Rabu, 17 Juni 2015

INGGRIT FERNANDES :: RINGKASAN MATA KULIAH HUKUM INTERNASIONAL


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Pengantar (Sejarah perkembngan Hukum Internasional)

       Hukum Internasional sebenarnya sudah sejak lama dikenal eksisitensinya, yaitu pada zaman Romawi Kuno. Orang-orang Romawi Kuno mengenal dua jenis hukum, yaitu Ius Ceville dan Ius Gentium, Ius Ceville adalah hukum nasional yang berlaku bagi masyarakat Romawi, dimanapun mereka berada, sedangkan Ius Gentium adalah hukum yang diterapkan bagi orang asing, yang bukan berkebangsaan Romawi.  Dalam perkembangannya, Ius Gentium berubah menjadi Ius Inter Gentium yang lebih dikenal juga dengan Volkenrecth (Jerman), Droit de Gens (Perancis) dan kemudian juga dikenal sebagai Law of Nations (Inggris). (Kusumaatmadja, 1999 ; 4) Sesungguhnya, hukum internasional modern mulai berkembang pesat pada abad XVI, yaitu sejak ditandatanganinya Perjanjian Westphalia 1648, yang mengakhiri perang 30 tahun (thirty years war) di Eropa.
       Sejak saat itulah, mulai muncul negara-negara yang bercirikan kebangsaan, kewilayahan atau teritorial, kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat. Dalam kondisi semacam  inilah sangat dimungkinkan tumbuh dan berkembangnya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional. (Phartiana, 2003 ; 41) Perkembangan hukum internasional modern ini, juga dipengaruhi oleh karya-karya tokoh kenamaan Eropa, yang terbagi menjadi dua aliran utama, yaitu golongan Naturalis dan golongan Positivis. Menurut golongan Naturalis, prinsip-prinsip hukum dalam semua sistem hukum bukan berasal dari buatan manusia, tetapi berasal dari prinsip-prinsip yang berlaku secara universal, sepanjang masa dan yang dapat ditemui oleh akal sehat. Hukum harus dicari, dan bukan dibuat. Golongan Naturalis mendasarkan prinsip-prinsip atas dasar hukum alam yang bersumber dari ajaran Tuhan. Tokoh terkemuka dari golongan ini adalah Hugo de Groot atau Grotius, Fransisco de Vittoria, Fransisco Suarez dan Alberico Gentillis. (Mauna, 2003 ; 6) Sementara itu, menurut golongan Positivis, hukum yang mengatur hubungan antar negara adalah prinsip-prinsip yang dibuat oleh negara-negara dan atas kemauan mereka sendiri.
       Dasar hukum internasional adalah kesepakatan bersama antara negara-negara yang diwujudkan dalam perjanjian-perjanjian dan kebiasaan-kebiasaan internasional. Seperti yang dinyatakan oleh Jean-Jacques Rousseau dalam bukunya Du Contract Social, La loi c’est l’expression de la Volonte Generale, bahwa hukum adalah pernyataan kehendak bersama. Tokoh lain yang menganut aliran Positivis ini, antara lain Cornelius van Bynkershoek, Prof. Ricard Zouche dan Emerich de Vattel. Pada abad XIX, hukum internasional berkembang dengan cepat, karena adanya factor faktor penunjang, antara lain :
1.    Setelah Kongres Wina 1815, negara-negara Eropa berjanji untuk selalu menggunakan prinsip-prinsip hukum internasional dalam hubungannya satu sama lain.
2.    Banyak dibuatnya perjanjian-perjanjian (law-making treaties) di bidang perang, netralitas, peradilan dan arbitrase.
3.     Berkembangnya perundingan-perundingan multilateral yang juga melahirkan ketentuan-ketentuan hukum baru.

       Di abad XX, hukum internasional mengalami perkembangan yang sangat pesat, karena dipengaruhi faktor-faktor sebagai berikut:
1. Banyaknya negara-negara baru yang lahir sebagai akibat dekolonisasi dan meningkatnya hubungan antar negara.  
2. Kemajuan pesat teknologi dan ilmu pengetahuan yang mengharuskan dibuatnya ketentuan-ketentuan baru yang mengatur kerjasama antar negara di berbagai bidang.
3. Banyaknya perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat, baik bersifat bilateral, regional maupun bersifat global.
4. Bermunculannya organisasi-organisasi internasional, seperti Perserikatan Bangsa

       Bangsa dan berbagai organ subsidernya, serta Badan-badan Khusus dalam kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyiapkan ketentuan-ketentuan baru dalam berbagai bidang. (Mauna, 2003; 7) Hukum Internasional Klasik dimulai sejak 4000 SM sedangkan Hukum InternasionalnModeren   dimulai sejak ratusan tahun yang lalu, ditandai dengan beberapa Hal yaitu:
1.    Kebudayaan India Kuno
Terdapat kaedah dan lembaga hukum yang mengatur hubungan antar kasta, suku-suku bangsa dan raja-raja yang diatur oleh adat kebiasaan. Menurut Bannerjce, adat kebiasaan yang mengatur hubungan antara raja-raja dinamakan Desa Dharma. Pujangga yang terkenal pada saat itu Kautilya atau Chanakya. Penulis buku Artha Sastra Gautamasutra salah satu karya abad VI SM di bidang hukum.
2.    Kebudayaan Yahudi.
Dalam hukum kuno mereka antara lain Kitab Perjanjian Lama, mengenal ketentuan mengenai perjanjian, diperlakukan terhadap orang asing dan cara melakukan perang.   Dalam hukum perang masih dibedakan (dalam hukum perang Yahudi ini) perlakuan terhadap  mereka yang dianggap musuh bebuyutan, sehingga diperbolehkan diadakan penyimpangan ketentuan perang.

3.    Kebudayaan Yunani.
Hidup dalam negara-negara kota. Menurut hukum negara kota penduduk digolongkan dalam 2 golongan yaituorang Yunani dan orang luar yang dianggap sebagai orang biadab (barbar). Masyarakat Yunani sudah mengenal ketentuan mengenai perwasitan (arbitration) dan diplomasi yang tinggi tingkat perkembangannya. Sumbangan yang berharga untuk Hukum Internasional waktu itu ialah konsep hukum alam yaitu hukum yang berlaku secara mutlak dimanapun juga dan yang berasal dari rasio atau akal manusia.
4.    Kebudayaan Romawi
Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antara kerajaan-kerajaan tidak mengalami perkembangan yang pesat pada zaman Romawi.  Karena masyarakat dunia merupakan satu imperium yaitu imperium roma yang menguasai seluruh wilayah dalam lingkungan kebudayaan Romawi.  Sehingga tidak ada tempat bagi kerajaan-kerajaan yang terpisah dan dengan sendirinya tidak ada pula tempat bagi hukum bangsa-bangsa  yang mengatur hubungan antara kerajaan-kerajaan.   Hukum Romawi telah menyumbangkan banyak sekali asas atau konsep yang kemudian diterima dalam hukum Internasional ialah konsep seperti occupatio servitut dan bona fides.  Juga asas “pacta sunt servanda” merupakan warisan kebudayaan Romawi yang berharga.
5.    Abad Pertengahan
    Selama abad pertengahan dunia Barat dikuasai oleh satu sistem feodal yang berpuncak pada kaisar sedangkan  kehidupan gereja berpuncak pada Paus sebagai Kepala Gereja Katolik Roma.  Masyarakat Eropa waktu itu merupakan satu masyarakat Kristen yang terdiri dari beberapa negara yang berdaulat dan Tahta Suci, kemudian sebagai pewaris kebudayaan Romawi dan Yunani. Disamping masyarakat Eropa Barat, pada waktu itu terdapat 2 masyarakat besar lain yang termasuk lingkungan kebudayaan yang berlaianan yaitu Kekaisaran Byzantium dan Dunia Islam. Kekaisaran Byzantium sedang menurun mempraktekan diplomasi untuk mempertahankan supremasinya. Oleh karenanya praktek Diplomasi sebagai sumbangan yang terpenting dalam perkembangan Hukum Internasional dan Dunia Islam terletak di bidang Hukum Perang.
6.    Abad Modern
a.     Perjanjian Perdamaian Wesphalia (1618- 1648)
Perjanjian Westphalia sangat berfungsi sebagai:
1)    Menghakhiri Thirty Yaers War di Eropa
2)     Persoalan anatar negara lepas dari persoalan gereja
3)    Telah didasarkan atas kepentingan nasional
4)    Negara-negara mempunyai persamaan derajat
5)    Timbulnya Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika. (Pemerintahan Demokrasi).


Penyebab terjadinya sejarah Westphalia
Perjanjian Perdamaian Westphalia dianggap sebagai titik saat lahirnya negara-negara nasional yang modern biasanya diambil saat ditandatanganinya Perjanjian Perdamaian yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa. Hukum Internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara, lahir dengan kelahiran masyarakat Interansional yang didasarkan atas negara-negara nasional.
Perdamaian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah Hukum Internasional modern, bahkan dianggap sebagai suatu peristiwa Hukum Internasional modern yang didasarkan atas negara-negara nasional. Sebabnya adalah : Selain mengakhiri perang 30 tahun, Perjanjian Westphalia telah meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik yang telah terjadi karena perang itu di Eropa; perjanjian perdamaian mengakhiri untuk selama-lamanya usaha Kaisar Romawi yang suci; hubungan antara negara-negara dilepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan dan didasarkan atas kepentingan nasional negara itu masing-masing; dan kemerdekaan negara Belanda, Swiss dan negara-negara kecil di Jerman diakui dalam Perjanjian Westphalia.
Perjanjian Westphalia meletakkan dasar bagi susunan masyarakat Internasional yang baru, baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas negara-negara nasional (tidak lagi didasarkan atas kerajaan-kerajaan) maupun mengenai hakekat negara itu dan pemerintahannya yakni pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja. Dasar-dasar yang diletakkan dalam Perjanjian Westphalia diperteguh dalam Perjanjian Utrech yang penting artinya dilihat dari sudut politik Internasional, karena menerima asas keseimbangan kekuatan sebagai asas politik internasional.
Perdamaian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah Hukum Internasional modern, bahkan dianggap sebagai suatu peristiwa Hukum Internasional modern yang didasarkan atas negara-negara nasional. 
     Sebabnya adalah :
1.    Selain mengakhiri perang 30 tahun, Perjanjian Westphalia telah meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik yang telah terjadi karena perang itu di Eropa .
2.    Perjanjian perdamaian mengakhiri untuk selama-lamanya usaha Kaisar Romawi yang suci.
3.    Hubungan antara negara-negara dilepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan dan
didasarkan atas kepentingan nasional negara itu masing-masing.
4.    Kemerdekaan negara Nederland, Swiss dan negara-negara kecil di Jerman diakui dalam Perjanjian Westphalia.
               Perjanjian Westphalia meletakan dasar bagi susunan masyarakat Internasional yang baru, baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas negara-negara nasional (tidak lagi didasarkan atas kerajaan-kerajaan) maupun mengenai hakekat negara itu dan pemerintahannya yakni pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja. Ciri masyarakat Internasional yang terdapat di Eropa yang dasarnya diletakkan oleh Perjanjian Westphalia. Ciri-ciri pokok yang membedakan organisasi susunan masyarakat Internasional yang baru ini dari susunan masyarakat Kristen Eropa pada zaman abad pertengahan:
a.    Negara merupakan satuan teritorial yang berdaulat.
b.    Hubungan nasional yang satu dengan yang lainnya didasarkan atas kemerdekaan dan persamaan derajat.
c.    Masyarakat negara-negara tidak mengakui kekuasaan di atas mereka seperti seorang kaisar pada zaman abad pertengahan dan Paus sebagai Kepala Gereja.
d.    Hubungan antara negara-negara berdasarkan atas hukum yang banyak mengambil oper pengertian lembaga Hukum Perdata, Hukum Romawi.
e.    Negara mengakui adanya Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antar negara tetapi menekankan peranan yang besar yang dimainkan negara dalam kepatuhan terhadap hukum ini.
f.     Tidak adanya Mahkamah (Internasional) dan kekuatan polisi internasional untuk memaksakan ditaatinya ketentuan hukum Internasional.
g.    Anggapan terhadap perang yang dengan lunturnya segi-segi keagamaan beralih dari anggapan mengenai doktrin bellum justum (ajaran perang suci) kearah ajaran yang menganggap perang sebagai salah satu cara penggunaan kekerasan.
Dasar-dasar yang diletakkan dalam Perjanjian Westphalia diperteguh dalam Perjanjian Utrech yang penting artinya dilihat dari sudut politik Internasional, karena menerima asas keseimbangan kekuatan sebagai asas politik internsional.

b.    Konferensi Perdamaian  (1856) dan Konperensi Jenewa (1864), Konferensi Den Haag (1899). Terbentuklah Mahkamah Arbitrase Permanen.
c.    Perjanjian Versailles. Didirikan Liga Bangsa-bangsa (League Of Nations)
d.    PD II
-          Didirikan Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations Organition).
-          Perjanjian Briand Kellocg Pact (1928) :  Melarang penggunaan Perang sebagai alat untuk mencapai Tujuan Nasional.

Hukum Internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara, lahir dengan kelahiran masyarakatInteransional yang didasarkan atas Negara negara nasional.  Sebagai titik saat lahirnya Negara negara nasional yang modern biasanya diambil saat ditandatanganinya Perjanjian Perdamaian Westphalia yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa.Zaman dahulu kala sudah terdapat ketentuan yang mengatur, hubungan antara raja-raja atau bangsa-bangsa:

B.      Asal-usul istilah

·         Indonesia            : Hukum Bangsa-bangsa, Hukum, Antar Bangsa, Hukum Antar   
                                    Negara
·         Inggris         : International Law, common Law, Law of mankind,Law of Nation,   Transnational Law (Inggris)
·         Perancis              : Droit de gens
·         Belanda               : Voelkenrecht
·         Jerman                 : Woelkrrecht
·         Romawi               : Ius Gentium, Ius Inter Gentes

C.    Persamaan dan perbedaan istilah HI dengan Hk. Bangsa-bangsa, Hukum Antar Bangsa, dan Antar Negara

               Hukum Internasional ialah keseluruhan kaedah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara:  (i) negara dengan negara; (ii) negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain.
               Istilah hukum internasional adalah hukum bangsa-bangsa, hukum antar bangsa atau hukum antar negara. Hukum bangsa-bangsa dipergunakan untuk menunjukkan pada kebiasaan dan aturan  hukum yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu. Hukum antar bangsa atau hukum antar negara menunjukkan  pada kompleks kaedah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara.
               Grotius mendasarkan sistem hukum Internasionalnya atas berlakunya hukum alam. Hukum alam telah dilepaskannya dari pengaruh keagamaan dan kegerejaan. Banyak didasarkan atas praktek negara dan perjanjian negara sebagai sumber Hukum Internasional disamping hukum alam yang diilhami oleh akal manusia, sehingga disebut Bapak Hukum Internasional. Selain Hugo Grotius ada pula Sarjana yang menulis Hukum Internasional: - Fransisco Vittoria (biarawan Dominikan – berkebangsaan Spanyol Abad XIV menulis buku Relectio de Indis mengenai hubungan Spanyol dan Portugis dengan orang Indian di AS. Bahwa negara dalam tingkah lakunya tidak bisa bertindak sekehendak hatinya. Maka hukum bangsa-bangsa ia namakan ius intergentes. - Fransisco Suarez (Yesuit) menulis De legibius ae Deo legislatore (on laws and God as legislator) mengemukakan adanya suatu hukum atau kaedah obyektif yang harus dituruti oleh negara-negara dalam hubungan antara mereka. – Balthazer Ayala (1548-1584) dan Alberico Gentilis mendasarkan ajaran mereka atas falsafah keagamaan atau tidak ada pemisahan antara hukum, etika dan teologi.


Hukum Internasional terdapat beberapa bentuk perwujudan atau pola perkembangan yang khusus berlaku di suatu bagian dunia (region) tertentu :

(1) Hukum Internasional regional : Hukum Internasional yang berlaku/terbatas daerah lingkungan berlakunya, seperti Hukum Internasional Amerika / Amerika Latin, seperti konsep landasan kontinen (Continental Shelf) dan konsep perlindungan kekayaan hayati laut (conservation of the living resources of the sea) yang mula-mula tumbuh di Benua Amerika sehingga menjadi hukum Internasional Umum.
(2) HukumInternasional Khusus : Hukum Internasional dalam bentuk kaedah yang khusus berlaku bagi negara-negara tertentu seperti Konvensi Eropa mengenai HAM sebagai cerminan keadaan, kebutuhan, taraf perkembangan dan tingkat integritas yang berbeda-beda dari bagian masyarakat yang berlainan. Berbeda dengan regional yang tumbuh melalui proses hukum kebiasaan.
D. Hukum Internasional dan Hukum Dunia
Prof. Dr. Mochtar Kusumaadmadja, mangatakan bahwa aneka ragam istilah Hi itu bermula dari. Hk. Romawi, yang dikenal denga ius gentium, yang berarti :
-   Hukum antar bangsa-bangsa Romawi.
-   Orang Romawi dan bukan orang Romawi
-   Orang bukan Romawi satu sama lainnya.

Baru kemudian, orang membedakan antara hubungan kesatuan-kesatuan public (kerajaan dan republik) dengan hubungan antar individu, dengan ius inter gentes. Dari istilah ius inter gentes kemudian lahirlah istilah Hk. Bangsa-bangsa, Hk. Antar Bangsa, Hk. Antar  Negara. Kemudian lahirlah istilah Hukum (publik) yang mejadi cabang ilmu Hukum yang berdiri sendiri. Hukum Internasional didasarkan atas pikiran adanya masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka dalam arti masing-masing berdiri sendiri yang satu tidak dibawah kekuasaan lain sehingga merupakan suatu tertib hukum koordinasi antara anggota masyarakat internasional yang sederajat.
Hukum Dunia berpangkal pada dasar pikiran lain. Dipengaruhi analogy dengan Hukum Tata Negara (constitusional law), hukum dunia merupakan semacam negara (federasi) dunia yang meliputi semua negara di dunia ini. Negara dunia secara hirarki berdiri di atas negara-negara nasional. Tertib hukum dunia menurut konsep ini merupakan suatu tertib hukum subordinasi.
a.  Persamaan
-          Semuannya bersumber pada hukum Romawi.
-          Persamaan landasan sosiologis : Masyarakat Internasional, Masyarakat bangsa-bangsa.
-          Persamaan subjek dan sumbernya   :  negara.

b.     Perbedaan.

1. Istilah
-   Perbedaan istilah dan bahasa yang digunakan oleh setiap negara
-   Perbedaan istilah menunjukakan tingkat perkembangannya :
-   Ius Gentium, ius Inter Gentes, H
ukum Bangsa-bangsa, Hukum Antar Bangsa, Hukum Antar   Negara.
-         Hukum bangsa-bangsa   menunjukan pada kebiasaan dan aturan (hukum) yang berlaku dalam hubungan raja-raja pada zaman dahulu.
-         Hukum antar bangsa menunjukkan kompleksitas kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan antar anggota masayarkat bangsa-bangsa atau negara yang kita kenal sejak meunculnya negara dalam bentuknya yang modern (nation satte).
-         Hukum Internasional menunjukan pada kaidah-kaidah dan asas-asas hukum, selain mengatur hubungan antara negara, menga
2.  Perbedaan terletak pada skop hubungan yang diatur;

-          Hukum Bangsa-bangsa  mengatur hubungan antar bangsa
-          Hukum Antar Negara mengatur hubungan anatar negara dengan negara (bangsa dalam bentuk negara)
-          Hukum Internasional mengatur  yang melintasi batas negara antara negara dengan negara, antara subjek hukum bukan negara dengan negara, antar subjek hukum bukan negara satu dengan yang lain.

Alasan Hukum Internasional yang kemudian di pakai termasuk dalam perkuliahan ini ? Alasan :
a)    Istilah Hukum Internasional paling mendekatai kenyataan dengan sifat-sifat hubungannya dan masalah-malsah yang menjadi objek bidang hukum ini, yang dewasa ini tidak hanya terbatas pada hubungan antar bangsa atau antar negara saja, seperti yang dilaksanakan oleh istilah Hukum Antar Bangsa dan Hukum Antar Negara.
b)    Istilah Hukum Internasional dalam penggunaannya tidak menimbulkan keberatan di kalangan para sarjana, karena telah lazim dipakai orang untuk segala peristiwa yang melintasi batas-batas negara.
c)    Penggunaan istilah HI secara tidak langsung menunjukkan suatu taraf perkembangan tertentu dalam bidang HI (sebagai perkembangan mutakhir).

D.    Pengertian Hukum Internasional dan Batasan Hukum Internasional

1.   Pengertian menurut para sarjana

a.    Pandangan Klasik : “sistem Hukum yang mengatur  hubungan negara-negara.”
b.    Prof. Hyde :  “sekumpulan hukum, yang sebagaian besar terdiri dari asas-asas dan peraturan-peraturan tingkah laku yang mengikat negara-negara, karena itu biasanya ditaati dalam hubungan negara-negara satu sama lain.”
c.    J.L. Brierly :  “ himpunan kaidah-kaidah dan asas-asas tindakan yang mengikat bagi negara-negara beradab dalam hubungan mereka satu sama liannya.”
d.    Oppenheim  : “International law is the name of the body of customary and treaty rules which are of considered legally binding by states in their intercource which each other”.
e.     Max Rosense :”International law is a strict term of art, connoting that sistem of law whose primary function it is to regulate the relation of stateswhic one another
f.     G. Schwarzenberger  : “ International law is the body of legal rules binding upon sovereign state and such other en tities as have been granted International personality”.
g.    Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH.,L.L.M.    : “keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan  yang melintasi batas- batas negara antara:
1.    Negara dengan Negara
2.    Negara  dengan Subjek Hukum lain bukan Negara
3.    Subjek hukm bukan Negara satu dengan yang lainnya

Pengertian secara umum dari hukum Internasional adalah bahwa istilah “hukum” masih diterjemahkan sebagai aturan, norma atau kaidah. Sedangkan istilah internasional menunjukankan bahwa hubungan hukum yang diatur tersebut adalah subjek hukum yang melewati batas wilayah suatu negara, yaitu hubungan antara negara dengan negara, negara dengan subjek hukum bukan negara satu dengan lainnya, serta hubungan antara subjek hukum bukan negara satu dengan subjek hukum bukan negara lainnya.

2. Dasar-dasar berlakunya Hukum Internasional
a.  Golongan Naturalis

Menurut golongan Naturalis prinsip-prinsip hukum dalam semua sistem hukum bukan berasal dari buatan manusia, tetapi berasal dari prinsip-prinsip yang berlaku secara universal sepanjang masa dan yang dapat ditemui dengan akal sehat. Hukum harus dicari bukan di buat, menurut aliran ini yang merumuskan prinsip-prinsip atas dasar hukum alam bersumberkan pada ajaran Tuhan. Tuhan mengajarkan umat manusia dilarang berbuat jahat dan harus berbuat baik antara satu dengan yang lainnya. Atas dasar itulah Negara-negara harus bersikap baik dalam hubungannya satu sama lain demi keselamatan dan perdamaian masyarakat internasional.
Tokoh dari golongan ini diantaranya warga Belanda Hugo de Groot atau Grotius, sumbangan Grotius sangat besar, bahkan ia telah diberi julukan pendiri hukum internasional modern. Karyanya yang terkenal ialah De Jure belli Ac pacis (hukum perang dan damai) yang berisikan dasar-dasar baru yang mengatur hubungan antarnegara. Dengan karyanya tersebut, hukum internasional selanjutnta merupakan suatu sistem hukum yang terpisah, suatu cabang tersendiri
Teori  Hukum Alam atau Kodrat (natural Law) Hukum Ideal yang didasarkan atas hakekat manusia sebagai mahluk yang berakal, atau kesatuan kaidah-kaidah yang diilhami alam pada akal manusia. HI tidak lain merupakan Hukum Alam yang diterapkan pada kehidupan masyarakat bangsa-bangsa.

Kelemahan   :
1.    Konsep alam yang masih membutuhkan konsep rasio, keadilan, keagaman pada kenyataannya banyak menimbulkan kegaduhan.
2.    Kurang jelas dan menjadi doktrin yang subjektif.
3.    Tidak ada perhatian dalam praktek actual antar negara.  
4.    Bersifat sangat samar terutama berkaitan dengan keadilan dan kepentingan masyarakat Internasional.

Kelebihan:
Menjadi dasar moral dan dasar etis Hukum Internasional

b. Golongan Positivisme
Menurutnya Kekuatan mengikatnya Hukum Internasional pada kehendak negara itu sendiri untuk tunduk pada Hukum Internasional. Hukum Internasional berasal dari kemauan negara dan berlaku Karena disetujui oleh negara.  Dasar dari hukum internasional adalah kesepakatan bersama antara negara-negara yang diwujudkan dalam perjanjian-perjanjian dan kebiasaan-kebiasaan internasional. Seperti yang dinyatakan Jean-Jeacques Rousseau (1712-1778) dalam bukunya Du Contract Social “ la loi’ c’est l’expression de la volonte generale” hukum adalah pernyataan kehendak bersama.

Kelemahan ;
1.    Tidak dapat menjelaskan jika ada negara yang tidak setuju apakah HI tidak lagi mengikat.
2.    Tidak dapat menjelaskan jika ada negara baru tetapi langsung terikat oleh HI
3.    Tidak dapat menjelaskan mengapa ada hukum kebiasaan.
4.    Kemauan negara hanya Facon De Parler (perumpaan).
5.    Berlakunya HI tergantung dari society of state.


Kelebihan   :
Praktek-praktek negara dan hanya peraturan-peraturan yang benar-benar ditaati yang menjadi HI.

c.  Teori Aliran Madzab Viena
Kekuatan mengikat HI bukan kehendak negara melainkan norma hukum yang merupakan dasar terakhir ; Grudnorm. Kekeuatan mingikat HI didasarkan pada suatu kaidah yang lebih tinggi lagi dst. “Pacta Sunt Servanda” sebagai kaidah yang   paling tinggi (Hans Kelsen).

Kelemahan :
Tidak dapat menerangkan mengapa kaidah dasar itu mengikat.
          
d.  Teori Aliran Madzhab Perancis.
Kekuatan mengikatnya HI dihubungkan dengan kenyataan – kenyataan hidup manusia. Hukum Internasional  mengikat karena faktor biologis, social, sejarah, atau fakta kemasyarakatan, Tokoh Fauchile, Scelle, Leon Duguit. Persoalan yang dihadapi manusia sama dengan persoalan negara-negara.

e.  Perbedaan HI dengan Moral Internasional

Dalam aplikasi akademis, Hukum Internasional banyak diargumentasikan hanyalah Moral Internasional karena tidak ada badan hukum (legislatif) yang membuat aturan Hukum Internasional dan pelaksana serta penegak Hukum Internasional (fungsi eksekutif dan legislatif). John Austin adalah tokoh pemikir tersebut. Gejolak dan jurisprudensi invasi AS dan sekutunya terhadap Irak, Serangan Israel terhadap Penduduk Sipil Palestina,  merupakan bukti nyata pendapat tersebut karena masyarakat Internasional tidak bisa berbuat apa-apa terhadap negara adidaya sehingga pemberlakuan Hukum Internasional identik dengan Moral Internasional karena tidak bisa dipertahankan oleh eksetrnal power dari masyarakat internasional.
Menyikapi konfrotasi pendapat yang berbeda antara para pakar Hukum Internasional mengenai sifat “hukum” dalam hukum Internasional : John Austin  yang mengatakan bahwa hukum Internasional adalah “bukan hukum”, hanya “properly so called”, “moral saja” dengan alasan yang mendasari bahwa  hukum Internasional tidak memiliki sifat “hukum”, yakni dalam hal:
a)  Hukum Internasional tidak memiliki lembaga legeslatif sebagai lembaga yang bertuga membuat hukum;
b)  Hukum Internasional tidak memiliki lembaga eksekutif sebagai lembaga yang melaksanakan hukum,
c)  Hukum Internasional juga tidak memilki lembaga yudikatif sebagai lembaga yang megakakan hukum
d)  Hukum Internasional juga tidak memiki polisional sebagai lembaga yang mengawasi jalanya atau pelaksanaan hukum,

 Namun demikian dalam studi Hukum Internasional pendapat bahwa Hukum Internasional itu hanyalah Moral Internasional memiliki 2 kelemahan mendasar. Pertama, Hukum Internasional mengenal eksistensi hukum kebiasaan internasional (customary international law) yang timbul dalam tata pergaulan internasional yang keberadaannya dipertahankan oleh masyarakat internasional juga. Kedua, jika Hukum Internasional adalah moral internasional saja, maka eksistensinya sama dengan teori bahwa hukum hanyalah kekuasaan belaka yaitu siapa yang kuat dialah yang menang, padahal dalam tertib hukum internasional hukum digunakan untuk sarana kontrol terhadap pencapaian bersama (common goals) masyarakat internasional.
Dengan demikian menurut Austin jika terdapat negara yang melanggar hukum internasional maka tidak ada kekuasaan apapun yang dapat memberikan sanksi kepada negara tersebut. Negara mau mentaati atau tidak terhadap ketentuan internasional itu adalah terserah dari negara yang bersangkutan. Jadi hukum internasional tidak tepat dikatakan sebagai hukum melainkan hanya norma saja atau adat istiadat saja. Pendapat yang demikian kiranya perlu ditinjau ulang, sebab keraguan akan keberadaan lembaga eksekutif, legeslatif , yudikatif serta polisional dalam hukum  Internasional telah digantikan oleh peranan beberapa badang khusus sejak dibentuknya Organisasi Internasional PBB.
Keberadaan lembaga pembuat undang-undang atau legeslatif dapat digantikan oleh kesepakatan-kesepakatan yang dibuat oleh dan diantara subjek hukum Internasional baik yang bersifat bileteral, atau multilateral. Hal ini karena kedudukan negara sebagai subjek hukum Internasional adalah koordinatif atau sejajar. Tidak ada negara yang melebihi atau di atas negara yang lain. Lembaga penegak hukum atau yudikatif perannya dapat kita lihat keberadaan Mahkamah  Internasional  maupun Arbitrase Internasional. Lembaga eksekutif tidak lain adalah subjek hukum internasional itu sendiri. Meskipun hukum Internasional tidak memiliki sanksi yang tegas dan memaksa dalam pelaksanaannya, bukan berarti sifat aturan yang demikian tidak dapat dikategorikan sebagai ‘hukum’. Kita dapat melihat “hukum adat’ yang berlaku di Indonesia. Meskipun ‘hukum adat’ tersebut munculnya dari kebiasaan yang dilakukan oleh masyrakat, namun kebiasaan tersebut ditaati dan dilaksanakan meskipun tidak ada sanksi yang tegas.
Jadi Austin telah mencampur adukan antara pengertian efektifitas hukum dengan sifat hukum itu sendiri. Jika dalam perkembangannya atau pelaksaannya ternyata hukum Internasional masih banyak yang melanggar, maka hal yang demikian itu merupakan sisi belum efektifnya hukum Internasional, tetapi bukan berarti “hukum internasional” menjadi bukan hukum. Sebab pada kenyataanya masih banyak aturan-aturan yang dibuat oleh dan antara subjek hukum Internasional yang masih di taati oleh negara-negara dan dilaksanakan. Munculnya subjek hukum bukan negara sebagai salah satu subjek hukum Internasional adalah tidak terlepas dari perkembangan hukum Internasional itu sendiri. Semakin berkembangnya keberadaan organisasi Internasional, serta adanya organisasi-organisasi lain yang bersifat khusus yang keberadaannya secara fungsional kemudian diakui sebagai subjek hukum internasional yang bukan negara. Diantaranya adalah vatikan atau tahta suci, Palang Merah Internasional, Pemberontak atau Belligerent. Bahkan  pada perkembangannya tindakan individu yang mewakili negara dan bertindak dalam kapasitasnya sebagai wakil negara juga dianggap sebagai subjek hukum Internasional bukan negara.


Dengan melihat sifat dan hakekat dan sifat Hukum Internasional, maka ciri khasnya adalah:
1.    Tidak mengenal suatu kekuasaan eksekutif yang kuat   
2.    HI bersifat koordinatif tidak Sub ordinatif
3.    HI tidak memiliki badan-badan legeslatif dan yudikatif dan kekuasaan Polisional
4.    Tidak dapat memaksakan kehendak masyarakat Internasional sebagai kaidah Hukum Nasional
            Atas kelemahan di atas ada pendapat yang mengatakan Hukum Internasional tidak mempunyai sifat hokum. Tokoh yang sependapat dengan ini adalah  JL. Van Apeldoorn, John Austin, Spinoza, Jeremy Bethan.JOHN AUSTIN   :

Sejarah telah membuktikan bahwa pendapat John Austin dan ahli lain tidak benar alasannya adalah:
1.  Sifat Hukum tidak selamanya ditentukan oleh badan-badan tsb. Tidak berarti tidak ada badan maka tidak ada hukum, Contohnya   : Hukum Adat Indonesia.
2.  Pendapat mereka telah menyamarakatan pengertian antara  dijalankannya hukum secara efektif dengan sifat dari Hukum.
3.  Lembaga legislative diisi : Perjanjian Internasional oleh MI
4.  Kebiasaan Internasional diterima sebagai hukum karena keyakinan.
5.  Badan Yudikatif   : diisi oleh Mahkamah Internasional dan Mahkamah Arbritase Permanent.  

Hakekat HI Hukum Internasional benar-benar mempunyai sifat hukum. Hakekat HI sebagai  hukum  koordinasi tidak perlu diragukan lagi.





F. Perbedaan antara Hukum Internasional  Publik dan Hukum Internasional Perdata
            Hukum Internasional publik berbeda dengan Hukum Perdata Internasional. Hukum Perdata Internasional ialah keseluruhan kaedah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara atau hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan. Sedangkan Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata. Persamaannya adalah bahwa keduanya mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara(internasional).  
Pengertian Hukum Internasional Publik dan Hukum Internasional Perdata
HI Publik (HI) adalah “keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas- batas negara yang bukan bersifat perdata”.
H Perdata Internasional “keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas- batas negara yang berfat perdata”
Persamaan
Keduanya mengatur hubungan-hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara.
Perbedaan
1.    Perbedaan keduanya terletak pada : sifat hubungna/ persoalan dan obyek yang diaturnya.
2.    Cara membedakan berdasarkan sifat dan obyeknya adalah tepat, dari pada membedakan berdasarkan pelaku-pelaku (subjeknya), yaitu dengan mengatakan HI Publik mengatur hubungan atara negara, sedangkan H Perdata Internasional mengatur hubungan orang-perorang.




G.    Perwujudan Hukum Internasional
Hukum Internasional terdapat beberapa bentuk perwujudan atau pola perkembangan yang khusus berlaku di suatu bagian dunia (region) tertentu :
Hukum Internasional Regional 
Hukum Internasional yang berlaku/terbatas daerah lingkungan berlakunya, seperti Hukum Internasional Amerika / Amerika Latin, seperti konsep landasan kontinen (Continental Shelf) dan konsep perlindungan kekayaan hayati laut (conservation of the living resources of the sea) yang mula-mula tumbuh di Benua Amerika sehingga menjadi hukum Internasional Umum.
Hukum Internasional Khusus 
Hukum Internasional dalam bentuk kaedah yang khusus berlaku bagi negara-negara tertentu seperti Konvensi Eropa mengenai HAM sebagai cerminan keadaan, kebutuhan, taraf perkembangan dan tingkat integritas yang berbeda-beda dari bagian masyarakat yang berlainan. Berbeda dengan regional yang tumbuh melalui proses hukum kebiasaan.
Hukum Internasional dan Hukum Dunia
Hukum Internasional didasarkan atas pikiran adanya masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka dalam arti masing-masing berdiri sendiri yang satu tidak dibawah kekuasaan lain sehingga merupakan suatu tertib hukum koordinasi antara anggota masyarakat internasional yang sederajat.
Hukum Dunia berpangkal pada dasar pikiran lain. Dipengaruhi analogi dengan Hukum Tata Negara (constitusional law), hukum dunia merupakan semacam negara (federasi) dunia yang meliputi semua negara di dunia ini. Negara dunia secara hirarki berdiri di atas negara-negara nasional. Tertib hukum dunia menurut konsep ini merupakan suatu tertib hukum subordinasi.
 Masyarakat dan Hukum Internasional
Adanya masyarakat-masyarakat Internasional sebagai landasan sosiologis hukum internasional.
  1. Adanya masyarakat internasional ditunjukkan adanya hubungan yang terdapat antara anggota masyarakat internasional, karena adanya kebutuhan yang disebabkan antara lain oleh pembagian kekayaan dan perkembangan industri yang tidak merata di dunia seperti adanya perniagaan atau pula hubungan di lapangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, keagamaan, sosial dan olah raga mengakibatkan timbulnya kepentingan untuk memelihara dan mengatur hubungan bersama merupakan suatu kepentingan bersama. Untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan Internasional inilah dibutuhkan hukum dunia menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam setiap hubungan yang teratur. Masyarakat Internasional pada hakekatnya adalah hubungan kehidupan antar manusia dan merupakan suatu kompleks kehidupan bersama yang terdiri dari aneka ragam masyarakat yang menjalin dengan erat.
  2. Asas hukum yang bersamaan sebagai unsur masyarakat hukum internasional. Suatu kumpulan bangsa untuk dapat benar-benar dikatakan suatu masyarakat Hukum Internasional harus ada unsur pengikat yaitu adanya asas kesamaan hukum antara bangsa-bangsa di dunia ini. Betapapun berlainan wujudnya hukum positif yang berlaku di tiap-tiap negara tanpa adanya suatu masyarakat hukum bangsa-bangsa merupakan hukum alam (naturerech) yang mengharuskan bangsa-bangsa di dunia hidup berdampingan secara damai dapat dikembalikan pada akal manusia (ratio) dan naluri untuk mempertahankan jenisnya.
*       Hakekat dan Fungsi Kedaulatan Negara  Dalam Masyarakat Internasional
Negara dikatakan berdaulat (sovereian) karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki negara. Negara berdaulat berarti negara itu mempunyai kekuasaan tertentu. Negara itu tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaannya sendiri dan mengandung 2 (dua) pembatasan penting dalam dirinya:
  1. Kekuasaan itu berakhir dimana kekuasaan suatu negara lain mulai.
  2. Kekuasaan itu terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu.
Konsep kedaulatan, kemerdekaan dan kesamaan derajat tidak bertentangan satu dengan lain bahkan merupakan perwujudan dan pelaksanaan pengertian kedaulatan dalam arti wajar dan sebagai syarat mutlak bagi terciptanya suatu masyarakat Internasional yang teratur.
Masyarakat Internasional mengalami berbagai perubahan yang besar. Perbaikan peta bumi politik yang terjadi terutama setelah Perang Dunia II. Proses ini sudah dimulai pada permulaan abad XX mengubah pola kekuasaan politik di dunia. Timbulnya negara-negara baru yang merdeka, berdaulat dan sama derajatnya satu dengan yang lain terutama sesudah Perang Dunia Perubahan Kedua ialah kemajuan teknologi.  Kemajuan teknologi berbagai alat perhubungan menambah mudahnya perhubungan yang melintasi batas negara. Perkembangan golongan ialah timbulnya berbagai organisasi atau lembaga internasional yang mempunyai eksistensi terlepas dari negara-negara dan adanya perkembangan yang memberikan kompetensi hukum kepada para individu. Kedua gejala ini menunjukkan bahwa disamping mulai terlaksananya suatu masyarakat internasional dalam arti yang benar dan efektif berdasarkan asas kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat antar negara sehingga dengan demikian terjelma Hukum Internasional sebagai hukum koordinasi, timbul suatu komplek kaedah yang lebih memperlihatkan ciri-ciri hukum subordinasi.

H.     Hubungan Hukum Internasional  dengan Hukum Nasional


Pengertian Hubungan HI dengan HN Berdasarkan kajian yuridis-historis, perkembangan hukum internasional yang sebagian besar berasal dari Eropa Barat (baca: Yunani dan Romawi) adalah suatu sistem hukum masyarakat bangsa-bangsa yang konsep, kaedah dan prinsip-prinsip hukumnya berasal dari kaedah-kaedah hukum nasional Romawi yang tumbuh dan berkembang melalui kebiasaan-kebiasaan internasional (international customary). pembahasan secara teoretis perlu dikembangkan dan mengemukakan aliran-aliran hukum yang mempersoalkannya.

1.  Monisme
Faham monism berpendapat, bahwa antara hukum internasional dengan hukum nasional merupakan satu kesatuan sistem hukum yang tak terpisahkan secara bulat dan utuh. Pendapat monis didukung oleh pernyataan: “international law and municipal law are both species of one genus-law. Law is command whether it is the case of international law or municipal law
(Hukum internasional dan hukum nasional kedua-duanya adalah dua spesies dari satu genus. Hukum adalah perintah, baik di dalam hukum internasional maupun di dalam hukum nasional).

2. Dualisme
Berbeda dengan kaum monis, kaum dualism menganggap hukum internasional dengan hukum nasional merupakan dua perangkat hukum yang berbeda. Perbedaannya terletak pada subjek dan sumber hukum, termasuk berbeda dalam konsep. Hukum internasional adalah sistem hukum yang mengatur hubungan Negara-negara berdaulat, sedangkan hukum nasional adalah perangkat hukum yang mengatur hubungan individu.

2.  Teori Transformasi
     Menurut teori transformasi, hukum internasional tidak akan pernah berlaku sebelum konsep, kaedah dan prinsip-prinsip hukumnya belum menjadi bagian dari prinsip atau kaedah-kaedah hukum nasional. Agar dapat berlaku, maka prinsi-prinsip hukum internasional harus terlebih dahulu menjadi bagian dari prinsip-prinsip hukum nasional. Misalnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Lingkungan Hidup sebagai hasil transformasi dari hukum Lingkungan Internasional, yaitu Deklarasi Stockholm 1972. Demikian pula dengan Undang-Undang pembaharuannya, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup sebagai hasil transformasi Deklarasi Rio 1992. Proses transformasi ini dilakukan dengan melakukan perubahan terhadap Undang-undang. Perubahan dapat dilakukan dengan melakukan penambahan, pengurangan atau pembaharuan secara keseluruhan terhadap isi Undang-undang dan menggantikannya dengan yang baru. Proses perubahan tunduk dan diatur dalam ketentuan-ketentuan hukum ketatanegaraan yang mekanisme kerjasamanya dengan pembuatan Undang-undang, yaitu dilakukan dengan melakukan pengajuan oleh DPR/DPRD atau presiden. Sebagaimana yang telah terjadi di Negara-negara lain yang memiliki proses yang sama:

4.Teori Adopsi
Teori adopsi, cara berfikirnya sangat sederhana. Hal ini sangat tergantung dari kemauan hakim untuk menerapkan prinsip-prinsip Hukum Internasional dalam menyelesaikan kasus-kasus nasional. “a judge is entitle to resort to a rule of international law without requiring that it be consciously promulgate by the sovereign as one municipal law” (Hakim berhak menggunakan ketentuan-ketentuan hukum internasional tanpa terlebih dahulu diumumkan oleh Negara atau pengadilan dari suatu Negara)

5.Teori Delegasi
Berlakunya ketentuan-ketentuan hukum internasional setelah didelegasikan ke hukum nasional yang dapat dilegalkan dengan pencantuman kaedah-kaedah hukum internasional kedalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional atau dengan menerapkan kaedah-kaedahnya dalam memutus atau menyelesaikan sengketa nasional. R.C. Hingorani menjelaskan:

6. Teori Harmonisasi

D.P.O. Connell menggambarkan teori ini melalui suatu pernyataan yang berbunyi:
“the theory of harmonization assumes that international law, as a rule of human behavior, form part of municipal law and hence is available to a municipal judge; but in the rare instance conflict between the two sistem theory acknowledges that he is obligade by his jurisdictional rules” (teori harmonisasi menganggap bahwa hukum internasional sebagai hukum yang mengatur tingkah laku bagian hukum internasional dan diatur oleh hukum nasional, tetapi teori ini juga mengakui adanya konflik antar kedua hukum tersebut). Berdasarkan pendapat diatas, titik tolak teori harmonisasi adalah “tingkah laku atau tindakan” yang sama antara hukum internasional dengan hukum nasional dengan batas-batas dan kewenangan yang berbeda.






BAB II
SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

A.  Pengertian Sumber Hukum Internasional

Sumber hukum dibedakan menjadi dua yaitu sumber hukum formil dan sumber hukum materiil. Sumber hukum formil adalah sumber hukum yang dilihat dari bentuknya/ merujuk kepada adanya proses formal yang diakui metodenya oleh institusi yang berwenang menerbitkan ketentuan yang mengikat yang biasanya diterapkan dalam sebuah sistem hukum tertentu. Dari sebuah hukum formal inilah validitas sebuah hukum ditemukan. Sedang sumber hukum materiil adalah segala sesuatu yang menentukan isi dari hukum atau merujuk kepada bukti-bukti baik secara umum maupun khusus yang menunjukkan bahwa hukum tertentu telah diterapkan dalam suatu kasus tertentu. Dari sebuah hukum materiil inilah isi dari sebuah hukum bisa ditemukan.. Menurut Starke, sumber hukum materiil hukum internasional diartikan sebagai bahan-bahan aktual yang digunakan oleh para ahli hukum intrenasional untuk menetapkan hukum yang berlaku bagi suatu peristiwa atau situasi tertentu. Dengan kata lain, sumber hukum materiil memberikan isi dari hukum sementara hukum formil memberikan kewenangan dan validitas pemberlakuannya.

B. Macam-macam sumber hukum Internasional
Sumber hukum internasional dapat dibedakan berdasarkan
:
a. Berdasarkan penggolongannya
           Berdasarkan penggolongannya sumber hukum internasional dibedakan menjadi dua:
1.  Menurut Pendapat Para sarjana Hukum Internasional
Para sarjana Hukum Internasional menggolongkan sumber hukum internasional yaitu, meliputi:
1.   Kebiasaan
2.   Traktat
3.   Keputusan Pengadilan atau Badan-badan Arbitrase
4.   Karya-karya Hukum
5.   Keputusan atau Ketetapan Organ-organ/lembaga Internasional

2.    Menurut Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice) Sumber Hukum Internasional menurut ketentuan Pasal 38 (1) Statuta  Mahkamah Internasional adalah  terdiri dari :
1.  Perjanjian Internasional (International Conventions)
2.  Kebiasaan International (International Custom)
3.  Prinsip Hukum Umum (General Principles of Law) yang diakui oleh negara-negara beradab
4.  Keputusan Pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya (Theachings of the most highly qualified publicists).

Jelas bahwa penggolongan  sumber hukum internasional menurut pendapat para sarjana dan menurut pasal 38 ayat 1 Satatuta Mahkamah Internasional terdapat perbedaan yaitu yang dapat dijelaskan berikut ini:
a.  Pembagian menurut para sarjana telah memasukan keputusan badan-badan arbitrase internasional sebagai sumber hukum sedangkan dalam  pasal 38 tidak disebutkan hal ini menurut Bour mauna karena dalam praktek penyelesaian sengketa melalui badan  arbitrase internasional hanya merupakan pilihan hukum dan kesepakan para pihak pda perjanjian.
b.  Penggolongan sumber  hukum  internasional  menurut para sarjana tidak mencantumkan prinsip-prinsip hukum umum sebagai salah satu sumber hukum, padahal sesuai prinsip-prinsip hukum ini sangat penting bagi hakim sebagai bahan bagi mahkamah internasional untuk membentuk kaidah hukum baru apabila ternyata sumber hukum lainnya tidak dapat membantu Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan  suatu sengketa.  

Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 38 ayat 2 yang menaytakan bahwa: This propivisons shall not prejudice the power of the Court to decide a case ex aequo et bono, if the parties agree thereto.“Asas ex aequo et bono” ini berarti bahwa hakim dapat memutuskan sengketa  internasional berdasarkan rasa keadilannya (hati nurani) dan kebenaran. Namun sampai saat ini sangat disayangkan bawasannya asas ini belum pernah dipakai oleh hakim dalam Mahkamah Internasional. Keputusan atau Ketetapan Organ-organ Internasional atau lembaga-lembaga lain tidak terdapat dalam pasal 38, karena hal ini dinilai sama dengan perjanjian internasional.

b.  Berdasarkan sifat daya ikatnya
            Sumber hukum Internasional jika dibedakan berdasarkan sifat daya ikatnya maka dapat dibedakan menjadi sumber hukum primer dan sumber hukum subsider. Sumber hukum primer adalah sumber hukum yang sifatnya paling utama artinya sumber hukum ini dapat berdiri sendiri-sendiri meskipun tanpa keberadaan sumber hukum yang lain. Sedangkan sumber hukum subsider merupakan sumber hukum tambahan yang baru mempunyai daya ikat bagi hakim dalam memutuskan perkara apabila didukung oleh sumber hukum primer. Hal ini berarti bahwa sumber hukum subsider tidak dapat berdiri sendiri sebagaimana sumber hukum primer.

1. Sumber Hukum Primer hukum Internsional

Sumber hukum Primer dari hukum internasional meliputi:
1.   Perjanjian Internasional (International Conventions)
2.   Kebiasaan International (International Custom)
3.   Prinsip Hukum Umum (General Principles of Law) yang diakui oleh negara-negara beradab.

            Oleh karena sumber hukum internasional nomor 1,2,3 merupakan sumber hukum primer  maka Mahkamah Internasional dapat memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan berdasarkan sumber hukum nomor 1 saja, 2 saja, atau 3 saja. Namun perlu diketahui bahwa pemberian nomor 1, 2, 3 tidak menunjukan herarki dari sumber hukum tersebut. Artinya bahwa ketiga sumber hukum tersebut mempunyai kedudukan yang sama tingginya atau yang satu tidak lebih tinggi atau lebih rendah kedudukannya dari sumber hukum yang lain.

b  Sumber Hukum Subsider
   Bahwa yang termasuk sumber hukum tambahan dalam hukum internasional adalah:
4.   Keputusan Pengadilan.
5.   Pendapat Para sarjana Hukum Internasional yang terkemuka.

Oleh karena sumber hukum internasional nomor 4 dan 5 merupakan sumber hukum subsider maka Mahkamah Internasional tidak dapat memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan hanya berdasarkan sumber hukum nomor 4 saja, 5 saja, atau 4 dan 5 saja. Hal ini berarti bahwa kedua  sumber hukum tersebut hanya bersifat menambah sumber hukum primer sehingga tidak dapat berdiri sendiri.


1.    Perjanjian Internasional (International Convenction)

Perjanjian internasional adalah persetujuan antara dua atau lebih negara dalam bentuk tertulis, diatur sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional.
Secara umum dikelompok menjadi dua:
a)    Perjanjian Multilateral
yaitu sebuah persetujuan yang disepakati oleh lebih dari dua negara. Ketika perjanjian ini merupakan cerminan dari pendapat masyarakat internasional pada umumnya, maka perjanjian tersebut bisa menjadi apa yang disebut dengan “Law-Making Treaty”. Traktat yang membuat Hukum. Perjanjian ini menciptakan norma umum hukum yang akan dipakai oleh masyarakat internasional sebagai prinsip utama di masa mendatang guna menyelesaikan suatu perkara di antara mereka.

b)   Perjanjian Bilateral
adalah Kontrak Internasional antara dua negara. Tujuan perjanjian ini adalah menetapkan kewajiban-kewajiban hukum tertentu dan segala akibatnya jika melakukan atau tidak melakukan kewajiban tersebut terhadap pihak yang menandatangani kontrak tersebut. Konvensi Wina tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional (Vienna Convention on the Law of Treaties 1969) telah mengatur hal-hal yang menyangkut proses negosiasi atau penundukkan (accession), validitas, perubahan (amendment), penggantian (modification), pengecualian (reservation), penundaan (suspension) atau pemberhentian (termination) dari sebuah perjanjian internasional. Pernyataan Sepihak (Unilateral Statement) atau Deklarasi yang memuat hak dan kewajiban suatu negara dalam hubungannya dengan peristiwa tertentu dapat pula dianggap sebagai sebuah perjanjian sepihak yang menjadi suatu sumber hukum terbatas bagi negara yang mengeluarkan pernyataan tersebut. 43

Perjanjian Internasional dapat pula berfungsi sebagai bukti adanya kebiasaan internasional ketika:

a)    Ada beberapa perjanjian bilateral terhadap kasus yang serupa yang memakai prinsip-prinsip yang sama atau ketentuan-ketentuan yang serupa sehingga bisa menimbulkan akibat hukum yang sama. Lihat Lotus Case (1927) PCIJ reports, Series A, No. 10
b)    Sebuah perjanjian yang ditandatangani oleh beberapa negara bisa menjadi sebuah kebiasaan jika aturan yang disepakati merupakan generalisasi dari praktek negara-negara dan persyaratan bahwa hal tersebut dianggap sebagai sebuah hukum dapat dipenuhi. Lihat North Sea Continental Shelf Cases (1969) ICJ Report, hal 3 
c)    Sebuah perjanjian yang ditandatangani beberapa negara yang merupakan hasil kodifikasi dari beberapa prinsip dalam kebiasaan  internasional dan secara konsekuen telah mengikat pihak-pihak yang tidak terlibat dalam perjanjian tersebut. Lihat preamble Geneva Convention on the High Seas 1958 dan treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space 1967.

2.    Kebiasaan Internasional (Customary Law)

Ada dua elemen yang harus ada dalam kebiasaan internasional untuk bisa dipakai sebagai sumber hukum internasional:

a)    Praktek Negara-negara: Unsur-unsur yang dilihat dalam praktek negara adalah seberapa lama hal itu sudah dilakukan secara terus menerus (duration); keseragaman atau kesamaan dari praktek tersebut dalam berbagai kesempatan dan berbagai pihak yang terlibat (uniformity) serta kadar kebiasaan yang dimunculkan oleh tindakan tersebut (generality). Lihat Fisheries Jurisdiction (Merits) Case (1974) ICJ Reports, hal 3 dan North Sea Continental Shelf Cases (1969) ICJ Report, hal 3
b)    Opinio Juris sive Necessitatis. Ini adalah pengakuan subjektif dari negara-negara yang melakukan kebiasaan internasional tertentu dan kehendak untuk mematuhi kebiasaan internasional tersebut sebagai sebuah hukum yang memberikan hak dan kewajiban bagi negara-negara tersebut.

Bukti keberadaan sebuah kebiasaan internasional ialah: Korespondensi Diplomatik, pernyataan kebijakan, siaran pers, pendapat dari pejabat yang berwenang tentang hukum, keputusan eksekutif dan prakteknya, komentar resmi dari pemerintah tentang rancangan yang dibuat oleh ILC, Undang-undang nasional, keputusan pengadilan nasional, kutipan dalam sebuah perjanjian internasional, paktek lembaga-lembaga internasional, dan resolusi yang dikeluarkan Sidang Umum PBB. 
Suatu negara bisa secara terus menerus melakukan penolakan terhadap sebuah kebiasaan internasional (persistent objector). Bukti penolakan tersebut harus jelas. Lihat Anglo Norwegian Fisheries Case (1951) ICJ Reports, hal 116. Namun demikian, suatu negara yang diam saja ketika proses pembentukan kebiasaan internasional berlangsung tidak dapat menghindar dari pemberlakuan kebiasaan tersebut terhadapnya. Suatu kebiasaan internasional bisa saja “exist” di wilayah tertentu saja, misal antar dua negara atau regional saja. Lihat Asylum Case (1950) ICJ Reports, hal. 266 dan The Rights of Passage over Indian Territory Case (1960) ICJ Reports,hal 6

3. Prinsip-Prinsip Hukum Umum (General Principle of Law)
Sumber hukum ini dgunakan ketika perjanjian internasional dan kebiasaan yang ditemukan tidak kuat dipakai sebagai dasar untuk memutuskan suatu perkara. Hal ini penting dilakukan agar pengadilan tidak berhenti begitu saja karena tidak ada aturan yang mengatur (non liquet). Namun sampai saat ini belum terlalu jelas apakah yang dimaksud sebagai prinsip hukum hanya yang telah diakui oleh masyarakat internasional ataukah prinsip hukum nasional tertentu saja sudah cukup. Prinsip hukum umum seringkali berguna dan berfungsi sebagai keterangan untuk menginterpretasikan sebuah kebiasaan atau perjanjian internasional. Hal ini terutama ditemukan dalam naskah persiapan suatu perjanjian internasional.
Prinsip-prinsip yang pernah digunakan oleh Mahkamah Internasional antara lain adalah Good Faith, Estoppel, Res Judicata, Circumstantial Evidence, Equity, Pacta Sunt Servanda dan Effectivites. Lihat Diversion of Water from the Meuse Case (1937) PCIJ Reports, Series A/B, no 70; Temple of Preah Vihear Case (Merits) (1962) ICJ Reports, hal 6 dan the Corfu Channel Case (Merits) (1949) ICJ Reports hal 4

4.Keputusan Pengadilan, Ajaran Para Ahli dan Keputusan Badan Internasional Keputusan Pengadilan

a)     Keputusan Pengadilan
Pasal 59 Statuta Mahkamah Internasional menegaskan bahwa “the decision of the Court shall have no binding effect except between the parties and in respect of that particular case”.

Konsekuensinya:
Mahkamah tidak mengakui prinsip Preseden dan keputusan sebelumnya tidak mengikat secara teknis. Tujuannya adalah bahwa mencegah sebuah prinsip yang sudah dipakai Mahkamah dalam putusannya digunakan untuk negara lain atas kasus yang berbeda. Lihat Certain German Interest in Polish Upper Silesia Case (1926) PCIJ Reports, Series A, no 7. Keputusan Mahkamah bukan merupakan sumber formal dari sumber hukum internasional. Keputusan Peradilan hanya memiliki nilai persuasif. Sementara keputusan peradilan nasional berfungsi sebagai acuan tidak langsung adanya opinio juris terhadap suatu praktek negara tertentu. Hal yang sama juga berlaku untuk ajaran para ahli hukum internasional. Selain dilihat sebagai sebuah doktrin yang melengkapi interpretasi sebuah perjanjian, kebiasaan maupun prinsip umum hukum, sekaligus juga merupakan buki tidak langsung dari praktek dan opinio juris dari suatu negara.

b)     Ajaran Para Ahli Hukum Internasional
Dalam hukum internasional kontemporer, ajaran para ahli berfungsi terbatas hanya dalam analisa fakt-fakta, pembentukan pendapat-pendapat dan kesimpulan-kesimpulan yang mengarah kepada terjadinya trend atau kecenderungan dalam hukum internasional. Tentu saja pendapat dan ajaran-ajaran tersebut bersifat pribadi dan subjektif, namun dengan semakin banyaknya ajaran yang menyetujui akan suatu prinsip tertentu maka bisa dikatakan akan membentuk suatu kebiasaan baru. Pendapat dari para pejabat di bagian hukum masing-masing negara, tidak bisa dianggap sebagai ajaran para ahli hukum internasional namun justru bisa dilihat sebagai bagian dari praktek negara-negara.

c)     Resolusi Majelis Umum PBB

Resolusi PBB memiliki kekuatan mengikat terhadap hal-hal yang ditetapkan dalam statuta. Hal-hal tersebut adalah yang terkait dengan urusan administrasi dan keuangan. PBB sendiri tidak memiliki mandat untuk mengeluarkan prinsip-prinsip hukum internasional sehingga satu-satunya cara agar apa yang disepakati di dalam resolusi bisa menjadi prinsip hukum internasional adalah dengan melalui prosedur hukum kebiasaan internasional. Resolusi PBB hanya dianggap merefleksikan opinio juris dari negara-negara yang menyetujui resolusi itu. Meski demikian tetap harus diperhatikan dengan seksama apakah negara yang menyetujui memang menghendaki pernyataan persetujuannya itu dianggap sebagai opinio juris dan bukan sekedar pernyataan persetujuan belaka.

Kasus-Kasus yang Relevan:
Nuclear Test Case (1974) ICJ Reports, hal 253: Pernyataan Sepihak sebagai hukum
North Sea Continental Shelf Cases (1969) ICJ Reports, hal 3: lamanya (duration) dan tingkat generalisasi (generality) dari praktek negara-negara sebagai prasyarat tercukupi suatu praktek negara menjadi hukum kebiasaan internasional
Fisheries Jurisdiction Case (1974) ICJ Reports, hal 3: Komentar tentang lamanya dan tingkat generalisasi sebagai prasyarat praktek negara dalam menjadi hukum kebiasaan internasional
Lotus Case (1927) PCIJ Reports, Series A, no 10: Pernyataan akibat hukum dari pembiaran (acquiescence) dalam pembentukan kebiasaan internasional dan makna dari opinio juris sive necessitatis.
Asylum Case (1950) ICJ Reports, hal 266: Pernyataan yang mendukung keberadaan hukum nasional sebagai bagian dari hukum internasional
The Diversion of Water fromthe Meuse Case (1937) PCIJ Reports, Series A/B, no 70: pertimbangan konsep Equity sebagai Prinsip Umun Internasional.

Anglo-Norway Fisheries Case
Prinsip hukum internasional yang  terdapat dalam kasus “Anglo-Norway Fisheries Case” ini adalah mengenai penetapan base line zona perikanan Norwegia. Laut teritorial atau laut wilayah, adalah jalur laut yang terletak pada sisi laut dari garis pangkal (base line) dan di sebelah luar dibatasi oleh garis atau batas luar (outer limit) yang ditarik sejajar dengan garis pangkal di atas. Base line merupakan garis pangkal yang dijadikan sebagai pedoman untuk menarik garis zona perikanan sepanjang 3 mil atau 4 mil dari garis pangkal tersebut. Sesuai dengan kebiasaan internasional yang dianut kedua negara penetapan garis zona perikanan sejauh 3 mil diadopsi oleh United Kingdom sedangkan jarak 4 mil diadopsi oleh Norwegia. Sehingga dalam sengketa ini perbedaan prinsip antara kedua negara tentang penetapan laut territorial dari garis pangkal merupakan tugas Mahkamah Internasional untuk memutuskannya, manakah kiranya prinsip yang sesuai dengan hukum internasioanal
Inggris menganggap penetapan garis pangkal oleh Norwegia tidak sesuai dengan hukum internasional. Dikarenakan Norwegia menetapkan garis pangkalnya dari skjaergaard. Skjaergaard rmerupakan wilayah laut yang memisahkan pulau-pulau kecil, gugusan fjord, dan karang. Sedangkan menurut Inggris penetapan garis pangkal oleh Norwegia tidak sesuai dengan hukum internasional, karena seharusnya garis pangkal ditarik dari daratan yang kering.Inggris membawa kasus ini ke mahkamah internasional dengan alasan utama bahwa Inggris merasa dirugikan dalam penetapan garis pangkal zona perikanan tersebut. Inggris merasa Norwegia salah dalam menetapkan base-line sehingga dapat mengekploitasi daerah sejauh 4 miles yang memang kaya akan sumber daya perikanan. Pada proses pengadilan, kedua pihak sama-sama berpegang teguh pada prinsip masing-masing. Namun Kerajaan Norwegia mengungkapkan dalam argumentasi-argumentasi mereka bahwa faktor sejarah dari zona perikanan tersebut telah disepakati oleh kedua belah pihak sejak berabad-abad yang lalu.
Mahkamah internasional akhirnya memutus perkara ini pada 18 desember 1951 setelah dua tahun melewati proses persidangan, dengan menghasilkan keputusan bahwa metode dan hasil dari penetapan baseline oleh Norwegia berdasarkan dekritnya itu sesuai dengan hukum internasional. Pertimbangan mahkamah internasional adalah pertama, sudah menjadi hukum kebiasaan pada Norwegia sejak abad ke-17 daerah tersebut milik Norwegia. Yang kedua, bahwa skaejgaard yang dimaksud masih memiliki hubungan territorial dengan daratan Noorwegia, sehingga secara yurisdiksi masih menjadi wilayah kedaulatan Norwegia. Yang ketiga, bahwa wilayah tersebut memiliki kepentingan ekonomi dari penduduk local Norwegia, dimana wilayah yang kaya akan sumber perikanan tersebut dijadikan sumber matapencaharian bagi nelayan-nelayan Norwegia, sejak abad ke 17. Yang keempat adalah melihat kondisi geografis dari Norwegia sendiri yang memang relief negaranya merupakan gugusan pegunungan dan pantai-pantainya yang berkarang sehingga skaejgaard juga dianggap sebagai daratan. Pertimbangan-pertimbangan tersebut yang diambil oleh mahkamah internasional untuk memutus bahwa kasus ini dimenangkan oleh Norwegia. Dari kasus ini general principles yang dapat diambil adalah bahwa penetapan baseline atau garis pangkal laut territorial sebuah Negara pantai dapat pula diambil dari gugusan pulau-pulau kecil yang masih mempunyai hubungan territorial dengan daratan. Kasus ini juga dianggap sebagai sebagai salah satu landmark dalam hukum kebiasaan internasional sehingga melahirkan Konvensi Jenewa
Konvensi I Jenewa tahun 1958 mengenai laut teritorial dan jalur tambahan (Convention on the Territoal Sea and Contiguous Zone) menetapkan bahwa apabila penarikan garis pangkal dari ujung ke ujung diberlakukan maka tadinya laut yang merupakan laut lepas menjadi laut pedalaman di mana harus ada hak lalu-lintas damai (right of innocent passage). Dalam Konvensi I Jenewa tahun 1958 Pasal 4 ayat (1) menetapkan dalam hal-hal mana dapat dipergunakan sistem penarikan garis pangkal lurus, yakni: (1) di tempat-tempat di mana pantai banyak liku-liku tajam atau laut masuk jauh ke dalam dan (2) apabila terdapat deretan pulau yang letaknya tak jauh dari pantai. Ayat 2, 3, dan 5 memuat syarat-syarat yang harus diperhatikan di dalam menggunakan penarikan garis pangkal menurut sistem garis pangkal lurus dari ujung ke ujung. Syarat pertama adalah bahwa garis-garis lurus demikian tidak boleh menyimpang terlalu banyak dari arah umum daripada pantai dan bahwa bagian laut yang terletak pada sisi dalam (sisi darat) garis-garis demikian harus cukup dekat pada wilayah daratan untuk dapat diatur oleh ketentuan perairan pedalaman (ayat 2). Syarat kedua adalah bahwa garis-garis lurus tidak boleh ditarik di antara dua pulau atau bagian daratan yang hanya timbul di atas permukaan air di waktu pasang surut (low-tide elevations) kecuali apabila di atasnya telah didirikan mercusuar  atau instalasi-instalasi serupa yang setiap waktu ada di atas permukaan air (ayat 3). Syarat ketiga adalah penarikan garis pangkal tidak boleh dilakukan sedemikian rupa hingga memutuskan hubungan laut wilayah negara lain dengan laut lepas ( ayat 5).
Ayat 4 dapat dianggap sebagai tambahan ketentuan ayat 1 menegenai penetapan garis lurus sebagai garis pangkal.  Ayat ini menetapkan bahwa dalam penetapan garis pangkal lurus dapat diperhatikan kebutuhan-kebutuhan istimewa yang bersifat ekonomis daripada suatu daerah yang dapat dibuktikan oleh kebiasaan-kebiasaan dan kebutuhan yang telah berlangsung lama. Ketentuan dalam ayat 1 menunjukkan bahwa sistem garis pangkal lurus  adalah cara penarikan garis pangkal istimewa yang dapat dipergunakan suatu negara. Ketentuan ini berarti bahwa satu Negara dapat menggunakannya disebagian pantainya, yang memenuhi syarat ayat 1. Dengan perkataan lain, suatu Negara dapat menggunakan satu kombinasi pada sistem “normal base-line” dan “straight base-line” .

































BAB III
SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

A.     Negara Sebagai Subjek Utama Hukum Internasional
Subjek hukum internasional diartikan sebagai pemilik, pemegang atau pendukung hak dan pemikul kewajiban berdasarkan hukum internasional. Pada awal mula, dari kelahiran dan pertumbuhan hukum internasional, hanya negaralah yang dipandang sebagai subjek hukum internasional. Menurut Konvensi Montevideo 1949, mengenai Hak dan Kewajiban Negara, kualifikasi suatu negara untuk disebut sebagai pribadi dalam hukum internasional adalah:
a. Penduduk yang tetap;
b. Wilayah tertentu;
c. Pemerintahan;
d. Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain

B.    Unsur-unsur konstitutif suatu Negara
Menurut Oppenheim-Lauterpacht, unsur-unsur negara adalah:
a)     Unsur pembentuk negara (konstitutif): wilayah/ daerah, rakyat, pemerintah yang berdaulat
b)    Unsur deklaratif: pengakuan oleh negara lain

1. Wilayah/ Daerah

1) Daratan
Wilayah daratan ada di permukaan bumi dalam batas-batas tertentu dan di dalam tanah di bawah permukaan bumi. Artinya, semua kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi dalam batas-batas negara adalah hak sepenuhnya negara pemilik wilayah.
Batas-batas wilayah daratan suatu negara dapat berupa:
  • Batas alam, misalnya: sungai, danau, pegunungan, lembah
  • Batas buatan, misalnya: pagar tembok, pagar kawat berduri, parit
  • Batas menurut ilmu alam: berupa garis lintang dan garis bujur peta bumi

2) Lautan
Lautan yang merupakan wilayah suatu negara disebut laut teritorial negara itu, sedangkan laut di luarnya disebut laut terbuka (laut bebas, mare liberum).
Ada dua konsepsi pokok tentang laut, yaitu: 1) Res Nullius, yang menyatakan bahwa laut tidak ada pemiliknya, sehingga dapat diambil/ dimiliki oleh setiap negara; 2) Res Communis, yang menyatakan bahwa laut adalah milik bersama masyarakat dunia dan karenanya tidak dapat diambil/ dimiliki oleh setiap negara.
Tidak ada ketentuan dalam hukum internasional yang menyeragamkan lebar laut teritorial setiap negara. Kebanyakan negara secara sepihak menentukan sendiri wilayah lautnya. Pada umumnya dianut tiga (3) mil laut (± 5,5 km) seperti Kanada dan Australia. Tetapi ada pula yang menentukan batas 12 mil laut (Chili dan Indonesia), bahkan 200 mil laut (El Salvador). Batas laut Indonesia sejauh 12 mil laut diumumkan kepada masyarakat internasional melalui Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957.
Pada tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay (Jamaica), ditandatangani traktat multilateral yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan lautan, misalnya: permukaan dan dasar laut, aspek ekonomi, perdagangan, hukum, militer dan lingkungan hidup. Traktat tersebut ditandatangani 119 delegasi peserta yang terdiri dari 117 negara dan dua organisasi kebangsaan.
Tentang batas lautan ditetapkan sebagai berikut:
1. Batas laut teritorial
Setiap negara berdaulat atas lautan teritorial yang jaraknya sampai 12 mil laut, diukur dari garis lurus yang ditarik dari pantai.
2. Batas zona bersebelahan
Di luar batas laut teritorial sejauh 12 mil laut atau 24 mil dari pantai adalah batas zona bersebelahan. Di dalam wilayah ini negara pantai dapat mengambil tindakan dan menghukum pihak-pihak yang melanggar undang-undang bea cukai, fiskal, imigrasi, dan ketertiban negara.
3. Batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
ZEE adalah wilayah laut suatu engara pantai yang batasnya 200 mil laut diukur dari pantai. Di dalam wilayah ini, negara pantai yang bersangkutan berhak menggali kekayaan laut dan menangkap nelayan asing yang kedapatan menangkap ikan di wilayah ini serta melakukan kegiatan ekonomi lainnya. Negara lain bebas berlayar atau terbang di atas wilayah itu serta bebas pula memasang kabel dan pipa di bawah laut.
4. Batas landas benua
Landas benua adalah wilayah lautan suatu engara yang batasnya lebih dari 200 mil laut. Dalam wilayah ini negara pantai boleh melakukan eksplorasi dan eksploitasi dengan kewajiban membagi keuntungan dengan masyarakat internasional.
3) Udara
Wilayah udara suatu negara ada di atas wilayah daratan dan lautan negara itu. Kekuasaan atas wilayah udara suatu negara itu pertama kali diatur dalam Perjanjian Paris pada tahun 1919 (dimuat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda No.536/1928 dan No.339/1933). Perjanjian Havana pada tahun 1928 yang dihadiri 27 negara menegaskan bahwa setiap negara berkuasa penuh atas udara di wilayahnya. Hanya seizin dan atau menurut perjanjian tertentu, pesawat terbang suatu negara boleh melakukan penerbangan di atas negara lain. Demikian pula Persetujuan Chicago 1944 menentukan bahwa penerbangan internasional melintasi negara tanpa mendarat atau mendarat untuk tujuan transit dapat dilakukan hanya seizin negara yang bersangkutan. Sedangkan Persetujuan Internasional 1967 mengatur tentang angkasa yang tidak bisa dimiliki oleh negara di bawahnya dengan alasan segi kemanfaatan untuk semua negara dan tujuan perdamaian.

4) Wilayah Ekstrateritorial
Wilayah ekstrateritorial adalah tempat-tempat yang menurut hukum internasional diakui sebagai wilayah kekuasaan suatu negara – meskipun tempat itu berada di wilayah negara lain. Termasuk di dalamnya adalah tempat bekerja perwakilan suatu negara, kapal-kapal laut yang berlayar di laut terbuka di bawah suatu bendera negara tertentu. Di wilayah itu pengibaran bendera negara yang bersangkutan diperbolehkan. Demikian pula pemungutan suara warga negara yang sedang berada di negara lain untuk pemilu di negara asalnya. Contoh: di atas kapal (floating island) berbendera Indonesia berlaku kekuasaan negara dan undang-undang NKRI.

2.Penduduk Yang tetap / Rakyat

Rakyat (Inggris: people; Belanda: volk) adalah kumpulan manusia yang hidup bersama dalam suatu masyarakat penghuni suatu negara, meskipun mereka ini mungkin berasal dari keturunan dan memiliki kepercayaan yang berbeda. Selain rakyat, penghuni negara juga disebut bangsa. Para ahli menggunakan istilah rakyat dalam pengertian sosiologis dan bangsa dalam pengertian politis. Rakyat adalah sekelompok manusia yang memiliki suatu kebudayaan yang sama, misalnya memiliki kesamaan bahasa dan adat istiadat. Sedangkan bangsa – menurut Ernest Renan – adalah sekelompok manusia yang dipersatukan oleh kesamaan sejarah dan cita-cita. Hasrat bersatu yang didorong oleh kesamaan sejarah dan cita-cita meningkatkan rakyat menjadi bangsa. Dengan perkataan lain, bangsa adalah rakyat yang berkesadaran membentuk negara. Suatu bangsa tidak selalu terbentuk dari rakyat seketurunan, sebahasa, seagama atau adat istiadat tertentu kendati kesamaan itu besar pengaruhnya dalam proses pembentukan bangsa. Sekadar contoh, bangsa Amerika Serikat sangat heterogen, banyak ras, bahasa dan agama; bangsa Swiss menggunakan tiga bahasa yang sama kuatnya; bangsa Indonesia memiliki ratusan suku, agama, bahasa dan adat istiadat yang berbeda. Secara geopolitis, selain harus memiliki sejarah dan cita-cita yang sama, suatu bangsa juga harus terikat oleh tanah air yang sama.

Beberapa pandangan tentang pengertian bangsa:
  • Otto Bauer berpendapat bahwa bangsa adalah suatu kesatuan yagn terjadi karena persatuan yang telah dijalani rakyat.
  • Kranenburg dalam bukunya “Allgemeine Staatslehre” mengaitkan konsepsi bangsa dengan budi pekerti rakyat.
  • Jacobsen dan Lipman dalam buku “Political Science” menyatakan bahwa bangsa adalah suatu kesatuan budaya (cultural unity).
  • Ernest Renan dalam pidatonya di Universitas Sorbone (Paris) pada tanggal 11 Maret 1882 menyatakan bahwa bangsa adalah satu jiwa atau satu azas kerohanian yang ditimbulkan oleh adanya kemuliaan bersama di masa lampau. Bangsa tumbuh karena adanya solidaritas kesatuan.
  • G.S. Dipondo mengatakan bahwa rakyat hanyalah sebagian kecil dari bangsa, yaitu mereka yang tidak duduk dalam pucuk pimpinan. Sedangkan pengertian bangsa mencakup baik pimpinan maupun rakyat itu sendiri.
  • Padmo Wahyono menggunakan istilah bangsa sebagai unsur negara: bangsa dari suatu negara jika dilihat secara perorangan berarti warga negara.
Beberapa istilah yang erat pengertiannya dengan rakyat:
  1. Rumpun (ras), diartikan sebagai sekumpulan manusia yang merupakan suatu kesatuan karena berciri jasmaniah yang sama, misalnya: warna kulit, warna rambut, bentuk badan, wajah, etc.
  2. Bangsa (volks), diartikan sebagai sekumpulan manusia yang merupakan suatu kesatuan karena kesamaan kebudayaan, misalnya: bahasa, adat/ kebiasaan, agama dan sebagainya.
  3. Nation (natie), diartikan sebagai sekumpulan manusia yang merupakan suatu kesatuan karena memiliki kesatuan politik yang sama.
Rakyat merupakan unsur terpenting dalam negara karena manusialah yang berkepentingan agar organisasi negara dapat berjalan dengan baik. Rakyat suatu negara dibedakan antara: a) penduduk dan bukan penduduk; b) warga negara dan bukan warga negara.
Penduduk ialah mereka yang bertempat tinggal atau berdomisili tetap di dalam wilayah negara. Sedangkan bukan penduduk ialah mereka yang ada di dalam wilayah negara, tetapi tidak bermaksud bertempat tinggal di negara itu. Warga negara ialah mereka yang berdasarkan hukum merupakan anggota dari suatu negara. Sedangkan bukan warga negara disebut orang asing atau warga negara asing (WNA).
Cara menentukan kewarganegaraan
Pada umumnya ada tiga cara penetapan kewarganegaraan sesuai hukum nasionalnya:
1.    Jus Sanguinis
Penetapan kewarganegaraan berdasarkan kewarganegaraan orang tua mereka

1.   Jus Soli
Menurut sistem ini penetapan kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya dan bukan orangtua mereka.
2.   Naturalis
Suatu Negara memberikan kemungkinan kepada waerga Negara asing untuk memperoleh kewarganegaraan setempat  setelah memenuhi syarat---syarat tttertentu.
Istilah Pemerintah merupakan terjemahan dari kata asing Gorvernment (Inggris), Gouvernement (Prancis) yang berasal dari kata Yunani κουβερμαν yang berarti mengemudikan kapal (nahkoda). Dalam arti luas, Pemerintah adalah gabungan dari semua badan kenegaraan (eksekutif, legislatif, yudikatif) yang berkuasa memerintah di wilayah suatu negara. Dalam arti sempit, Pemerintah mencakup lembaga eksekutif saja.
Menurut Utrecht, istilah Pemerintah meliputi pengertian yang tidak sama sebagai berikut:
  1. Pemerintah sebagai gabungan semua badan kenegaraan atau seluruh alat perlengkapan negara adalam arti luas yang meliputi badan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
  2. Pemerintah sebagai badan kenegaraan tertinggi yang berkuasa memerintah di wilayah suatu negara (dhi. Kepala Negara).
  3. Pemerintah sebagai badan eksekutif (Presiden bersama menteri-menteri: kabinet).
Istilah kedaulatan merupakan terjemahan dari sovereignty (Inggris), souveranete (Prancis), sovranus (Italia) yang semuanya diturunkan dari kata supremus (Latin) yang berarti tertinggi. Kedaulatan berarti kekuasan yang tertinggi, tidak di bawah kekuasaan lain.
Pemerintah yang berdaulat berarti pemerintah yang memegang kekuasaan tertinggi di dalam negaranya dan tidak berada di bawah kekuasaan pemerintah negara lain. Maka, dikatakan bahwa pemerintah yang berdaulat itu berkuasa ke dalam dan ke luar:
  1. Kekuasaan ke dalam, berarti bahwa kekuasaan pemerintah itu dihormati dan ditaati oleh seluruh rakyat dalam negara itu;
  2. Kekuasaan ke luar, berarti bahwa kekuasaan pemerintah itu dihormati dan diakui oleh negara-negara lain.
Jean Bodin (1530-1596), seorang ahli ilmu negara asal Prancis, berpendapat bahwa negara tanpa kekuasaan bukanlah negara. Dialah yang pertama kali menggunakan kata kedaulatan dalam kaitannya dengan negara (aspek internal: kedaulatan ke dalam). Kedaulatan ke dalam adalah kekuasaan tertinggi di dalam negara untuk mengatur fungsinya. Kedaulatan ke luar adalah kekuasaan tertinggi untuk mengatur pemerintahan serta memelihara keutuhan wilayah dan kesatuan bangsa (yang selayaknya dihormati oleh bangsa dan negara lain pula), hak atau wewenang mengatur diri sendiri tanpa pengaruh dan campur tangan asing.
Grotius (Hugo de Groot) yang dianggap sebagai bapak hukum internasional memandang kedaulatan dari aspek eksternalnya, kedaulatan ke luar, yaitu kekuasaan mempertahankan kemerdekaan negara terhadap serangan dari negara lain.
Sifat-sifat kedaulatan menurut Jean Bodin:
  1. Permanen/ abadi, yang berarti kedaulatan tetap ada selama negara masih berdiri.
  2. Asli, yang berarti bahwa kedaulatan itu tidak berasal adari kekuasaan lain yang lebih tinggi.
  3. Tidak terbagi, yang berarti bahwa kedaulatan itu merupakan satu-satunya yang tertinggi di dalam negara.
  4. Tidak terbatas, yang berarti bahwa kedaulatan itu tidak dibatasi oleh siapa pun, karena pembatasan berarti menghilangkan ciri kedaulatan sebagai kekuasaan yang tertinggi.
Para ahli hukum sesudahnya menambahkan satu sifat lagi, yaitu tunggal, yang berarti bahwa hanya negaralah pemegang kekuasaan tertinggi.
Macam-macam teori kedaulatan
1. Teori Kedaulatan Tuhan
Teori ini merupakan teori kedaulatan yang pertama dalam sejarah, mengajarkan bahwa negara dan pemerintah mendapatkan kekuasaan tertinggi dari Tuhan sebagai asal segala sesuatu (Causa Prima). Menurut teori ini, kekuasaan yang berasal dari Tuhan itu diberikan kepada tokoh-tokoh negara terpilih, yang secara kodrati ditetapkan-Nya menjadi pemimpin negara dan berperan selaku wakil Tuhan di dunia. Teori ini umumnya dianut oleh raja-raja yang mengaku sebagai keturunan dewa, misalnya para raja Mesir Kuno, Kaisar Jepang, Kaisar China, Raja Belanda (Bidde Gratec Gods, kehendak Tuhan), Raja Ethiopia (Haile Selasi, Singa penakluk dari suku Yuda pilihan Tuhan). Demikian pula dianut oleh para raja Jawa zaman Hindu yang menganggap diri mereka sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Ken Arok bahkan menganggap dirinya sebagai titisan Brahmana, Wisnu, dan Syiwa sekaligus.
Pelopor teori kedaulatan Tuhan antara lain: Augustinus (354-430), Thomas Aquino (1215-1274), juga F. Hegel (1770-1831) dan F.J. Stahl (1802-1861).
Karena berasal dari Tuhan, maka kedaulatan negara bersifat mutlak dan suci. Seluruh rakyat harus setia dan patuh kepada raja yang melaksanakan kekuasaan atas nama dan untuk kemuliaan Tuhan. Menurut Hegel, raja adalah manifestasi keberadaan Tuhan. Maka, raja/ pemerintah selalu benar, tidak mungkin salah.

2. Teori Kedaulatan Raja
Dalam Abad Pertengahan Teori Kedaulatan Tuhan berkembang menjadi Teori Kedaulatan Raja, yang menganggap bahwa raja bertanggung jawab kepada dirinya sendiri. Kekuasaan raja berada di atas konstitusi. Ia bahkan tak perlu menaati hukum moral agama, justru karena “status”-nya sebagai representasi/ wakil Tuhan di dunia. Maka, pada masa itu kekuasaan raja berupa tirani bagi rakyatnya.
Peletak dasar utama teori ini adalah Niccolo Machiavelli (1467-1527) melalui karyanya, Il Principe. Ia mengajarkan bahwa negara harus dipimpin oleh seorang raja yang berkekuasaan mutlak. Sedangkan Jean Bodin menyatakan bahwa kedaulatan negara memang dipersonifikasikan dalam pribadi raja, namun raja tetap harus menghormati hukum kodrat, hukum antarbangsa, dan konstitusi kerajaan (leges imperii). Di Inggris, teori ini dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679) yang mengajarkan bahwa kekuasaan mutlak seorang raja justru diperlukan untuk mengatur negara dan menghindari homo homini lupus.
3. Teori Kedaulatan Negara
Menurut teori ini, kekuasaan tertinggi terletak pada negara. Sumber kedaulatan adalah negara, yang merupakan lembaga tertinggi kehidupan suatu bangsa. Kedaulatan timbul bersamaan dengan berdirinya suatu negara. Hukum dan konstitusi lahir menurut kehendak negara, diperlukan negara, dan diabdikan kepada kepentingan negara. Demikianlah F. Hegel mengajarkan bahwa terjadinya negara adalah kodrat alam, menurut hukum alam dan hukum Tuhan. Maka kebijakan dan tindakan negara tidak dapat dibatasi hukum. Ajaran Hegel ini dianggap yang paling absolut sepanjang sejarah. Para penganut teori ini melaksanakan pemerintahan tiran, teristimewa melalui kepala negara yang bertindak sebagai diktator. Pengembangan teori Hegel menyebar di negara-negara komunis.
Peletak dasar teori ini antara lain: Jean Bodin (1530-1596), F. Hegel (1770-1831), G. Jellinek (1851-1911), Paul Laband (1879-1958).
4. Teori Kedaulatan Hukum
Berdasarkan pemikiran teori ini, kekuasaan pemerintah berasal dari hukum yang berlaku. Hukumlah (tertulis maupun tidak tertulis) yang membimbing kekuasaan pemerintahan. Etika normatif negara yang menjadikan hukum sebagai “panglima” mewajibkan penegakan hukum dan penyelenggara negara dibatasi oleh hukum. Pelopor teori Kedaulatan Hukum antara lain: Hugo de Groot, Krabbe, Immanuel Kant dan Leon Duguit.
5. Teori Kedaulatan Rakyat (Teori Demokrasi)
Teori ini menyatakan bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Pemerintah harus menjalankan kehendak rakyat. Ciri-cirinya adalah: kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat (teori ajaran demokrasi) dan konstitusi harus menjamin hak azasi manusia.
Beberapa pandangan pelopor teori kedaulatan rakyat:
  1. J.J. Rousseau menyatakan bahwa kedaulatan itu perwujudan dari kehendak umum dari suatu bangsa merdeka yang mengadakan perjanjian masyarakat (social contract).
  2. Johanes Althuisiss menyatakan bahwa setiap susunan pergaulan hidup manusia terjadi dari perjanjian masyarakat yang tunduk kepada kekuasaan, dan pemegang kekuasaan itu dipilih oleh rakyat.
  3. John Locke menyatakan bahwa kekuasaan negara berasal dari rakyat, bukan dari raja. Menurut dia, perjanjian masyarakat menghasilkan penyerahan hak-hak rakyat kepada pemerintah dan pemerintah mengembalikan hak dan kewajiban azasi kepada rakyat melalui peraturan perundang-undangan.
  4. Montesquieu yang membagi kekuasaan negara menjadi: kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif (Trias Politica).

4. Pengakuan oleh negara lain

Pengakuan oleh negara lain didasarkan pada hukum internasional. Pengakuan itu bersifat deklaratif/ evidenter, bukan konstitutif. Proklamasi kemerdekaan Amerika Serikat dilaksanakan pada tanggal 4 Juli 1776, namun Inggris (yang pernah berkuasa di wilayah AS) baru mengakui kemerdekaan negara itu pada tahun 1783.
Adanya pengakuan dari negara lain menjadi tanda bahwa suatu negara baru yang telah memenuhi persyaratan konstitutif diterima sebagai anggota baru dalam pergaulan antarnegara. Dipandang dari sudut hukum internasional, faktor pengakuan sangat penting, yaitu untuk:
  • tidak mengasingkan suatu kumpulan manusia dari hubungan-hubungan internasional;
  • menjamin kelanjutan hubungan-hubungan intenasional dengan jalan mencegah kekosongan hukum yang merugikan, baik bagi kepentingan-kepentingan individu maupun hubungan antarnegara.
Menurut Oppenheimer, pengakuan oleh negara lain terhadap berdirinya suatu negara semata-mata merupakan syarat konstitutif untuk menjadi an international person. Dalam kedudukan itu, keberadaan negara sebagai kenyataan fisik (pengakuan de facto) secara formal dapat ditingkatkan kedudukannya menjadi suatu judicial fact (pengakuan de jure).
Pengakuan de facto adalah pengakuan menurut kenyataan bahwa suatu negara telah berdiri dan menjalankan kekuasaan sebagaimana negara berdaulat lainnya. Sedangkan pengakuan de jure adalah pengakuan secara hukum bahwa suatu negara telah berdiri dan diakui kedaulatannya berdasarkan hukum internasional.
Perbedaan antara pengakuan de facto dan pengakuan de jure antara lain adalah:
  1. Hanya negara atau pemerintah yang diakui secara de jure yang dapat mengajukan klaim atas harta benda yang berada dalam wilayah negara yang mengakui.
  2. Wakil-wakil dari negara yang diakui secara de facto secara hukum tidak berhak atas kekebalan-kekebalan dan hak-hak istimewah diplomatik secara penuh.
  3. Pengakuan de facto – karena sifatnya sementara – pada prinsipnya dapat ditarik kembali.
  4. Apabila suatu negara berdaulat yang diakui secara de jure memberikan kemerdekaan kepada suatu wilayah jajahan, maka negara yang baru merdeka itu harus diakui secara de jure pula.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Unsur-unsur negara terpenuhi pada tanggal 18 Agustus 1945. Pengakuan pertama diberikan oleh Mesir, yaitu pada tanggal 10 Juni 1947. Berturut-turut kemerdekaan Indonesia itu kemudian diakui oleh Lebanon, Arab Saudi, Afghanistan, Syria dan Burma. Pengakuan de facto diberikan Belanda kepada Republik Indonesia atas wilayah Jawa, Madura dan Sumatra dalam Perundingan Linggarjati tahun 1947. Sedangkan pengakuan de jure diberikan Belanda pada tanggal 27 Desember 1949 dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).
Pengakuan terhadap negara baru dalam kenyataannya lebih merupakan masalah politik daripada masalah hukum. Artinya, pertimbangan politik akan lebih berpengaruh dalam pemberian pengakuan oleh negara lain. Pengakuan itu merupakan tindakan bebas dari negara lain yang mengakui eksistensi suatu wilayah tertentu yang terorganisasi secara politik, tidak terikat kepada negara lain, berkemampuan menaati kewajiban-kewajiban hukum internasional dalam statusnya sebagai anggota masyarakat internasional.
Menurut Starke, tindakan pemberian pengakuan dapat dilakukan secara tegas (expresss), yaitu pengakuan yang dinyatakan secara resmi berupa nota diplomatik, pesan pribadi kepala negara atau menteri luar negeri, pernyataan parlemen, atau melalui traktat. Pengakuan juga dapat dilakukan secara tidak tegas (implied), yaitu pengakuan yang ditampakkan oleh hubungan tertentu antara negara yang mengakui dengan negara atau pemerintahan baru.

Ada dua teori pengakuan yang saling bertentangan:
  1. Teori Konstitutif, yaitu teori yang menyatakan bahwa hanya tindakan pengakuanlah yang menciptakan status kenegaraan atau yang melengkapi pemerintah baru dengan otoritasnya di lingkungan internasional
  2. Teori Deklaratoir atau Evidenter, yaitu teori yang menyatakan bahwa status kenegaraan atau otoritas pemerintah baru telah ada sebelum adanya pengakuan dan status itu tidak bergantung pada pengakuan yang diberikan. Tindakan pengakuan hanyalah pengumuman secara resmi terhadap fakta yang telah ada.
Pendukung teori pengakuan antara lain: Brierly, Francois, Fischer, Williams.
B. Bentuk-Bentuk Negara

1.     Konfidersi
Bagi L. Oppenheim, “konfederasi terdiri dari beberapa negara yang berdaulat penuh yang untuk mempertahankan kedaulatan ekstern (ke luar) dan intern (ke dalam) bersatu atas dasar perjanjian internasional yang diakui dengan menyelenggarakan beberapa alat perlengkapan tersendiri yang mempunyai kekuasaan tertentu terhadap negara anggota Konfederasi, tetapi tidak terhadap warganegara anggota Konfederasi itu.” Menurut kepada definisi yang diberikan oleh L. Oppenheim di atas, maka Konfederasi adalah negara yang terdiri dari persatuan beberapa negara yang berdaulat. Persatuan tersebut diantaranya dilakukan demi mempertahankan kedaulatan dari negara-negara yang masuk ke dalam Konfederasi tersebut. Pada tahun 1963, Malaysia dan Singapura pernah membangun suatu Konfederasi, yang salah satunya dimaksudkan untuk mengantisipasi politik luar negeri yang agresif dari Indonesia di masa pemerintahan Sukarno. Malaysia dan Singapura mendirikan Konfederasi lebih karena alasan pertahanan masing-masing negara.
Dalam Konfederasi, aturan-aturan yang ada di dalamnya hanya berefek kepada masing-masing pemerintah (misal: pemerintah Malaysia dan Singapura), dengan tidak mempengaruhi warganegara (individu warganegara) Malaysia dan Singapura. Meskipun terikat dalam perjanjian, pemerintah Malaysia dan Singapura tetap berdaulat dan berdiri sendiri tanpa intervensi satu negara terhadap negara lainnya di dalam Konfederasi.
Miriam Budiardjo menjelaskan bahwa Konfederasi itu sendiri pada hakekatnya bukan negara, baik ditinjau dari sudut ilmu politik maupun dari sudut hukum internasional. Keanggotaan suatu negara ke dalam suatu Konfederasi tidaklah menghilangkan ataupun mengurangi kedaulatan setiap negara yang menjadi anggota Konfederasi. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat skema berikut :

 Garis putus-putus yang melambangkan ‘rantai komando’ dari Konfederasi menuju Pemerintah Negara A, B, dan C, dimaksudkan guna menunjukkan hirarki yang kurang tegas antara kedua ‘negara’ tersebut (tanpa petunjuk panah plus garis putus-putus). Dapat dilihat misalnya, garis ‘komando’ hanya beranjak dari Konfederasi menuju pemerintah negara A, B, dan C, tetapi tidak pada warganegara di ketiga negara.  Garis ‘komando’ langsung terhadap warganegara di masing-masing negara dilakukan oleh pemerintah masing-masing. Kesediaan pemerintah ketiga negara berdaulat untuk bergabung ke dalam konfederasi lebih disebabkan oleh motivasi sukarela ketimbang kewajiban. Pengaruh Konfederasi terhadap ketiga negara berdaulat (A, B, dan C) hanya bersifat kecil saja. Mengenai ‘lingkaran’ yang melingkupi masing-masing pemerintah dan negara bagaian mengindikasikan kedaulatan yang tetap ada di masing-masing negara anggota Konfederasi.

2. Kesatuan
Negara Kesatuan adalah negara yang pemerintah pusat atau nasional memegang kedudukantertinggi, dan memiliki kekuasaan penuh dalam pemerintahan sehari-hari. Tidak ada bidang kegiatan pemerintah yang diserahkan konstitusi kepada satuan-satuan pemerintahan yang lebih kecil (dalam hal ini, daerah atau provinsi).  Dalam negara Kesatuan, pemerintah pusat (nasional) bisa melimpahkan banyak tugas (melimpahkan wewenang) kepada kota-kota, kabupaten-kabupaten, atau satuan-satuan pemerintahan lokal. Namun, pelimpahan wewenang ini hanya diatur oleh undang-undang yang dibuat parlemen pusat (di Indonesia DPR-RI), bukan diatur di dalam konstitusi (di Indonesia UUD 1945), di mana pelimpahan wewenang tersebut bisa saja ditarik sewaktu-waktu. Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi, di mana ini dikenal pula sebagai desentralisasi. Namun, kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan pemerintah pusat dan dengan demikian, baik kedaulatan ke dalam maupun kedaulatan ke luar berada pada pemerintah pusat.
Miriam Budiardjo menulis bahwa yang menjadi hakekat negara Kesatuan adalah kedaulatannya tidak terbagi dan tidak dibatasi, di mana hal tersebut dijamin di dalam konstitusi. Meskipun daerah diberi kewenangan untuk mengatur sendiri wilayahnya, tetapi itu bukan berarti pemerintah daerah itu berdaulat, sebab pengawasan dan kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat-lah sesungguhnya yang mengatur kehidupan setiap penduduk daerah. Keuntungan negara Kesatuan adalah adanya keseragaman Undang-Undang, karena aturan yang menyangkut ‘nasib’ daerah secara keseluruhan hanya dibuat oleh parlemen pusat. Namun, negara Kesatuan bisa tertimpa beban berat oleh sebab adanya perhatian ekstra pemerintah pusat terhadap masalah-masalah yang muncul di daerah.  Penanganan setiap masalah yang muncul di daerah kemungkinan akan lama diselesaikan oleh sebab harus menunggu instruksi dari pusat terlebih dahulu. Bentuk negara Kesatuan juga tidak cocok bagi negara yang jumlah penduduknya besar, heterogenitas (keberagaman) budaya tinggi, dan yang wilayahnya terpecah ke dalam pulau-pulau. Untuk lebih memperjelas masalah negara Kesatuan ini, baiklah kami buat skema berikut :

Ada sebagian kewenangan yang didelegasikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, yang dengan kewenangan tersebut pemerintah daerah mengatur penduduk yang ada di dalam wilayahnya. Namun, pengaturan pemerintah daerah terhadap penduduk di wilayahnya lebih bersifat ‘instruksi dari pusat’ ketimbang improvisasi dan inovasi pemerintah daerah itu sendiri.  Dalam negara Kesatuan, pemerintah pusat secara langsung mengatur masing-masing penduduk yang ada di setiap daerah. Misalnya, pemerintah pusat berwenang menarik pajak dari penduduk daerah, mengatur kepolisian daerah, mengatur badan pengadilan, membuat kurikulum pendidikan yang bersifat nasional, merelay stasiun televisi dan radio pemerintah ke seluruh daerah, dan bahkan menunjuk gubernur kepala daerah.

3.Federasi
Negara Federasi ditandai adanya pemisahan kekuasaan negara antara pemerintahan nasional dengan unsur-unsur kesatuannya (negara bagian, provinsi, republik, kawasan, atau wilayah). Pembagian kekuasaan ini dicantumkan ke dalam konstitusi (undang-undang dasar). Sistem pemerintahan Federasi sangat cocok untuk negara-negara yang memiliki kawasan geografis luas, keragaman budaya daerah tinggi, dan ketimpangan ekonomi cukup tajam.
Apakah ada perbedaan antara Konfederasi dengan Federasi ? Ya, ada! Negara-negara yang menjadi anggota suatu Konfederasi tetap merdeka sepenuhnya atau berdaulat, sedangkan negara-negara yang tergabung ke dalam suatu Federasi kehilangan kedaulatannya, oleh sebab kedaulatan ini hanya ada di tangan pemerintahan Federasi.  Di Amerika Serikat, terdapat 50 negara bagian semisal Alabama, New Hampshire, New Mexico, Maine, Utah, Wisconsin, South Dakota, Wyoming, West Virginia, Nevada, New Jersey, Florida, Hawaii, Alaska, New Mexico, California, Kansas, Phoenix, Nebraska, Pennsylvania, atau Texas.
Negara-negara bagian ini tidaklah berdaulat sendiri-sendiri melainkan kedaulatan tersebut hanya ada di tangan pemerintah Federasi yang dikenal sebagai United States of America (Amerika Serikat) dengan ibukotanya di Washington D.C. (District Columbia) itu! Bagaimana selanjutnya, adakah perbedaan antara negara Federasi dengan negara Kesatuan ? Ya, juga ada! Negara-negara bagian suatu Federasi memiliki wewenang untuk membentuk undang-undang dasar sendiri serta pula wewenang untuk mengatur bentuk organisasi sendiri dalam batas-batas konstitusi federal, sedangkan di dalam negara Kesatuan, organisasi pemerintah daerah secara garis besar telah ditetapkan oleh undang-undang dari pusat.   Selanjutnya pula, dalam negara Federasi, wewenang membentuk undang-undang pusat untuk mengatur hal-hal tertentu telah terperinci satu per satu dalam konstitusi Federal, sedangkan dalam negara Kesatuan, wewenang pembentukan undang-undang pusat ditetapkan dalam suatu rumusan umum dan wewenang pembentukan undang-undang lokal tergantung pada badan pembentuk undang-undang pusat itu. Berikut hirarki negara Federasi:

Di dalam negara Federasi, kedaulatan hanya milik pemerintah Federal, bukan milik negara-negara bagian. Namun, wewenang negara-negara bagian untuk mengatur penduduk di wilayahnya lebih besar ketimbang pemerintah daerah di negara Kesatuan.  Wewenang negara bagian di negara Federasi telah tercantum secara rinci di dalam konstitusi federal, misalnya mengadakan pengadilan sendiri, memiliki undang-undang dasar sendiri, memiliki kurikulum pendidikan sendiri, mengusahakan kepolisian negara bagian sendiri, bahkan melakukan perdagangan langsung dengan negara luar seperti pernah dilakukan pemerintah Indonesia dengan negara bagian Georgia di Amerika Serikat di masa Orde Baru.  Kendatipun negara bagian memiliki wewenang konstitusi yang lebih besar ketimbang negara Kesatuan, kedaulatan tetap berada di tangan pemerintah Federal yaitu dengan monopoli hak untuk mengatur Angkatan Bersenjata, mencetak mata uang, dan melakukan politik luar negeri (hubungan diplomatik). Kedaulatan ke dalam dan ke luar di dalam negara Federasi tetap menjadi hak pemerintah Federal bukan negara-negara bagian.

3.     Subjek Hukum Internasional Lainnya
  1. Organisasi Internasional
Klasifikasi organisasi internasional menurut Theodore A Couloumbis dan James H. Wolfe :
a. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan secara global dengan maksud dan tujuan yang bersifat umum, contohnya adalah Perserikatan Bangsa Bangsa ;
b. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan global dengan maksud dan tujuan yang bersifat spesifik, contohnya adalah World Bank, UNESCO, International Monetary Fund, International Labor Organization, dan lain-lain;
c. Organisasi internasional dengan keanggotaan regional dengan maksud dan tujuan global, antara lain: Association of South East Asian Nation (ASEAN), Europe Union.

  1. Palang Merah Internasional
Sebenarnya Palang Merah Internasional, hanyalah merupakan salah satu jenis organisasi internasional. Namun karena faktor sejarah, keberadaan Palang Merah Internasional di dalam hubungan dan hukum internasional menjadi sangat unik dan di samping itu juga menjadi sangat strategis. Pada awal mulanya, Palang Merah Internasional merupakan organisasi dalam ruang lingkup nasional, yaitu Swiss, didirikan oleh lima orang berkewarganegaraan Swiss, yang dipimpin oleh Henry Dunant dan bergerak di bidang kemanusiaan. Kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Palang Merah Internasional mendapatkan simpati dan meluas di banyak negara, yang kemudian membentuk Palang Merah Nasional di masing-masing wilayahnya. Palang Merah Nasional dari negar-negara itu kemudian dihimpun menjadi Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross/ICRC) dan berkedudukan di Jenewa, Swiss. (Phartiana, 2003; 123)

  1. Tahta Suci Vatikan
Tahta Suci Vatikan di akui sebagai subjek hukum internasional berdasarkan Traktat Lateran tanggal 11 Februari 1929, antara pemerintah Italia dan Tahta Suci Vatikan mengenai penyerahan sebidang tanah di Roma. Perjanjian Lateran tersebut pada sisi lain dapat dipandang sebagai pengakuan Italia atas eksistensi Tahta Suci sebagai pribadi hukum internasional yang berdiri sendiri, walaupun tugas dan kewenangannya, tidak seluas tugas dan kewenangan negara, sebab hanya terbatas pada bidang kerohanian dan kemanusiaan, sehingga hanya memiliki kekuatan moral saja, namun wibawa Paus sebagai pemimpin tertinggi Tahta Suci dan umat Katholik sedunia, sudah diakui secara luas di seluruh dunia. Oleh karena itu, banyak negara membuka hubungan diplomatik dengan Tahta Suci, dengan cara menempatkan kedutaan besarnya di Vatikan dan demikian juga sebaliknya Tahta Suci juga menempatkan kedutaan besarnya di berbagai negara. (Phartiana, 2003, 125)

  1. Kaum Pemberontak / Beligerensi (belligerent)
Kaum belligerensi pada awalnya muncul sebagai akibat dari masalah dalam negeri suatu negara berdaulat. Oleh karena itu, penyelesaian sepenuhnya merupakan urusan negara yang bersangkutan. Namun apabila pemberontakan tersebut bersenjata dan terus berkembang, seperti perang saudara dengan akibat-akibat di luar kemanusiaan, bahkan meluas ke negara-negara lain, maka salah satu sikap yang dapat diambil oleh adalah mengakui eksistensi atau menerima kaum pemberontak sebagai pribadi yang berdiri sendiri, walaupun sikap ini akan dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat oleh pemerintah negara tempat pemberontakan terjadi. Dengan pengakuan tersebut, berarti bahwa dari sudut pandang negara yang mengakuinya, kaum pemberontak menempati status sebagai pribadi atau subjek hukum internasional
  1. Individu
Pertumbuhan dan perkembangan kaidah-kaidah hukum internasional yang memberikan hak dan membebani kewajiban serta tanggungjawab secara langsung kepada individu semakin bertambah pesat, terutama setelah Perang Dunia II. Lahirnya Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948 diikuti dengan lahirnya beberapa konvensi-konvensi hak asasi manusia di berbagai kawasan, dan hal ini semakin mengukuhkan eksistensi individu sebagai subjek hukum internasional yang mandiri.


6.    Perusahaan Multinasional
Perusahaan multinasional memang merupakan fenomena baru dalam hukum dan hubungan internasional. Eksistensinya dewasa ini, memang merupakan suatu fakta yang tidak bisa disangkal lagi. Di beberapa tempat, negara-negara dan organisasi internasional mengadakan hubungan dengan perusahaan-perusahaan multinasional yang kemudian melahirkan hak-hak dan kewajiban internasional, yang tentu saja berpengaruh terhadap eksistensi, struktur substansi dan ruang lingkup hukum internasional itu sendiri.





































BAB IV
PERSOALAN PENGAKUAN DALAM HUKUM INTERNASIONAL

Persoalan pengakuan dalam hukum internasional adalah persoalan yang cukup rumit karena melibatkan masalah politik dan masalah hukum.  Unsur-unsur politik sangat susah dilepaskan dalam  masalah pengakuan, karena pemberian dan penolakan pengakuan oleh suatu Negara sering dipengaruhi oleh pertimbangan politik sedangkan, akibat dari pemberian pengakuan ini mempunyai akibat hukum. Dalam hukum internasional tidak mengharuskan suatu Negara untuk mengakui Negara lain dan suatu Negara atau pemerintahan tidak mempunyai hak untuk diakui oleh Negara lain.
Walaupun masalah pengakuan melibatkan dua aspek yaitu politik dan hukum, namun pakar hukum  internasional selalu berupaya untuk menentukan aspek mana yang lebih menonjol diantara keduanya. Banyak yang berpendapat bahwa pengakuan merupakan suatu perbuatan hukum, namun banyak pula yang mengatakan dan diperkuat oleh praktek Negara bahwa pengakuan lebih bersifat politik yang mempunyai akibat hukum..

A.   LAHIRNYA SUATU NEGARA
Dalam tinjauan mengenai pengakuan ini tentu saja penelitian terhadap Negara adalah mutlak karena perannya sebagai pelaku utama hukum internasional. Pertanyaan pertama yang timbul daris egi hukum ialah, apakah lahirnya suatu Negara merupakan peristiwa hukum atau peristiwa ekstra yuridik?
Terhadap persoalan ini ada 2 opini;
Opini Pertama
Opini pertama dipelopori oleh tokoh-tokoh hukum internasional terkemuka seperti Jellinck, Cavaglieri, dan Strupp yang menyatakan bahwa lahirnya suatu Negara hanyalah merupakan peristiwa fakta yang sama sekali lepas dari ketentuan-ketentuan hukum internasional. Formulasi yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh tersebut berbeda-beda yaitu ada yang menyatakan kelahiran tersebut sebagai fakta politis, historis, sosiologis meta yuridik.

 Opini Kedua
Opini pertama ditolak oleh Kelompok Austria yang dipelopori oleh Kelsen yangmenyatakan bahwa lahirnya suatu Negara adalah proses hukum yang diatur oleh ketentuan-ketentuan hukum internasional.

Diantara kedua opini tersebut yang lebih tepat adalah opini pertama yang menyatakan bahwa kelahiran Negara bukan merupakan peristiwa hukum. Tidak mungkin hukum internasional mengatur lahirnya suatu Negara karena hukum tersebut baru lahirsetelah adanya Negara-negara.

            Untuk menjawab teori tersebut marilah kita lihat perbedaan antara dua teori yaitu teori konstitutif dan teori deklaratif.


1.    Teori Konstitutif
Menurut teori ini suatu Negara baru lahir bila doakui oleh Negara lain. Ini berarti suatu Negara belum lahir sebelum adanya pengakuan terhadap Negara tersebut. Dalah hal ini pengakuan mempunyai kekuatan konstitutif.
2.    Teori Deklaratif
Menurut teori ini pengakuan tidak menciptakan suatu Negara karena lahirnya suatu Negara semata-mata merupakan suatu fakta murni dan dalam hal ini pengakuan hanyalah berupa penerimaan fakta tersebut. Mereka menegaskan bahwa suatu Negara begitu lahir langsung menjadi anggota masyarakat internasional dan pengakuan hanya merupakan  pengukuhan dari kelahiran tersebut. Jadi, pengakuan tidak menciptakan suatu Negara. Pengakuan bukan merupakan syarat bagi kelahiran suatu Negara.

Jadi, dapat dikatakan bahwa kelahiran suatu Negara adalah suatu peristiwa yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan hukum internasional, sedangkan pengakuan yang diberikan kepada Negara yang baru lahir tersebut hanya bersifat politik. Semacam pengukuhan terhadap statusnya sebagai anggota masyarakat internasional yang baru dengan segala hak dan kewajiban yang dimilikinya sesuai dengan hukum internasional.

B.   PENGAKUAN NEGARA
Pengakuan adalah pernyataan suatu Negara yang mengakui suatu Negara lain sebagai subjek hukum internasional. Untuk mengakui suatu Negara baru, pada umumnya Negara-negara memakai criteria antara lain:
a.    Keyakinan adanya stabilitas di Negara tersebut
b.    Dukungan umum dari penduduk
c.    Kesanggupan dan kemauan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban internasional

C.   BENTUK-BENTUK PENGAKUAN

Ada beberapa macam bentuk-bentuk pengakuan sebagai berikut:
1.    Pengakuan secara terang-terangan dan individual
Pengakuan ini berasal dari pemerintah atau organ berwenang di bidang hubungan luar negeri.
Cara yang paling sering dulakukan adalah:
a.    Nota Diplomatik, Suatu Pernyataan atau Telegram
Pada umumnya suatu Negara mengakui Negara lain secara individual yang hanya melibatkan Negara itu saja. Pengakuan individual ini mempunyai arti diplomatok tersendiri bila diberikan oleh suatu Negara kepada bekas Negara jajahannya. Sebagai contoh pernyataan Presiden Prancis pada tanggal 3 Juli 1962 yang mengakui  kemerdekaan Aljazair  memberikan arti tersendiri bagi Negara tersebut.


b.    Suatu Perjajnjian Internasional
a)    Pengakuan Prancis terhadap Laos tanggal 19 Juli 1949 dan Kamboja tanggal 18 November 1949
b)    Pengakuan Jepang terhadap Korea tanggal 8 September 1951 melalui Pasal 12 Peace Treaty

2.Pengakuan Secara Diam-diam
Pengakuan secara Implisit ini terjadi bila suatu Negara mengadakan hubungan dengan pemerintah atau Negara baru dengan mengirimkan seorang wakil diplomatic, mengadakan pembicaraan dengan pejabat-pejabat resmi ataupun kepala Negara setempat, membuat persetujuan dengan Negara tetsebut. Namun dalam semua keadaan ini harus ada indikasi yang nyata untuk mengakui pemerintahan atau Negara baru.
 Contohnya AS dengan Cina. Walaupun As secara resmi tidak mengakui keberadaan RRC tetapi semenjak tahun 1955 negara tersebut telah mengadakan perundingan-perundingan tingkat Duta Besar di Jenewa, Warsawa, dan Prancis yang diikuti dengan pembukaan kantor-kantor penghubung di kedua Negara di akhir mei 1973.

3.  Pengakuan Secara Kolektif
             Pengakuan secara kolektif ini diwujudkan dalam suatu Perjanjian Internasional atau konferensi multilateral. Melalui Helsinki Treaty tahun1976, contohnya Negara-negara NATO mengakui Tepublik Demokrasi Jerman Timur dan Negara-negara Pacta Warsawa Mengakui pula Republik Federal Jerman.
            Perlu dicatat, bahwa masuknya suatu Negara sebagai anggota PBB sama sekali tidak berarti adanya pengakuan secara kolektif dari Negara-negara anggota oganisasi dunia tersebut. Penerimaan suatu Negara sebagai anggota PBB hanya berarti bahwa Negara tersebut telah memenuhi persyaratan untuk keanggotaan organisasi masyarakat internasional tersebut. Prof. Quincy Wrigt berpendapat bahwa yang ada hanyalah pengakuan kolektif dari PBB tetapi bukanlah pengakuan individual dari masing-masing anggotanya.
            Sementara Prof. George Scelle menyatakan, tidak amsuk akal Negara-negara yang sama anggota suatu organisasi internasional yangs ama-sama memutuskan resolusi, pernyataan, dan instrument-instrumen hukum tetapi saling menolak eksistensi satu sama lain.

4.    Pengakuan Secara Prematur
            Dalam pengakuan internasional terdapat pula contoh-contoh dimana suatu Negara memberikan pengakuan kepada Negara yang baru tanpa lengkapnya unsur-unsur konstitutif yang harus dimiliki oleh entitas yang baru tersebut untuk menjadi suatu Negara.
            Contonhnya, Pengakuan jenis ini sering terjadi pada Negara yang memisahkan diri dari Negara induk. India misalnya mengakui Bangladesh tanggal 6 Desember 1971 sedangkan kemerdekaan Negara tersebut baru di umumkan beberapa waktu kemudian yakni tanggal 25 Marfet 1972. Sudah jelas bahwa Pakistan menganggap kebijaksanaan India tersebut sebagai campur tangan terhadap masalah dalam negerinya.


D.   PENGAKUAN PEMERINTAH

            Pengakuan Pemerintah ialah suatu pernyataan dari suatu Negara bahwa Negara tersebut telah siap dan bersedia berhubungan dengan pemerintah yang baru diakui sebagai organ yang bertindak untuk dan atas nama negaranya.   Pengakuan pemerintah ini penting karena suatu Negara tidak mungkin mengadakan hubungan resmi dengan nega lain yang tidak mengakui pemerintahnya. Namun secara logika pengakuan terhadap suatu Negara juga berarti pengakuan terhadap pemerintah Negara tersebut, karena tidak mungkin mengakui entitas baru tanpa mengakui lembaga operasionalnya yaitu pemerintah.

E.   PENGAKUAN TERHADAP PEMBERONTAK ( BELLIGERENCY)

            Bila di suatu Negara terjadi pemberontakan dan pemberontakan tersebut telah memecah belah kesatuan nasional dan efektifitas pemerintahan maka keadaan ini menempatkan Negara-negara ketiga dalam keadaan sulit terutama melindungi berbagai kepentingan nya di Negara tersebut. Dalam keadaan ini lahirlah sistem pengakuan namanya Belligerency. Negara-negara ketiga dalam sikapnya membatasi diri hanya sekedar mencatat bahwa pemberontak tidak kalah dantelah menguasai sebagian wilayah nasional dan mempunyai kekuasaan secara fakta. Bentuk pengakuan ini dilakukan beberapa kali di masa lampau oleh Amerika Serikat dan Inggris. Contohnya Pengakuan Belligerency yang diberikan kepada orang selatan di Amerika Serikat pada waktu perang saudara oleh Prancis dan Inggris serta Negara-negara Eropa lainnya.


Implikasi jika tidak ada pengakuan

Jika menganut teori konstitutif maka suatu negara yang belum mendapatkan pengakuan tidak memiliki hak dan kewajiban dalam masyarakat internasional. Resikonya adalah, jika negara itu melakukan kegiatan yang bertentangan dengan hukum internasional, maka secara teoritis, negara tersebut tidak dapat dikenai sanksi karena memang tidak memiliki hak dan kewajiban. Hal ini tentu saja sangat menyulitkan posisi suatu negara untuk tidak mengakui keberadaan negara lain. Lihat putusan Tinoco Arbitration (1923) 1 RIAA 369 Di sisi lain, jika pengakuan hanya merupakan pernyataan tanpa memiliki implikasi hukum apapun sebagaimana dianut dalam teori deklarasi maka, begitu secara de facto negara tersebut ada maka secara de jure pula negara tersebut telah terikat dengan hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat hukum internasional.




BAB V

KEDAULATAN DAN YURISDIKSI
Yurisdiksi Negara

Yurisdiksi adalah kewenangan yang dimiliki negara untuk membuat peraturan perundang undangan (prescriptive jurisdiction) dan kewenangan untuk menegakkan suatu keputusan yang didasarkan kepada perundang-undangan yang dibuat tadi (enforcement jurisdiction). Konsep tentang yurisdiksi negara dalam hal ini lebih
diterapkan dalam hukum pidana.

A. Dasar-dasar  Yurisdiksi Negara menurut Hukum Internasional

Territorial Jurisdiction /Yursidiksi Wilayah

Yurisdiksi wilayah adalah dasar yang dipakai untuk menuntut penegakan suatu peristiwa terhadap hukum negara setempat. Semua peristiwa kriminal yang terjadi dalam wilayah suatu negara telah membuat negara tersebut memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum yang telah dibuatnya. Dalam Compania Naviera Vascongado v Chrisina SS (1938) AC 485, disebutkan bahwa prinsip yurisdiksi wilayah ini telah membuat semua orang, tanpa melihat kewarganegaraannya dapat diperiksa, dituntut dan dihukum menurut hukum dimana peristiwa pidana dilakukan.

Dalam hal ini bisa terjadi setidak-tidaknya dua kemungkinan:
1.    Subjective Territorial Principles, terkait dengan tindakan awal suatu kejahatan dilakukan. Seseorang yang mengirimkan roti beracun ke negara lain, bisa dianggap telah melakukan tindak pidana di wilayah dimana roti tersebut dikirimkan. Lihat Treacy v DPP (1971) AC 537.
2.    Objective Territorial Principles; terkait dengan dimana akibat dari kejahatan tersebut terjadi. Ketika orang yang memakan roti beracun itu meinggal dunia, maka disitulah menurut prinsip dianggap telah terjadi tindak pidana. Lihat Lotus Case (1923) PCIJ Reports, Series A, no 10 Active Nationality Principle/Nationalitas Aktif

Hubungan antara negara dan warganegaranya menjadi dasar bagi pengenaan prinsip yurisdiksi nasionalitas aktif. Setiap warga negara berkewajiban untuk mematuhi hukum negaranya, sekalipun saat melakukan kejahatan itu tidak berada di wilayah negara tersebut. Misalnya, Negara Indonesia masih memiliki yurisdiksi atas warga negara Indonesia yang melakukan pembunuhan di Amerika Serikat. Meski demikian, tindakan untuk membawa warganegaranya ke depan meja hukum tidak boleh dilakukan bila hal tersebut membuat kewajiban suatu negara terhadap negara lainnya jadi terabaikan. Lihat Nottebohm Case (1955) ICJ Reports, hal 4

3.    Passive Personality Principle/ Personalitas Pasif, Prinsip ini memungkinkan suatu negara untuk memiliki yurisdiksi terhadap pelaku tindak pidana yang korbannya adalah warga negara mereka.
Misalnya, jika terjadi pembunuhan warga negara Indonesia yang dilakukan oleh warga negara Australia di wilayah Australia, maka Indonesia masih bisa diberi hak untuk melakukan penuntutan dan pemeriksaaan serta menghukum pelaku atas dasar prinsip ini. Lihat United States v Yunis (1989) 83 AJIL 94. Namun, suatu negara yang secara konsisten menolak penerapan prinsip dalam sistem hukumnya (perssistent objector) dapat tidak mengakui yurisdiksi negara lain yang mengakui prinsip ini. Lihat kasus Cutting Case (1887) 2 Moore’s Digest 228


 Protective (Security) Jurisdiction

Perluasan dari yurisdiksi negara dapat diberikan kepada tindakan-tindakan yang mengancam keselamatan suatu negara. Tindakan yang dimaksud antara lain: Rencana untuk menggulingkan suatu pemerintahan yang dilakukan negara lain di negaar lain, tindakan spionase, memalsukan maat uang atau sebuah konspirasi untuk melanggar peraturan keiimigrasian. Dua alasan mengapa hal ini perlu diadakan:
1)    Jika dibiarkan maka tindakan itu akan merugikan dan bahkan mengancam keberlangsungan suatu Negara.
2)    Jika tidak ada perluasan yurisdiksi maka negara dimana tindakan itu dilakukan mungkin tidak akan menganggap bahwa tindakan itu adalah tindak pidana terhadapnya dan proses extradisi yang dimaksud susah dilakukan karena nuansa politik yang ada dalam tindakan kriminal tersebut. Lihat kasus Attorney-General for Israel v Eichmann (1962) 36 ILR 5

Universality Principle/Kejahatan universal Dasar pengenaan yurisdiksi ini adalah ketika suatu negara menahan seseorang yang diduga menurut hukum internasional telah melakukan kejahatan internasional. Beberapa kejahatan yang dianggap sebagai kejahatan internasional antara lain adalah:
1)    Piracy Jure Gentium/ pembajakan di laut telah diakui sebagai kejahatan internasional baik dalam hukum kebiasaan internasional maupun dalam Pasal 14 dan 17 dari The Geneva Convention on the High Seas 1958 dan Pasal 101-107 dari The UN Conventions on the Law of the Seas 1982. Negara yang menahan pembajak boleh mengajukannya ke pengadilan tanpa melihat kewarganegaraan pelaku ataupun korban maupun kapal yang dibajaknya.
2)    War Crimes/ kejahatan perang sebagaimana diakui dalam hukum kebiasaan internasional maupun dalam berbagai konvensi Jenewa dan Den Haag telah dianggap sebagai kejahatan yang bersifat universal. Prinsip-prinsip dalam Nuremberg trial atau Tokyo trial menajdi bagian yang tidak bisa dipisahkan untuk memberikan yurisdiksi kepada negara yang menangkap pelaku kejahatan perang.
3)    War-related Crimes ada dua hal yaitu Crimes against Humanity ( kejahatan terhadap kemanusiaan) dan Crimes against Peace (kejahatan terhadap perdamaian)

b. Yurisdiksi Khusus yang diakui dalam perjanjian internasional
Kejahatan terhadap Penerbangan
1.    Tokyo Convention on Offences and Certain other Acts Committed on Board Aircraft 1963
2.    Hague Conventions for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft 1970
3.    Montreal Convention for teh Suppression of Unlawful Act againts the Safety of Civil Aviation 1971Perbudakan tindakan perbudakan telah dilarang melalui Pasal 4
4.    Deklarasi universal Hak Asasi Manusia 1948


c. Ekstradisi
Konsep ekstradisi selalu dilandaskan pada adanya suatu perjanjian internasional antara negara yang ingin melakukan ekstradisi dan tidak ada hukum kebiasaan interansional yang mengatur tentang itu. Dalam perjanjian itu biasanya disebut, antara lain:
1.    Jenis-jenis kejahatan yang bisa diekstradisikan
2.    Kriteria orang yang bisa diekstradisikan
3.    Perkecualian terhadap kejahatan politik dari jenis-jenis kejahatan yang bisa diekstradisikan
4.    Pernyataan bahwa orang yang diekstradisi tak bisa diadili karena perkara yang tidak   disebutkan dalam perjanjian ekstradisi 
5.    Adanya Prima facie, bukti-bukti atas kesalahan yang dilakukan (dikenal dalam common law dan tidak pada civil law sistem) 

Kasus-kasus yang relevan
1.    The Lotus Case (1927) PCIJ Reports, Series A no 10: penerapan prinsip subjective dan objective territorial 
2.    Joyce v Director of Public Prosecutions (1946) AC 347: prinsip nasionalitas aktif
3.    Attorney-General for Israel v Eichmann (1962) 36 ILR 5: prinsip protektif
4.    Lockerbie Case (Libya v United Kingdom/United States) (1992) ICJ Reports, hal 3: terkait dengan konsep jurisdiksi dengan berbagai macam prinsip dasar









BAB VI

PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA

A.  Pendahuluan
Pertanggungjawaban negara merujuk kepada kewajiban negara karena melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam hukum internasional dan menyebabkan kerugian negara lain. Semua sistem hukum di negara-negara dunia mengenal prinsip pertanggungjawaban bagi subjek hukum yang tidak mematuhi ketentuan yang ada. Daalm kasus Spanish Zones of Morroco Claim (1925) 2 RIAA 615, ditegaskan bahwa konsep pertanggungjawaban negara ialah: “ Responsibility is the necessary corollary of a right. All rights of an international character involve international liability. If the obligation is not met, responsibility entails the duty to make raparations”.
Komisi Hukum Internasional (The International Law Commission) dalam draft Pasal-Pasal untuk Pertanggungjawaban Negara telah merumuskan beberapa hal penting (sebagaimana tercantum dalam Yearbook of the ILC, 1979, II, hal 90).  Perbedaan antara Pertanggungjawaban Kriminal dan Perdata
Dalam hukum internasional  pertanggungjawaban negara untuk kasus-kasus pidana secara umum lebih tidak jelas dibandingkan dalam kasus-kasus perdata.

B.   Pertanggungjawaban Perdata
Semua pelanggaran terhadap hukum internasional, termasuk diantaranya adalah pelanggaran kontrak, bisa dianggap baik sebagai delik internasional ataupun perbuatan melawan hukum internasional. Namun yang harus disadari ada perbedaan antara kejahatan-kejahatan yang disebut sebagai kejahatan internasional dan tindakan pidana yang memiliki unsur internasional. Dalam draft Pasal 19 (4) yang dibuat oleh ILC ditegaskan bahwa “any international wrongful act which is not an international crime...constitutes an international delict”. Dengan kata lain, setiap tindakan atau kelalaian yang dilarang oleh hukum internasional merupakan delik internasional sepanjang tidak disebut sebagai kejahatan internasional.

C.    Pertanggung Jawaban Pidana
1)    Pasal 19 (2) dari draft ILC menyebutkan bahwa: “An international wrongful act which results from the breach by a state of an international obligation so essential for the protection of fundamental interests of the international community that its breach is recognized as a crime by that community as a whole...” Empat kategori kejahatan internasional adalah:
Kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan, seperti larangan untuk melakukan tindakan agresi.
2)    Kejahatan yang bertentangan dengan prinsip mendasar seperti hak untuk menentukan nasib sendiri, seperti ketentuan yang mendorong terjadinya dominasi colonial.
3)    Kejahatan serius terhadap kewajiban internasional yang sudah diakui secara mendunia sebagai langkah minimum untuk melindungi harkat dan martabat manusia seperti pelarangan terhadap perbudakan, pembantaian masal dan apartheid.
4)    Kejahatan serius terhadap perlindungan mendasar bagi pengamanan dan pelestarian lingkungan hidup seperti larangan untuk mencemari lingkungan secara massal dan mencemari lautan .

Meski demikian sebenarnya, masih banyak kejahatan lain yang bisa dikategorikan sebagai kejahatan yang bersifat internasional dan belum ditetapkan sebagai kejahatan internasional membuat suatu negara harus mempertanggungjawabkan tindakannya. Namun, banyak hal yang masih kontroversial untuk kasus pidana. 


Imputability (Kekebalan)
Untuk bisa meminta pertanggungjawaban inetrnasional dari suatu negara terhadap tindakan atau pembiaran yang dilakukan harus bisa ditunjukkan bahwa kegiatan tersebut dilakukan oleh lembaga-lembaga negara, badan dan perwakilan yang dapat dikaitkan dengan negara tersebut. Tindakan/kegiatan tersebut antara lain:
1)    Tindakan yang dilakukan oleh eksekutif, legislatif dan yudikatif sebagai pilar utama pemerintahan.
2)    Segala tindakan yang dilakukan oleh pemerintahan lokal dan dinas-dinas yang ada di wilayahnya masing-masing.
3)    Segala tindakan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan atau agen-agen pemerintahan lainnya sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.
 
Sebuah tindakan yang sah menurut hukum nasional tetapi bertentangan dengan hukum internasional tetap bisa membuat negara tersebut dimintai pertanggungjawaban secara internasional. Lihat kasus Polish Upper Silesia Case (1926) PCIJ Reports, Series A, No 7

1)    Negara harus bertanggungjawab terhadap tindakan yang dilakukan aparatnya, serendah apapun jabatan dari aparat tersebut (Draft Pasal 6) Lihat pula Masey Case (1927) 4 RIAA 15 
2)     Negara juga bertanggungjawab terhadap tindakan individu atau kelompok yang bisa membuktikan bahwa tindakannya tersebut dilakukan atas nama negara atau sedang melakukan kewenangan negara tanpa ada tindakan negara untuk mencegahnya
3)    Negara bertanggungjawab terhadap tindakan aparatnya sekalipun tindakan itu adalah tindakan ultra vires dari kewenangannya. Lihat Youman Claims (1926) 4 RIAA 110
4)     Negara tidak harus bertanggungjawab terhadap tindakan perwakilan negara asing ataupun organisasi internasional yang sedang bertugas di wilayahnya. (Draft Pasal 12 dan 13)
5)    Negara tidak bertanggungjawab terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok revolusioner (Draft Pasal 14). Lihat pula Sambaggio Claim (1903) 10 RIAA 499  
6)    Negara tidak bertanggungjawab terhadap tindakan individu atau kelompok yang bertindak tidak atas nama negara


c. Dasar Pertanggungjawaban
1) Objective Responsibility
Pertanggungjawaban mutlak dan langsung dilakukan terhadap negara yang melakukan delik internasional. Dalam hal ini tidak lagi diperlukan adanya bukti dari kesalahan atau itikad buruk dari aparat atau pelakunya. Lihat Claire Claim (1929) 5 RIAA 516 “ the doctrine of objective responsibility of the state, that is to say, a responsibility for those acts committed by its officials or its organs...despite the absence of fault on their part...”
2) Subjective Responsibility
Teori ini menuntut perlunya sebuah kesalahan agar suatu negara dapat dimintai pertanggungjawaban secara internasional. Lihat Home Missionary Society Claim (1920) 6 RIAA 42

d.     Alasan Pemaaf dan Alasan Pembenar

Alasan Pemaaf:
1.    Tindakan tersebut dilakukan karena ada paksaan dari negara lain
2.    Tindakan tersebut adalah tindakan balasan yang dapat diterima dalam hukum internasional
3.    Ada force majeure (keadaan darurat)

Alasan Pembenar:
1.    Tindakan itu dilakukan sebagai satu-satunya tindakan yang mungkin dilakukan untuk melindungi kepentingan utama negara tersebut dan tidak ada negara lain yang dirugikan atas tindakan tersebut.
2.    Tindakan tersebut dilakukan dalam rangka mempertahankan diri

e.     Reparations (Perbaikan)
Setiap pelanggaran yang dilakukan negara terhadap hukum internasional akan memunculkan suatu kewajiban untuk melakukan perbaikan (reparations). Dalam Chorzow Factory Case (Indemnity) (Merits) (1928) PCIJ Reports Series A, No 17, disebutkan bahwa “Reparation should be made through restitution in kind” Dalam British Petroleum v Libya (1974) 53 ILR 297 disebutkan bahwa “...his sole remedy is an action for damages...”
Sementara itu dalam Norwegian Shipowners Claim (1922) 1 RIAA 307 disebutkan “Just Compensation implies a complete restitution of the status quo ante, based not upon future gains but upon the loss of profits of the Norwegian owners as compares with owners of similar property”



f. Nationality of Claims (Kewarganegaraan Penuntut)
Agar suatu negara dapat melakukan tuntutan terhdap negara lain terhadap pelanggaran ketentuan hukum internasional yang dilanggar, maka harus bisa dibuktikan bahwa pelanggaran yang dilakukan telah menimbulkan kerugian bagi negara tersebut. Lihat Panevezys-Saldutiskis Railway Case (1939) PCIJ Reports, Series A/B, No 76. 

a.  Menentukan kewarganegaraan Individu
 memiliki kebebasan untuk menentukan siapa sajakah yang bisa mendapatkan kewarganegaraan dari negara tersebut. Dua prinsip utama dalam hal ini adalah:
Ius Sanguinis: kewarganegaraan berdasarkan keturunan/ garis darah;
Ius Soli: kewarganegaraan yang didasarkan kepada tanah kelahiran; disamping itu masih dimungkinkan melalui Naturalisasi: mengajukan diri untuk menjadi warga dari negara tertentu sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh negara tersebut Namun ada kalanya muncul situasi yang membuat seseorang memiliki dua kewarganegaraan (dual nationality) atau sebaliknya tidak memiliki kewarganegaraan (stateless). Dalam Nottebohm Case (1955) ICJ Reports, hal 4, Mahkamah mengatakan bahwa perlu ditemukan adanya genuine link agar bisa menentukan kewarganegaraan dari orang-orang yang bermasalah tersebut.

Perusahaan
Dalam Barcelona Traction, Light and Power Co Case (1970) ICJ Reports, hal 3 mengatakan bahwa suatu perusahaan memiliki “status hukum nasional tertentu di bawah negara di mana perusahaan tersebut didaftarkan”

Kapal Laut
Sesuai dengan The Geneva Convention on the High Seas 1958, Pasal 5, Kapal memiliki nasionalitasnya sesuai dengan bendera kapal yang terpasang. Hal ini dipertegas dalam Pasal 91 the UN Convention on the Law of the Sea 1982. Dalam hal ini perlu ditambahkan pula perlunya genuine link antara kapal tersebut dan negara bendera kapal jika terjadi keragu-raguan akan status kapal tersebut.

Kapal Udara
Pasal 17 dari the Chicago Convention on International Civil Aviation 1944 ditegaskan bahwa pesawat udara memiliki nasionalitas dimana pesawat udara tersebut didaftarkan dan dengan demikian memiliki bendera pesawat.

b.  Exhaustion of Local remedies
Dalam upaya untuk menekan jumlah kasus tuntutan internasional, maka sebelum bisa berperkara di level internasional, ada persyaratan untuk sudah mencoba melakukan semua cara dalam level nasional masing-masing.

Kasus-kasus yang relevan
• Chorzow Factory Case (Indemnity) (merits) (1928) PCIJ Reports, Series A no 17: Sah dan Tidaknya suatu expropriation 
• Barcelona Traction, Light and Power Co Case (1970) ICJ Reports, hal 3: Nasionalitas perusahaan
• Nottebohm Case (1955) ICJ Reports, hal 4: Kewarganegaraan dan Genuine link individual
• Texaco v Libya (1977) 53 ILR 389: Ketentuan tentang reparations
• Interhandel Case (1959) ICJ Reports, hal 6: Pentingnya menghabiskan dulu cara-cara penuntutan dalam level nasional







































BAB VII

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL
A.   PENDAHULUAN

Penyelesaian Sengketa Internasional
Pilihan
Kekerasan
Damai
 




                                                                                                                   

POLITIK
HUKUM
(Yurisdiksional
 






Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subjek hukum  internasional  mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain atau adanya ketidaksepakatan mengenai masalah hukum atau fakta-fakta atau konflik mengenai penafsiran atau kepentingan antara 2 bangsa yang berbeda.
Kedamaian dan keamanan internasional hanya dapat diwujudkan apabila tidak ada kekerasan yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa, yang ditegaskan dalam pasal 2 ayat (4) Piagam. Penyelesaian sengketa secara damai ini, kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 33 Piagam yang mencantumkan beberapa cara damai dalam menyelesaikan sengketa, diantaranya:
a.  Negosiasi;
b. Enquiry atau penyelidikan;
c. Mediasi;
d. Konsiliasi
e. Arbitrase
f. Judicial Settlement atau Pengadilan;
g. Organisasi-organisasi atau Badan-badan Regional.

Dari tujuh penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Piagam, dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu penyelesaian sengketa secara hukum dan secara politik/diplomatik. Yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara hukum adalah arbitrase dan judicial settlement ( melalui Pengadilan) . Sedangkan yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi; enquiry; mediasi; dan konsiliasi. Hukum internasional publik juga mengenal good offices atau jasa-jasa baik yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik/ Politik. Pada dasarnya, tidak ada tata urutan yang mutlak mengenai penyelesaian sengketa secara damai. Para pihak dalam sengketa internasional dapat saja menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka  melalui prosedur hukum ke badan peradilan internasional seperti International Court of Justice (ICJ/Mahkamah Internasional), tanpa harus melalui mekanisme negosiasi, mediasi, ataupun cara diplomatik lainnya.  
PBB tidak memaksakan prosedur apapun kepada negara anggotanya. Dengan kebebasan dalam memilih prosedur penyelesaian sengketa, negara-negara biasanya memilih untuk memberikan prioritas pada prosedur penyelesaian secara politik/diplomatik, daripada mekanisme arbitrase atau badan peradilan tertentu, karena penyelesaian secara politik/diplomatik akan lebih melindungi kedaulatan mereka.

Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai adalah:
1. Prinsip itikad baik (good faith);
2. Prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa;
3. Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa;
4. Prinsip kebebasan memilih hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa;
5. Prinsip kesepakatan para pihak yang bersengketa (konsensus);
6. Prinsip penggunaan terlebih dahulu hukum nasional negara untuk menyelesaikan suatu sengketa prinsip exhaustion of local remedies);
7. Prinsip-prinsip hukum internasional tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah negara-negara.

Disamping ketujuh prinsip di atas, Office of the Legal Affairs PBB memuat prinsip-prinsip lain yang bersifat tambahan, yaitu:
1. Prinsip larangan intervensi baik terhadap masalah dalam atau luar negeri para pihak;
2. Prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri;
3. Prinsip persamaan kedaulatan negara-negara;
4. Prinsip kemerdekaan dan hukum internasional.

Penyelesaian Sengketa secara Politik

Seperti yang telah dijelaskan di atas, yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi; enquiry atau penyelidikan; mediasi; konsiliasi; dan good offices atau jasa-jasa baik. Kelima metode tersebut memiliki ciri khas, kelebihan, dan kekurangan masing-masing.

b)     Negosiasi
 Negosiasi adalah perundingan yang dilakukan secara langsung antara para pihak dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga. Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan paling tuas digunakan oleh umat manusia. Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB menempatkan negosiasi sebagai cara pertama dalam menyelesaikan sengketa.
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
Segi positif/kelebihan dari negosiasi adalah:
1.    Para pihak sendiri yang menyelesaikan kasus dengan pihak lainnya;  
2.    Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana cara penyelesaian melalui negosiasi dilakukan menurut kesepakatan bersama;  
3.    Para pihak mengawasi atau memantau secara langsung prosedur penyelesaian;  
4.    Negosiasi menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri.

Segi negatif/kelemahan dari negosiasi adalah:
1. Negosiasi tidak pernah akan tercapai apabila salah satu pihak berpendirian keras;
2. Negosiasi menutup kemungkinan keikutsertaan pihak ketiga, artinya kalau salah satu pihak berkedudukan lemah tidak ada pihak yang membantu.

Penyelesaian sengketa ini dilakukan secara langsung oleh para pihak yang bersengketa melalui dialog tanpa ada keikutsertaan dari pihak ketiga. Dalam pelaksanaannya, negosiasi memiliki dua bentuk utama, yaitu bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau organisasi internasional.
Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang cukup lama dipakai. Sampai pada permulaan abad ke-20, negosiasi menjadi satu-satunya cara yang dipakai dalam penyelesaian sengketa. Sampai saat ini cara penyelesaian melalui negosiasi biasanya adalah cara yang pertama kali ditempuh oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa ini dilakukan secara langsung oleh para pihak yang bersengketa melalui dialog tanpa ada keikutsertaan dari pihak ketiga. Dalam pelaksanaannya, negosiasi memiliki dua bentuk utama, yaitu bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau organisasi internasional.
Dalam praktek negosiasi, ada dua bentuk prosedur yang dibedakan. Yang pertama adalah negosiasi ketika sengketa belum muncul, lebih dikenal dengan konsultasi. Dan yang kedua adalah negosiasi ketika sengketa telah lahir.
Keuntungan yang diperoleh ketika negara yang bersengketa menggunakan mekanisme negosiasi, antara lain :
1)    Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan penyelesaian sesuai dengan kesepakatan diantara mereka
2)    Para pihak mengawasi dan memantau secara langsung prosedur penyelesaiannya
3)    Dapat menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri.
4)    Para pihak mencari penyelesaian yang bersifat win-win solution, sehingga dapat diterima dan memuaskan kedua belah pihak

b) Enquiry atau Penyelidikan
J.G.Merrills menyatakan bahwa salah satu penyebab munculnya sengketa antar negara adalah karena adanya ketidaksepakatan para pihak mengenai fakta. Untuk menyelesaikan sengketa ini, akan bergantung pada penguraian fakta-fakta para pihak yang tidak disepakati. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, para pihak kemudian membentuk sebuah badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Fakta-fakta yang ditemukan ini kemudian dilaporakan kepada para pihak, sehingga para pihak dapat menyelesaikan sengketa diantara mereka.
Dalam beberapa kasus, badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta dalam sengketa internasional dibuat oleh PBB. Namun dalam konteks ini, enquiry yang dimaksud adalah sebuah badan yang dibentuk oleh negara yang bersengketa. Enquiry telah dikenal sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa internasional semenjak lahirnya The Hague Convention pada tahun 1899, yang kemudian diteruskan pada tahun 1907.

c. Mediasi
Melibatkan pihak ketiga (third party) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dapat berupa individu atau kelompok (individual or group), negara atau kelompok negara atau organisasi internasional. Dalam mediasi, negara ketiga bukan hanya sekedar mengusahakan agar para pihak yang bersengketa saling bertemu, tetapi juga mengusahakan dasar-dasar perundingan dan ikut aktif dalam perundingan, contoh: mediasi yang dilakukan oleh Komisi Tiga Negara (Australia, Amerika, Belgia) yang dibentuk oleh PBB pada bulan Agustus 1947 untuk mencari penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Belanda dan juga mediasi yang dilakukan oleh Presiden Jimmy Carter untuk mencari penyelesaian sengketa antara Israel dan Mesir hingga menghasilkan Perjanjian Camp David 1979.
Dengan demikian, dalam mediasi pihak ketiga terlibat secara aktif (more active and actually takes part in the negotiation). Mediasi biasanya dilakukan oleh pihak ketiga ketika pihak yang bersengketa tidak menemukan jalan keluar dalam penyelesaian suatu masalah.Maka pihak ketiga merupakan salah satu jalan keluar dari jalan buntu perundingan yang telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Seorang mediator harus netral (tidak memihak salah satu pihak yang bersengketa) dan independen. Dalam menjalankan tugasnya, mediator tidak terikat pada suatu hukum acara tertentu dan tidak dibatasi pada hukum yang ada. Mediator dapat menggunakan asas ex aequo et bono untuk menyelesaikan sengketa yang ada.
Ketika negara-negara yang menjadi para pihak dalam suatu sengketa internasional tidak dapat menemukan pemecahan masalahnya melalui negosiasi, intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga adalah sebuah cara yang mungkin untuk keluar dari jalan buntu perundingan yang telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Pihak ketiga yang melaksanakan mediasi ini tentu saja harus bersifat netral dan independen. Sehingga dapat memberikan saran yang tidak memihak salah satu negara pihak sengketa.
Intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga ini dapat dilakukan dalam beberapa bentuk. Misalnya, pihak ketiga memberikan saran kepada kedua belah pihak untuk melakukan negosiasi ulang, atau bisa saja pihak ketiga hanya menyediakan jalur komunikasi tambahan. Pelaksanaan mediasi dalam penyelesaian sengketa internasional diatur dalam beberapa perjanjian internasional, antara lain The Hague Convention 1907; UN Charter; The European Convention for the Peaceful Settlement of Disputes.

d.Konsiliasi
Sama seperti mediasi, penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi menggunakan intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang melakukan intervensi ini biasanya adalah negara, namun bisa juga sebuah komisi yang dibentuk oleh para pihak. Komisi konsiliasi yang dibentuk oleh para pihak dapat saja terlembaga atau bersifat ad hoc, yang kemudian memberikan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Namun keputusan yang diberikan oleh komisi konsiliasi ini tidak mengikat para pihak. Proses penyelesaian sengketa melalui konsiliasi mempunyai kemiripan dengan mediasi. Pembedaan yang dapat diketahui dari kedua cara ini adalah konsiliasi memiliki hukum acara yang lebih formal jika dibandingkan dengan mediasi. Karena dalam konsiliasi ada beberapa tahap yang biasanya harus dilalui, yaitu penyerahan sengketa kepada komisi konsiliasi, kemudian komisi akan mendengarkan keterangan lisan para pihak, dan berdasarkan fakta-fakta yang diberikan oleh para pihak secara lisan tersebut komisi konsiliasi akan menyerahkan laporan kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan penyelesaian sengketa.
Konsiliasi merupakan suatu cara penyelesaian sengketa oleh suatu organ yang dibentuk sebelumnya atau dibentuk kemudian atas kesepakatan para pihak yang bersengketa. Organ yang dibentuk tersebut mengajukan usul-usul penyelesaian kepada para pihak yang bersengketa (to the ascertain the facts and suggesting possible solution). Rekomendasi yang diberikan oleh organ tersebut tidak bersifat mengikat (the recommendation of the commission is not binding). Contoh dari konsiliasi adalah pada sengketa antara Thailand dan Perancis, kedua belah pihak sepakat untuk membentuk Komisi Konsiliasi. Dalam kasus ini Thailand selalu menuntut sebagian dari wilayah Laos dan Kamboja yang terletak di bagian Timur tapal batasnya. Karena waktu itu Laos dan Kamboja adalah protektorat Perancis maka sengketa ini menyangkut antara Thailand dan Perancis.

e)  Good Offices atau Jasa-jasa Baik

Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga berupaya agar para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya dengan negosiasi. Menurut pendapat Bindschedler, yang dikutip oleh Huala Adolf, jasa baik dapat didefinisikan sebagai berikut: the involvement of one or more States or an international organization in a dispute between states with the aim of settling it or contributing to its settlement.
Pada pelaksanaan di lapangan, jasa baik dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu jasa baik teknis (technical good offices), dan jasa baik politis (political good offices).
Jasa baik teknis adalah jasa baik oleh negara atau organisasi internasional dengan cara mengundang para pihak yang bersengketa ikut serta dalam konferensi atau menyelenggarakan konferensi. Tujuan dari jasa baik teknis ini adalah mengembalikan atau memelihara hubungan atau kontak langsung di antara para pihak yang bersengketa setelah hubungan diplomatik mereka terputus. Sedangkan jasa baik politis adalah jasa baik yang dilakukan oleh negara atau organisasi internasional yang berupaya menciptakan suatu perdamaian atau menghentikan suatu peperangan yang diikuti dengan diadakannya negosiasi atau suatu kompetensi.



PENYELESAIAN SENGKETA SECARA HUKUM

Judicial Settlement / Putusan Pengadilan  Melalui Mahkamah Internasional
Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ ICJ) adalah organ yuridis dari Perserikatan Bangsa Bangsa. Kedudukan Mahkamah  berada di Istana Perdamaian (Peace Palace) di kota Den Haag, Belanda. Mahkamah ini sejak tahun 1946 telah menggantikan posisi dari Mahkamah Permanen untuk Keadilan Internasional (Permanent Court of International Justice) yang sudah beroperasi sejak tahun 1922. Statuta Mahkamah Internasional menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan Piagam PBB.


a.  Fungsi Mahkamah
ICJ memiliki dua peranan yaitu untuk menyelesaikan sengketa menurut hukum internasional atas perkara yang diajukan ke mereka oleh negara-negara dan memberikan nasehat serta pendapat hukum terhadap pertanyaan yang diberikan oleh organisasi-organisasi internasional dan agen-agen khususnya.
b.    Komposisi
      Mahkamah terdiri dari 15 orang hakim yang dipilih untuk masa tugas 9 tahun oleh Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan. Pemilihan dilakukan setiap tiga tahun sekali untuk menggantikan sepertiga kursi yang ada. Hakim yang ada dapat dipilih kembali. Keanggotaan hakim tidak merupakan perwakilan dari negara-negaranya melainkan sesuai dengan kapasitas pribadi mereka. Sekalipun demikian, peta geopolitik yang ada pada saat pemilihan sangat mempengaruhi variasi kewarganegaraan sang hakim. Tidak mungkin ada dua hakim yang berasal dari satu negara yang sama. Jika dalam suatu perkara antar dua negara atau lebih, ada salah satu negara yang tidak memiliki warga negaranya sebagai hakim sementara “lawan”nya memiliki warga negaranya menjadi hakim dalam Mahkamah, maka negara tersebut berhak mengajukan warga negaranya sebagai hakim ad hoc untuk mengadili perkara tersebut. 
c.    Penanganan Perkara
Hanya negaralah yang bisa berperkara di Mahkamah. Semua anggota PBB secara ipso facto adalah anggota Mahkamah Internasional yang karena satu dan lain hal dapat menyatakan diri tunduk kepada kewenangan Mahkamah untuk memutuskan sengketa diantara mereka.
Mahkamah hanya punya kewenangan untuk mengadili perkara jika negara menyatakan pengakuannya atas kewenangan mahkamah melalui:
1. Perjanjian khusus di antara para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perkaranya melalui Mahkamah (Special Agreement)
2. Pernyataan yang secara nyata tertera dalam sebuah perjanjian. Misalnya, ketika suatu negara menyatakan diri terikat ke dalam sebuah konvensi yang di dalamnya secara tegas menunjukkan bahwa setiap sengketa yang muncul karena ketentuan-ketentuan dalam konvensi itu akan diselesaikan melalui Mahkamah Internasional. Ada banyak konvensi internasional yang ada saat ini mencantumkan pasal semacam itu.
3. Adanya dampak dari asas timbal balik (reciprocal effect) dari pernyataan negara untuk tunduk kepada kewenangan mahkamah jika muncul sengketa atas peristiwa hukum tertentu yang sama dengan pernyataan sejenis dari negara lain yang kebetulan bersengketa dengan negaar tersebut atas peristiwa hukum tersebut.  Jika terjadi keragu-raguan apakah Mahkamah memiliki kewenangan terhadap penanganan suatu perkara yang diajukan kepadanya, maka Mahkamah punya kebebasan untuk menentukan apakah akan menangani perkara itu atau tidak.

d.    Tata Cara Penyelesaian Sengketa
      Ada dua tahap dalam menangani perkara yang diajukan ke Mahkamah. Pertama adalah pengajuan secara tertulis segala argumentasi dari masing-masing pihak disertai dengan bukti-bukti tertulis lainnya. Kemudian para pihak akan saling menyampaikan gagasannya secara lisan melalui rangkaian persidangan melalui agen dan penasehat hukum mereka masing-masing.
      Mahkamah menggunakan dua bahasa resmi yaitu Inggris dan Perancis sehingga setiap keterangan baik lisan maupun tulisan selalu akan diterjemahkan ke dalam dua bahasa tersebut. Sesudah keterangannya dibaca dan didengar hakim akan bersidang secara  tertutup dan setelah sampai kepada keputusan baru diumumkan secara terbuka. Keputusan yang diambil adalah final dan tidak ada peradilan banding atasnya. Jika ada pihak yang “kalah” dalam peradilan tidak mau melakukan kewajibannya sesuai dengan keputusan Mahkamah, maka pihak yang lain bisa mnegajukan perkara tersebut ke Dewan Keamanan. Mahkamah secara umum akan bersidang dengan jumlah hakim yang lengkap (full court), minimal 9 orang hakim hadir dari 15 hakim yang ada. Namun jika dikehendaki oleh para pihak dapat dilakukan pemeriksaan dengan jumlah hakim yang terbatas (Chamber)

e.  Sumber Hukum
      Sumber hukum yang dipakai oleh Mahkamah tanpa melihat hirarkinya adalah perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum umum dan sumber tambahan adalah keterangan para ahli, ajaran dan doktrin serta keputusan pengadilan

f.     Nasehat dan Pendapat Hukum
      Hanya organisasi internasional yang bisa mengajukan permintaan kepada Mahkamah untuk memberikan pendapat yang akan berfungsi sebagai nasehat bagi organisasi internasional tersebut dalam memahami atau menjelaskan sebuah perkara hukum. Dalam upaya memberikan nasehat tersebut,
      Mahkamah bisa mencari penjelasan dari negara atau organisasi internasional manapun dengan memberikan kebebasan bagi negara-negara ataupun organisasi-organisasi internasional untuk memebrikan informasi atau keterangan baik tertulis ataupun lisan kepada Mahkamah. Setelah mendengar keterangan dan informasi dari berbagai pihak barulah Mahkamah menuliskan nasehat dan pendapat hukumnya atas pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Mengingat pendapat mereka dalam kasus ini adalah berupa nasehat maka tidak ada kewajiban bagi pihak yang meminta untuk tunduk dan terikat pada nasehat tersebut. Namun, dengan tambahan tata cara lain seperti dijanjikan terlebih dahulu oleh para pihak yang meminta, nasehat dari Mahkamah bisa saja ditetapkan untuk mengikat.

Contoh Kasus-kasus yang Pernah  disidangkan
ü  Application of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Bosnia and Herzegovina v. Serbia and Montenegro)
ü   Gabčíkovo-Nagymaros Project (Hungary/Slovakia)
ü  Sipadan and Ligitan Case ( Malaysia Vs Indonesia)
ü  Application of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Croatia v. Serbia and Montenegro)
ü  Maritime Delimitation between Nicaragua and Honduras in the Caribbean Sea (Nicaragua v. Honduras)
ü  Territorial and Maritime Dispute (Nicaragua v. Colombia)
ü  Certain Criminal Proceedings in France (Republic of the Congo v. France)
ü  Sovereignty over Pedra Branca/Pulau Batu Puteh, Middle Rocks and South
Ledge(Malaysia/Singapore)
ü Maritime Delimitation in the Black Sea (Romania v. Ukraine)
ü Dispute regarding Navigational and Related Rights (Costa Rica v. Nicaragua)


Perbedaan Penyelesaian Sengketa Secara Politik dan Secara Hukum

Pada umumnya Hukum Internasional membedakan sengketa internasional atas sengketa  yang bersifat politik dan sengketa yang  bersifat hukum .  sengketa politik adalah sengketa yang mendasarkan tuntutannya atas pertimbangan non yuridik misalnya atas dasar kepentingan nasional lainnya. Biasanya penyelesaiannya pun melalui prosedur non yurisdiksional. Sedangkan sengketa hukum adalah sengketa dimana suatu Negara mendasarkan tuntutannya atas ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam suatu perjanjian atau yang telah diakui oleh hukum internasional.
Perbedaan kedua cara penyelesaian sengketa ini terletak pada tingkat kekuatan mengikat dari keputusan yang diambilnya. Keputusan yang diambil dalam penyelesaian sengketa secara poliyik hanya berbentuk usul-usul yang tidak mengikat Negara yang bersengketa. Usul-usul tersebut tetap mengutamakan kedaulatan Negara yang bersengketa dan tidak harus didasarkan atas ketentuan-ketentuan hukum. Konsiderasi-konsiderasi politik dan kepentingan lainya juga dapat menjadi dasar pertimbangan dalam perumusan keputusan yang diambil. Keputusan-keputusan yang diambil dalam penyelesaian sengketa secara hukum mempunyai sifat mengikat dan membatasi kedaulatan Negara-negara yang bersengketa, ini disebabkan karena keputusan yang diambil hanya didasarkan atas prinsip-prinsip hukum intenasional.





BAB VIII
HUKUM INTERNASIONAL TENTANG HAM


A.    Sejarah dan Perkembangan Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki manusia karena dirinya manusia. Konsep HAM membuat perbedaan status seperti ras, jender, dan agama tidak relevan secara politis dan hukum dan menuntut adanya perlakuan yang sama tanpa memandang apakah orang yang bersangkutan memenuhi kewajiban terhadap komunitasnya. Secara konseptual, ada beberapa teori yang berkenaan dengan HAM, yaitu :
  1. Teori hak-hak alami (natural rights), yang berpandangan bahwa HAM adalah hak yang dimiliki oleh seluruh manusia pada segala waktu dan tempat.
  2. Teori positivis (positivist theory), yang berpandangan bahwa hak harus dituliskan dalam hukum yang riil, misalnya melalui konstitusi.
  3. Teori relativis kultural (cultural relativist theory), teori ini merupakan anti-tesis dari teori hak alami, karena berpandangan bahwa hak yang bersifat universal merupakan pelanggaran terhadap dimensi kultural yang lain, atau dalam kata lain disebut dengan imperialisme kultural.
  4. Doktrin Marxis (marxist doctrine and human rights), teori ini juga menolak natural rights karena beranggapan bahwa negara atau sifat kolektif yang menjadi sumber segala hak.

Namun demikian, konsepsi HAM yang berkembang mempunyai hakikat untuk melindungi kepentingan perseorangan setiap individu. Pada saat ini telah ada beberapa instrumen yuridik untuk melindungi HAM dalam konteks hukum internasional. Namun sebelum munculnya instrumen yuridik tersebut, telah terjadi perdebatan mengenai status individu dalam hukum internasional. Dalam hukum internasional, paradigma negara-sentris telah mengakar sejak lama. Sehingga ketika muncul ide untuk membuat perlindungan internasional terhadap HAM, maka pro-kontra terjadi.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa hukum internasional hanya mengatur hubungan antar negara, sehingga individu tidak dapat dianggap sebagai subjek hukum internasional. Namun menurut Prof. George Scelle, hanya individu yang menjadi subjek hukum internasional. Pendukung terhadap pendapat ini mengatakan bahwa tujuan akhir dari pengaturan-pengaturan konvensional adalah individu dan oleh karena itu individu mendapatkan perlindungan internasional.[6] Pendapat lain mengatakan bahwa negara sebenarnya adalah entitas yang abstrak, dan pada dasarnya negara terdiri dari individu-individu, sehingga sudah sewajarnya individu dapat dikategorikan sebagai subjek hukum internasional meskipun hanya dalam hal-hal tertentu. Hadirnya Pengadilan Nuremberg, yang ditujukan untuk menghukum para pelaku kejahatan perang selama Perang Dunia II, berhasil menegaskan status individu menjadi subjek hukum internasional, sehingga secara langsung individu mempunyai hak dan kewajiban dalam hukum internasional.
Untuk melindungi HAM, instrumen yuridik menjadi sebuah hal yang sangat diperlukan agar dapat memberikan kepastian hukum dalam melaksanakan penegakan HAM. Secara historis-empiris, ada beberapa instrumen yuridik yang muncul untuk melindungi HAM, antara lain :
  1. Magna Charta 1215, dokumen ini mencatat beberapa hak yang diberikan oleh Raja John dari Inggris kepada beberapa bangsawan bawahannya atas tuntutan mereka. Naskah ini sekaligus membatasi kekuasaan Raja John itu.
  2. Bill of Rights 1698, undang-undang yang diterima oleh Parlemen Inggris setelah terjadi perlawanan terhadap Raja James II dalam revolusi tidak berdarah yang dikenal dengan The Glorious Revolution of 1688.
  3. Declaration des droits de l’homme et du citoyen 1789, naskah yang dicetuskan pada permulaan Revolusi Prancis, sebagai perlawanan terhadap rezim yang lama.
  4. Declaration of Independence, naskah yang disusun oleh rakyat Amerika pada tahun 1789 dan kemudian menjadi bagian dari Konstitusi Amerika pada tahun 1791.

Hak-hak yang dihasilkan dalam dokumen-dokumen tersebut sangat dipengaruhi o;eh gagasan Hukum Alam, dan hanya terbatas pada hak-hak yang bersifat politis seperti persamaan hak, hak atas kebebasan, hak untuk memilih, dan lainnya. Namun instrumen yuridik yang lahir pada masa pertengahan tersebut menjadi dasar bagi pembentukan instrumen yuridik perlindungan HAM modern. Salah satu tonggak terwujudnya perlindungan HAM modern adalah empat hak yang dirumuskan Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt, yaitu :
  1. kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech);
  2. kebebasan beragama (freedom of religion);
  3. kebebasan dari ketakutan (freedom from fear);
  4. kebebasan dari kemelaratan (freedom from want).

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjadi organisasi internasional yang memberi kontribusi besar dalam pembentukan perlindungan HAM internasional modern. Dokumen yang dihasilkannya, yaitu Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada tanggal 10 Desember 1948. Instrumen yang dihasilkan oleh Majelis Umum PBB ini mengambil dasar pemikiran dari konsepsi HAM yang dikembangkan oleh kebudayaan Barat, dan tidak ada negara anggota PBB yang melawan hal ini, meskipun Arab Saudi, Afrika Selatan, dan negara blok Soviet bersikap abstain. 
UDHR mengatur mengenai hak-hak yang harus dilindungi, yaitu pasal 3-21 mengenai hak-hak sipil dan politik, pasal 22-27 mengenai hak-hak ekonomi sosial dan kebudayaan. Meski UDHR mempunyai arti historis penting dan nilai politik yang tinggi, UDHR tidak mempunyai kekuatan mengikat (not legally binding) kepada negara-negara anggota PBB. Namun ketentuan-ketentuan dalam UDHR telah banyak dimasukkan kedalam legislasi nasional masing-masing negara anggota PBB, sehingga prinsip-prinsip dalam UDHR dapat dianggap sebagai customary international law.
Negara-negara anggota PBB membutuhkan waktu 18 tahun setelah munculnya UDHR untuk menyepakati cara memberikan kekuatan hukum pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam UDHR. Pada mulanya, negara-negara anggota PBB merencanakan untuk membuat instrumen tunggal yang disebut dengan “International Bill of Rights”, namun terjadi perubahan sehingga pada tahun 1951 disepakati untuk membuat dua kovenan internasional. Perubahan kesepakatan dari satu instrumen tunggal menjadi dua kovenan internasional disebabkan karena pertentangan yang terjadi antara superpower blocs yang tidak dapat menyepakati apa saja yang harus dicantumkan dalam sebuah instrumen tunggal.
 Negara-negara barat yang menganut demokrasi-liberal menginginkan penekanan terhadap hak-hak individu yang telah ada sejak lama (hak sipil dan politik), sedangkan negara-negara Marxis menginginkan penekanan terhadap hak-hak kelompok atau hak-hak kolektif, terutama yang bersifat ekonomi dan social. Pada tahun 1966 berhasil dibuat International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR), dan International Convention on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR). Kedua kovenan ini mempunyai kekuatan mengikat kepada negara-negara anggota PBB pada tahun 1976, dan mengatur tentang:
1)    ICCPR (International Convention on Civil and Political Rights /Konvensi Internasional tetntang Hak-hak Sipil dan Politik
a.    Hak untuk hidup
b.    Pelarangan penyiksaan
c.    Pelarangan perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan
d.    Pelarangan perbudakan
e.    Kedudukan yang sama dalam hokum
f.     Kebebasan berpikir dan beragama
g.    Kebebasan berkumpul
h.    Kebebasan berekspresi
2)     ICESCR (International Convention on Economic, Social, and Cultural Rights/Konvensi Internasional tetntang Hak Ekonomi, Sosial dan Politik)
a.    Hak untuk bekerja Hak untuk mendapatkan lingkungan kerja yang baik
b.    Hak untuk bersindikat
c.    Hak untuk mendapatkan pendidikan
d.    Hak untuk mendapatkan jaminan sosial

Setelah disepakatinya dua kovenan internasional tersebut, kemudian muncul instrumen hukum lain yang lahir setelah ICCPR dan ICESCR yang substansinya mengatur berbagai hal :
  1. Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide
  2. Convention relating to the Status of Refugees
  3. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination
  4. Convention on the Elimination of Discrimination against Women

Munculnya instrumen-instrumen tersebut, ditujukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM, khususnya pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights). Pada saat ini, pelanggaran HAM berat diadili oleh International Criminal Court (ICC), yang didirikan berdasarkan Rome Statute 1998. Dalam Statuta tersebut, istilah pelanggaran HAM berat memang tidak ditemukan. Namun penyebutannya mempunyai padanan yaitu “the most serious crimes of concern to the international community as a whole”.  Pengertian ini mencakup genosida (genocide); kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity); kejahatan perang (war crimes); dan agresi (agression)

B.   Sejarah dan Perkembangan Genosida
Istilah genosida pertama kali dikemukakan oleh Raphael Lemkin pada tahun 1933. Genosida berasal dari bahasa Yunani γένος atau genos yang artinya keluarga, suku atau ras, dan bahasa Latin occido yang artinya pembunuhan massal. Munculnya genosida sebagai salah satu kejahatan, didasarkan pada kejadian pembunuhan massal terhadap orang-orang Assyria di Irak pada 11 Agustus 1933. Sedangkan pembunuhan massal yang dianggap sebagai kejadian genosida yang pertama kali di dunia adalah pembantaian terhadap orang-orang Armenia oleh Turki pada tahun 1915.  Lebih dari satu juta orang diperkirakan meninggal dalam kejadian tersebut. Dalam konteks hukum internasional, genosida pertama kali digunakan dalam tuntutan terhadap pelaku kejahatan perang di Pengadilan Nuremberg. Meskipun Piagam Nuremberg tidak menggunakan istilah genosida sebagai salah satu prinsipnya.
Menurut Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (CPPCG), genosida didefinisikan sebagai :
…any of the following acts committed with intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnical, racial or religious group, as such:
(a) Killing members of the group;
(b) Causing serious bodily or mental harm to members of the group;
(c) Deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring about its physical destruction in whole or in part;
(d) Imposing measures intended to prevent births within the group;
(e) Forcibly transferring children of the group to another group.

Menurut beberapa pakar, pengecualian terhadap kelompok sosial dan politik, telah membuat definisi terhadap genosida menjadi sempit. Chalk dan Jonassohn mendefinisikan genosida sebagai :[22]
…form of one-sided mass killing in which a state or other authority intends to destroy a group, as that group and membership in it are defined by the perpetrator.”
Sedangkan R.J. Rummel memberikan pengertian terhadap genosida yang lebih luas. Menurutnya, genosida mempunyai tiga pengertian :
  1. Pengertian biasa, yaitu pembunuhan oleh pemerintah terhadap orang-orang tertentu karena alasan kebangsaan, etnis, ras, atau keanggotaan dalam agama tertentu;
  2. Pengertian yuridis, yaitu definisi genosida yang terdapat dalam CPPCG.
  3. Pengertian umum, yaitu genosida yang memiliki arti mirip dengan pengertian biasa, namun memasukkan pembunuhan berencana oleh pemerintah terhadap oposisi politik.
Beberapa kejadian selain pembunuhan massal terhadap bangsa Assyria dan Armenia, yang dapat dianggap sebagai genosida adalah :
  1. Pembunuhan massal terhadap etnis Kurdi oleh Turki di wilayah Dersim pada tahun 1937-1938;
  2. Pembunuhan massal terhadap suku Hutu oleh suku Tutsi di Burundi 1972
  3. Pembunuhan massal oleh Khmer Merah di Kamboja pada pertengahan 1970
  4. Kebijakan melawan Kurdi yang dikeluarkan oleh Anfal pada tahun 1988.
  5. Okupasi Indonesia terhadap Timor Timur selama tahun 1975 sampai 1999.
  6. Pembunuhan massal Sabra dan Shatila yang terjadi pada September 1982, ketika terjadi konflik bersenjata antara milisi Lebanon yang didukung oleh Israel melawan Palestina.
  7. Invasi Uni Soviet terhadap Afghanistan selama tahun 1979-1989.

Kejadian-kejadian diatas tidak pernah diproses secara hukum, baik melalui pengadilan nasional ataupun International Court of Justice (ICJ). Namun dalam perkembangannya, ada beberapa kasus yang kemudian diadili oleh badan peradilan internasional baik permanen maupun adhoc, yaitu :
  1. International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR). Pengadilan ad hoc ini didirikan oleh Dewan Keamanan PBB untuk mengadili pelaku pembunuhan massal terhadap suku Tutsi dan Hutu moderat oleh Hutu pada perang saudara di Rwanda. Selama sekitar 100 hari pada tahun 1994, sekitar 937.000 suku Tutsi dan Hutu moderat dibunuh oleh suku Hutu. Sampai sejauh ini ICTR telah menyelesaikan 21 pengadilan dan menjatuhkan tuntutan kepada 28 orang. Pengadilan pertama di ICTR dilangsungkan pada tahun 1997, dengan tertuduh Jean-Paul Akayesu.[26]
  2. Konflik bersaudara di Darfur (Sudan), yang diadili oleh ICC.
  3. Perang Saudara di Yugoslavia, yang diadili oleh International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY), dan khusus untuk kejadian Srebrenica Massacre atau yang lebih dikenal dengan Bosnian Genocide sempat menjadi perkara di ICJ pada tahun 2007.

C. Sengketa Internasional antara Bosnia vs. Serbia

A.   Bosnian War

Konflik di Bosnia-Herzegovina, yang berlangsung selama April 1992 – November 1995, telah menjadi sebuah “contoh” bentuk pembersihan etnis yang pernah terjadi di dunia.  Konflik ini adalah kejadian paling brutal yang pernah dialami oleh Eropa semenjak berakhirnya Perang Dunia II[28] yang melibatkan beberapa pihak, antara lain Bosnia-Herzegovina, Republik Federal Yugoslavia (yang kemudian dikenal dengan Serbia-Montenegro), dan Kroasia. Banyak silang pendapat yang terjadi untuk menentukan perang apa yang terjadi di wilayah Balkan tersebut. Apakah konflik yang terjadi merupakan perang saudara, atau agresi. Etnis Bosniak dan Croat banyak mengatakan bahwa perang tersebut adalah agresi yang dilakukan oleh militer Serbia dan Kroasia. Sedangkan pihak Serbia sendiri menganggap konflik tersebut adalah perang saudara.
Srebrenica Massacre terjadi pada Juli 1995. Sekitar 8.000 pria dari etnis Bosniak terbunuh oleh Army of Republika Sprska (VRS), yang pada saat itu dipimpin oleh Ratko Mladic. 18 orang yang disangka sebagai pelaku dalam genosida di Srebrenica ini, termasuk Ratko Mladic dan Radovan Karadzic, diadili oleh ICTY. Sedangkan Bosnia Herzegovina mengajukan perkara terhadap Serbia-Montenegro di ICJ, untuk meminta pertanggungjawaban Serbia-Montenegro (state’s responsibility) atas kejadian genosida yang terjadi di Srebrenica.

C.    Bosnia-Herzegovina v. Serbia-Montenegro

Sengketa yang diajukan oleh Bosnia-Herzegovina atas pembunuhan massal di Srebrenica adalah kasus pertama yang diterima oleh ICJ yang berkenaan dengan kejadian genosida selama berdirinya ICJ. Kasus yang masuk ke ICJ ini menjadi sebuah yurisprudensi penting untuk hukum internasional semenjak pelaksanaan Pengadilan Nuremberg pada tahun 1946. Tuntutan Bosnia-Herzegovina terhadap Serbia-Montenegro menjadi sebuah pembuktian dari penerapan, kemampuan, dan validitas ICJ dalam menegakkan CPPCG untuk saat ini dan masa depan. Kasus ini juga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru. Salah satunya, apakah negara dapat diminta pertanggungjawaban dalam kasus genosida ? Apabila negara memang dapat diminta pertanggungjawaban dalam hal ini, maka akan muncul kesalahan bersama yang bertentangan dengan konsep pertanggungjawaban indivudual seperti yang telah dikenal dalam pelanggaran HAM berat.
Dalam putusannya, ICJ menetapkan bahwa Serbia tidak melakukan atau berencana melakukan genosida yang terjadi di Srebrenica, lalu Serbia juga tidak terlibat dalam tindakan genosida yang terjadi di Srebrenica. Namun ICJ memutuskan bahwa Serbia telah melanggar kewajiban internasional yang telah tercantum dalam CPPCG, yaitu untuk mencegah terjadinya genosida di wilayah negaranya. Putusan yang dikeluarkan oleh ICJ menegaskan bahwa pembunuhan massal yang dilakukan oleh VRS adalah bentuk genosida. Penegasan ini juga menggagalkan pendapat dari pihak Bosnia-Herzegovina bahwa genosida tidak hanya terjadi di Srebrenica, namun di seluruh wilayah Bosnia-Herzegovina.
Pelanggaran terhadap kewajiban internasional yang dilakukan oleh Serbia bukan hanya terhadap ketentuan yang telah ditetapkan oleh CPPCG, namun juga dari ketentuan tambahan yang telah dikeluarkan oleh ICJ pada bulan April dan September 1993. Dalam ketentuan tersebut, tercantum perintah dari ICJ terhadap Yugoslavia untuk “melakukan segala tindakan sesuai dengan kewenangannya untuk mencegah terjadinya genosida dan memastikan bahwa tindakan tersebut tidak dilakukan oleh kelompok militer ataupun paramiliter yang beroperasi di bawah pemerintahan yang berwenang.” Hakim ICJ memutuskan bahwa selain melanggar ketentuan tersebut, Serbia tidak berusaha melakukan apapun untuk mencegah terjadinya genosida di Srebrenica pada Juli 1995, padahal Serbia seharusnya menyadari bahwa tindakan yang terjadi di Srebrenica akan menimbulkan genosida. Dalam memberikan putusan ini, ICJ bersandar pada kasus Nicaragua v. United States  yang menyatakan bahwa Amerika Serikat terbukti tidak bertanggungjawab atas kegiatan yang dilakukan oleh kelompok gerilyawan, meskipun tindakan mereka (AS) diketahui secara luas oleh publik.
Selanjutnya, beberapa penegasan yang dilakukan oleh ICJ adalah :
  1. Berdasarkan bukti yang jelas bahwa pembunuhan yang terjadi secara massif di tempat-tempat tertentu dan kamp-kamp konsentrasi di wilayah Bosnia-Herzegovina dilakukan selama terjadinya konflik (Perang Bosnia).
  2. Orang-orang yang menjadi bagian dari kelompok yang dilindungi di Srebrenica telah menjadi korban perlakuan yang tidak pantas, pemukulan, pemerkosaan, penyiksaan yang menyebabkan cacat fisik dan mental yang serius, selama berada di kamp konsentrasi.

Pengadilan menerima fakta bahwa militer Serbia melakukan tindakan-tindakan tersebut, namun belum ada bukti yang menguatkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Serbia dimaksudkan untuk menghilangkan sebagian atau seluruh etnis Bosnia.. Presiden ICJ, Rosalyn Higgins, menyatakan bahwa meskipun terdapat bukti-bukti yang menguatkan terjadinya kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan di Bosnia, ICJ tidak memiliki yurisdiksi dalam menentukan apakah kejadian tersebut merupakan genosida atau tidak, karena kasus ini berkenaan dengan pengertian terhadap genosida secara hukum yang memiliki pengertian sempit dan tidak dapat diperluas. ICJ kemudian memutuskan bahwa semenjak Montenegro mendeklarasikan kemerdekaannya pada Mei 2006, maka Serbia sebagai penerus dari Serbia-Montenegro, menjadi satu-satunya pihak sebagai tergugat. Namun dalam kejadian-kejadian yang berlangsung sebelumnya, menjadi tanggung jawab Serbia dan Montenegro.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar