti ras, jender, dan agama tidak relevan secara politis
dan hukum dan menuntut adanya perlakuan yang sama tanpa memandang apakah orang
yang bersangkutan memenuhi kewajiban terhadap komunitasnya. Secara konseptual,
ada beberapa teori yang berkenaan dengan HAM, yaitu :
- Teori hak-hak alami (natural rights), yang berpandangan bahwa HAM adalah hak yang dimiliki oleh seluruh manusia pada segala waktu dan tempat.
- Teori positivis (positivist theory), yang berpandangan bahwa hak harus dituliskan dalam hukum yang riil, misalnya melalui konstitusi.
- Teori relativis kultural (cultural relativist theory), teori ini merupakan anti-tesis dari teori hak alami, karena berpandangan bahwa hak yang bersifat universal merupakan pelanggaran terhadap dimensi kultural yang lain, atau dalam kata lain disebut dengan imperialisme kultural.
- Doktrin Marxis (marxist doctrine and human rights), teori ini juga menolak natural rights karena beranggapan bahwa negara atau sifat kolektif yang menjadi sumber segala hak.
Namun demikian, konsepsi
HAM yang berkembang mempunyai hakikat untuk melindungi kepentingan perseorangan
setiap individu. Pada saat ini telah ada beberapa instrumen yuridik untuk
melindungi HAM dalam konteks hukum internasional. Namun sebelum munculnya
instrumen yuridik tersebut, telah terjadi perdebatan mengenai status individu
dalam hukum internasional. Dalam
hukum internasional, paradigma negara-sentris telah mengakar sejak lama.
Sehingga ketika muncul ide untuk membuat perlindungan internasional terhadap
HAM, maka pro-kontra terjadi.
Beberapa pendapat mengatakan
bahwa hukum internasional hanya mengatur hubungan antar negara, sehingga
individu tidak dapat dianggap sebagai subjek hukum internasional. Namun menurut
Prof. George Scelle, hanya individu yang menjadi subjek hukum internasional.
Pendukung terhadap pendapat ini mengatakan bahwa tujuan akhir dari
pengaturan-pengaturan konvensional adalah individu dan oleh karena itu individu
mendapatkan perlindungan internasional.[6] Pendapat lain mengatakan bahwa
negara sebenarnya adalah entitas yang abstrak, dan pada dasarnya negara terdiri
dari individu-individu, sehingga sudah sewajarnya individu dapat dikategorikan
sebagai subjek hukum internasional meskipun hanya dalam hal-hal tertentu.
Hadirnya Pengadilan Nuremberg, yang ditujukan untuk menghukum para pelaku kejahatan
perang selama Perang Dunia II, berhasil menegaskan status individu menjadi subjek
hukum internasional, sehingga secara langsung individu mempunyai hak dan
kewajiban dalam hukum internasional.
Untuk melindungi HAM, instrumen yuridik menjadi sebuah
hal yang sangat diperlukan agar dapat memberikan kepastian hukum dalam
melaksanakan penegakan HAM. Secara historis-empiris, ada beberapa instrumen
yuridik yang muncul untuk melindungi HAM, antara lain :
- Magna Charta 1215, dokumen ini mencatat beberapa hak yang diberikan oleh Raja John dari Inggris kepada beberapa bangsawan bawahannya atas tuntutan mereka. Naskah ini sekaligus membatasi kekuasaan Raja John itu.
- Bill of Rights 1698, undang-undang yang diterima oleh Parlemen Inggris setelah terjadi perlawanan terhadap Raja James II dalam revolusi tidak berdarah yang dikenal dengan The Glorious Revolution of 1688.
- Declaration des droits de l’homme et du citoyen 1789, naskah yang dicetuskan pada permulaan Revolusi Prancis, sebagai perlawanan terhadap rezim yang lama.
- Declaration of Independence, naskah yang disusun oleh rakyat Amerika pada tahun 1789 dan kemudian menjadi bagian dari Konstitusi Amerika pada tahun 1791.
Hak-hak yang dihasilkan
dalam dokumen-dokumen tersebut sangat dipengaruhi o;eh gagasan Hukum Alam, dan
hanya terbatas pada hak-hak yang bersifat politis seperti persamaan hak, hak
atas kebebasan, hak untuk memilih, dan lainnya. Namun instrumen yuridik yang
lahir pada masa pertengahan tersebut menjadi dasar bagi pembentukan instrumen
yuridik perlindungan HAM modern. Salah satu tonggak terwujudnya perlindungan
HAM modern adalah empat hak yang dirumuskan Presiden Amerika Serikat, Franklin
D. Roosevelt, yaitu :
- kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech);
- kebebasan beragama (freedom of religion);
- kebebasan dari ketakutan (freedom from fear);
- kebebasan dari kemelaratan (freedom from want).
Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) menjadi organisasi internasional yang memberi kontribusi besar dalam
pembentukan perlindungan HAM internasional modern. Dokumen yang dihasilkannya,
yaitu Universal Declaration of Human
Rights (UDHR) pada tanggal 10 Desember 1948. Instrumen yang dihasilkan oleh
Majelis Umum PBB ini mengambil dasar pemikiran dari konsepsi HAM yang
dikembangkan oleh kebudayaan Barat, dan tidak ada negara anggota PBB yang
melawan hal ini, meskipun Arab Saudi, Afrika Selatan, dan negara blok Soviet
bersikap abstain.
UDHR mengatur mengenai
hak-hak yang harus dilindungi, yaitu pasal 3-21 mengenai hak-hak sipil dan
politik, pasal 22-27 mengenai hak-hak ekonomi sosial dan kebudayaan. Meski UDHR
mempunyai arti historis penting dan nilai politik yang tinggi, UDHR tidak
mempunyai kekuatan mengikat (not legally binding) kepada negara-negara
anggota PBB. Namun ketentuan-ketentuan dalam UDHR telah banyak dimasukkan
kedalam legislasi nasional masing-masing negara anggota PBB, sehingga
prinsip-prinsip dalam UDHR dapat dianggap sebagai customary international law.
Negara-negara anggota PBB
membutuhkan waktu 18 tahun setelah munculnya UDHR untuk menyepakati cara
memberikan kekuatan hukum pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam UDHR. Pada
mulanya, negara-negara anggota PBB merencanakan untuk membuat instrumen tunggal
yang disebut dengan “International Bill
of Rights”, namun terjadi perubahan sehingga pada tahun 1951 disepakati
untuk membuat dua kovenan internasional. Perubahan kesepakatan dari satu
instrumen tunggal menjadi dua kovenan internasional disebabkan karena
pertentangan yang terjadi antara superpower blocs yang tidak dapat menyepakati apa
saja yang harus dicantumkan dalam sebuah instrumen tunggal.
Negara-negara barat yang menganut
demokrasi-liberal menginginkan penekanan terhadap hak-hak individu yang telah
ada sejak lama (hak sipil dan politik), sedangkan negara-negara Marxis menginginkan
penekanan terhadap hak-hak kelompok atau hak-hak kolektif, terutama yang
bersifat ekonomi dan social. Pada tahun 1966 berhasil dibuat International Convention on Civil and
Political Rights (ICCPR), dan International
Convention on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR). Kedua kovenan
ini mempunyai kekuatan mengikat kepada negara-negara anggota PBB pada tahun
1976, dan mengatur tentang:
1)
ICCPR
(International Convention on Civil and
Political Rights /Konvensi
Internasional tetntang Hak-hak Sipil dan Politik
a.
Hak
untuk hidup
b.
Pelarangan
penyiksaan
c.
Pelarangan
perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan
d.
Pelarangan
perbudakan
e.
Kedudukan
yang sama dalam hokum
f.
Kebebasan
berpikir dan beragama
g.
Kebebasan
berkumpul
h.
Kebebasan
berekspresi
2)
ICESCR (International
Convention on Economic, Social, and Cultural Rights/Konvensi Internasional
tetntang Hak Ekonomi, Sosial dan Politik)
a.
Hak
untuk bekerja Hak untuk mendapatkan lingkungan
kerja yang baik
b.
Hak
untuk bersindikat
c.
Hak
untuk mendapatkan pendidikan
d.
Hak
untuk mendapatkan jaminan sosial
Setelah disepakatinya dua kovenan
internasional tersebut, kemudian muncul instrumen hukum lain yang lahir setelah
ICCPR dan ICESCR yang substansinya mengatur berbagai hal :
- Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide
- Convention relating to the Status of Refugees
- International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination
- Convention on the Elimination of Discrimination against Women
Munculnya
instrumen-instrumen tersebut, ditujukan untuk mencegah terjadinya
pelanggaran-pelanggaran HAM, khususnya pelanggaran HAM berat (gross violation
of human rights). Pada saat ini, pelanggaran HAM berat diadili oleh
International Criminal Court (ICC), yang didirikan berdasarkan Rome Statute
1998. Dalam Statuta tersebut, istilah pelanggaran HAM berat memang tidak
ditemukan. Namun penyebutannya mempunyai padanan yaitu “the most serious
crimes of concern to the international community as a whole”. Pengertian ini mencakup genosida (genocide); kejahatan terhadap kemanusiaan
(crimes against humanity); kejahatan
perang (war crimes); dan agresi (agression)
B. Sejarah dan Perkembangan
Genosida
Istilah genosida pertama
kali dikemukakan oleh Raphael Lemkin pada tahun 1933. Genosida berasal dari
bahasa Yunani γένος atau genos yang artinya keluarga, suku atau ras, dan bahasa
Latin occido yang artinya pembunuhan massal. Munculnya genosida sebagai salah
satu kejahatan, didasarkan pada kejadian pembunuhan massal terhadap orang-orang
Assyria di Irak pada 11 Agustus 1933. Sedangkan pembunuhan massal yang dianggap
sebagai kejadian genosida yang pertama kali di dunia adalah pembantaian
terhadap orang-orang Armenia oleh Turki pada tahun 1915. Lebih dari satu juta orang diperkirakan meninggal
dalam kejadian tersebut. Dalam konteks hukum internasional, genosida pertama
kali digunakan dalam tuntutan terhadap pelaku kejahatan perang di Pengadilan
Nuremberg. Meskipun Piagam Nuremberg tidak menggunakan istilah genosida sebagai
salah satu prinsipnya.
Menurut Convention on the Prevention and Punishment
of the Crime of Genocide (CPPCG), genosida didefinisikan sebagai :
“…any
of the following acts committed with intent to destroy, in whole or in part, a
national, ethnical, racial or religious group, as such:
(a) Killing members of the group;
(b) Causing serious bodily or mental harm to members of the group;
(c) Deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring about its physical destruction in whole or in part;
(d) Imposing measures intended to prevent births within the group;
(e) Forcibly transferring children of the group to another group.”
(a) Killing members of the group;
(b) Causing serious bodily or mental harm to members of the group;
(c) Deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring about its physical destruction in whole or in part;
(d) Imposing measures intended to prevent births within the group;
(e) Forcibly transferring children of the group to another group.”
Menurut
beberapa pakar, pengecualian terhadap kelompok sosial dan politik, telah
membuat definisi terhadap genosida menjadi sempit. Chalk dan Jonassohn
mendefinisikan genosida sebagai :[22]
“…form
of one-sided mass killing in which a state or other authority intends to
destroy a group, as that group and membership in it are defined by the
perpetrator.”
Sedangkan
R.J. Rummel memberikan pengertian terhadap genosida yang lebih luas.
Menurutnya, genosida mempunyai tiga pengertian :
- Pengertian biasa, yaitu pembunuhan oleh pemerintah terhadap orang-orang tertentu karena alasan kebangsaan, etnis, ras, atau keanggotaan dalam agama tertentu;
- Pengertian yuridis, yaitu definisi genosida yang terdapat dalam CPPCG.
- Pengertian umum, yaitu genosida yang memiliki arti mirip dengan pengertian biasa, namun memasukkan pembunuhan berencana oleh pemerintah terhadap oposisi politik.
Beberapa
kejadian selain pembunuhan massal terhadap bangsa Assyria dan Armenia, yang
dapat dianggap sebagai genosida adalah :
- Pembunuhan massal terhadap etnis Kurdi oleh Turki di wilayah Dersim pada tahun 1937-1938;
- Pembunuhan massal terhadap suku Hutu oleh suku Tutsi di Burundi 1972
- Pembunuhan massal oleh Khmer Merah di Kamboja pada pertengahan 1970
- Kebijakan melawan Kurdi yang dikeluarkan oleh Anfal pada tahun 1988.
- Okupasi Indonesia terhadap Timor Timur selama tahun 1975 sampai 1999.
- Pembunuhan massal Sabra dan Shatila yang terjadi pada September 1982, ketika terjadi konflik bersenjata antara milisi Lebanon yang didukung oleh Israel melawan Palestina.
- Invasi Uni Soviet terhadap Afghanistan selama tahun 1979-1989.
Kejadian-kejadian diatas tidak pernah
diproses secara hukum, baik melalui pengadilan nasional ataupun International Court of Justice (ICJ).
Namun dalam perkembangannya, ada beberapa kasus yang kemudian diadili oleh
badan peradilan internasional baik permanen maupun adhoc, yaitu :
- International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR). Pengadilan ad hoc ini didirikan oleh Dewan Keamanan PBB untuk mengadili pelaku pembunuhan massal terhadap suku Tutsi dan Hutu moderat oleh Hutu pada perang saudara di Rwanda. Selama sekitar 100 hari pada tahun 1994, sekitar 937.000 suku Tutsi dan Hutu moderat dibunuh oleh suku Hutu. Sampai sejauh ini ICTR telah menyelesaikan 21 pengadilan dan menjatuhkan tuntutan kepada 28 orang. Pengadilan pertama di ICTR dilangsungkan pada tahun 1997, dengan tertuduh Jean-Paul Akayesu.[26]
- Konflik bersaudara di Darfur (Sudan), yang diadili oleh ICC.
- Perang Saudara di Yugoslavia, yang diadili oleh International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY), dan khusus untuk kejadian Srebrenica Massacre atau yang lebih dikenal dengan Bosnian Genocide sempat menjadi perkara di ICJ pada tahun 2007.
C. Sengketa Internasional antara Bosnia vs. Serbia
A.
Bosnian War
Konflik di
Bosnia-Herzegovina, yang berlangsung selama April 1992 – November 1995, telah
menjadi sebuah “contoh” bentuk pembersihan etnis yang pernah terjadi di
dunia. Konflik ini adalah kejadian
paling brutal yang pernah dialami oleh Eropa semenjak berakhirnya Perang Dunia
II[28] yang melibatkan beberapa pihak, antara lain Bosnia-Herzegovina, Republik
Federal Yugoslavia (yang kemudian dikenal dengan Serbia-Montenegro), dan
Kroasia. Banyak silang pendapat yang terjadi untuk menentukan perang apa yang
terjadi di wilayah Balkan tersebut. Apakah konflik yang terjadi merupakan
perang saudara, atau agresi. Etnis Bosniak dan Croat banyak mengatakan bahwa
perang tersebut adalah agresi yang dilakukan oleh militer Serbia dan Kroasia.
Sedangkan pihak Serbia sendiri menganggap konflik tersebut adalah perang
saudara.
Srebrenica Massacre terjadi
pada Juli 1995. Sekitar 8.000 pria dari etnis Bosniak terbunuh oleh Army of
Republika Sprska (VRS), yang pada saat itu dipimpin oleh Ratko Mladic. 18 orang
yang disangka sebagai pelaku dalam genosida di Srebrenica ini, termasuk Ratko
Mladic dan Radovan Karadzic, diadili oleh ICTY. Sedangkan Bosnia Herzegovina
mengajukan perkara terhadap Serbia-Montenegro di ICJ, untuk meminta
pertanggungjawaban Serbia-Montenegro (state’s responsibility) atas kejadian
genosida yang terjadi di Srebrenica.
C. Bosnia-Herzegovina v. Serbia-Montenegro
Sengketa yang diajukan oleh
Bosnia-Herzegovina atas pembunuhan massal di Srebrenica adalah kasus pertama
yang diterima oleh ICJ yang berkenaan dengan kejadian genosida selama
berdirinya ICJ. Kasus yang masuk ke ICJ ini menjadi sebuah yurisprudensi penting
untuk hukum internasional semenjak pelaksanaan Pengadilan Nuremberg pada tahun
1946. Tuntutan Bosnia-Herzegovina terhadap Serbia-Montenegro menjadi sebuah
pembuktian dari penerapan, kemampuan, dan validitas ICJ dalam menegakkan CPPCG
untuk saat ini dan masa depan. Kasus ini juga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan
baru. Salah satunya, apakah negara dapat diminta pertanggungjawaban dalam kasus
genosida ? Apabila negara memang dapat diminta pertanggungjawaban dalam hal
ini, maka akan muncul kesalahan bersama yang bertentangan dengan konsep
pertanggungjawaban indivudual seperti yang telah dikenal dalam pelanggaran HAM
berat.
Dalam putusannya, ICJ
menetapkan bahwa Serbia tidak melakukan atau berencana melakukan genosida yang
terjadi di Srebrenica, lalu Serbia juga tidak terlibat dalam tindakan genosida
yang terjadi di Srebrenica. Namun ICJ memutuskan bahwa Serbia telah melanggar
kewajiban internasional yang telah tercantum dalam CPPCG, yaitu untuk mencegah
terjadinya genosida di wilayah negaranya. Putusan yang dikeluarkan oleh ICJ
menegaskan bahwa pembunuhan massal yang dilakukan oleh VRS adalah bentuk
genosida. Penegasan ini juga menggagalkan pendapat dari pihak
Bosnia-Herzegovina bahwa genosida tidak hanya terjadi di Srebrenica, namun di
seluruh wilayah Bosnia-Herzegovina.
Pelanggaran terhadap
kewajiban internasional yang dilakukan oleh Serbia bukan hanya terhadap
ketentuan yang telah ditetapkan oleh CPPCG, namun juga dari ketentuan tambahan
yang telah dikeluarkan oleh ICJ pada bulan April dan September 1993. Dalam
ketentuan tersebut, tercantum perintah dari ICJ terhadap Yugoslavia untuk
“melakukan segala tindakan sesuai dengan kewenangannya untuk mencegah
terjadinya genosida dan memastikan bahwa tindakan tersebut tidak dilakukan oleh
kelompok militer ataupun paramiliter yang beroperasi di bawah pemerintahan yang
berwenang.” Hakim ICJ memutuskan bahwa selain melanggar ketentuan tersebut,
Serbia tidak berusaha melakukan apapun untuk mencegah terjadinya genosida di
Srebrenica pada Juli 1995, padahal Serbia seharusnya menyadari bahwa tindakan
yang terjadi di Srebrenica akan menimbulkan genosida. Dalam memberikan putusan
ini, ICJ bersandar pada kasus Nicaragua v. United States yang menyatakan bahwa Amerika Serikat
terbukti tidak bertanggungjawab atas kegiatan yang dilakukan oleh kelompok
gerilyawan, meskipun tindakan mereka (AS) diketahui secara luas oleh publik.
Selanjutnya, beberapa
penegasan yang dilakukan oleh ICJ adalah :
- Berdasarkan bukti yang jelas bahwa pembunuhan yang terjadi secara massif di tempat-tempat tertentu dan kamp-kamp konsentrasi di wilayah Bosnia-Herzegovina dilakukan selama terjadinya konflik (Perang Bosnia).
- Orang-orang yang menjadi bagian dari kelompok yang dilindungi di Srebrenica telah menjadi korban perlakuan yang tidak pantas, pemukulan, pemerkosaan, penyiksaan yang menyebabkan cacat fisik dan mental yang serius, selama berada di kamp konsentrasi.
Pengadilan menerima fakta
bahwa militer Serbia melakukan tindakan-tindakan tersebut, namun belum ada
bukti yang menguatkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Serbia dimaksudkan
untuk menghilangkan sebagian atau seluruh etnis Bosnia.. Presiden ICJ, Rosalyn
Higgins, menyatakan bahwa meskipun terdapat bukti-bukti yang menguatkan
terjadinya kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan di Bosnia, ICJ
tidak memiliki yurisdiksi dalam menentukan apakah kejadian tersebut merupakan
genosida atau tidak, karena kasus ini berkenaan dengan pengertian terhadap
genosida secara hukum yang memiliki pengertian sempit dan tidak dapat
diperluas. ICJ kemudian memutuskan bahwa semenjak Montenegro mendeklarasikan
kemerdekaannya pada Mei 2006, maka Serbia sebagai penerus dari
Serbia-Montenegro, menjadi satu-satunya pihak sebagai tergugat. Namun dalam
kejadian-kejadian yang berlangsung sebelumnya, menjadi tanggung jawab Serbia
dan Montenegro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar