Jumat, 23 Oktober 2015

ANALISIS PELAKSANAAN KEDAULATAN KE DALAM DAN KEDAULATAN KE LUAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA PASCA REFORMASI

Ini tugas Hukum Internasional Mahasiswa semester III Fakultas Hukum Universitas Islam Indragiri. Silahkan jawaban nya di kirim di komentar

Format nya

Judul:
Nama anggota kelompok: 1.
                                          2. dst.



Jawabannya:

Rabu, 21 Oktober 2015

Tugas Hukum Laut Mahasiswa Semester V Fakultas Hukum Universitas Islam Indragiri

Pertanyaan:

Indonesia adalah sebuah negara kepulauan terbesar di dunia yang diakui oleh United Nation Convention Law Of  The Sea Tahun 1982 (UNCLOS III). Untuk itu negara Indonesia membutuhkan pengamanan yang serius wilayah perbatasan lautnya. Jelaskan negara-negara mana saja yang berbatasan laut secara langsung dengan negara Indonesia?

Tulis jawaban pada kolom komentar dibawah ini, dengan format:

Nama :
NIM   :

Jawaban:




Dosen,

Inggrit Fernandes, SH.,MH

Senin, 19 Oktober 2015

TUGAS BAHASA INGGRIS MAHASISWA SEMESTER 1 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI

Pertanyaan: Carilah istilah bahasa Inggris dari istilah-istilah hukum dibawah ini:

1.       Pengadilan
2.       Hakim
3.       Pengacara/advokat
4.       Jaksa
5.       Polisi
6.        Hukum Pidana
7.        Hukum Tata Negara
8.        Hukum Perdata
9.        Hukum Internasional
10.   Tergugat
11.   Penggugat
12.   Saksi
13.   Surat Gugatan
14.   Hukum
15.   Peraturan Perundang-undangan
16.   Undang-Undang
17.   Kitab Undang-undang Hukum Pidana
18.   Kitab Undang-Undang Hukum Peradata
19.   Konstitusi
20.   Lembaga Pemasyarakatan
Tulis jawabannya pada coment di bawah postingan ini
Tertanda

Inggrit Fernandes, SH.,MH

Jumat, 10 Juli 2015

JURNAL

https://drive.google.com/file/d/0B9S7jaL8LngjRURpVU1HQ19sZjQ/view https://drive.google.com/file/d/0B9S7jaL8LngjaFl1NlN5N3ltS1k/view https://drive.google.com/file/d/0B9S7jaL8LngjU2FIZFIxZEw2YkE/view https://drive.google.com/file/d/0B9S7jaL8LngjSGpkSkswY0NoUmM/view

Senin, 22 Juni 2015

PERLINDUNGAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENDUDUK SIPIL PALESTINA DALAM KONFLIK ISRAEL- PALESTINA

Jurnal Litigasi, Vol 12 No 2  Tahun 2013 ISSN 141-871

ABSTRACT
Oleh: Inggrit Fernandes, SH.,MH
(Dosen Hukum Internasional Univ. Islam Idragiri)

The purpose of humanitarian law is to for a war can be done with more attention to the principles of humanity and also to humanize the war or preventing the cruel war without knowing the limit, ensure human rights are so fundamental. Humanitarian Law consists of the law of The Hague and Geneva law, both the International Convention. Hague law regulating the ways and means to fight while the Geneva law regulating the protection of war victims. One of the important principles of humanitarian law is the principle of distinction (a distinction principle). The principle of this distinction is a principle that distinguishes between groups that can participate directly in battle (combatants) on the one hand, and the group who did not participate and should be protected in the fighting (civilians). In the Israeli occupation in Palestine is very much visible violation of the provisions of international humanitarian law, and therefore the protection of international law in a period of Israeli occupation in Palestine is needed serious attention.

Keyword: Legal protection of civilian population, Palestinian occupation


1.      Pendahuluan
Kongres pertama gerakan Zionis yang didirikan oleh Theodore Herzl pada tahun 1896 merekomendasikan berdirinya sebuah negara khusus bagi kaum Yahudi yang tercerai berai di seluruh dunia.[1] Kemudian pada kongres berikutnya pada tahun 1906, gerakan Zionis merekomendasikan secara tegas berdirinya sebuah negara bagi bangsa Yahudi di Palestina. Situasi politik di benua Eropa akibat pecahnya Perang Dunia 1 (1914-1918), memberikan peluang bagi gerakan Zionis untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Inggris yang terlibat pada Perang Dunia I melawan Jerman, bekerjasama dengan gerakan Zionis pimpinan Theodore Herzl  dan bangsa-bangsa Arab yang berada di bawah otoritas dinasti Ottoman khalifah Ustmaniyah.
Di satu pihak Inggris mendorong bangkitnya nasionalisme bangsa Arab untuk melawan dinasti Ottoman yang memihak Jerman, sedangkan di pihak lain Inggris memberikan janji kepada gerakan Zionis  pimpinan Theodore Herzl untuk mendirikan negara di Palestina.[2] Sehingga terjadi konspirasi internasional yang memberi peluang berdirinya negara bagi bangsa Yahudi di wilayah Palestina. Negara-negara barat dengan segala upaya menciptakan suatu kondisi untuk mendukung cita-cita gerakan Zionis, dan lemahnya Kekhalifahan Ustmaniyah pada saat Palestina berada di bawah kekuasaannya (1526-1917), berperan dalam keberhasilan gerakan Zionis tersebut. Pada Konferensi London (1905-1907) muncul gagasan untuk mendirikan “negara tirai” di wilayah Palestina dan pada saat itu  Perdana Menteri Inggris Campbell Weizm, merekomendasikan untuk mendirikan entitas yang menjadi tirai humanis yang kuat dan asing di wilayah timur  laut tengah dan sebaik-baik pelaksana proyek ini adalah Yahudi.[3]
             
Konflik Bersenjata dapat berupa konflik Bersenjata internasional hanya Dan konflik Bersenjata non internasional hanya (konflik Dalam, Negeri). Akibat konflik Bersenjata Timbul banyak Korban.[4]

Negara Israel berdiri pada tanggal 14 Mei 1948 didasarkan pada Resolusi Majelis Umum PBB No. 181 tahun 1947.[5] Resolusi ini menetapkan Jerusalem sebagai daerah yang berada di bawah kekuasaan internasional. Pada tanggal 29 November tahun 1947 Israel melanggar Resolusi ini dengan mengklaim Jerusalem sebagai jantung kota Israel.[6] Sejak diklaimnya Palestina sebagai teritorial negara Israel, maka Israel mulai melakukan pembangunan pemukiman di wilayah Palestina dengan dua proses evekuasi dan substitusi. Proses evakuasi dan substitusi yaitu dengan mengosongkan wilayah dan mengganti penduduknya dengan bangsa Yahudi yang dilakukan dengan cara kekerasan dan pembunuhan  terhadap penduduk sipil Palestina. Hal ini sesuai dengan kebijakan utama politik luar negeri Israel adalah ekspansi wilayah , yang  dapat dilihat dari dikuasainya 80% wilayah Palestina pada tahun 1949, jauh melebihi bagian yang ditetapkan PBB pada tahun 1947 yaitu hanya sebesar 56%. Proses substitusi rakyat Palestina dengan penduduk Israel mencapai proporsi yang sulit dipecahkan, selain itu pemerintahan Israel menghancurkan tempat ibadah Islam dan Kristen dan pada bulan Mei 1949 kemudian Israel membangun 1.947  pemukiman baru dan bulan Oktober 1947 imigran Yahudi berdatangan ke wilyah Palestina, jumlah mereka mencapai 25.255 imigran.[7]
Pemukiman-pemukiman Yahudi yang didirikan di atas tanah milik bangsa Palestina di wilayah-wilayah pendudukan menjadi rintangan serius bagi usaha mencapai perdamaian. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa secara spesifik menyatakan tidak sah perebutan wilayah dengan kekerasan, dan Konvensi Jenewa Keempat tentang Perlindungan Orang-orang Sipil di masa Perang pada 1949 secara khusus melarang kekuatan pendudukan agar tidak memindahkan bagian dari penduduknya sendiri ke wilayah yang didudukinya. Israel terus-menerus melanggar kedua perjanjian internasional ini. Sejak 1967 Israel menduduki Jerusalem Timur Arab, Tepi Barat, Dataran Tinggi Golan, dan Jalur  Gaza melalui tindak kekerasan dan pada saat yang sama terus mendirikan pemukiman-pemukiman Yahudi di semua wilayah tersebut. [8] Hal ini merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan internasional bagi penguasa pendudukan untuk memindahkan penduduk dari negaranya dalam jumlah yang signifikan ke dalam wilayah yang diduduki.
Salah satu jenis konflik bersenjata internasional yang merupakan jenis konflik baru, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (4)  Protokol Tambahan I tahun 1977, adalah konflik bersenjata yang dikenal dengan nama pendudukan asing.[9] Sejak dimulainya konflik bersenjata antara Israel dan Palestina dari tahun 1947 hingga saat ini, banyak sekali pelanggaran Hukum Humaniter yang dilakukan oleh Israel. Sebenarnya, pelanggaran yang dilakukan oleh Israel tidak saja bertentangan dengan Hukum Humaniter, akan tetapi sekaligus juga bertentangan dengan Hukum Internasional pada umumnya dan bertentangan pula dengan Hukum Hak asasi Manusia Internasional.[10]
Operasi pendeportasian massal penduduk Palestina dilakukan oleh Israel secara terencana sepanjang tahun 1967, yaitu 500 ribu Penduduk Sipil Palestina.[11] Selain melakukan pendeportasian maka juga berlangsung proses pembumihangusan dan penghancuran rumah-rumah penduduk baik di desa maupun kota.[12] Komisi tinggi hak asasi manusia PBB mengkritik pelanggaran HAM yang dilakukan Israel di wilayah-wilayah Palestina, anggota Komisi Louise Arbour mengatakan, pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Israel di Palestina tidak bisa ditoleransi.[13]
Perang atau konflik bersenjata pasti tidak bisa dihindarkan  jatuh nya korban, baik korban dari pihak kombatan maupun dari pihak penduduk sipil yang tidak ikut berperang, baik tua maupun muda, wanita dan anak-anak. Dalam sejarah dunia, konflik bersenjata telah membawa malapetaka yang sangat besar karena harus dibayar dengan hilangnya nyawa banyak orang dan kebanyakan dari korban yang meninggal adalah penduduk sipil yang tidak bersalah. Pendudukan Israel di Palestina menjadi bagian penting dalam penegakan hak asasi manusia serta pencapaian perdamaian dunia. Tantangan bagi komunitas internasional adalah menegakan keadilan dengan menyeret penjahat kemanusiaan ke Pengadilan Pidana Internasional dan menjamin pedamaian untuk Palestina serta kawasan timur tengah pada umumnya.[14]       

2.   Perlindungan terhadap Penduduk Sipil dalam Hukum Internasional

Kejahatan perang (war crimes) yang diatur dalam berbagai instrument hukum internasional telah menunjukan perhatian yang besar masyarakat internasional terhadap masalah tersebut. Hal itu terutama terlihat setelah Perang Dunia II yang diwujudkan dalam Nuremberg Trial dan Tokyo Trial. Perkembangan selanjutnya juga menunjukan bahwa secara substansial kejahatan perang dewasa ini juga telah diatur dalam Konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan 1977, statuta lnternational Criminal Court (ICC) maupun dalam statuta lnternational Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan lnternational Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR).[15]

a.      Perlindungan Penduduk Sipil dalam Konvensi jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I dan II tahun 1977

Perlindungan terhadap penduduk sipil dalam hukum humaniner Internasional terdapat dalam Konvensi Jenewa ke IV tahun 1949 dan dalam Protokol Tambahan tahun 1977. Istilah orang yang dilindungi pertama-tama merujuk pada orang-orang yang tergabung dalam peperangan atau pertikaian bersenjata yang telah menjadi korban perang. Dalam arti yang lebih luas orang-orang yang dilindungi meliputi penduduk sipil yang jatuh ke tangan musuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 4 dan 13  Konvensi Jenewa Ke IV.

Article 4
Persons protected by the Convention are those who, at a given moment and in any manner whatsoever, find themselves, in case of a conflict or occupation, in the hands of a Party to the conflict or Occupying Power of which they are not nationals. Nationals of a State which is not bound by the Convention are not protected by it. Nationals of a neutral State who find themselves in the territory of a belligerent State, and nationals of a co-belligerent State, shall not be regarded as protected persons while the State of which they are nationals has normal diplomatic representation in the State in whose hands they are.


Article 13
The provisions of Part II cover the whole of the populations of the countries in conflict, without any adverse distinction based, in particular, on race, nationality, religion or political opinion, and are intended to alleviate the sufferings caused by war

Sejak di diproklamirknnya kemerdekaan negara Israel pada tanggal 14 Mei tahun 1948 telah terjadi berbagai pertempuran antara bangsa Arab dan Israel dalam mempertahankan Palestina.[16] Israel adalah negara yang mencari kekuasaannya dengan melakukan terorisasi terhadap musuh dan menghalangi segala potensi yang dapat menentang kekuatannya, sehingga Israel dapat dikategorikan sebagai  barak militer yang mempraktekkan penghancuran lawan, pertumpahan darah, menghancurkan tempat tinggal penduduk sipil, deportasai secara paksa penduduk sipil, dan menanamkan rasa takut terhadap anak-anak Palestina.
Pergerakan Israel yang berideologi Zionis menciptakan sumber daya manusia berupa organisasi yang bergerak dibidang konsep, metode yang dijalankan dengan melakukan pembantaian massal, penghancuran, pendeportasian massal penduduk sipil.[17] Selain itu politik apharheid yang sistematis, pembunuhan dan pembersihan etnis.[18] Semua ini dilaksanakan berdasarkan pergerakan Zionis internasional yang berada dibawah legitimasi hukum internasional Deklarasi Balfour dan pembagian wilayah menurut Resolusi PBB, penyerahan persoalan Palestina dari bangsa Arab ke PLO dan perjanjian-perjanjian lain yang menguatkan eksistensi Israel di wilayah Palestina.

b.      Perlindungan terhadap Penduduk Sipil dalam  Statuta Roma

            Pelanggaran yang dilakukan Israel terhadap hukum interansional di wilayah Palestina. Mulai dari genosida, pembunuhan, pembantaian masal, penyiksaan, pengusiran, deportasi, isolasi ekonomi, diskriminasi rasial Pasal 6 Statuta Roma, memberikan pengertian tentang perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan, seluruhnya atau untuk sebagian kelompok nasional, etnis, ras atau keagamaan, atu disebut juga dengan Genosida.[19] Berikut ini diantara bentuk-bentuk perbuatan yang tergolong dalam genosida yang diberikan Pasal 6 Statuta Roma:
1.      Membunuh anggota kelompok;
2.      Menimbulkan luka atau mental yang serius terhadap anggota kelompok;
3.      Secara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok tersebut  yang diperhitungkan akan menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau untuk sebagian;
4.      Memaksakan tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk mencegah   kelahiran dalam kelompok tersebut;
5.      Memindahkan  secara paksa anak-anak dari  kelompok itu kepada kelompok lain.
              
            Pasal 7 Statuta Roma menjelaskan mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan. Perbuatan yang ditetapkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan adalah pembunuhan, pemerkosaan dan bentuk lain dari pelecehan seksusal, pemusnahan, perbudakan, deportasi dan tindakan tidak manuisawi lainnya yang dilakukan terhadap penduduk sipil, atau pembatasan berdasarkan agama, ras, pandangan politik yang dilakukan berkaitan dengan pelaksanaan atau berhubungan dengan kejahatan terhadap perdamaian atau kejahatan perang.[20] Yang menjijikan adalah bahwa kejahatan itu dilakukan dengan sengaja sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematis (yang melibatkan banyak pihak) dan ditujukan pada setiap penduduk mengikuti atau mendorong kebijakan negara atau organisasi untuk melakukan tindakan semacam itu.[21]
            Pasal 8  ayat 1 Statuta Roma tentang kejahatan Perang menjelaskan bahwa Mahkamah Internasional mempunyai yurisdiksi dengan kejahatan Perang pada khususnya apabila dilakukan sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijakan atau bagian dari suatu pelaksanaan secara besar-besaran dari kejahatan tersebut, sedangkan ayat 2 nya : Pelanggaran berat terhadap Konvensi jenewa tahun 1949, yaitu masing-masing dari perbuatan berikut terhadap orang-orang atau hak milik yang dilindungi berdasarkan ketentuan Konvensi jenewa yang bersangkutan:
1. Pembunuhan yang dilakukan dengan Sadar;
2. Penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk percobaan biologis;
3.   Secara sadar menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau kesehatan;
4.   Perusakan meluas dan perampasan hak nilik, yang tidak dibenarkan oleh kebutuhan militer dan dilakukan secara tidak sah dan tanpa alsan;
5.   Memaksa seorang tawanan perang atau orang lain yang dilindugi ujtuk berdinas dalam pasukan dari suatu kekuatan yang bermusuhan;
6.   Secara sadar merampas hak-hak seorang tawanan perang atau orang lain yang dilindungi atas pengadilan yang jujur dan adil;
7.   Deportasi tidak sah atau pemindahan atau penahanan tidak sah.

Statuta Roma memberikan kepada Mahkamah Internasional yurisdiksi atas kejahatan Perang baik yang dilakukan dalam konflik Internasional maupun internal. Sayangnya, Pasal 12 ayat 2 nya menyatakan, suatu negara dinyatakan menerima yurisdiksi Mahkamah jika ia telah meratifikasi Stauta. Hal ini, tentu tidak menguntungkan karena negara yang tidak meratifikasi tidak dapat di adili, hal ini menunjukan bahwa sangat lemahnya ketentuan internasional dalam mengadili masalah HAM yang selama ini telah di proklamirkannya.
Perhimpunan bantuan hukum Indonesia, menyatakan bahwa serangkaian tindakan Israel adalah kejahatan serius yang bisa dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional (international criminal  court),  disebutkan dalam pernyataan bersama itu bahwa, Mahkamah Internasional bersifat permanen guna mengadili pelaku kejahatan kemanusiaan (crime against humanity), kejahatan agresi  (crime of agression), kejahatan perang (crime of war ) dan kejahatan genosida (crime of genocide).[22]
Dewan Keamanan PBB sebenarnya bisa saja meminta nasehat hukum atau merujuk pelanggaran HAM yang telah dilakukan pemimpin Israel ke Mahkamah Pidana Internasional, sayangnya veto yang dimiliki oleh negara-negara adidaya, seperti Amerika Serikat menghambat terwujudnya prinsip yang ada dalam Statuta Roma sesuai dengan rule of law yang mendasari pembuatan Statuta ini.
Tantangan bagi masyarakat Internasional saat ini adalah sulitnya membawa seseorang yang telah terbukti melakukan kejahatan kemanusiaan ke Pengadilan Pidana Internasional. Seharusnya prinsip-prinsip yang terkandung dalam Statuta Roma harus ditaati. Walupun Israel dan Palestina belum ikut meratifikasi ICC. Dari akibat yang ditimbulkan dari konflik ini seharusnya masyarakat internasional tidak lagi berpangku tangan atau sekedar mengadakan perundingan-perundingan damai, sudah seharusnya prinsip Statuta Roma diterapkan dengan rule of law yang tegas.

c.       Perlindungan dalam Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa

Pasal 24  ayat 1 Piagam PBB menyatakan, agar PBB dapat mengambil tindakan secara tegas dan efektif, negara-negara anggota memberikan tanggung jawab utama kepada Dewan Keamanan untuk pemeliharaan perdamaian dan keamanan Internasional dan setuju bahwa Dewan Keamanan dalam melaksanakan tugasnya bertindak atas nama negara-negara anggota. Israel merupakan negara yang paling sering mendapatkan kecaman dari Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB, hal ini disebabkan Israel sering melanggar Piagam PBB. Pada awal bergabungnya Israel di PBB ia berjanji akan bertindak sesuai dengan piagam PBB dan berusaha menjalankan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB. Namun, Israel tidak pernah memenuhi komitmennya itu, hal ini disebabkan karena adanya dukungan dari Amerika Serikat, bahkan Amerika Serikat pernah mengancam PBB pada tahun 1983 untuk menarik diri dari Majelis Umum PBB, jika PBB menghukum Israel karena penolakan Israel dalam mematuhi Resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh Majelis Umum dan juga dewan keamanan PBB.[23]
         PBB sering mengeluarkan Resolusi yang mengecam Israel, baik berupa seruan lunak maupun mendesak agar Israel mengambil atau menghentikan tindakan tertentu, hingga pesan-pesan lebih tajam dengan ancaman. Veto yang dimiliki Amerika Serikat membuat resolusi-resolusi tersebut menjadi tumpul hal ini dikarenakan Resolusi wajib disetujui secara terbuka oleh negara pemegang hak veto. Majelis Umum PBB telah sering menjelaskan tentang hak-hak asasi bangsa Palestina, Majelis Umum mengakui bangsa Palestina sebagai suatau bangsa tersendiri dengan hak-hak yang tidak dapat dicabut, yang mencakup hak untuk menentukan nasib sendiri, hak untuk memiliki tanah air, hak untuk kembali kerumah-rumah mereka atau mendapatkan kompensasi  dan hak mendasar untuk berjuang dengan segala cara yang mereka punya.[24]
           
            Berikut ini terdapat beberapa resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB terhadap Israel:[25]
1.      Resolusi Nomor 106, tanggal 29 Maret 1955: "mengecam" Israel karena serangannya atas Gaza.
2.     Resolusi Nomor 127, tanggal 22 Januari 1958: "menyarankan" Israel agar menutup "zona tak bertuan" di Jerusalem.
3.      Resolusi Nomor 162, tanggal 11 April 1961: "mendesak" Israel untuk mentaati keputusan-keputusan PBB.
4.  Resolusi Nomor 237, tanggal 14 Juni 1967: "mendesak" Israel untuk rnengizinkan kembalinya para pengungsi baru Palestina pada 1967.
5.  Resolusi Nomor 250, tanggal 27 April 1968: "menyerukari" pada Israel agar tidak menyelenggarakan parade militer di Jerusalem.
6.     Resolusi Nomor 251, tanggal 2 Mei 1968: "sangat menyesalkan" parade militer Israel di Jerusalem bertentangan dengan Resolusi 250.
7.  Resolusi Nomor 252, tanggal 21 Mei 1968: "menyatakan tidak sah" aksi-aksi Israel menyatukan Jerusalem sebagai ibukota Yahudi.
8.      Resolusi Nomor 259, tanggal 27 September 1968: "menyesalkan" penolakan Israel untuk menyambut misi PBB untuk memeriksa pendudukan.
9.  Resolusi Nomor 267, tanggal 3 Juli 1969: "mencela" Israel atas tindakantindakan administratifnya untuk merubah status Jerusalem.
10.  Resolusi Nomor 270, tanggal 26 Agustus 1969: "mengecam" Israel karena serangan udaranya atas desa-desa di Lebanon Selatan.
11. Resolusi Nomor271, tanggal 15 September 1969: "mengecam" Israel karena penolakannya untuk mematuhi resolusi-resolusi PBB mengenai Jerusalem.
12. Resolusi Nomor 298, tanggal 25 September 1971: "menyesalkari" tindakan Israel mengubah status Jerusalem.
13. Resolusi Nomor 444, tanggal 19 Januari 1979: "menyesalkan" kurangnya kerja sama Israel dengan pasukan penjaga perdamaian PBB.
14. Resolusi Nomor 446, tanggal 22 Maret 1979: "menetapkan" bahwa pemukiman-pemukiman Israel merupakan suatu "rintangan serius" bagi perdamaian dan meminta Israel agar menaati Konvensi Jenewa Keempat.
15. Resolusi Nomor 452, tanggal 20 juli 1979: "menyerukan" pada Israel agar berhenti membangun pemukiman-pemukiman di wilayah-wilayah pendudukan.
16.  Resolusi Nomor 465, tanggal 1 Maret 1980: "menyesalkan" pemukiman-pemukiman Israel dan meminta semua negara anggota agar tidak membantu program pemukiman Israel.
17.  Resolusi Nomor 468, tanggal 8 Mei 1980: "menyerukan" pada Israel agar membatalkan pengusiran tidak sah terhadap dua orang walikota dan seorang hakim Palestina dan memberikan kemudahan bagi mereka untuk kembali.
18.  Resolusi Nomor 469, tanggal 20 Mei 1980: "sangat menyesalkan" penolakan Israel untuk menaati perintah dewan untuk tidak mendeportasikan orang-orang Palestina.
19.  Resolusi Nomor 471, tanggal 5 Juni 1980: "mengungkapkan keprihatian mendalam" atas penolakan Israel untuk menaati Konvensi Jenewa Keempat.
20.  Resolusi Nomor 476, tanggal 30 Juni 1980: "mengulangi pernyataan" bahwa klaim-klaim Israel atas Jerusalem "batal dan tidak sah".
21.  Resolusi Nomor 478, tanggal 20 Agustus 1980: "mencela Israel dalam pengertian paling keras" karena klaimnya atas Jerusalem dalam "Hukum Dasar"-nya.
22. Resolusi Nomor 484, tanggal 19 Desember 1980: "menyatakan wajib" agar Israel menerima kembali dua walikota Palestina yang dideportasikan. .
23.  Resolusi Nomor 573, tanggal 4 Oktober 1985: "mencela" Israel "dengan keras" karena membom Tunisia dalam serangan atas markas besar PLO.
24.  Resolusi Nomor 592, tanggal 8 Desember 1986: "sangat menyesalkan" pembunuhan para mahasiswa Palestina di Bir Zeit University oleh pasukan Israel.
25.  Resolusi Nomor 605, tanggal 22 Desember 1978: "sangat menyesalkan" kebijaksanaan-kebijaksanaan dan praktek-praktek Israel yang menyalahi hak-hak asasi manusia dari bangsa Palestina.
26. Resolusi Nomor 607, tanggal 5 Januari 1988: "menyerukan" pada Israel agar tidak mendeportasi orang-orang Palestina dan mernintanya dengan sangat agar mentaati Konvensi Jenewa Keempat.
27. Resolusi Nomor 608, tanggal 14 januari 1988: "sangat menyesalkan" bahwa Israel menentang Perserikatan Bangsa-Bangsa dan mendeportasi penduduk sipil Palestina.
28.  Resolusi Nomor 636, tanggal 6 juli 1989: "sangat menyesalkan" pendeportasian orang-orang Palestina oleh Israel.
29.  Resolusi Nomor 641, tanggal 30 Agustus 1989: "menyesalkan" tindakan Israel yang terus mendeportasi orang-orang Palestina.
30. Resolusi Nomor 672, tanggal 12 Oktober 1990: "mengecam" Israel karena tindakan kekerasannya terhadap orang-orang Palestina di Haram Al-Syarif/Temple Mount.
31. Resolusi Nomor 673, tanggal 24 Oktober 1990: "menyesalkan" penolakan Israel untuk bekerja sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
32.Resolusi Nomor 681, tanggal 20 Desember 1990: "menyesalkan" tindakan Israel mengulangi lagi pendeportasian orang-orang Palestina.
33.Resolusi Nomor 694, tanggal 24 Mei 1991: "menyesalkan" tindakan Israel mendeportasikan orang-orang Palestina dan menyerukannya agar memastikan keselamatan dan kembalinya mereka dengan segera.
34.Resolusi Nomor 726, tanggal 6 Januari 1992: "mengecam keras" tindakan Israel mendeportasikan orang-orang Palestina.
35.Resolusi Nomor 799, tanggal 18 Desember 1992: "mengecam keras" tindakan Israel mendeportasi 413 orang Palestina dan menyerukan pengembalian mereka dengan segera.
Amerika Serikat telah menggunakan hak vetonya dalam konflik Arab-Israel, dari 175 resolusi Dewan Keamanan PBB tentang Israel, 97 menentang Israel, 74 netral dan 4 mendukung Israel. Tentunya ini tidak termasuk resolusi yang diveto Amerika Serikat. Sedangkan pada pemungutan suara pada Majelis Umum, 55.642 suara menentang Israel, dan hanya 7.938 yang mendukung Israel.[26] Khusus konflik Palestina-Israel, dari 82 veto Amerika Serikat, setengahnya berhubungan dengan dukungan Amerika Serikat terhadap Israel, yaitu sebanyak 41 veto. Akibat dari pembelaan yang dilakukan Amerika Serikat itu, banyak kasus pembangkangan yang dilakukan oleh Israel terutama implementasi resolusi 271, 298, 452, dan 673.[27] Pembelaan dari Amerika Serikat ini menjadi kekuatan bagi Israel untuk terus melakukan pelanggaran terhadap hokum internasional, karena Amerika Serikat secara politis memiliki kekuatan dalam pergaulan internasional.
Atas fakta diatas perlu kiranya kita melihat pendapat dari ahli hukum yang meragukan eksistensi dari hukum internasional, salah satunya adalah Jon Austin (1790-1895), dia menyatakan bahwa hukum internasional bukanlah hukum melainkan hanya etika dan norma kesopanan. Pandangan Jhon austin didasarkan pada pemahamannya yang sempit tentang arti hukum yang sebenarnya. hukum hanya dipandang sebagai perintah yakni perintah dari pihak yang menguasai. Pihak yang berkuasa memiliki kedaulatan dan manifestasi dari kedaulatan itu adalah membuat hukum, melaksanakan dan memaksakan terhadap pihak yang dikuasainya. Hal ini berarti hukum hanyalah perintah yang berasal dari penguasa yang berdaulat. Jadi jika suatu peraturan tidak berasal dari penguasa yang berdaulat, peraturan semacam itu bukanlah merupakan hukum, melainkan hanyalah norma moral belaka, seperti norma kesopanan dan norma kesusilaan. Pandangan Jhon Austin ini merupakan penyangkalan atas eksistensi dari hukum kebiasaan, termasuk hukum kebiasan internasional, sebab hukum kebiasaan tidak dibuat oleh penguasa yang berdaulat, melainkan tumbuh dan berkembang ditengah-tengah pergaulan masyarakat.
Terhadap pendapat John Austin ini dalam studi Hukum Internasional pendapat bahwa Hukum Internasional itu hanyalah Moral Internasional memiliki 2 kelemahan mendasar. Pertama, Hukum Internasional mengenal eksistensi hukum kebiasaan internasional (customary international law) yang timbul dalam tata pergaulan internasional yang keberadaannya dipertahankan oleh masyarakat internasional juga. Kedua, jika Hukum Internasional adalah moral internasional saja, maka eksistensinya sama dengan teori bahwa hukum hanyalah kekuasaan belaka yaitu siapa yang kuat dialah yang menang, padahal dalam tertib hukum internasional hukum digunakan untuk sarana kontrol terhadap pencapaian bersama (common goals) masyarakat internasional.
Pada dasarnya dalam Hukum Internasional yaitu Humaniter Internasional (HHI) diciptakan khu- sus untuk melindungi dan memelihara hak asasi korban dan non kombatan dalam konflik ber- senjata.[28] Doktrin tanggung jawab komando sesungguhnya telah ada jauh sebelum Perang Dunia II. Praktik masyarakat internasional pasca Perang Dunia II semakin mengukuhkan eksistensi doktrin ini dalam kancah hukum internasional. Doktrin ini kemudian dikodifikasikan ke dalam Konvensi dan Protokol di bidang hukum humaniter internasional, Statuta Pengadilan Internasional Ad hoc di bekas Yugoslavia dan Rwanda serta Statuta Mahkamah Pidana Internasional.[29] Pelanggaran hukum humaniter yang terjadi di Palestina dapat di bawa ke International Criminal Crime (ICC), namun karena adanya kepentingan politik dari negara-negara pemegang veto di Dewan Keamanan PBB sampai saat ini belum pernah ada komando Israel yang di adili.
Dan kenyataannya hari ini,  tujuan dari hukum internasional untuk menciptakan sebuah orde yang akan menjamin kedamaian dunia masih patut dipertanyakan, karena masih terkendala didalam pelaksanaannya yang terkesan tebang pilih, dan hukum internasional dijadikan sebuah alat untuk melegitimasi tindakan-tindakan anarkisme internasional oleh negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang dan negara-negara terbelakang.[30] Masyarakat pun kemudian menyaksikan bagaimana dengan mudah sebuah negara  menyerang negara lain dengan alasan penegakan hukum. Kekuatan politik  internasional menjadi sangat kuat dalam penjatuhan sanksi internasional.
Penggunaan sistem veto sejak awal pembentukannya memang digunakan untuk melindungi kepentingan para pendiri PBB, dimana hal tersebut hanya diperuntukan bagi negara-negara yang memenangkan Perang Dunia II.[31] Pada saat pendiriannya di tahun 1948, telah ditentukan bahwa perwakilan dari Inggris, China, Uni Soviet, Amerika Serikat, dan Prancis akan menjadi anggota tetap Dewan Kemanan yang kemudian hak veto tersebut melekat padanya berdasarkan Pasal 27 Piagam PBB.
Dewan Keamanan mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk mengambil tindakan-tindakan kekerasan demi terpeliharanya perdamaian dan keamanan dunia. Hal ini bisa dilihat pada pasal 39-51 Piagam PBB yang memberikan rekomendasi kepada Dewan Keamanan melalui investigasi untuk menentukan apakah terdapat suatu keadaan yang mengancam (threat of peace), pelanggaran terhadap perdamaian (breach of peace), ataupun suatu agresi (act of aggression).[32] Namun Faktanya, implementasi menjadi tidak efektif karena nuansa politis dari kepentingan negara anggota tetap (terutama Amerika Serikat) yang begitu dominan dibandingkan common interest bagi anggotanya. Akibatnya, penggunaan hak veto sering melenceng dari garis yang telah ditetapkan. Hak veto yang dikeluarkan oleh anggota tetap Dewan Keamanan selalu menjadi penghambat legitimasi keputusan yang akan diambil oleh Dewan Keamanan. Bagi negara pemegang Hak veto jika ada keputusan yang tidak sesuai dengan kepentingan negaranya atau sekutunya Veto menjadi senjata paling ampuh untuk melumpuhkan keputusan itu.
PBB sebagai sebuah  organ yang mengayomi  masyarakat internasional sudah selayaknya melihat pada anggota non pemegang Hak Veto. Dalam dunia yang lebih seimbang, tampaknya tak perlu lagi ada veto dalam tubuh PBB, khususnya Dewan Keamanan PBB. Veto adalah bentuk dari ketidakadanya pengakuan suara negara-negara mayoritas. Dukungan atas sebuah Resolusi Dewan Keamanan PBB sangat bergantung pada negara pemegang hak veto.
Mahkamah Pidana Interansional atau International criminal Justice (ICJ), mempunyai peran dalam penyelesaian sengketa ini, sayangnya yurisdiksi Mahkamah berlaku jika adanya usulan dari negara anggota maupun anggota tetap dewan keamanan agar sengketa itu dapat di proses, namun sampai saat ini sulit terwujud karena veto dari Amerika Serikat  menjadi penghambat utama penyelesaian Perdamaian antara Israel dan Palestina.
Dilihat dari banyaknya resolusi yang tidak ditaati oleh Israel terlihat tidak adanya itikad baik dari Israel untuk kooperatif dengan PBB dan disisi lain PBB tidak berani mengambil tindakan tegas dalam menangani pelanggaran HAM yang dilakukan Israel. Seharusnya Dewan Keamanan PBB segera mencabut hak operasi militer Israel, tapi Dewan Keamanan tidak melakukannya. Hal ini dipengaruhi oleh veto yang diberikan Amerika Serikat kepada Dewan Keaman terhadap setiap Resolusi yang ditujukan terhadap pelanggaran Israel terhadap rakyat Palestina.

3.      Kesimpulan dan Saran
           Dalam ketentuan hukum internasional banyak terdapat ketentuan yang mengatur mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil dalam masa pendudukan, Secara normatif, perlindungan hukum internasional terhadap penduduk sipil Palestina dalam Hukum Internasional terdapat dalam; pertama Konvensi Jenewa Ke IV  tahun 1949  meliputi (perlindungan umum dan perlindungan khusus); kedua Protokol Tambahan I dan II; ketiga dalam Statuta Roma dan keempat perlindungan dalam kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hanya saja dalam pelaksanaannya norma-norma tersebut selama ini menjadi tumpul karena pemihakan absolut yang dilakukan Amerika Serikat terhahap Israel.
           Legitimasi pendudukan Israel di wilayah Palestina sebaiknya ditinjau ulang karena faktor-faktor yang melatarbelakangi pendudukan Israel di Palestina merugikan rakyat Palestina dan menguntungkan Israel secara sepihak. Dari faktor-faktor yang ada terlihat banyaknya perjanjian damai yang diadakan tidak sesuai dengan ketentuan hukum internasional. Masyarakat internasional seharusnya mendesak untuk dilakukan restrukturisasi terhadap Dewan Keamanan PBB agar anggota tetap pemilik hak veto PBB ditambah satu Negara untuk mewakili dunia Islam (muslim state). Solidaritas bangsa Arab khususnya dan dunia Islam umumnya untuk mendesak Amerika Serikat agar menghentikan kebijakan standar ganda dalam kebijakan politik luar negerinya dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina.
Sulitnya membawa Israel ke Mahkamah Internasional adalah karena perkara yang dibawa ke mahkamah adalah perkara yang bersifat non procedural yang menyangkut perdamaian dunia, dalam perkara non procedural memerlukan persetujuan suara dari anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Seperti yang terdapat dalam pasal 27 ayat 3 Piagam PBB. Setiap Israel akan di adili Amerika Serikat selalu memvetonya sehingga sangat sulit untuk diadili. PBB dan negara-negara anggotanya, demi perlindungan jiwa  ribuan warga sipil di Jalur Gaza,  harus bekerja secara sungguh-sungguh dan lebih keras lagi untuk segera menghentikan perang yang melibatkan Palestina dan Israel. PBB harus mampu membentengi dirinya dari jebakan yuridis yang menjadi legitimasi atas pemusnahan penduduk sipil di Jalur Gaza.
           Dalam perjalanan selanjutnya hukum internasional yang hendak dilaksanakan dengan menjatuhkan sanksi internasional seringkali gagal dilaksanakan karena munculnya hak veto yang melemahkan efektifitas hukum internasional yang ada. Negara lain yang tak memegang hak veto tak memiliki suara dalam tubuh Dewan Keamanan PBB. Inilah sesungguhnya awal dari ketiadaan ruang keadilan dalam PBB. Sanksi hukum tak dapat dijatuhkan ketika muncul veto. Tidak ada lagi adagium hukum bahwa suara tertinggi adalah hukum, semuanya tergantung pada lobi-lobi internasional yang mampu menggerakkan negara pemegang veto untuk berpihak kepadanya. Jika ingin hukum internasional berjalan efektif dalam pendudukan Israel di Palestina, masyarakat internasional harus tegas dan Amerika Serikat tidak memberikan dukungan nya kepada Israel melalui veto di Dewan  Keamanan PBB.
Hukum Internasional sampai saat ini menjadi pilihan rasional, walaupun upya menggerakkannya membutuhkan lobi-lobi internasional. Hukum Internasional adalah pilihan terbaik dari beberapa pilihan yang ada. Ketika hukum internasional tak berjalan, maka pilihan lainnya adalah perang. Perang hanya akan merugikan semuanya, ia adalah bentuk dari keberingasan masyarakat yang tak beradab. Ketika kita mengedepankan perang maka  yang terjadi hanyalah kepedihan terhadap nasib umat manusia. ketika perang menjadi pilihan terakhir, maka pelaksanaan perangpun harus berada dalam ruang atau koridor hukum internasional. Akhirnya kita hanya bisa berhaharap kepada itikad baik dari negara-negara atau subjek internasional itu sendiri untuk mematuhi hukum yang sudah disepakatinya, tanpa adanya kepatuhan dan ketaatan maka hukum internasional hanyalah bersifat moral atau nilai-nilai kesopanan saja seperti yang telah di ungkapkan oleh John Austin.



REFERENSI:


a.      Buku
Abd. Rahman, Mustthafa , Jejak-jejak juang palestina dari oslo hingga intifadah Al Aqsa, PT Kompas media nusantara, Jakarta,  2002.
Agustina, Shinta, Hukum Pidana Internasional dalam teori dan Praktek, Andalas University
            Press, Padang, 2006.
COMES  (Penerjemah), Terorisme Israel membedah paradigma dan strategi terorisme Zionis,  Asy Syamil, Bandung, 2001.  
Husaini, Adian, Mau menang sendiri Israel sang teroris yang pragmatis, Pustaka Progressif, Jakarta, 2002.
Muhamad Shaleh Muhsin, Palestina, sejarah, perkembangan dan konspirasi, Gema Insani Press, Jakarta,  2002.
-------, Terorisme dalam strategi Israel, Asy Syamil, Jakarta, 2001.
Mushtafa, Walid, (Penerjemah Nazaf Azzour) At tadmir al jama’i lil Qur’an al Filistiniyah,
            Pusat studi Pengembangan Al Quds, COMES, Surabaya, 2001.
  Robertson, QC Goeffrey, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komite Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 1982.






b.      Jurnal

Rizanizarli, "Hukum Humaniter Internasional Dan Hubungannya  Baru Hak Asasi Manusia ", Jurnal Ilmu   
Hukum Kanun Vol. XI No 29 Agustus 2001, FH UNSYIAH  Aceh.

Natsri Anshar, “Tanggung Jawab Komando Menurut Hukum Internasional Dan Hukum Nasional Indonesia Jurnal Hukum Humaniter, Vol 1 No 1 2005 ,  Universitas Gajah Mada.

Heru Cahyono, “Kejahatan Perang Yang Diatur Dalam Hukum Internasional Dan Hukum NasionalJurnal Hukum Humaniter, Vol 1 No 1 2005 , Universitas Gajah Mada,

c.        Konvensi Internasional

Deklarasi Sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia Tahun  1948

Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan pada Negara-negara dan Bangsa bangsa Kolonial
         Tahun 1960

Deklarasi tentang Perlindungan dari Penyiksaan tahun 1975

Konvensi  Internasional tentang Hak Sipil dan Politik tahun 1966

Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman terhadap Kejahatan Pemusnahan suatu  Bangsa
          dengan Sengaja Tahun 1948

Konvensi Jenewa Tahun 1949

Piagam PBB Tahun 1948

Piagam HAMAS

Protokol Tambahan I Tahun 1977

Protokol Tambahan II Tahun 1977

Statuta Roma

d.      Website
 Http://www.pustakaonlinemedia.net:  Ball, The Passionate Attachment, 178-91; Mallison dan Mallison, The Palestine Problem in International Law and World Order, 240-75; Quigley, Palestine and Israel
Http://www.arlina’sweb.blog.com. Israel dan Pendudukan Asing atas Palestina. Konflik  
             Bersenjata yang Harus Diakhiri, 4 Januari 2009  Oleh : Arlina Permanasari
Http://www.eramuslim.com. Pelanggaran HAM Israel di Palestina Tidak Bisa Ditoleransi
Http://www.republikaonline. Kejahatan AS- Israel menyerang Palestina dan Lebanon dapat
              dibawa ke Mahkamah Internasional
Http:// www.eramuslim.com, Senat Amerika Serikat dan dewan perwakilan Rakyat AS,
               legislation of foreign relation through 1986      
Http:// kakniam.com/2001/06/11 dominasi-amerika-serikat-terhadap-pbb
Http:// idysorhamzah.wordpress.com. Rosyidi Hamzah, Jhon Austin: Mempertanyakan
            Eksistensi Hukum Internasional? Juli 26, 2010 oleh Rosyidi Hamzah
            veto, Dewan Keamanan dan Indonesia oleh Pan Mohamad Faiz (*Penulis adalah
           Mahasiswa Pascasarjana Master of Comparative Law pada Faculty of Law, University of
           Delhi, New Delhi
Http:// www.kontras.org. Keprihatinan Bersama terhadap Jatuhnya Korban Warga Sipil di Jalur 
          Gaza Palestina dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Terhadap Kasus Pembunuhan
          Munir







       [1] Musthafa Abd. Rahman,  Jejak-jejak Juang Palestina dari Oslo hingga Intifadah Al Aqsa, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2002, hlm  xxx
       [2] Ibid
       [3] Muhsin  Muhamad  Shaleh, Palestina, Sejarah, Perkembangan dan Konspirasi, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, hlm 32
       [4] Jurnal Dinamika Hukum, Adwani, Perlindungan terhadap Orang-orang dalam, Daerah Konflik Hukum Humaniter Internasional, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Aceh Vol. 12 No 1 Januari 2012, hlm 1
       [5]  Adian Husaini, Israel Sang Teroris yang Pragmatis, Jakarta: Pustaka Progressif, 2002, hlm 15
       [6]  Ibid,  hlm 157
       [7] COMES (Penerjemah), Terorisme Israel Membedah Paradigma dan Strategi Terorisme Zionis, Bandung: As syamil, 2001, hlm 137
      [8] Http://www.pustakaonlinemedia.net:  Ball, The Passionate Attachment, 178-91; Mallison dan Mallison, The Palestine Problem in International Law and World Order, 240-75; Quigley, Palestine and Israel, 216, diakses 28 Desember 2010
       [9] Http://www.arlina’sweb.blog.com. Israel dan Pendudukan Asing atas Palestina. Konflik Bersenjata yang Harus Diakhiri, 4 Januari 2009  Oleh : Arlina Permanasari, diakses 28 Desember 2010
          [10]  Ibid
       [11] Ibid.  hlm 159
     [12] Walid Mushtafa, At tadmir al jama’i lil Qur’an al Filistiniyah, Pusat studi Pengembangan Al Quds, diterjemahkan oleh Nawaf Azzour: COMES, 2001,  hlm 159
       [13] Http://www.eramuslim.com. Pelanggaran HAM Israel di Palestina Tidak Bisa Ditoleransi, diakses 21 November 2006.
       [14] Lihat Kontras, No. 04/ VII/-VIII/2006
         [15] Heru Cahyono, Kejahatan Perang Yang Diatur Dalam Hukum Internasional Dan Hukum Nasional, Jurnal Hukum Humaniter, Vol 1 No 1 2005, Universitas Gajah Mada, hlm 1
       [16] COMES, Terorisme Israel Membedah Paradigma&Stratesi Terorisme Israel, Jakarta: COMES 2001, hlm 89
       [17] Ibid 145
       [18] Ibid
       [19] Lihat Statuta Roma Pasal 16
       [20] Shinta Agustina , Hukum Pidana Internasional dalam Teori dan Praktek, Padang:  Andalas University Press, 2006, hlm 64
       [21] Goeffrey Robertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Jakarta:Komite Nasional Hak Asasi Manusia, 1982, hlm 412-413
       [22] Http://www.republikaonline. Kejahatan AS- Israel menyerang Palestina dan Lebanon dapat dibawa ke Mahkamah Internasional, diakses  9 Agustus 2006
       [23] Http:// www.eramuslim.com, Senat Amerika Serikat dan dewan perwakilan Rakyat AS, legislation of foreign relation through 1986, diakses 9 Maret 2008
       [24] Lihat, Pustaka onlinemedia, Resolusi 2649. dalam Tomeh, United nations resolutions on palestine and Arab-Israel conflict 1: 78-79, diakses 9 Maret 2008
       [25] Ibid
       [26] Http:// kakniam.com/2001/06/11 dominasi-amerika-serikat-terhadap-pbb, diakses 15 Juli 2011
       [27]  Ibid
       [28] Rizanizarli, "Hukum Humaniter Internasional Dan Hubungannya  Baru Hak Asasi Manusia ", Jurnal Ilmu   
Hukum Kanun Vol. XI No 29 Agustus 2001, FH UNSYIAH  Aceh, hlm. 394

      [29] Natsri Anshar , Tanggung Jawab Komando Menurut Hukum Internasional Dan Hukum Nasional Indonesia, Jurnal Hukum Humaniter, Universitas Gajah Mada, Vol 1 No 1 2005, hlm 1

         [30]  Http:// idysorhamzah.wordpress.com. Rosyidi Hamzah, Jhon Austin: Mempertanyakan Eksistensi Hukum Internasional? Juli 26, 2010 oleh Rosyidi Hamzah, diakses 16 Juli 2011
     [31] Http://jurnalhukum.blogspot.com/2006/11/hak-veto-mesin-perang-amerika-serikat.html, Hak veto, Dewan Keamanan dan Indonesia oleh Pan Mohamad Faiz (*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Master of Comparative Law pada Faculty of Law, University of Delhi, New Delhi), diakses 16 Juli 2011
       [32]Http:// kakniam.com/2001/06/11 dominasi-amerika-serikat-terhadap-pbb, diakses 15 Juli 2011