Senin, 22 Juni 2015

EFEKTIVITAS DIPLOMASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK INTERNASIONAL ANTARA PALESTINA DAN ISRAEL

Dalam Jurnal Mahkamah, Vol 5 No. Tahun 2013 ISSN 1979-7427
Oleh: Inggrit Fernandes [1]

Abstract
Diplomacy can be defined as the art and practice of negotiation between representatives of the country or group of countries. practice of diplomacy has long been done by giving priority to peace for a common goal or shared interest. This is very effective because in addition to saving the cost and casualties, diplomacy also helped improve relations between countries. Settlement of the Israeli-Palestinian conflict is believed to facilitate the settlement of other problems in the region. However, in the Israeli Palestinian conflict and diplomacy that has been done rarely produce results. So it is necessary to study the extent to which the effectiveness of diplomacy in resolving conflicts that have lasted this long. Is effective diplomacy is still maintained, if maintained it must find the right instrument. If not, then what is the most effective way.



A.      PENDAHULUAN
Secara sederhana, diplomasi dapat didefinisikan sebagai seni dan praktik negosiasi antara wakil-wakil dari negara atau sekelompok negara. Istilah ini biasanya merujuk pada diplomasi internasional, dimana hubungan internasional melalui perantara diplomat profesional terkait isu-isu perdamaian, perdagangan, perang, ekonomi dan budaya. Begitu pula perjanjian internasional yang biasanya dinegosiasikan oleh para diplomat sebelum disetujui oleh politisi nasional dalam negeri.
Geoffrey McDermott mengatakan diplomasi adalah pertimbangan dalam manajemen hubungan internasional. Masing-masing Negara, seberapapun kualitasnya dan ukurannya, selalu ingin memelihara/ mengembangkan posisinya dalam kancah internasional. Menurut The Chamber’s Twentieth Century Dictionary[2], diplomasi adalah “the art of negotiation, especially of treaties between states; political skill.” (seni berunding, khususnya tentang perjanjian di antara negara-negara; keahlian politik).
Berabad-abad silam praktek diplomasi sudah lama dilakukan dengan mengutamakan perdamaian untuk tujuan bersama atau kepentingan bersama. Hal ini sangat efektif karena selain menghemat biaya dan tidak menelan korban jiwa, diplomasi juga membantu memperbaiki hubungan antar negara. Biasanya, orang menganggap diplomasi sebagai cara mendapatkan keuntungan dengan kata-kata yang halus. Perjanjian-perjanjian internasional umumnya dirundingkan oleh para diplomat terlebih dahulu sebelum disetujui oleh pembesar-pembesar negara. Istilah diplomacy diperkenalkan ke dalam bahasa Inggris oleh Edward Burke pada tahun 1796 berdasarkan sebuah kata dari bahasa Perancis yaitu diplomatie.[3]
Diplomasi menjadi sebuah insterument politik luar negeri yang sangat diutamakan, mengingat sudah banyak juga konflik-konflik lama yang belum diselesaikan akibat dampak dari perang dunia ke-1 dan ke-2 ditambah lagi permasalahan-permasalahan baru mengenai terorisme, isu lingkungan, serta isu-isu kontemporer lainnya.
Diplomasi terbagi menjadi dua bentuk, yaitu diplomasi bilateral dan diplomasi multilateral. Diplomasi bilateral adalah diplomasi yang dilakukan oleh dua Negara saja. Dan diplomasi multilateral adalah diplomasi yang dilakukan oleh lebih dari dua Negara. Posisi tawar (Bergaining) sebuah Negara dalam diplomasi sangat menentukan sebuah Negara dalam dinamika politik global. Posisi bargaining ini biasanya menjadi sangat berpengaruh dalam bentuk diplomasi multilateral. Karena tidak semua perjanjian yang biasanya terjadi dalam sebuah diplomasi multilateral dapat disetujui oleh beberapa Negara. Untuk itu pengajuan bargaining ini sebagai bagian dalam diplomasi sangat diperlukan untuk menyetarakan dengan perjanjian yang akan dibentuknya.[4]
Timur Tengah merupakan kawasan yang mempunyai daya tarik tersediri bagi setiap orang dan setiap negara. Dunia tidak akan melepaskan pandangannya dari kawasan ini, jika dilihat dari aspek historis, kawasan ini adalah tempat diturunkannya agama-agama samawi (Agama langit) dengan penganut terbesar seperti Islam, Yahudi, dan Nasrani. Dari aspek ekonomi, negara-negara yang berada di kawasan ini adalah penghasil minyak dan gas terbesar, yang selama ini menjadi penopang kebutuhan dunia akan energi, dan dari aspek politik dan keamanan, kawasan ini memiliki letak geografis yang sangat strategis.
Semenjak akhir tahun 1940an, konflik yang paling berpengaruh terhadap kawasan timur tengah itu adalah Israel-Palestina dan aktor-aktor lain seperti Syria, Mesir, dan Lebanon merupakan bagian dari serangkaian upaya dalam mengkondisikan konflik yang terjadi, namun kedamaian yang terjadi di timur tengah ini bergantung kepada Israel-Palestina. Konflik ini mencapai titik puncaknya sejak dikeluarkannya Resolusi Majelis Umum PBB No. 181 tahun 1947.[5] Resolusi ini membagi wilayah Palestina menjadi tiga bagian yaitu: wilayah Arab Palestina, wilayah Israel, dan Yerussalem sebagai wilayah yang dikelolah oleh Dunia Internasional. Pada tanggal 29 November tahun 1947 Israel melanggar Resolusi ini dengan mengklaim Jerusalem sebagai jantung kota Israel.[6] Bangsa Palestina kemudian keberatan, dengan menolak pembagian tersebut karena penduduk Palestina lebih mayoritas dan lebih dahulu mendiami wilayah tersebut dibandingkan Israel.
Anggota Kongres Amerika Serikat, Lewrence H. Smith mengungkapkan dengan jelas keterlibatan negaranya dalam penentuan Resolusi nomor 181 tahun 1947, dalam suratnya kepada kongres Amerika Serikat, 18 Desember 1947, Lewrence H. Smith mengungkapkan bahwa untuk perolehan duapertiga suara di Majelis Umum PBB agar Resolusi itu sah  maka delegasi Amerika Serikat melakukan tekanan kepada tiga negara kecil yaitu Liberia, Haiti, dan Philipina, awalnya ketiga negara ini tidak ingin memberikan dukungan suara mereka.[7]
Bagi rakyat Palestina Resolusi PBB ini merupakan suatu kebijakan yang semakin memperburuk kondisi mereka, namun sebaliknya bagi Israel, Resolusi ini merupakan legitimasi yang semakin memperkuat posisinya terhadap kepemilikan wilayah Palestina, sehingga muncul banyak perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Palestina. Gerakan-gerakan Aliansi regional untuk mematahkan Resolusi ini banyak muncul dikawasan Timur Tengah, diantaranya Front timur yang terdiri dari Suriah, Irak dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).[8] 
Ketegangan selanjutnya terjadi pada tahun 1967, dimana peperangan antara Israel menghadapi gabungan tiga negara Arab yakni Mesir, Yordania, dan Suriah yang mendapatkan bantuan aktif dari Irak, Kuait, Arab Saudi, Sudan dan Aljasair. Perang ini dikenal dengan Perang Enam Hari Arab-Israel yang belangsung selama 132 jam 30 menit.[9] Dalam perang tahun 1967 ini Israel berhasil mencaplok Jerusalem Timur secara resmi menyatakan Jerusalem adalah ibu kota Israel, Resolusi  Dewan Keamanan PBB Nomor 242 dan 338 tahun 1967 mengharuskan Israel keluar dari Jerusalem, namun Israel hanya menyerahkan Sinai kepada Mesir. Kekalahan bangsa  Arab  dari Israel pada perang tahun 1967, merupakan penguat eksistensi Resolusi PBB No 242 yang justru lebih menguntungkan Israel.
Selanjutnya penyerahan persoalan Palestina kepada Palestinian Liberation Organization (PLO)[10] merupakan penegasan eksistensi bahwasanya PLO merupakan satu-satunya lembaga konstitusional bagi Palestina. PLO yang sebelumnya tidak berkompromi dengan Israel, Setelah perang 1967 mulai berubah. Kekalahan perang 1967 melemahkan PLO dan berakhir pada kepindahannya dari Lebanon, dan kecenderungan di dalam PLO untuk berdamai dengan Israel mulai menguat, konsesi dalam perdamaian tersebut termasuk dua masalah yang mendasar, pertama; mengakui entitas Zionis[11] dan haknya untuk ada di Palestina dan kedua; memberikan sebagian besar Palestina kepada Zionis.[12]
Posisi bangsa Arab pada awalnya sangat kuat, sehingga diselenggarakanlah konferensi Khourtoum pada Mei 1967 dimana para raja, pemimpin, dan Emirat Arab memutuskan bahwa tidak ada perdamaian, negosiasi, dan tidak ada perdamaian dengan Israel. Pada tanggal 6 Oktober 1973 perang Arab-Israel pecah. Pasukan Arab berhasil meraih kemenangan pada peperangan ini dan berhasil memasuki Sinai. Israel tidak berhasil memanfaatkan bantuan dari angkatan udara Amerika Serikat. Perang ini sebenarnya merupakan kemenangan yang besar bagi Mesir dan Suriah. Namun, pemimpin Mesir Anwar Sadat lmemilih jalan perdamaian yang ditandai dengan kunjungannya ke Jerusalem pada tahun 1977 ditandatanganinya Perjanjian Camp David  dimana isi perjanjian ini mempelopori eksisnya Resolusi PBB No 242.
Pada tahun 1993 diselenggarakan lagi perjanjian Oslo, isinya penarikan  pemukiman Yahudi dan kota Jerusalem Timur ditunda pada perundingan final, tanpa ada jaminan Israel tidak mengubah keadaan lapangan yang menguntungkan Israel, perdebatan antara para delegasi dan pimpinan PLO terjadi cukup sengit, namun sudah terlambat, karena Yasser Arafat  telah menyetujuinya dengan Yitzhak Rabin saat itu.[13]
            Tahap diplomasi selanjutnya adalah Kesepakatan Wye River  dibuat pada bulan Oktober tahun 1998, adalah sebuah persetujuan  perdamaian bagi Yasser Arafat sebagai langkah penyelamatan bahwasanya Kesepakatan Oslo masih dapat dipertahankan, isinya yang menyangkut mengenai Kemanan[14] yaitu Yasser Arafat harus menerima  penarikan pasukan Israel tahap kedua saja dari Tepi Barat dengan menunda penarikan tahap ketiga sedang Benyamin Netanyahu juga harus menerima Palestina tidak akan menyerahkan kelompok anti Israel. Kesepakatan inipun sebagian besar berkisar tentang keamanan rakyat Israel dan negara Israel.
            Dalam kerangka Multilateral PBB banyak mengeluarkan resolusi-resolusinya kepada Israel, baik berupa seruan lunak maupun mendesak agar Israel mengambil atau menahan diri dari tindakan-tindakan tertentu, hingga pesan-pesan lebih tajam menuntut tindakan Israel dan mengecam tindakannya.[15] Majelis Umum PBB sangat sering mengecam pendudukan Israel atas Palestina, pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak asasi bangsa Palestina dalam pendudukan, pelanggaran-pelanggarannya terhadap Konvensi Jenewa Keempat, klaimya atas Jerusalem  sebagai ibu kotanya, namun Israel tidak mengacuhkannya dan tetap menjalankan prinsipnya.
Sejak diklaimnya Palestina sebagai teritorial negara Israel, maka Israel mulai melakukan pembangunan pemukiman di wilayah Palestina dengan dua proses evekuasi dan substitusi. Proses evakuasi dan substitusi yaitu dengan mengosongkan wilayah dan mengganti penduduknya dengan bangsa Yahudi yang dilakukan dengan cara kekerasan dan pembunuhan  terhadap penduduk sipil Palestina. Hal ini sesuai dengan kebijakan utama politik luar negeri Israel adalah ekspansi wilayah , yang  dapat dilihat dari dikuasainya 80% wilayah Palestina pada tahun 1949, jauh melebihi bagian yang ditetapkan PBB pada tahun 1947 yaitu hanya sebesar 56%. Proses substitusi rakyat Palestina dengan penduduk Israel mencapai proporsi yang sulit dipecahkan, selain itu pemerintahan Israel menghancurkan tempat ibadah Islam dan Kristen dan pada bulan Mei 1949 kemudian Israel membangun 1.947  pemukiman baru dan bulan Oktober 1947 imigran Yahudi berdatangan ke wilyah Palestina, jumlah mereka mencapai 25.255 imigran.[16]
Pemukiman-pemukiman Yahudi yang didirikan di atas tanah milik bangsa Palestina di wilayah-wilayah pendudukan menjadi rintangan serius bagi usaha mencapai perdamaian. Sejak 1967 Israel menduduki Jerusalem Timur Arab, Tepi Barat, Dataran Tinggi Golan, dan Jalur  Gaza melalui tindak kekerasan dan pada saat yang sama terus mendirikan pemukiman-pemukiman Yahudi di semua wilayah tersebut. [17] Hal ini merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan internasional bagi penguasa pendudukan untuk memindahkan penduduk dari negaranya dalam jumlah yang signifikan ke dalam wilayah yang diduduki.
Palestina menuntut agar israel meninggalkan jalur Gaza serta mengosongkan wilayah Tepi Barat sesuai sseperti sebelum perang 1967.mengembalikan 3,5 pengungsi Palestina dari pengasingan serta membebaskan sekitar 7.000 tahanan Palestina di penjara – penjara Israel. Palestina juga menuntut agar Israel membongkar pagar pembatas yang tingginya 7 meter serta panjangnya 750 km yang baru dibangun untuk mengahalangi kaum militan masuk, pagar yang disebut arafat Tembok Berlin baru yang panjangnya dimulai dari kota Jenin hingga ke selatan Bersheba di jalur Gaza, Serta Israel harus menghentikan pengambilan sumber air dari Galilea, Tiberas dan Dataran tinggi Golan. Sedangkan Israel menghendaki agar kaum militan menghentikan serangannya dan perlucutan senjata hingga level zero untuk menjaga keamanan dan memepertahankan jerussalem hentikan serangan kaum militan, perlucutan senjata pasukan keamanan hingga ke level zero cukup untuk menjaga keamanan internal (polisi) dan mempertahankan Yerusalem.[18]
Kelemahan pemikir politik bangsa Arab telah mencapai titik kritis yang menimbulkan sikap pesimis dan putus asa bagi rakyat Palestina yang telah membolehkan adanya perjanjian tersebut dengan harapan perjanjian tersebut dapat memberikan keuntungan bagi rakyat Palestina. Diantara hal lain yang dirasakan sangat memprihatinkan adalah pemikiran bangsa Arab ketika itu yang berbaik sangka kepada Israel dimana perdamaian dan keadilan hak-hak rakyat Palestina akan dikembalikan ketika bangsa Palestina memulai untuk melaksanakan perjanjian ini, Arab telah kehilangan kesadaran dan menjauhi realitas bahwasanya antara keduanya (Arab-Israel) tidak akan pernah ada perdamaian.


B.  Pembahasan
1.      Diplomasi
Kata Diplomasi berasal kata Yunani yaitu “Diploun” yang berarti “melipat”. Pada masa itu kekaisaran Romawi menggunakan piringan cetak logam sebagai bentuk paspor yang melewati jalan negara atau surat-surat jalan. Kemudian istilah ini berkembang dan mencakup dokumen-dokumen resmi khususnya pemberian hak istimewa tertentu menyangkut perjanjian dengan bangsa asing di luar bangsa Romawi. Dokumen-dokumen dari perjanjian yang bertumpuk inilah kemudian dilipat. [19]
Kemudian seiring berjalannya waktu serta perubahan zaman, diplomasi dikaitkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan hubungan internasional dalam pencapaian kepentingan nasional. Maka makna diplomasi berkembang menjadi suatu keahlian atau kemampuan atas keberhasilan di dunia hubungan internasional. Diplomasi lalu dipandang sebagai kemampuan seseorang dalam melakukan perundingan atau negosiasi dengan pihak lain, baik bilateral maupun multilateral yang menghasilkan suatu kesepakatan yang disetujui oleh semua pihak. Dalam suatu negosiasi kepentingan nasional suatu negara yang diwakili oleh orang-orang yang berkompeten dalam bidang ini atau disebut Diplomat tetaplah yang paling utama. Hans-George Wieck menyatakan :
 Diplomacy as a concept to help solving international problems by way of meaningful and professionally conducted negotiations is certainly still valid – if not even more valid than in the past. Such diplomacy constitutes an extremely prestigious mission for the sake of the international community, not simply for governments, but for the public in general affected in so many ways by the conduct of international affairs.[20]
Oleh karena unsur-unsur penting didalam diplomasi adalah menyangkut sebuah negosiasi yang mengedepankan kepentingan nasional, dan dengan jalan yang damai. Pemeliharaan perdamaian tanpa merusak kepentingan nasional adalah menjadi salah satu tujuan utama diplomasi. Namun selain itu teknik diplomasi juga sering dipakai untuk menyiapkan perang, karena berkaitan erat dengan tujuan dan politik luar negeri serta sistem suatu negara yang diwakili oleh para perwakilan negara atau diplomat.[21] Hans-George Wieck menyatakan :
 It is safe to say that diplomacy has assumed a new meaning and dimension under the conditions of a shrinking world and in the age of multiple communications available to governments, enterprise, science, media and last but not least to the human being and the civil society or civic society of which the citizens are an integral part, a notion you cannot find in any encyclopaedia of the last century.[22]

Meski diplomasi berkaitan erat dengan kepentingan dan politik luar negeri suatu negara dan berujung pada pencapaian kepentingan nasional namun bukan berarti diplomasi hanya dilakukan antara pemerintah dengan pemerintah saja atau yang kita kenal dengan First Track Diplomacy atau Government to Government yang dalam pelaksanaannya tidak melibatkan pihak-pihak diluar pemerintahan dari negara-negara yang terlibat didalamnya.
Telah banyak sarjana dan para ahli ilmu hubungan internasional juga para ahli hukum  melakukan penelitian mengenai akar konflik antara Palestina dan Israel. Dalam tinjauan pustaka ini dimaksudkan untuk memberikan informasi mengenai penelitian-penelitian terdahulu dan akan dijadikan perbandingan dengan penelitian ini. Secara umum banyak bacaan berupa karya ilmiah berbentuk konvensi atau perjanjian internasional, buku, tugas akhir, maupun terbitan jurnal ilmiah yang membahas masalah terkait dengan konflik atau sengketa internasional. Pada penelitian efektifitas instrumen diplomasi dalam penyelesaian konflik internasional antara Palestina dan Israel penulis mengkaji efektifitas instrumen diplomasi dalam penyelesaian sengketa yang sudah lama terjadi dalam kerangka perwujudan perdamaian.
Konflik adalah fenomena yang tidak dapat dihindari karena merupakan proses sosial yang dissosiasif, sebagaimana Hugh Miall dalam bukunya Resolusi Damai dan Konflik Kontemporer mendefinisikan konflik sebagai berikut:
Konflik adalah aspek intrinsik dan tidak mungkin dihindari dalam proses perubahan sosial. Konflik adalah sebuah ekspres heterogenitas kepentingan, nilai, dan keyakinan yang muncul sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan sosial yang muncul bertentangan dengan hambatan yang diwariskan.[23]

Ratusan tahun yang lalu Kautilya menyimpulkan tujuan utama diplomasi sebagai “pengamanan kepentingan negara sendiri.” Dengan kata lain tujuan dari diplomasi yang baik atau efektif adalah untuk menjamin keuntungan maksimum negara sendiri”[24]. Diplomasi telah menjadi salah satu bagian yang vital dalam kehidupan negara dan merupakan sarana utama guna menangani masalah-masalah internasional agar dapat dicapai suatu perdamaian dunia. Dengan sarana diplomasi itu pemerintah menjalankannya dalam rangka mencapai tujuannya dan mendapatkan dukungan dari prinsip-prinsip yang dianutnya. Diplomasi yang merupakan proses politik itu terutama dimaksudkan untuk memelihara kebijakan luar negeri suatu pemerintah dalam mempengaruhi kebijakan dan sikap pemerintah negara lainnya. Sebagai sebuah proses politik, diplomasi juga merupakan bagian dari usaha saling mempengaruhi yang sifatnya sangat luas dan berbelit-belit dalam kegiatan internasional yang dilakukan oleh pemerintah maupun organisasi internasional untuk meningkatkan sasarannya melalui saluran diplomatik.
Dalam interaksi sesama manusia, konflik atau sengketa adalah hal yang lumrah terjadi. Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain.[25]
Berbagai metode penyelesaian sengketa telah berkembang sesuai dengan tuntutan jaman. Metode penyelesaian sengketa dengan kekerasan, misalnya perang, invasi, dan lainnya, telah menjadi solusi bagi negara sebagai aktor utama dalam hukum internasional klasik. Cara-cara kekerasan yang digunakan tersebut akhirnya direkomendasikan untuk tidak digunakan lagi semenjak lahirnya The Hague Peace Conference pada tahun 1899 dan 1907, yang kemudian menghasilkan Convention on the Pacific Settlement of International Disputes 1907. Namun karena sifatnya yang rekomendatif dan tidak mengikat, konvensi tersebut tidak mempunyai kekuatan memaksa untuk melarang negara-negara melakukan kekerasan sebagai metode penyelesaian sengketa.[26]
Konflik Palestina-Israel memang merupakan bagian dari konflik yang lebih luas antara Arab-Israel yang memerlukan penyelesaian, secara terpadu atau pun terpisah, pada setiap jalur yang ada. Meskipun demikian, berdasarkan pendekatan pada inti permasalahan (core problem approach), hampir semua pihak, baik di tingkat regional maupun internasional, meyakini bahwa masalah Palestina merupakan inti dan akar dari berbagai masalah yang ada di Timur Tengah. Penyelesaian konflik Palestina-Israel dipercaya akan memudahkan penyelesaian berbagai masalah lain di kawasan dan bahkan dipercaya akan membantu pula penyelesaian berbagai konflik lain di sekitar kawasan yang dipandang sebagai efek samping, secara langsung atau pun tidak, dari berlarut-larutnya penyelesaian masalah Palestina.
 “Power”, Menururt Josep S. Nye, adalah “kemampuan dalam mempengaruhi perilaku yang lain”. Soft Power adalah kemampuan dalam menjadi “menarik”, sehingga bisa bekerjasama dengan yang lain. Sumber Daya utama dari Soft Power adalah kebijakan luar negeri, budaya dan nilai atau norma-norma.[27] Diplomasi dianggap sebagai pendekatan soft power dalam hubungan internasional. Sedangkan Hard Power adalah lawan kontras dari Soft Power merupakan cara mempengaruh tindakan yang lain sesuai dengan keinginan yang menginginkannya dengan cara memaksa atau kekerasan. Kekerasan akan menimbulkan kekerasan yang lain sehingga hal ini akan menimbulkan konflik yang tak berujung.
Dalam sumber lain disebutkan Hard power is the use of military and economic means to influence the behavior or interests of other political bodies. This form of political power is often aggressive, and is most effective when imposed by one political body upon another of lesser military and/or economic power[28]
Hard power yang diidentifikasikan sebagai kemampuan suatu Negara untuk memaksa Negara lain melalui kekuatan militer dan ekonomi atau keduanya. Negara dengan hard power tersebut sering terkesan mengancam dengan kekuatan militer yang mereka miliki. Dalam konflik Palestina-Israel dapat dilihat adanya Pengaplikasian smart power[29]  karena adanya keseimbangan antara hard power seperti kekuatan militer dengan soft power seperti kekuatan diplomasi. Contoh nyatanya adalah saat Palestina bersitegang dengan Israel terkait masalah perbatasan wilayah. Palestina tidak hanya perlu memperkuat kekuatan militernya di daerah perbatasan saja tetapi juga perlu melakukan diplomasi dengan Israel untuk menyelesaikan konflik yang sedang terjadi. 
Dari penjelasan diatas dapat kita lihat bahwa adanya kedekatan terhadap apa yang dijelaskan dengan penelitian ini. Hanya saja terdapat perbedaan fokus penelitian maupun konsep-konsep yang digunakan untuk mendukung penelitian ini, seperti pada penelitian pertama yang hanya fokus pada latar belakang konflik Palestina dan Israel. Kemudian pada penelitian kedua yang fokus pada intrumen diplomasi apasaj yang pernah dilakukan dalam upaya penyelesaian sengketa.  Kemudian pada penelitian ke tiga fokus pada efektifitas instrumen diplomasi dalam penyelsaian konflik.
Diplomasi damai dalam menyelesaikan sengketa internasional dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu penyelesaian sengketa secara politik, pengawasan di bawah PBB, dan secara hukum. Dalam pasal 2 ayat (4) Piagam. Penyelesaian sengketa secara damai ini, kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 33 Piagam yang mencantumkan beberapa cara damai dalam menyelesaikan sengketa, diantaranya :
a.       Negosiasi;
b.      Enquiry atau penyelidikan;
c.       Mediasi;
d.      Konsiliasi
e.       Arbitrase
f.       Judicial Settlement atau Pengadilan;
g.      Organisasi-organisasi atau Badan-badan Regional.

2.      Konsep Efektifitas
Pengertian Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu proses pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Menurut kamus besar bahasa Indonesia  Efektif adalah ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya); dapat membawa hasil atau berhasil guna (tentang usaha, tindakan). [30]
 Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Mengutip Ensiklopedia administrasi, The Liang Gie, menyampaikan pemahaman tentang efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas,kualitas dan waktu) yang telah dicapai oleh manajemen, yang mana target tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu. [31]
Dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu hal dapat dikatakan efektif apabila hal tersebut sesuai dengan dengan yang dikehendaki. Artinya, pencapaian hal yang dimaksud merupakan pencapaian tujuan dilakukannya tindakan-tindakan untuk mencapai hal tersebut.
Menurut K. J. Holsti dalam bukunya Politik Internasional Suatu Krangka Analisa, konflik dapat didefenisikan sebagai:[32]
Konflik adalah pertikaian antar negara dalam mencapai tujuan tertentu seperti perluasan atau mempertahankan wilayah territorial, keamanan, semangat, jalur kemudahan menuju daerah pemasaran, prestise, persekutuan, revolusi dunia, penggulingan pemerintahan negara yang tidak bersahabat, mengubah prosedur dalam PBB dan lain lain.

3.      Efektivitas Instrumen Diplomasi Dalam Penyelesaian Konflik Internasional Antara Palestina Dan Israel
Selama masa pendudukan Israel di Palestina, banyak dibuat berbagai perjanjian yang menguatkan eksistensi Israel di Palestina, diantaranya:
a.    Perjanjian Camp David 1
Salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah resolusi Palestina dan merupakan timbal balik hubungan Arab-Israel adalah penandatanganan Perjanjian Camp David dibulan September 1978, menyusul meninggalnya Gamal Abdul Naser pada bulan September 1970.[33] Setelah meninggalnya Gamal Abdul Nasser digantikan oleh Anwar Sadat, Sadat menandatangani dua kesepakatan  dengan Israel atas Sinai, tahun 1977 ia dengan  sepihak membatalkan perdamaian dengan Soviet dan meningkatkan ketergantungan dengan Amerika Serikat, pada tahun 1978 Anwar Sadat menandatangani perjanjian damai dengan perdana menteri Israel Menachem Begin di bawah arahan presiden Jimmy Carter, sehingga mnejadikan mesir sebagai bangsa Arab pertama yang secara resmi mengakui rezim Zionis di dunia Arab.[34] 
Berikut ini adalah cuplikan isi dari Perjanjian Camp David:[35]
  1. Egypt-Israel undertake not to resort to the threat or the use of force to settle disputes. Any disputes shall be settled by peaceful means in accordance with the provisions of Article 33 of the U.N. Charter.
  2. n order to achieve peace between them, the parties agree to negotiate in good faith with a goal of concluding within three months from the signing of the Framework a peace treaty between them while inviting the other parties to the conflict to proceed simultaneously to negotiate and conclude similar peace treaties with a view the achieving a comprehensive peace in the area. The Framework for the Conclusion of a Peace Treaty between Egypt and Israel will govern the peace negotiations between them. The parties will agree on the modalities and the timetable for the implementation of their obligations under the treaty.
Kesepakatan damai ini terdiri dari dua bab pokok, bab I tentang kesepakatan damai bilateral Israel-Mesir, bab II memuat pembentukan pemerintahan otonomi Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Dalam  Perjanjian Camp David disepakati pembentukan suatu komite khusus untuk pembentukan pemerintahan otoritas Palestina di Tepi Barat Jalur Gaza. Komite tersebut mengusulkan tiga usulan yaitu: pertama; rakyat Palestina memegang otoritas urusan jasa, pemerintahan lokal, administrasi, keagamaan, dan sipil, membentuk mejelis khusus lewat pemilihan umum yang demokratis dan rahasia, kedua; pemerintahan Israel tetap tegak di wilayah otonomi Palestina, ketiga; urusan tanah dan sumber air berada dibawah otoritas Israel.[36] Walaupun Anwar Sadat kecewa dan menolak usulan komite ini namun, Israel tetap menjalankan rencananya.
            Menurut Ayyatullah Khomeini Perjanjian Camp David adalah persengkokolan untuk mengabsahkan agresi Israel ke Palestina, dan Khomeini juga mengutuk Anwar Sadat atas sikapnya yang sangat berani dengan membuat Perjanjian Camp David. Khomeini menambahkan Camp David adalah sebuah tipuan dan permainan politik untuk mempertahankan Agresi Israel di Palestina, dan juga menganggap kesepakatan damai Anwar Sadat merupakan penghianatannya terhadap Umat Islam, dengan menerima perdamaian Anwar Sadat menunjukan ketergantungannya kepada Israel dan sekutunya.[37]

b.   Kesepakatan Oslo
            PLO sebagai satu-satunya wakil rakyat Palestina yang diakui oleh PBB pada tahun 1974, sehingga organisasi pembebasan Palestina ini bertanggung jawab untuk mewakili rakyat Palestina di forum Internasional untuk memperjuangkan kemerdekaannya. Kesepakatan Oslo adalah perjanjian rahasia di Oslo pada tahun 1993, yang diadakan pada saat di Washington  juga sedang terjadi perundingan bilatetal Israel-Palestina yang dinamakan dengan Konferensi Madrid, dan ketika  mencapai putaran kesepuluh tentang penarikan pasukan Israel secara bertahap dari wilayah Palestina dan penarikan pertama akan dilakukan dari Jalur Gaza atau dikenal dengan nama Gaza Pertama.[38]
             Ketika perundingan selesai delegasi Palestina meminta persetujuan Yaser Arafat. Namun Arafat meminta delegasi untuk menambahkan Jericho Tepi Barat atau dikenal dengan Gaza Jericho pertama, agar kota Jericho menjadi simbol kedaulatan Palestina di Tepi Barat. Setelah tercapai kesepakatan antara para pemimpin Palestina tentang Gaza-Jericho Pertama, ketika para delegasi Palestina yang ikut pada Perundingan Washington pulang ke Tepi Barat  untuk menunggu kedatangan menteri luar negeri Amerika Serikat Warren Christoper, pada saat itu juga Kesepakatan Oslo hampir mencapai babak final.
            Menjelang kedatangan menteri luar negeri Amerika Serikat di Jerusalem para delegasi Palestina menerima kiriman rancangan dokumen deklarasi prinsip baru dari Yaser Arafat dan delegasi Palestina yang ada di Tunisia, para delegasi yang mewakili Palestina di kesepakatan Washington menolak rancangan itu karena mengandung kelemahan.[39] Namun Yasser Arafat mengintruksikan agar dokumen itu tetap diserahkan, akibatnya para delegasi mengundurkan diri karena berbeda dengan apa yang disepakati pada Gaza-Jericho Pertama dan lebih menguntungkan Israel, Yasser Arafat menolak pengunduran diri mereka dan mereka diajak untuk mengadakan pertemuan tertutup dan Yasser Arafat menjelaskan bahwasanya Israel akan mundur total dari Gaza dan Jericho dan Palestina akan menegakkan kedaulatannya di kota Jerusalem. [40]
            Para delegasi terkejut ternyata Kesepakatan Oslo hampir mencapai final dan ketika mereka membaca secara langsung dokumen itu dan ternyata isu penarikan  pemukiman Yahudi dan kota Jerusalem Timur ditunda pada perundingan final, tanpa ada jaminan Israel tidak mengubah lagi keadaan lapangan yang menguntungkan Israel, perdebatan antara para delegasi dan pimpinan PLO terjadi cukup sengit, namun sudah terlambat, karena Yasser Arafat  telah menyetujuinya dengan Yitzhak Rabin saat itu.[41] Berikut beberapa ketentuan Kesepakatan Oslo:[42]
 The Government of the State of Israel and the P.L.O. team (in the Jordanian-Palestinian delegation to the Middle East Peace Conference) (the "Palestinian Delegation"), representing the Palestinian people, agree that it is time to put an end to decades of confrontation and conflict, recognize their mutual legitimate and political rights, and strive to live in peaceful coexistence and mutual dignity and security and achieve a just, lasting and comprehensive peace settlement and historic reconciliation through the agreed political process.

            Masa-masa damai itu tidak berlangsung lama, karena kebebasan hanya dirasakan oleh kota-kota yang terkena perjanjian saja selebihnya masih dijajah Israel dan keadaan semakin memanas ketika Israel membunuh tokoh muda Palestina Yahya Ayyash, dan Israel harus membayar mahal baik secara politik maupun keamanan. Sebagai aksi pembalasan, Brigade Alqassam yang merupakan sayap militer HAMAS yang dipimpin oleh Yahya Ayyash melancarkan serangkaian aksi bom syahid yang menewaskan lebih dari 70 orang Zionis dan melukai ratusan lainnya. Berdasarkan Kesepakatan Oslo, negara Palestina sudah harus berdiri pada tanggal 14 Mei 1999, namun Jerusalem masih belum bisa diputuskan. Sedangkan mengenai Pelihan langsung yang akan diselenggarakan untuk rakyat Palestina dalam Kesepakatan ini dimuat dalam pasal 3:[43]
Article 3
Elections

1. In order that the Palestinian people in the West Bank and Gaza Strip may govern themselves according to democratic principles, direct, free and general political elections will be held for the Council under agreed supervision and international observation, while the Palestinian police will ensure public order.

2. An agreement will be concluded on the exact mode and conditions of the elections in accordance with the protocol attached as Annex I, with the goal of holding the elections not later than nine months after the entry into force of this Declaration of Principles.

3. These elections will constitute a significant interim preparatory step toward the realization of the legitimate rights of the Palestinian people and their just requirements.

            Pemilihan umum pertama Palestina berlangsung hari Sabtu tanggal 20 Januari 1996, salah satu pasal dari Kesepakatan Oslo yang ditandatangani Israel dan Palestina pada tanggal 13 September  tahun 1993 di Washington menegaskan pemilihan umum merupakan langkah pendahuluan kearah tercapainya hak-hak rakyat Palestina.
            Berbagai pihak lain  termasuk Israel dan oposisi Yasser Arafat memiliki kepentingan atas pemilihan umum Palestina, bagi Israel penyelenggaraan Pemilihan umum Palestina membawa keuntungan, karena akan memberi legitimasi atas Kesepakatan Oslo yang masih diragukan kerena tidak ditawarkan kepada rakyat Palestina lewat referendum, bahkan posisi Israel akan semakin kuat jika kelompok oposisi Israel seperti HAMAS ikut dalam Pemilihan umum, namun sebenarnya bagi Israel juga membawa kerugian karena 80% karena anggota legislatif yang terpilih belum tentu akan loyal terhadap Kesepakatan Oslo, sehingga Israel lebih memilih berhubungan dengan fraksi Fatah yang lebih mendukung Kesepakatan Oslo.[44]

c.    Kesepakatan Wye River [45]
            Kesepakatan Wye River  dibuat pada bulan Oktober tahun 1998, adalah sebuah persetujuan  perdamaian bagi Yasser Arafat sebagai langkah penyelamatan bahwasanya Kesepakatan Oslo masih dapat dipertahankan, bagi Perdana Menteri  Benjamin Neetanyahu adalah sebagai alat untuk memperbaiki citra dirinya didunia internasional yang selama ini menuduhnya sebagai penghambat utama perdamaian Israel-Palestina, sedangkan bagi Bill Clinton adalah merupakan politik pencitraan agar ia bebas dari isu yang pada saat itu sedang dialaminya yaitu skandal dengan Monica Lewinsky mantan pegawai magang gedung putih.
Berikut bagian II dari Kesepakatan Wye River, yang menyangkut mengenai Kemanan:[46]
In the provisions on security arrangements of the Interim Agreement, the Palestinian side agreed to take all measures necessary in order to prevent acts of terrorism, crime and hostilities directed against the Israeli side, against individuals falling under the Israeli side's authority and against their property, just as the Israeli side agreed to take all measures necessary in order to prevent acts of terrorism, crime and hostilities directed against the Palestinian side, against individuals falling under the Palestinian side's authority and against their property. The two sides also agreed to take legal measures against offenders within their jurisdiction and to prevent incitement against each other by any organizations, groups or individuals within their jurisdiction.
Both sides recognize that it is in their vital interests to combat terrorism and fight violence in accordance with Annex I of the Interim Agreement and the Note for the Record. They also recognize that the struggle against terror and violence must be comprehensive in that it deals with terrorists, the terror support structure, and the environment conducive to the support of terror. It must be continuous and constant over a long-term, in that there can be no pauses in the work against terrorists and their structure. It must be cooperative in that no effort can be fully effective without Israeli-Palestinian cooperation and the continuous exchange of information, concepts, and actions.
            Kesepakatan yang telah diselenggarakan sebelumnya seakan tidak membuahkan hasil dan akhirnya kembali diadakan perundingan yaitu Wye River yang hasilnya adalah Yasser Arafat harus menerima  penarikan pasukan Israel tahap kedua saja dari Tepi Barat dengan menunda penarikan tahap ketiga sedang Netanyahu  juga harus menerima Palestina tidak akan menyerahkan kelompok anti Israel. Kesepakatan inipun sebagian besar berkisar tentang keamanan rakyat Israel dan negara Israel.[47]

d.   Perjanjian Camp David II
            Perjanjian Camp David II berlansung antara Perdana Menteri Israel Ehud Barak dan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton , keberhasilan Camp David II terwujud jika Yasser Arafat dan Ehud Barak mengambil jalan kompromi dalam bentuk saling memberi konsesi, dalam agenda Camp David II akan membahas isu-isu sensitif yaitu masalah Jerusalem, pengungsi Palestina, pemukiman Yahudi, perbatasan wilayah Israel-Palestina dan pembagian jatah air. Berikut esensi dari Camp David II:
1. Palestinian Statehood and Conditions
A Palestinian state would be established in most of the West Bank and all of the Gaza strip, with these conditions:
1.    The state would not have an army with heavy weapons,
2.    The state would not make alliances with other countries without Israeli approval and would not allow introduction of foreign forces west of the River Jordan.
3.    Israel would be allowed deploy troops in the Jordan Valley if Israel were to be threatened by invasion from the east.
4.    Israeli aircraft could overfly  Palestinian airspace.
5.    Israeli would install early warning stations in the mountains overlooking the Jordan valley and other areas.
6.    Palestinians would control border crossings with Jordan and Egypt along with Israeli security observation.
7.    The Israelis would retain management over water sources in the West Bank while approving a limited quota to the Palestinians.
8.    Israel would lease areas in the Jordan Valley or maintain temporary sovereignty over them for up to 25 years.
                     2. Refugees
The Palestine refugee problem would be solved in the following way:
1.   Israel would not accept any legal or civilian responsibility for  their displacement.
2.   Israel would allow the return of around 100,000 refugees under “humanitarian” grounds in the form of family reunions and considers such a step as compliance with UN Resolution 194.
3.   According to one source, the Palestinian State would be limited in the number of refugees it could absorb to half a million refugees according to a fixed timetable. This is not confirmed by other sources and is problematic, since a much larger number of refugees, well over a million, already live in camps in Gaza and the West Bank.
4.   An international fund would compensate refugees. Israel, the U.S. and Europe are to contribute. According to one source, this fund would also provide compensation to Jews who were forced to leave their possessions in Arab countries when they fled to Israel.

3. Jerusalem
Palestine would obtain sovereignty over suburbs in the north and the south of Jerusalem that would be annexed to the West Bank, including Abu Dees, Alezariye and eastern Sawahre.  
Within East Jerusalem, in  (Beit Hanina-Shuafat), there would be  a civilian administration affiliated with the Palestinian Authority with the possibility of linking it to West Jerusalem through a municipality covering both sectors. The Palestinians would run a branch municipality within the framework of the Israeli higher municipal council while depriving them from planning and construction jurisdictions.
The proposals allowed for Palestinian, Arab, Islamic and Christian administration of holy sites  in the old city of Jerusalem. The Palestinians would be allowed to hoist the Palestinian flag over the Islamic and Christian shrines along with a safe passage linking northern Jerusalem, which would be annexed to the West Bank, to those areas so that Palestinians and Muslims would not pass through lands under Israeli sovereignty.
4. Land Area of Palestine
The initial area of the Palestinian state would comprise about 73% of the land area of the West Bank and all of Gaza. The West Bank would be divided by the road from Jerusalem to the Dead Sea and a corridor on either side of it. This would form two relatively large Palestinian areas and one small enclave surrounding Jericho. The three areas would be joined by a free passage without checkpoints, but the safe passage could be closed by Israel in case of emergency. According to Palestinian sources, there would be another division between the area north of the Ariel and Shilo settlements along the trans-Shomron highway built by Israel.
In later stages (10-25 years) Israel would cede additional areas, particularly in the mountains overlooking the Jordan valley, to bring the total area to slightly under 90% of the area of the West Bank (94% excluding greater Jerusalem).
The major settlement blocks adjacent to Jerusalem and in the Jerusalem corridor would be annexed to Israel: Efrat, Gush Etzion, Ma'ale Edumim. The town of Ariel and the corridor along the trans-Samaria highway would be annexed to Israel. The Jewish settlement town of Qiriat Arba would remain under Israeli administration in the heart of Palestinian territory, with a single road through Palestinian territory reaching it from the south. Isolated Jewish settlements including the settlement in Hebron, would come under Palestinian jurisdiction and would probably be.

             Camp David II kembali menimbulkan kegagalan pasalnya, Israel berusaha mempertahankan status quo di Jalur Gaza dan Tepi Barat yang intinya adalah ibu kota Jerusalem, pemukiman Yahudi dibawah kedaulatan Israel, tidak ada militer di Tepi Barat, tidak mengakui hak pulang pengungsi Palestina dan tidak kembali pada perbatasan tahun 1967, sementara Amerika Serikat secara Implisit mendukung kebijakan Israel tersebut.[48]
Bagi persoalan Palestina-Israel perdamaian bukan merupakan solusi, hal ini terlihat dari semua perjanjian yang diadakan yang selalu menemui jalan buntu. Hal ini terlihat saat ini meski hidup dihimpit pelbagai kesulitan, terutama ekonomi dan keamanan, Mahmud Zahar, pendiri sekaligus pemimpin Hamas di Jalur Gaza menegaskan perlawanan bersenjata merupakan cara terbaik untuk mengusir penjajah Israel dari wilayah Palestina. Bukan melalui perundingan seperti yang ditempuh faksi saingan mereka, Fatah, yang dipimpin Presiden otoritas Palestina Mahmud Rida Abbas.[49]

C.  Kesimpulan dan Saran
Tujuan diplomasi baru akan terwujud jika ada itikad baik bagi Negara-negara yang menginginkan sebuah bentuk kerjasama demi kebaikan bersama.  Seperti contoh dari kasus Israel-Palestina. Kedua belah pihak harus punya itikad baik dalam mencari solusi bagi permasalahan yang selama ini menjadi hal yang sangat substansial dan menjadi inti dari konflik Israel dan Palestina seperti isu wilayah, pemukiman, dan tawanan. Dengan adanya kesepakatan untuk melakukan diplomasi diharapkan mengantarkan Israel dan Palestina memulai proses penyelesaian konflik dan mencapai perdamaian. Sebaliknya, Diplomasi tidak selamanya berhasil meskipun dimediatori oleh negara yang memiliki pengaruh besar seperti Amerika Serikat dan Dalam kerangka Multilaretal oleh Persekikatan Bangsa-bangsa ketika niat baik dan kemauan untuk mengusahakan perdamaian dengan jalan diplomasi tidak ada dari kedua belahpihak. Hal ini tercermin dari banyaknya perdamaian-perdamain melalui jalur diplomasi yang sudah dilakukan namun tidak membuahkan hasil. Hingga saat ini konflik masih berlangsung.
Diplomasi merupakan seni dalam mengemukakan sebuah gagasan sehingga dapat diterima oleh pihak lain. Diplomasi berkaitan erat dengan kepentingan dan politik luar negeri suatu negara dan berujung pada pencapaian kepentingan nasional. Dalam penyelesaian sebuah konflik negara terlebih dahulu cenderung memilih cara diplomasi  untuk menghindari pertumpahan darah. Namun, dalam konflik Palestina dan Israel jalur diplomasi yang sudah dilakukan jarang membuahkan hasil. Baik diplomasi secara bilateral maupun secara multilateral yang difaslitasi oleh organisasi regional seperti PLO, maupun melaui organisasi Internasional seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Sehingga perlu dikaji sejauh mana efektifitas diplomasi dalam penyelesaian konflik yang sudah berlangsung lama ini. Apakah diplomasi masih efektif dipertahankan, jika tetap dipertahankan maka harus dicari instrumen yang tepat. Jika tidak, maka cara apa yang paling efektif.
  


DAFTAR PUSTAKA
1.    Buku
Muhamad Shaleh Muhsin, Palestina, sejarah, perkembangan dan konspirasi, Jakarta: Gema Insani Press, 2002.

Abd. Rahman, Mustthafa , Jejak-jejak juang palestina dari oslo hingga intifadah Al Aqsa, Jakarta: PT Kompas media nusantara, 2002.
Adolf, Huala,  Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakrata: Sinar Grafika, 2005.

Albana, Shofwan, Palestine emang gue Pikirin, Yogyakarta: ProYou, 2005.
COMES  (Penerjemah), Terorisme Israel membedah paradigma dan strategi terorisme Zionis,  Bandung: Asy Syamil, 2001.  

Husaini, Adian, Mau menang sendiri Israel sang teroris yang pragmatis, Jakarta: Pustaka Progressif, 2002.

Hugh MIall, Oliver Ramsbotham, & Tom Woodhouse, Resolusi Damai Konflik Kontemporer. Terj. Tri Budhi Satrio, Jakarta: PT. Rja Grafindo Persada, 2000.
Jr. Joseph Nye S. Soft Power. The means to success in world politics , New York : Public Affairs, 2004.

G. Merrils, International Dispute Settlement, Cambridge: Cambridge University Press,  1998.

Hans and George Wieck.  Diplomacy and Globalization.  Safety of global Communications Principal Mission of Modern Diplomacy, Berlin,  2006.
Kasiyanto, Analisis Wacana dan teoritis Penafsiran Teks, dalam Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, ed. Burhan Bungin, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005.
Mauna, Boer, Hukum Internasional:Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung: Penerbit Alumni, 2003.
Roy. S. L, Diplomacy, Alih Bahasa Harwanto, Mirsawati, Diplomasi, Jakarta : PT Raja Grafindo, 1995.
Supardi, Metode Penelitian Ekonomi dan Bisnis, Yogyakarta: UII Press, 2005.
M. Muksim Jamil, Resolusi Konflik: Model dan Strategis, Semarang: Walisongo Median Centre, 2007.
K.J. Holsty, Politik Internasional Suatu Kerangka Analisis, Bandung: Percetakan Bina Cipta, 1987.

2.    Jurnal dan Artikel


Devi Prianti, Definisi, Tujuan, Metode Dan Instrumen Diplomasi, dalam Http://deviaprianti185.blogspot.com, diakses 21 Mei 2013

Hans and George Wieck.  Diplomacy and Globalization.  Safety of global Communications – Principal Mission of Modern Diplomacy (Berlin: July 2006), 1. dalam http://www.hans-georg-wieck.com/.../Diplomacy%20and%20Globalization.pdf, diakses 3 Desember 2010

Lesly Agistania, Peran Liga Arab dalam Penyelesaian Konflik perselisihan Israel-Palestina, 2 Juni 2010 dalam Http:// diplomacy945.blogspot.com, diakses 21 Mei 2013


Mallison dan Mallison, The Palestine Problem in International Law and World Order, dalam Http://www.pustakaonlinemedia.net, diakses Desember 2012

3.        Website
                                         
Http://www.arlina’sweb.blog.com. diakses 28 Desember 2010
Http://menarailmuku.blogspot.com.Cara%20Penyelesaian%20Sengketa%20Internasional%20Secara%20Damai.htm, diakses 21 Mei 2013



[1] Dosen bagian Hukum Internasional  Fakultas Hukum Universitas Islam Indragiri

[2] Http://deviaprianti185.blogspot.com, Definisi, Tujuan, Metode Dan Instrumen Diplomasi, diakses 21 Mei  2013


[3] Http://id.wikipedia.org.indek.php.title/=diplomacy action, diakses 28 Mei 2013
[4] Http://selamatkan.indonesia.net, diakses 28 Mei 2013
[5] Adian Husaini, Israel Sang Teroris yang Pragmatis, Jakarta: Pustaka Progressif, 2002, hal 15
[6] Ibid,  hal 157
[7] Op.cit, hal 67
[8]Musthafa Abd. Rahman,  Jejak-jejak Juang Palestina dari Oslo hingga Intifadah Al Aqsa, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2002, hal  xxxiv
[9] Lilik Wijayawati. (2009). Latar Belakang Sejarah Konflik Palestina-Israel. Pada Http: //Id.Shvoong.Com/Humanities/History/1947563-Latar-Belakang-Sejarah-Konflik-Palestina/, diakses pada 16 Desember 2011
[10]  Berdiri tahun 1964 Tujuan utama dari PLO adalah  untuk menyuarakan aspirasi rakyat Palestina
[11] Istilah zionis pertama kali dipakai oleh perintis kebudayaan Yahudi, Mathias Acher (1864-1937) sedangkan zionisme adalah ebuah gerakan politik kaum Yahudi yang tersebar di seluruh dunia untuk kembali lagi ke Zion, bukit di mana kota Yerusalem berdiri. Gerakan yang muncul di abad ke-19 ini semula ingin mendirikan sebuah negara Yahudi di Afrika kemudian berubah di tanah Palestina yang kala itu dikuasai Kekaisaran Ottoman (Khalifah Ustmaniah) Turki
                [13] Ibid
               [14] Http://www.state.gov/www/regions/nea/981023_interim_agmt.html, diakses 15 Juli 2011 dalam Tesis Inggrit Fernandes, Perlindungan Hukum Internasional terhadap penduduk sipil Palestina, 2011, Unand
                [15]  Ibid
                [16] COMES (Penerjemah), Terorisme Israel Membedah Paradigma dan Strategi Terorisme Zionis, Bandung: As syamil, 2001, hal 137
                 [17] Http://www.pustakaonlinemedia.net:  Ball, The Passionate Attachment, 178-91; Mallison dan Mallison, The Palestine Problem in International Law and World Order, 240-75; Quigley, Palestine and Israel, 216, diakses 28 Desember 2010

[18] Lesly Agistania, Peran Liga Arab dalam Penyelesaian Konflik perselisihan Israel-Palestina, 2 Juni

2010 dalam Http:// diplomacy945.blogspot.com. diakses 21 Mei 2013

[19] Roy.S. L. Diplomacy ed. Mirsawati. Hartanto, Jakarta: PT Raja Grafindo, 1995, hal 1
[20] Hans and George Wieck.  Diplomacy and Globalization.  Safety of global Communications – Principal Mission of Modern Diplomacy  (Berlin : July 2006), 1. Dalam http://www.hans-georg-wieck.com/ .../Diplomacy%20and%20Globalization.pdf , diakses 3 Desember 2010
[21] Roy. S. L. (1995). Diplomacy, Alih Bahasa Harwanto, Mirsawati, Diplomasi, Jakarta: PT Raja Grafindo, hal 5-6
[22] Hans and George Wieck.  Diplomacy and Globalization.  Safety of global Communications
Principal Mission of Modern Diplomacy, Berlin, 2006, hal 2

[23] Hugh MIall, Oliver Ramsbotham, & Tom Woodhouse. (2000). Resolusi Damai Konflik Kontemporer. Terj. Tri Budhi Satrio.Jakarta: PT. Rja Grafindo Persada, hal 7-8
[25] J.G. Merrils, International Dispute Settlement, Cambridge University Press, Cambridge, 1998, hal 1. Teks asli dalam buku ini berbunyi: Specific disagreement concerning a matter of fact, law or policy in which a claim or assertion of one party is met with refusal, counter-claim or denial by another.
[27] Jr. Joseph Nye S. Soft Power. The means to success in world politics, Public Affairs, New York, 2004.
[29] Smart Power adalah pengertian kekuatan nasional yang sebenarnya, karena smart power adalah perpaduan dari hard power dan soft power. Smart power lebih mengedepankan kemampuan otak dan ilmu pengetahuan untuk menjaga pertahanan Negara.
[30] Dalam makalah Henny Hendarti, Anderes Gui, di sampaikan pada Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2008 (SNATI 2008) ISSN: 1907-5022 Yogyakarta, 21 Juni 2008, hal 2          
[32] K.J. Holsty . (1987). Politik Internasional Suatu Kerangka Analisis. Bandung: Percetakan Bina Cipta, hal 592.
        [33] Imam Khomeini, Palestina dalam Pandangan Imam Khomeini, diterjemahkan oleh Muhamad Anis Maulachela, Pustaka Azahra: Jakarta, 2004, hl m 22
        [34] Ibid
       [36] Musthafa Abd. Rahman hlm, 54-55
       [37] Op. cit Imam Khomeini, hlm 145-145.
       [38] Mustafa Abd.Rahman, hlm 4
       [39] Ibid.
       [40] Op.cit hlm 6
       [41] Ibid
       [42] Http://www.historycentral.com/Israel/documents/Oslo.html, diakses 15 Juli 2011
       [43] Ibid
       [44] Ibid, hlm 66
       [45] Musthafa Abd. Rahman, hlm   121
       [46] Http://www.state.gov/www/regions/nea/981023_interim_agmt.html, diakses 15 Juli 2011
       [47] Musthafa Abd. Rahman,  hlm 121
       [48] Musthafa Abd. Rahman,  hlm 169

       [49] Tempo, Wawancara Tempo dengan Pemimpin Hamas , edisi Minggu, 19 Juni 2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar