Selasa, 15 November 2016

Tugas Hukum Internasional Kelas III B

Analisis Kasus Lotus Case antara Turki dan Prancis

35 komentar:

  1. Silahkan kirimkan jawabannya di kolom komentar. buat Nama, NIM

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. NAMA : FARADILLA MARSELINA SANDY
    NIM : 30110510013

    FAKTA HUKUM
    • 2 Agustus 1926, terjadi tabrakan antara SS Lotus, sebuah kapal uap Prancis dan SS-Boz Kourt, sebuah kapal Turki, di suatu daerah di utara Mytilene. Sebagai akibat dari kecelakaan itu, terdapatlah delapan warga Turki atas kapal-Boz Kourt tenggelam ketika kapal itu ditabrak oleh Kapal Lotus.
    • Kapten kapal Lotus yang bernama M. Demons ditangkap oleh pemerintah Turki sekaligus dimintai keterangan. M. Demons ditahan dan diadili oleh Turki dengan alasan telah melakukan tindakan kejahatan pidana pembunuhan yang menimbulkan korban dan menyebabkan kerugian terhadap kapal tambang Turki.
    • Pemerintah Prancis keberatan atas penahanan yang dilakukan Turki, karena dianggap tindakan itu tidak sejalan dengan Hukum Internasionl, dan pihak Turki tidak memiliki Jurisdiksi untuk mengadili perkara itu, dan berpandangan bahwa negara benderalah yang memiliki Jurisdiksi eksklusif atas kapal di laut lepas (floating island theory). sehingga permasalahan ini diajukan ke Mahkamah Internasional Permanen.
    • Pada tanggal 7 September 1927, yakni ketika belum adanya Perserikatan Bangsa-Bangsa, kasus tersebut diajukan Mahkamah Internasional Permanen (Permanent-ICJ), yang mana merupakan bagian yudisial dari Liga Bangsa-Bangsa (pendahulu Perserikatan Bangsa-Bangsa).
    ANALISIS KASUS

    PCIJ menemukan bahwa kedua kapal tersebut terlibat dalam satu kecelakaan yang sama, jadi kedua negara tersebut sama-sama memiliki yurisdiksi atas kecelakaan tersebut. Namun PCIJ menemukan suatu hukum kebiasaan internasional yang memberi yurisdiksi pada prancis, namun tidak memberi mereka yurisdiksi eksklusif "di bawah hukum internasional, semua yang tidak dilarang diperbolehkan". Kasus ini mengarah pada prinsip lotus (pendekatan lotus), yang berbunyi kekuasaan negara dapat bertindak bagaimanapun juga sebatas mereka tidak melanggar hukum yang tertulis.
    Namun prinsip lotus ini telah disempurnakan oleh 1958 High Seas Convention dalam pasal 11 Ayat (1).
    Dalam sengketa lotus case, permasalahan kedaulatan negara diluar wilayah teritorial menjadi faktor utama, dimana Turki melakukan tindakan asas perlindungan, guna pembelaan atas 8 korban awak kapal Turki, dan asas nasionalitas pasif yang berarti bahwa suatu negara memiliki jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri.
    Dilihat dari Putusan Mahkamah Internasional Permanen, bahwa walaupun negara tidak dapat melaksanakan kekuasaannya di luar wilayahnya dalam hal tidak adanya ketentuan hukum internasional, namun tidak berarti hukum internasional melarang suatu negara melaksanakan jurisdiksinya sehubungan dengan kasus yang terjadi di luar negeri.
    Mengenai negara bendera memiliki jurisdiksi eksklusif atas kapal laut lepas, dalam putusan Mahkamah Internasional Permanen, hukum internasional tidak mengatur ketentuan tersebut. Tetapi karena kapal Turki mengalami kerusakan maka sama saja telah terjadi kerusakan di wilayah Turki tersebut. Maka hal ini memungkinkan Turki memberlakukan jurisdiksinya berdasarkan prinsip teritorial objektif, yaitu jurisdiksi dimana tindakan tersebut diselesaikan, (karena tindakan itu terjadi pada kapal Turki, maka sama saja terjadi di wilayah Turki), dengan jurisdiksi teritorial objektif ini, maka turki berhak menjalankan jurisdiksinya.
    Selain itu tindakan penangkaman kapten M. Demons yang dilakukan Turki adalah perwujudan dari asas perlindungan, guna pembelaan atas 8 korban awak kapal Turki. Dan asas Nasionalitas Pasif, bahwa suatu negara memiliki jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri.


    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. NAMA : NOVITA SARI
    NIM : 301151010040
    FAKULTAS HUKUM
    SEMESTER III/B

    Analisis Lotus Case
    LOTUS CASE (PRANCIS VS TURKI)

    FAKTA HUKUM :
    Pada tahun 1926 di laut lepas, sekitar luar wilayah perairan turki terjadi tabrakan kapal uap antara kapal uap Turki ‘Bozkourt’ dan kapal uap Prancis ‘Lotus’. Dalam kecelakaan itu menimbulkan 8 orang korban dari pihak Turki. Ketika kapal uap Lotus bersandar di pelabuhan turki, kapten kapal Lotus yang bernama M. Demons ditangkap oleh pemerintah Turki sekaligus dimintai keterangan. M. Demons ditahan dan diadili oleh Turki dengan alasan telah melakukan tindakan kejahatan pidana pembunuhan yang menimbulkan korban.

    Pemerintah Prancis keberatan atas penahanan yang dilakukan Turki, karena dianggap tindakan itu tidak sejalan dengan Hukum Internasionl, dan pihak Turki tidak memiliki Jurisdiksi untuk mengadili perkara itu, dan berpandangan bahwa negara benderalah yang memiliki Jurisdiksi eksklusif atas kapal di laut lepas (floating island theory). sehingga permasalahan ini diajukan ke Mahkamah Internasional Permanen.

    ANALISIS :
    Dilihat dari Putusan Mahkamah Internasional Permanent, bahwa walaupun negara tidak dapat melaksanakan kekuasaannya di luar wilayahnya dalam hal tidak adanya ketentuan hukum internasional, namun tidak berarti hukum internasional melarang suatu negara melaksanakan jurisdiksinya sehubungan dengan kasus yang terjadi di luar negeri.

    Mengenai negara bendera memiliki jurisdiksi eksklusif atas kapal laut lepas, dalam putusan Mahkamah, hukum internasional tidak mengatur ketentuan tersebut. Dan karena kapal turki mengalami kerusakan maka sama saja telah terjadi kerusakan di wilayah turki. Maka hal ini memungkinkan turki memberlakukan jurisdiksinya berdasarkan prinsip territorial objektif, yaitu Jurisdiksi dimana tindakan tersebut diselesaikan, (karena tindakan itu terjadi pada kapal turki, maka sama saja terjadi di wilayah turki), dengan jurisdiksi territorial objektif ini, maka turki berhak menjalankan jurisdiksinya.

    Selain itu tindakan penangkapan kapten M. Demons yang dilakukan Turki adalah perwujudan dari asas perlindungan, guna pembelaan atas 8 korban awak kapal turki. Dan asas Nasionalitas Pasif, bahwa suatu negara memiliki jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri.

    BalasHapus
  6. NAMA : ERWANDI
    NIM : 3011051010010

    ANALISIS
    Hukum Internasional sebagian besar terdiri dari kaidah-kaidah kebiasaan. Kaidah-kaidah ini pada umumnya telah menjalani suatu proses sejarah yang panjang yang berpuncak pada pengakuan oleh masyarakat internasional. Kebiasaan sebagaimana dimaksudkan oleh hukum, adalah suatu adat istiadat yang telah memperoleh kekuatan hukum. Hukum Kebiasaan internasional adalah kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum. Agar kebiasaan internasional dapat dikatakan sebagai hukum harus memenuhi kedua unsur berikut yaitu harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum dan kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum. Kedua unsur itu dapat dinamakan unsur material dan unsur psikologis.
    Unsur pertama yaitu unsur material memerlukan adanya suatu kebiasaan yang merupakan suatu pola tindak yang berlangsung lama. Selain itu kebiasaan yang berlangsung lama itu harus bersifat umum dan bertalian dengan hubungan internasional. Unsur kedua yaitu unsur psikologis menghendaki bahwa kebiasaan Internasional dirasakan memenuhi suruhan kaidah atau kewajiban hukum atau seperti dikatakan dalam bahsa latin Opinio Juris Sive Necessitative .
    Tampak dari keputusan Permanenent Court of International Justice dalam Lotus case bahwa Opinio Juris merupakan suatu hal yang merupakan kesimpulan dari semua keadaan, bukan semata-mata tindakan terinci yang merupakan unsur materi dari apa yang dinyatakan kaidah kebiasaan.
    PCIJ memutuskan bahwa tidak ada kaidah kebiasaan yang memberikan yurisdiksi pidana eksklusif dalam kasus tabrakan kapal di laut lepas dari pihak negara bendera kapal berkenaan dengan semua insiden diatas kapal karena dari materi yang relevan yang dipertimbangkan perundang-undangan nasional tidak konsisten keputusan –keputusan pengadilan nasional yang saling bertentangan tidak ada kecenderungan yang seragam yang dapat disimpulkan dari trakta-traktat serta adanya perbedaan pandangan diantara para sarjana.
    Dalam Lotus case tidak terdapat peraturan hukum internasional berkaitan dengan yurisdiksi pidana eksklusif dari negara bendera kapal yang terlibat dalam tabrakan itu dalam kaitannya dengan tindak pidana yang berlangsung diatas kapal tersebut dan bahwa yurisdiksi dapat dilaksanakan juga oleh negara bendera kapal atas kapal dimana tindak pidana yang mengakibatkan timbulnya tabrakan.
    Walaupun negara tidak dapat melaksanakan kekuasaannya di luar wilayahnya dalam hal tidak adanya ketentuan hukum internasional, namun tidak berarti hukum internasional melarang suatu negara melaksanakan jurisdiksinya sehubungan dengan kasus yang terjadi di luar negeri.
    Karena kapal Turki mengalami kerusakan maka sama saja telah terjadi kerusakan di wilayah Turki. Maka hal ini memungkinkan turki memberlakukan jurisdiksinya berdasarkan prinsip territorial objektif, yaitu Jurisdiksi dimana tindakan tersebut diselesaikan, (karena tindakan itu terjadi pada kapal turki, maka sama saja terjadi di wilayah Turki), dengan jurisdiksi territorial objektif ini, maka turki berhak menjalankan jurisdiksinya.
    Selain itu tindakan penangkapan kapten M. Demons yang dilakukan Turki adalah perwujudan dari asas perlindungan, guna pembelaan atas 8 korban awak kapal Turki. Dan asas Nasionalitas Pasif, bahwa suatu negara memiliki jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri.

    BalasHapus
  7. NAMA : SAID QORI
    NIM : 3011051010047

    LOTUS CASE Prancis VS Turki
    KEPUTUSAN PERMANENT INTERNASIONAL COURT OF JUSTICE
    Keputusan dalam perkara ini adalah, diantaranya:
    1. Memutuskan bahwa tidak ada kaidah kebiasaan yang memberikan yurisdiksi pidana eksklusif dalam kasus tabrakan di laut lepas dari pihak Negara bendera kapal, berkenaan dengan semua insiden di atas kapal, karena dari materi yang relevan yang dipertimbangkan, perundang-undangan nasional tidak konsisten, tidak ada kecenderungan yang seragam yang dapat disimpulkan dari traktat traktat, serta adanya perbedaan pandangan di antara para sarjana. Untuk itu jurisdiksi dapat dilaksanakan juga oleh Negara bendera kapal atas kapal dimana tindak pidana yang mengakibatkan timbulnya tabrakan.
    2. Memutuskan bahwa tidak ada pembatasa atas pelaksanaan yurisdiksi oleh setiap Negara kecuali jika pembatasan itu dapat diperlihatkan dengan bukti konklusif yang keberadaannya sebagai suatu prinsip hokum internasional. PCIJ tidak menerima tesis yang dikemukakan oleh Perancis bahwa suatu klaim yurisdiksi oleh suatu Negara harus dibenarkan oleh hokum internasional dan praktek hokum internasional. Kewajiban tersebut terletak di pihak Negara yang menyatakan bahwa pelaksanaan yurisdiksi itu sah, untuk mempelihatkan bahwa praktek jurisdiksi itu dilarang oleh hokum internasional.
    3. Terkait dengan tanggung jawab pidana atau disiplin nahkoda atau setiap orang lainnya dalam kapal, maka tidak boleh ada penuntutan pidana atau disiplin terhadap orang-orang tersebut kecuali di hadapan peradilan atau pejabat pejabat administrasi dari Negara bendera atau Negara dari mana orang tersebut menjadi warga Negara.

    ANALISA
    Dalam sengketa lotus case, permasalahan kedaulatan negara diluar wilayah teritorial menjadi faktor utama, dimana Turki melakukan tindakan asas perlindungan, guna pembelaan atas 8 korban awak kapal Turki, dan asas nasionalitas pasif yang berarti bahwa suatu negara memiliki jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri.
    Dilihat dari Putusan Mahkamah Internasional Permanen, bahwa walaupun negara tidak dapat melaksanakan kekuasaannya di luar wilayahnya dalam hal tidak adanya ketentuan hukum internasional, namun tidak berarti hukum internasional melarang suatu negara melaksanakan jurisdiksinya sehubungan dengan kasus yang terjadi di luar negeri.
    Mengenai negara bendera memiliki jurisdiksi eksklusif atas kapal laut lepas, dalam putusan Mahkamah Internasional Permanen, hukum internasional tidak mengatur ketentuan tersebut. Tetapi karena kapal Turki mengalami kerusakan maka sama saja telah terjadi kerusakan di wilayah Turki tersebut. Maka hal ini memungkinkan Turki memberlakukan jurisdiksinya berdasarkan prinsip teritorial objektif, yaitu jurisdiksi dimana tindakan tersebut diselesaikan, (karena tindakan itu terjadi pada kapal Turki, maka sama saja terjadi di wilayah Turki), dengan jurisdiksi teritorial objektif ini, maka turki berhak menjalankan jurisdiksinya

    BalasHapus
  8. NAMA : DETA ANDRIYAN
    NIM : 301151010052

    KASUS POSISI
    Kasus Lotus merupakan kasus yang terjadi pada 2 Agustus 1926 dikarenakan oleh adanya tabrakan antara SS Lotus, sebuah kapal uap Prancis dan SS-Boz Kourt, sebuah kapal Turki, di suatu daerah di utara Mytilene. Sebagai akibat dari kecelakaan itu, terdapatlah delapan warga Turki atas kapal-Boz Kourt tenggelam ketika kapal itu ditabrak oleh Kapal Lotus.[1] Kapten kapal Lotus yang bernama M. Demons ditangkap oleh pemerintah Turki sekaligus dimintai keterangan. M. Demons ditahan dan diadili oleh Turki dengan alasan telah melakukan tindakan kejahatan pidana pembunuhan yang menimbulkan korban dan menyebabkan kerugian terhadap kapal tambang Turki.
    Pemerintah Prancis keberatan atas penahanan yang dilakukan Turki, karena dianggap tindakan itu tidak sejalan dengan Hukum Internasionl, dan pihak Turki tidak memiliki Jurisdiksi untuk mengadili perkara itu, dan berpandangan bahwa negara benderalah yang memiliki Jurisdiksi eksklusif atas kapal di laut lepas (floating island theory). sehingga permasalahan ini diajukan ke Mahkamah Internasional Permanen.
    Pada tanggal 7 September 1927, yakni ketika belum adanya Perserikatan Bangsa-Bangsa, kasus tersebut diajukan Mahkamah Internasional Permanen (Permanent-ICJ), yang mana merupakan bagian yudisial dari Liga Bangsa-Bangsa (pendahulu Perserikatan Bangsa-Bangsa).

    ANALISIS PUTUSAN
    Dalam Lotus case tidak terdapat peraturan hukum internasional berkaitan dengan yurisdiksi pidana eksklusif dari negara bendera kapal yang terlibat dalam tabrakan itu dalam kaitannya dengan tindak pidana yang berlangsung diatas kapal tersebut dan bahwa yurisdiksi dapat dilaksanakan juga oleh negara bendera kapal atas kapal dimana tindak pidana yang mengakibatkan timbulnya tabrakan.
    Terkait dengan tanggung jawab pidana atau disiplin nahkoda atau setiap orang lainnya dalam kapal, maka tidak boleh ada penuntutan pidana atau disiplin terhadap orang-orang tersebut kecuali di hadapan peradilan atau pejabat-pejabat administrasi dari Negara bendera atau Negara dari mana orang tersebut menjadi warga Negara.
    Walaupun negara tidak dapat melaksanakan kekuasaannya di luar wilayahnya dalam hal tidak adanya ketentuan hukum internasional, namun tidak berarti hukum internasional melarang suatu negara melaksanakan jurisdiksinya sehubungan dengan kasus yang terjadi di luar negeri.
    Karena kapal Turki mengalami kerusakan maka sama saja telah terjadi kerusakan di wilayah Turki. Maka hal ini memungkinkan turki memberlakukan jurisdiksinya berdasarkan prinsip teritorial objektif, yaitu Jurisdiksi dimana tindakan tersebut diselesaikan, (karena tindakan itu terjadi pada kapal turki, maka sama saja terjadi di wilayah Turki), dengan jurisdiksi teritorial objektif ini, maka turki berhak menjalankan jurisdiksinya.
    Selain itu tindakan penangkapan kapten M. Demons yang dilakukan Turki adalah perwujudan dari asas perlindungan, guna pembelaan atas 8 korban awak kapal Turki. Dan asas Nasionalitas Pasif, bahwa suatu negara memiliki jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri.

    BalasHapus
  9. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  10. Nama : Fitriani
    Nim : 301151010014

    KASUS LOTUS CASE (Prancis dan Turki)

    Tanggal 2 Agustus 1926, terjadi tabrakan antara SS Lotus sebuah kapal uap Prancis dan SS-Boz Kourt sebuah kapal Turki di suatu daerah di utara Mytilene. Akibat dari kecelakaan itu, terdapat 8 warga Turki atas kapal-Boz Kourt tenggelam ketika kapal ditabrak oleh Kapal Lotus. Kapten kapal Lotus bernama M. Demons ditangkap pemerintah Turki. Beliau ditahan dan diadili Turki dengan alasan telah melakukan tindakan kejahatan pidana pembunuhan yang menimbulkan korban dan menyebabkan kerugian terhadap kapal tambang Turki. Pemerintah Prancis keberatan atas penahanan yang dilakukan Turki, dan pihak Turki tidak memiliki Jurisdiksi untuk mengadili perkara itu, dan berpandangan bahwa Negara Benderalah yang memiliki Jurisdiksi eksklusif atas kapal di laut lepas, sehingga permasalahan ini diajukan ke Mahkamah Internasional Permanen. menurut ketentuan mana mahkmah diharuskan untuk menerapkan kebiasaan Internasional ”sebagaimana terbukti dari praktek umum yang di terima sebagai hukum” dan juga di jumpai dalam pasal 53 konvensi wina mengenai hukum traktat yang menentukan bahwa suatu norma jus cogens haruslah suatu norma “yang di terima dan di akui oleh masyarakat Internasional Negara-negara secara keseluruhan”.
    KEPUTUSAN PERMANENT INTERNASIONAL COURT OF JUSTICE
    1. Memutuskan bahwa tidak ada kaidah kebiasaan yang memberikan yurisdiksi pidana eksklusif dalam kasus tabrakan di laut lepas dari pihak Negara bendera kapal, berkenaan dengan semua insiden di atas kapal, karena dari materi yang relevan yang dipertimbangkan, perundang-undangan nasional tidak konsisten, tidak ada kecenderungan yang seragam yang dapat disimpulkan dari traktat-traktat, serta adanya perbedaan pandangan di antara para sarjana. Untuk itu jurisdiksi dapat dilaksanakan juga oleh Negara bendera kapal atas kapal dimana tindak pidana yang mengakibatkan timbulnya tabrakan.
    2. Memutuskan bahwa tidak ada pembatasan atas pelaksanaan yurisdiksi oleh setiap Negara kecuali jika pembatasan itu dapat diperlihatkan dengan bukti konklusif yang keberadaannya sebagai suatu prinsip hukum Internasional. PCIJ tidak menerima tesis yang dikemukakan oleh Perancis bahwa suatu klaim yurisdiksi oleh suatu Negara harus dibenarkan oleh hukum Internasional dan praktek hukum Internasional. Kewajiban tersebut terletak di pihak Negara yang menyatakan bahwa pelaksanaan yurisdiksi itu sah, untuk memperlihatkan bahwa praktek jurisdiksi itu dilarang oleh hukum Internasional.
    3. Terkait dengan tanggung jawab pidana atau disiplin Nahkoda atau setiap orang lainnya dalam kapal, maka tidak boleh ada penuntutan pidana atau disiplin terhadap orang-orang tersebut kecuali di hadapan peradilan atau pejabat-pejabat Administrasi dari Negara bendera atau Negara dari mana orang tersebut menjadi warga Negara.
    ANALISIS PUTUSAN
    Dilihat dari Putusan Mahkamah Internasional Permanent, bahwa walaupun Negara tidak dapat melaksanakan kekuasaannya di luar wilayahnya dalam hal tidak adanya ketentuan hukum Internasional, namun tidak berarti hukum Internasional melarang suatu Negara melaksanakan jurisdiksinya sehubungan dengan kasus yang terjadi di luar Negeri. Mengenai Negara Bendera memiliki jurisdiksi eksklusif atas kapal laut lepas, dalam putusan Mahkamah, hukum Internasional tidak mengatur ketentuan tersebut. Dan karena kapal turki mengalami kerusakan maka sama saja telah terjadi kerusakan di wilayah turki. Maka hal ini memungkinkan turki memberlakukan jurisdiksinya berdasarkan prinsip territorial objektif, yaitu Jurisdiksi dimana tindakan tersebut diselesaikan, (karena tindakan itu terjadi pada kapal turki, maka sama saja terjadi di wilayah turki), dengan jurisdiksi territorial objektif ini, maka turki berhak menjalankan jurisdiksinya.
    Tindakan penangkapan kapten M. Demons yang dilakukan Turki adalah perwujudan dari asas perlindungan, guna pembelaan atas 8 korban awak kapal turki. Dan asas Nasionalitas Pasif, bahwa suatu negara memiliki jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga Negaranya di luar Negeri.

    BalasHapus
  11. Nama : Nolis Alkholifah
    Nim : 301151010023
    Fakta Hukum
    Pada tahun 1926 di laut lepas, sekitar luar wilayah perairan Turki telah terjadi tabrakan kapal uap antara kapal uap Turki ‘’Bozkourt’’ dengan kapal uap Prancis ‘’Lotus’’. kecelakaan tersebut telah menimbulkan delapan orang korban dari pihak Turki. Ketika kapal uap Lotus bersandar di pelabuhan Turki, kapten kapal Lotus yang bernama M. Demons di tangkap oleh pemerintah Turki sekaligus dimintai keterangan. M. Demons ditahan dan diadili oleh Turki dengan alasan telah melakukan tindakan kejahatan pidana pembunuhan yang telah menimbulkan korban.
    Pemerintah Prancis keberatan atas penahanan yang dilakukan Turki, karena dianggap tindakan itu tidak sejalan dengan hukum Internasional dan pihak Turki tidak memiliki jurisdiksi untuk mengadili perkara itu dan berpandangan bahwa negara benderalah yang memiliki jurisdiksi eksklusif atas kapal di laut lepas (floating island theory). Sehingga permasalahan ini di ajukan ke Mahkamah Internasional Permanen.
    => Analisis Kasus
    Prinsip jurisdiksi
    Mengenai kasus ini, berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional Permanen yang menegaskan bahwa meskipun suatu negara tidak dapat melaksanakan kekuasaannya diluar dari wilayahnya, hal ini tidak ada ketentuan didalam hukum internasional. namun tidak berarti bahwa hukum internasional melarang suatu negara untuk melaksanakan jurisdiksinya yang berhubungan dengan kasus yang terjadi di luar negeri.
    Mengenai pihak prancis yang mengatakan bahwa negara benderalah yang memiliki jurisdiksi ekslusif atas kapal laut di laut lepas, hukum internasional tidak mengatur mengenai ketentuan tersebut karena kedua kapal tersebut telah terlibat dalam kecelakaan yang sama jadi kedua negara sama-sama memiliki jurisdiksi atas kecelakaan tersebut. Hukum internasional memang memberikan jurisdiksi terhadap prancis tetapi tidak memberi mereka jurisdiksi secara ekslusif.
    Tindakan turki yang memberlakukan jurisdiksinya atas kecelakaan tersebut dikarenakan kapal turki yang telah mengalami kerusakan maka sama saja dengan telah terjadi kerusakan di wilayah turki. Hal ini sesuai dengan prinsip teritorial objektif yaitu jurisdiksi dimana tindakan tersebut diselesaikan. Oleh sebab itu turki melaksanakan jurisdiksinya. Selain itu juga mengenai tindakan turki yang melakukan penangkapan terhadap kapten M. Demons adalah merupakan perwujudan dari jurisdiksi menurut prinsip perlindungan yang mana berdasarkan prinsip ini suatu negara dapat melaksanakan jurisdiksinya terhadap warga-warga asing yang melakukan kejahatan diluar negeri yang diduga mengancam kepentingan keamanan, integritas dan kemerdekaan negara oleh karena itu berdasarkan prinsip ini turki melakukannya untuk pembelaan atas delapan korban dari kapal turki, dan prinsip Nasionalitas pasif yaitu membenarkan negara untuk menjalankan jurisdiksinya apabila warga negaranya menderita kerugian dan berdasarkan prinsip ini juga bahwa setiap negara berhak melindungi warga negaranya di luar negeri.

    BalasHapus
  12. NAMA : FAMILA RIO
    NIM : 301151010011


    Kasus Lotus antara Prancis VS Turki (1927)

    A. Fakta Hukum

    Pada tahun 1926 di laut lepas, sekitar luar wilayah perairan turki terjadi tabrakan kapal uap antara kapal uap Turki ‘Bozkourt’ dan kapal uap Prancis ‘Lotus’. Dalam kecelakaan itu menimbulkan 8 orang korban dari pihak Turki. Ketika kapal uap Lotus bersandar di pelabuhan turki, kapten kapal Lotus yang bernama M. Demons ditangkap oleh pemerintah Turki sekaligus dimintai keterangan. M. Demons ditahan dan diadili oleh Turki dengan alasan telah melakukan tindakan kejahatan pidana pembunuhan yang menimbulkan korban.

    Pemerintah Prancis keberatan atas penahanan yang dilakukan Turki, karena dianggap tindakan itu tidak sejalan dengan Hukum Internasionl, dan pihak Turki tidak memiliki Jurisdiksi untuk mengadili perkara itu, dan berpandangan bahwa negara benderalah yang memiliki Jurisdiksi eksklusif atas kapal di laut lepas (floating island theory). sehingga permasalahan ini diajukan ke Mahkamah Internasional Permanen.

    B. Permasalahan Hukum

    Ada beberapa masalah yang timbul dalam kasus ini :
    - Apakah ada ketentuan-ketentuan Hukum Internasional yang melarang turki melaksanakan Jurisdiksinya? (yakni mengadili orang asing ‘M.Demons’ di negaranya).
    - Apakah tindakan yang dilakukan Turki sesuai dengan perjanjian Lausanne, dan teori floating island?

    C. Putusan

    Mahkamah Internasional Permanent atau Permanent Court of International justice (PCIJ) menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan Turki adalah benar sesuai dengan Jurisdiksi negaranya. Dan tidak ada larangan dalam hukum kebiasaan internasional bagi suatu negara untuk menjalankan yurisdiksinya atas suatu tindakan pidana yang terjadi diluar negeri, dan merugikan negara tersebut.

    D. Analisa

    Dilihat dari Putusan Mahkamah Internasional Permanent, bahwa walaupun negara tidak dapat melaksanakan kekuasaannya di luar wilayahnya dalam hal tidak adanya ketentuan hukum internasional, namun tidak berarti hukum internasional melarang suatu negara melaksanakan jurisdiksinya sehubungan dengan kasus yang terjadi di luar negeri.

    Mengenai negara bendera memiliki jurisdiksi eksklusif atas kapal laut lepas, dalam putusan Mahkamah, hukum internasional tidak mengatur ketentuan tersebut. Dan karena kapal turki mengalami kerusakan maka sama saja telah terjadi kerusakan di wilayah turki. Maka hal ini memungkinkan turki memberlakukan jurisdiksinya berdasarkan prinsip territorial objektif, yaitu Jurisdiksi dimana tindakan tersebut diselesaikan, (karena tindakan itu terjadi pada kapal turki, maka sama saja terjadi di wilayah turki), dengan jurisdiksi territorial objektif ini, maka turki berhak menjalankan jurisdiksinya.

    Selain itu tindakan penangkaman kapten M. Demons yang dilakukan Turki adalah perwujudan dari asas perlindungan, guna pembelaan atas 8 korban awak kapal turki. Dan asas Nasionalitas Pasif, bahwa suatu negara memiliki jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri.

    BalasHapus
  13. Nama : YAHYA
    Nim : 301151010033
    Semester : III/B
    Fak : Hukum

    Analisi LOTUS CASE
    France vs Turkey (1927)
    Pada kasus ini,pada dasarnya Pengadilan harus memutuskan untuk menjawab dua pertanyaan yang muncul yaitu :
    1. Apakah Turki telah mengakui prinsip – prinsip kedudukan dan yurisdiksi ketika memiliki konflik dengan pihak Perancis pada masalah kapal uap Lotus dan Boz Kourt yang terjadi pada tanggal 2 Agustus 1926 di Konstantinopel, ketika kasus ini diajukan ke Pengadilan Turki melawan M.Demons, salah satu petugas di kapal Lotus, karena mengakibatkan kematian delapan pelaut dan penumpang Turki ?
    2. Apabila eksepsi diterima, apakah bentuk pembayaran yang harus dibayarkan oleh M.Demons sesuai dengan prinsip hukum internasional, apabila dikenakan pada kasus – kasus yang sama ?
    Setelah melalui berbagai pemeriksaan dan pengajuan opini yang sangat panjang, maka para hakim memutuskan bahwa sebenarnya tidak ada aturan hukum internasional dalam kasus – kasus seperti ini yang membolehkan pengadilan kriminal sebuah negara tidak dapat mengadili sebuah yurisdiksi dimana dikibarkan sebuah bendera negara. Para hakim memiliki berbagai pendapat, dan keputusan diambil melalui voting yang pada dasarnya pendapat hakim memutuskan bahwa dalam kasus ini Turki tidak mengakui prinsip yurisdiksi Perancis.
    Prinsip Teritorial. Untuk keputusan para hakim ini, Harris mengajukan pendapat Brierly bahwa alasan para hakim dalam mengambil keputusan ini datang dari pemikiran para positivis ekstrimis bahwa hukum datang dari kehendak bebas negara berdaulat dan dalam kasus ini para hakim saling berargumen apakah kehendak bebas bebas ini dapat diterapkan atau tidak. Harris kemudian mempertanyakan ada sebuah pendapat dari para hakim yaitu : wilayah hukum pidana / criminal law bukanlah prinsip absolut dalam hukum internasional dan tidak ada hubungannya dengan kedaulatan wilayah.
    Harris pada dasarnya tidak setuju dengan keputusan pengadilan ini dengan alasan yang sama dengan Dissenting Opinion dari Judge Moore bahwa pada saat ini telah diterima secara internasional kasus apapun yang terjadi di dalam yurisdiksi sebuah negara pastilah harus memakai hukum negara itu sendiri. Harris mengemukakan sebuah penelitian dari Harvard Research Draft Convention yaitu sebuah Negara diberikan yurisdiksi wilayah ketika sebuah kejahatan terjadi baik di seluruh maupun sebagian wilayahnya.
    Prinsip Personalitas Pasif. Untuk kasus ini, semua hakim yang memiliki Dissenting Opinion menolak memberlakukan asas ini, namun sangat berbeda dengan kasus – kasus yang terjadi di negara – negara Anglo – American yang mengakui adanya prinsip ini untuk kasus yang sama.

    BalasHapus
  14. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  15. Nama:Ahmad Fauzi
    Nim:301151010042

    kasul lotus case antara prancis dan turky

    Pada tahun 1926 di laut lepas, sekitar luar wilayah perairan turki terjadi tabrakan kapal uap antara kapal uap Turki ‘Bozkourt’ dan kapal uap Prancis ‘Lotus’. Dalam kecelakaan itu menimbulkan 8 orang korban dari pihak Turki. Ketika kapal uap Lotus bersandar di pelabuhan turki, kapten kapal Lotus yang bernama M. Demons ditangkap oleh pemerintah Turki sekaligus dimintai keterangan. M. Demons ditahan dan diadili oleh Turki dengan alasan telah melakukan tindakan kejahatan pidana pembunuhan yang menimbulkan korban.

    Pemerintah Prancis keberatan atas penahanan yang dilakukan Turki, karena dianggap tindakan itu tidak sejalan dengan Hukum Internasionl, dan pihak Turki tidak memiliki Jurisdiksi untuk mengadili perkara itu, dan berpandangan bahwa negara benderalah yang memiliki Jurisdiksi eksklusif atas kapal di laut lepas (floating island theory). sehingga permasalahan ini diajukan ke Mahkamah Internasional Permanen.
    Ada beberapa masalah yang timbul dalam kasus ini :
    - Apakah ada ketentuan-ketentuan Hukum Internasional yang melarang turki melaksanakan Jurisdiksinya? (yakni mengadili orang asing ‘M.Demons’ di negaranya).
    - Apakah tindakan yang dilakukan Turki sesuai dengan perjanjian Lausanne, dan teori floating island?
    Dalam keputusan Mahkamah Internasional Permanent atau Permanent Court of International justice (PCIJ) menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan Turki adalah benar sesuai dengan Jurisdiksi negaranya. Dan tidak ada larangan dalam hukum kebiasaan internasional bagi suatu negara untuk menjalankan yurisdiksinya atas suatu tindakan pidana yang terjadi diluar negeri, dan merugikan negara tersebut.
    Jadi dapat analisis Dilihat dari Putusan Mahkamah Internasional Permanent, bahwa walaupun negara tidak dapat melaksanakan kekuasaannya di luar wilayahnya dalam hal tidak adanya ketentuan hukum internasional, namun tidak berarti hukum internasional melarang suatu negara melaksanakan jurisdiksinya sehubungan dengan kasus yang terjadi di luar negeri.

    Mengenai negara bendera memiliki jurisdiksi eksklusif atas kapal laut lepas, dalam putusan Mahkamah, hukum internasional tidak mengatur ketentuan tersebut. Dan karena kapal turki mengalami kerusakan maka sama saja telah terjadi kerusakan di wilayah turki. Maka hal ini memungkinkan turki memberlakukan jurisdiksinya berdasarkan prinsip territorial objektif, yaitu Jurisdiksi dimana tindakan tersebut diselesaikan, (karena tindakan itu terjadi pada kapal turki, maka sama saja terjadi di wilayah turki), dengan jurisdiksi territorial objektif ini, maka turki berhak menjalankan jurisdiksinya.

    Selain itu tindakan penangkaman kapten M. Demons yang dilakukan Turki adalah perwujudan dari asas perlindungan, guna pembelaan atas 8 korban awak kapal turki. Dan asas Nasionalitas Pasif, bahwa suatu negara memiliki jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri.

    BalasHapus
  16. Nama: AMELIA LESTARI
    NIM: 301151010045

    Keputusan Permanent Court of Internasional Justice dalam Lotus case bahwa opinion Juris memutuskan bahwa:
    1. Tidak ada kaidah kebiasaan yang memberikan yurisdiksi pidana eksklusif dalam kasus tabrakan di laut lepas dari pihak Negara bendera kapal, berkenaan dengan semua insiden di atas kapal, karena dari materi yang relevan yang dipertimbangkan, perundang-undangan nasional tidak konsisten, tidak ada kecenderungan yang seragam yang dapat disimpulkan dari traktat traktat, serta adanya perbedaan pandangan di antara para sarjana. Untuk itu jurisdiksi dapat dilaksanakan juga oleh Negara bendera kapal atas kapal dimana tindak pidana yang mengakibatkan timbulnya tabrakan.
    2. Tidak ada pembatasa atas pelaksanaan yurisdiksi oleh setiap Negara kecuali jika pembatasan itu dapat diperlihatkan dengan bukti konklusif yang keberadaannya sebagai suatu prinsip hokum internasional. PCIJ tidak menerima tesis yang dikemukakan oleh Perancis bahwa suatu klaim yurisdiksi oleh suatu Negara harus dibenarkan oleh hokum internasional dan praktek hokum internasional. Kewajiban tersebut terletak di pihak Negara yang menyatakan bahwa pelaksanaan yurisdiksi itu sah, untuk mempelihatkan bahwa praktek jurisdiksi itu dilarang oleh hukum internasional.
    3. Terkait dengan tanggung jawab pidana atau disiplin nahkoda atau setiap orang lainnya dalam kapal, maka tidak boleh ada penuntutan pidana atau disiplin terhadap orang-orang tersebut kecuali di hadapan peradilan atau pejabat pejabat administrasi dari Negara bendera atau Negara dari mana orang tersebut menjadi warga Negara.

    ANALISIS KASUS
    Asas-asas Hukum Internasional yang berlaku adalah:
    1. Jurisdiksi atas Kapal
    Yaitu kebangsaan kapal laut mengikuti negara dimana kapal didaftarkan. Karenanya pendaftaran kapal menjadi bukti terciptanya status kebangsaan atas kapal yang ditunjukkan dengan bendera negara dimana kapal didaftarkan. Oleh karenanya bendera negara dan tanda-tanda negara menjadi bukti bagi kebangsaan suatu kapal. Adanya kebangsaan kapal ini menjadikan negara bendera memiliki kualitas sebagai penjamin dan pelindung atas kapal itu dalam kegiatannya. Kapal perang juga tunduk pada jurisdiksi negara bendera dan memiliki kekebalan terhadap jurisdiksi negara lain. Namun, jika kapal tersebut tidak menaati peraturan yang dikeluarkan oleh negara pantai mengenai lalu lintas laut territorial, maka negara pantai dapat menuntu kapal perang untuk segera meninggalkan laut teritorialnya.
    2. Asas Teritorial Objektif,
    Beberapa Negara melaksanakan jurisdiksinya terhadap pelanggar, yang pelanggarannya dimulai di Negara lain, tetapi diselesaikan di dalam wilayah mereka atau menimbulkan akibat yang merugikan ketertiban social di dalam wilayah mereka
    3. Jurisdiksi di Laut Lepas
    Yaitu setiap negara baik negara pantai maupun negara tidak berpantai mempunyai hak untuk melayarkan kapalnya di bawah bendera negaranya di laut lepas. Pelaksanaan jurisdiksi suatu negara di laut lepas ini sesuai dengan prinsip universal, yaitu setiap negara mempunyai jurisdiksi untuk mengadili tindak kejahatan tertentu yang terjadi atau dilakukan di laut lepas seperti pembajakan, perdagangan gelap obat narkotika atau bahan-bahan psokotropis, dll.

    4. Asas Nasionalitas Pasif
    Yaitu titik berat asas ini terletak pada usaha negara untuk melindungi kepentingan warga negaranya sendiri terhadap tindakan-tindakan atau perilaku orang asing yang merugikannya. Jadi, warga yang bukan warga negaranya ditundukkan di bawah hukum nasionalnya, disebabkan oleh karena perbuatan atau perilaku orang asing yang merugikan kepentingan warga negaranya dan orang asing itu dapat dihukum oleh negara yang dirugikan jika pelaku berada di wilayahnya.

    Dan dari keputusan mahkamah Internasional: walaupun negara tidak dapat melaksanakan kekuasaannya di luar wilayahnya dalam hal tidak adanya ketentuan hukum internasional, namun tidak berarti hukum internasional melarang suatu negara melaksanakan jurisdiksinya sehubungan dengan kasus yang terjadi di luar negeri.

    BalasHapus
  17. nama:fadly
    nim:301151010051


    1.Fakta Hukum
    Pada tahun 1926 di laut lepas, sekitar luar wilayah perairan turki terjadi tabrakan kapal uap antara kapal uap Turki ‘Bozkourt’ dan kapal uap Prancis ‘Lotus’. Dalam kecelakaan itu menimbulkan 8 orang korban dari pihak Turki. Ketika kapal uap Lotus bersandar di pelabuhan turki, kapten kapal Lotus yang bernama M. Demons ditangkap oleh pemerintah Turki sekaligus dimintai keterangan. M. Demons ditahan dan diadili oleh Turki dengan alasan telah melakukan tindakan kejahatan pidana pembunuhan yang menimbulkan korban.

    Pemerintah Prancis keberatan atas penahanan yang dilakukan Turki, karena dianggap tindakan itu tidak sejalan dengan Hukum Internasionl, dan pihak Turki tidak memiliki Jurisdiksi untuk mengadili perkara itu, dan berpandangan bahwa negara benderalah yang memiliki Jurisdiksi eksklusif atas kapal di laut lepas (floating island theory). sehingga permasalahan ini diajukan ke Mahkamah Internasional Permanen.

    2.Permasalahan Hukum
    Ada beberapa masalah yang timbul dalam kasus ini :
    1.Apakah ada ketentuan-ketentuan Hukum Internasional yang melarang turki melaksanakan Jurisdiksinya? (yakni mengadili orang asing ‘M.Demons’ di negaranya).
    2.Apakah tindakan yang dilakukan Turki sesuai dengan perjanjian Lausanne, dan teori floating island?

    3.Putusan
    Mahkamah Internasional Permanent atau Permanent Court of International justice (PCIJ) menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan Turki adalah benar sesuai dengan Jurisdiksi negaranya. Dan tidak ada larangan dalam hukum kebiasaan internasional bagi suatu negara untuk menjalankan yurisdiksinya atas suatu tindakan pidana yang terjadi diluar negeri, dan merugikan negara tersebut.

    4.Analisa
    Dilihat dari Putusan Mahkamah Internasional Permanent, bahwa walaupun negara tidak dapat melaksanakan kekuasaannya di luar wilayahnya dalam hal tidak adanya ketentuan hukum internasional, namun tidak berarti hukum internasional melarang suatu negara melaksanakan jurisdiksinya sehubungan dengan kasus yang terjadi di luar negeri.

    Mengenai negara bendera memiliki jurisdiksi eksklusif atas kapal laut lepas, dalam putusan Mahkamah, hukum internasional tidak mengatur ketentuan tersebut. Dan karena kapal turki mengalami kerusakan maka sama saja telah terjadi kerusakan di wilayah turki. Maka hal ini memungkinkan turki memberlakukan jurisdiksinya berdasarkan prinsip territorial objektif, yaitu Jurisdiksi dimana tindakan tersebut diselesaikan, (karena tindakan itu terjadi pada kapal turki, maka sama saja terjadi di wilayah turki), dengan jurisdiksi territorial objektif ini, maka turki berhak menjalankan jurisdiksinya.

    Selain itu tindakan penangkaman kapten M. Demons yang dilakukan Turki adalah perwujudan dari asas perlindungan, guna pembelaan atas 8 korban awak kapal turki. Dan asas Nasionalitas Pasif, bahwa suatu negara memiliki jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri.

    BalasHapus
  18. NAMA:RAMLI
    NIM:301151010029


    Pada tahun 1926 di laut lepas, sekitar luar wilayah perairan turki terjadi tabrakan kapal uap antara kapal uap Turki ‘Bozkourt’ dan kapal uap Prancis ‘Lotus’. Dalam kecelakaan itu menimbulkan 8 orang korban dari pihak Turki. Ketika kapal uap Lotus bersandar di pelabuhan turki, kapten kapal Lotus yang bernama M. Demons ditangkap oleh pemerintah Turki sekaligus dimintai keterangan. M. Demons ditahan dan diadili oleh Turki dengan alasan telah melakukan tindakan kejahatan pidana pembunuhan yang menimbulkan korban.
    Pemerintah Prancis keberatan atas penahanan yang dilakukan Turki, karena dianggap tindakan itu tidak sejalan dengan Hukum Internasionl, dan pihak Turki tidak memiliki Jurisdiksi untuk mengadili perkara itu, dan berpandangan bahwa negara benderalah yang memiliki Jurisdiksi eksklusif atas kapal di laut lepas (floating island theory). sehingga permasalahan ini diajukan ke Mahkamah Internasional Permanen.
    Ada beberapa masalah yang timbul dalam kasus ini :
    1.Apakah ada ketentuan-ketentuan Hukum Internasional yang melarang turki melaksanakan Jurisdiksinya? (yakni mengadili orang asing ‘M.Demons’ di negaranya).
    2.Apakah tindakan yang dilakukan Turki sesuai dengan perjanjian Lausanne, dan teori floating island?
    Mahkamah Internasional Permanent atau Permanent Court of International justice (PCIJ) menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan Turki adalah benar sesuai dengan Jurisdiksi negaranya. Dan tidak ada larangan dalam hukum kebiasaan internasional bagi suatu negara untuk menjalankan yurisdiksinya atas suatu tindakan pidana yang terjadi diluar negeri, dan merugikan negara tersebut.

    Analisa
    Dilihat dari Putusan Mahkamah Internasional Permanent, bahwa walaupun negara tidak dapat melaksanakan kekuasaannya di luar wilayahnya dalam hal tidak adanya ketentuan hukum internasional, namun tidak berarti hukum internasional melarang suatu negara melaksanakan jurisdiksinya sehubungan dengan kasus yang terjadi di luar negeri.

    Mengenai negara bendera memiliki jurisdiksi eksklusif atas kapal laut lepas, dalam putusan Mahkamah, hukum internasional tidak mengatur ketentuan tersebut. Dan karena kapal turki mengalami kerusakan maka sama saja telah terjadi kerusakan di wilayah turki. Maka hal ini memungkinkan turki memberlakukan jurisdiksinya berdasarkan prinsip territorial objektif, yaitu Jurisdiksi dimana tindakan tersebut diselesaikan, (karena tindakan itu terjadi pada kapal turki, maka sama saja terjadi di wilayah turki), dengan jurisdiksi territorial objektif ini, maka turki berhak menjalankan jurisdiksinya.

    Selain itu tindakan penangkaman kapten M. Demons yang dilakukan Turki adalah perwujudan dari asas perlindungan, guna pembelaan atas 8 korban awak kapal turki. Dan asas Nasionalitas Pasif, bahwa suatu negara memiliki jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri.

    BalasHapus
  19. Nama: SANRISISILIA
    NIM: 301151010044

    · KASUS LOTUS CASE ANTARA TURKI DAN PERANCIS

    Pada tanggal 2 Agustus 1926 telah terjadi tabrakan antara SS Lotus yang merupakan sebuah kapal uap Prancis dan SS-Boz Kourt yang merupakan sebuah kapal Turki, di suatu daerah di utara Mytilene. Sebagai akibat dari kecelakaan itu, terdapatlah delapan warga Turki atas kapal-Boz Kourt tenggelam ketika kapal itu ditabrak oleh Kapal Lotus. Kapten kapal Lotus yang bernama M. Demons ditangkap oleh pemerintah Turki sekaligus dimintai keterangan. M. Demons ditahan dan diadili oleh Turki dengan alasan telah melakukan tindakan kejahatan pidana pembunuhan yang menimbulkan korban dan menyebabkan kerugian terhadap kapal tambang Turki tersebut.Pemerintah Prancis keberatan atas penahanan yang dilakukan oleh pihak Turki di karenakan dianggap tindakan itu tidak sejalan dengan Hukum Internasionl, dan pihak Turki tidak memiliki Jurisdiksi untuk mengadili perkara itu, dan berpandangan bahwa negara benderalah yang memiliki Jurisdiksi eksklusif atas kapal di laut lepas . sehingga permasalahan ini diajukan ke Mahkamah Internasional Permanen. Pada tanggal 7 September 1927, yakni ketika belum adanya Perserikatan Bangsa-Bangsa, kasus tersebut diajukan Mahkamah Internasional Permanen (Permanent-ICJ), yang mana merupakan bagian yudisial dari Liga Bangsa-Bangsa (pendahulu Perserikatan Bangsa-Bangsa).
    · KEPUTUSAN PENGADILAN

    1. Memutuskan bahwa tidak ada kaidah kebiasaan yang memberikan yurisdiksi pidana eksklusif dalam kasus tabrakan di laut lepas dari pihak Negara bendera kapal, tidak ada kecenderungan yang seragam yang dapat disimpulkan dari traktat-traktat, serta adanya perbedaan pandangan di antara para sarjana. Untuk itu jurisdiksi dapat dilaksanakan juga oleh Negara bendera kapal atas kapal dimana tindak pidana yang mengakibatkan timbulnya tabrakan.

    2. Memutuskan bahwa tidak ada pembatasan atas pelaksanaan yurisdiksi oleh setiap Negara kecuali jika pembatasan itu dapat diperlihatkan dengan bukti konklusif yang keberadaannya sebagai suatu prinsip hokum internasional. PCIJ tidak menerima tesis yang dikemukakan oleh Perancis bahwa suatu klaim yurisdiksi oleh suatu Negara harus dibenarkan oleh hukum internasional dan praktek hokum internasional..

    3. Terkait dengan tanggung jawab pidana atau disiplin nahkoda atau setiap orang lainnya dalam kapal, maka tidak boleh ada penuntutan pidana atau disiplin terhadap orang-orang tersebut kecuali di hadapan peradilan atau pejabat-pejabat administrasi dari Negara bendera atau Negara dari mana orang tersebut menjadi warga Negara.

    · ANALISA KASUS

    Dalam Lotus case tidak terdapat peraturan hukum internasional berkaitan dengan yurisdiksi pidana eksklusif dari negara bendera kapal yang terlibat dalam tabrakan itu dalam kaitannya dengan tindak pidana yang berlangsung diatas kapal tersebut dan bahwa yurisdiksi dapat dilaksanakan juga oleh negara bendera kapal atas kapal dimana tindak pidana yang mengakibatkan timbulnya tabrakan. Walaupun negara tidak dapat melaksanakan kekuasaannya di luar wilayahnya dalam hal tidak adanya ketentuan hukum internasional, namun tidak berarti hukum internasional melarang suatu negara melaksanakan jurisdiksinya sehubungan dengan kasus yang terjadi di luar negeri. Karena kapal Turki mengalami kerusakan maka sama saja telah terjadi kerusakan di wilayah Turki. Maka hal ini memungkinkan turki memberlakukan jurisdiksinya berdasarkan prinsip territorial objektif, yaitu Jurisdiksi dimana tindakan tersebut diselesaikan, (karena tindakan itu terjadi pada kapal turki, maka sama saja terjadi di wilayah Turki), dengan jurisdiksi territorial objektif ini, maka turki berhak menjalankan jurisdiksinya. Selain itu tindakan penangkapan kapten M. Demons yang dilakukan Turki adalah perwujudan dari asas perlindungan, guna pembelaan atas 8 korban awak kapal Turki. Dan asas Nasionalitas Pasif, bahwa suatu negara memiliki jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri.

    BalasHapus
  20. NAMA : MUHAMMAD LATIF
    NIM : 301151010019
    FAKTA HUKUM
    1. Pada tanggal 2 agustus 1926 terjadi Tabrakan kapal uap milik Prancis "Lotus" dan kapal uap Turki "S.S Bozkourt" pada jarak 5 mil diutara tanjung sigli di laut lepas perairan Turki, akibatnya ada 8 orang (kru Kapal Turki) tewas.
    2. Sesampainya di dermaga pelabuhan Turki , M. Demons (kapten "Lotus") ditangkap pemerintah Turki. Setelah itu, Demons ditahan dan diadili karena melakukan kejahatan, dengan tuduhan tindak pidana pembunuhan, yang menimbulkan korban.
    3. Pada tanggal 3 agustus 1926, konsulat Jendral perancis menerina laporan dati Lotus, Pemerintah Prancis menyatakan keberatan atas penahanan yang dilakukan Turki, karena dianggap peristiwa tersebut terjadidi laut lepas dimana kedaulatan suatu kapal ditentukan oleh bendera yang terpasang dikapal ( floating island theory ), dan pihak Turki tidak berhak mengadili secara sepihak karena prancis juga memiliki kedaulatan diatas kapal miliknya.
    4. Pada tanggal 26 Oktober 1926, Perancis dan Turki sepakat untuk membawa masalah ini kehadapan PCIJ.
    ANALISA KASUS

    Perancis berpendapat bahwa Turki tidak memiliki Yurisdiksi untuk mengadili Demons karena dia adalah seorang warga Negara Perancis dan pada saat kejadian itu Negara bebderanya adalah Perancis. Selain itu Turki merupakan peserta dari KONVERSI LAUSANNE yang apabila dilihat dari pasal 15 dapat diartikan bahwa jika terjadi masalah mengenai Yurisdiksi antara Turki dan Negara peserta lainnya maka hal ini akan diselesaikan dengan prinsip hokum Internasional. Dilain pihak Turki dalam kasus ini melihat negaranya memiliki Yurisdiksi berdasarkan pasal 15 KONVERSI LAUSANNE 1923 sehingga tidak bertentangan dengan prinsip hukun Internasional.
    Hukum Internasional tidak membatasi Yurisdiksi yang dijalankan oleh setiap Negara kecuali jika pembatasan itu telah dibuktikan sebagai prinsip hukun Internasional. Dalam kasus Lotus walaupun Perancis beragunen hal ini tidaklah menjadi Yurisdiksi dari Turki karena Negara bendera pada saat itu adalah perancis namun pengadilan memutuskan karena prinsip ini belum diterima secara universal maka Turki dalam hal ini tidak melanggar hokum Internasional yaitu pasal 15 KONVERSI LAUSANNE 1923.

    PERJANJIAN LAUSANNE
    Perjanjian ini dibentuk pada 24 Juli 1923 di Lausanne, Swiss. yaitu penandatanganan antara Turki dan negara sekutu: Prancis, Inggris, Italia, Jepang, Yunani, Rumania, Serbia, Kroasia, dan Slovenia.
    Sebelumnya, pada 13 November 1918, terjadi penguasaan Istanbul, ibu kota Turki-Usmani, oleh tentara Inggris dan Perancis. Negara Inggris, Prancis, dan Italia telah berupaya memecah wilayah kekhalifahan Turki sejak awal 1915. Maka, dibentuk kesepakatan Sevres antara khalifah dan sekutu, pada 10 Agustus 1920. Namun, perjanjian ini merugikan Turki-Usmani karena kekhalifannya dijadikan boneka negara sekutu.
    Sebagai bentuk penolakan kesepakatan Sevres, muncullah Turkish Independent War. akhirnya, setelah perang ini berakhir muncul PERJANJIAN LAUSANNE.
    Kemudian, 20 November 1922, Perjanjian Lausanne menegaskan pemberian kemerdekaan kepada Turki dengan 4 syarat:
    1. Penghapusan Khilafah secara total 2. Pengusiran Khalifah sampai keluar batas negara 3. Penyitaan kekayaan Khalifah 4. Pernyataan sekularisasi negara
    Hubungan Lotus Case dengan perjanjian ini adalah atas penegasan poin ke-2 diatas, Turki menegaskan batas wilayahya, merupakan Yurisdiksi negaranya. Bahwa negara manapun yang melewati wilayahnya walaupun kapal berbendera negara asing, maka negara tersebut harus tunduk hukum yang berlaku di negara Turki.

    BalasHapus
  21. NAMA : HABIBI
    NIM : 301151010037

    ANALISIS KASUS LOTUS CASE ANTARA TURKI DAN PRANCIS
    1.Fakta Hukum
    Pada tahun 1926 di laut lepas, sekitar luar wilayah perairan turki terjadi tabrakan kapal uap antara kapal uap Turki ‘Bozkourt’ dan kapal uap Prancis ‘Lotus’. Dalam kecelakaan itu menimbulkan 8 orang korban dari pihak Turki. Ketika kapal uap Lotus bersandar di pelabuhan turki, kapten kapal Lotus yang bernama M. Demons ditangkap oleh pemerintah Turki sekaligus dimintai keterangan. M. Demons ditahan dan diadili oleh Turki dengan alasan telah melakukan tindakan kejahatan pidana pembunuhan yang menimbulkan korban.
    Pemerintah Prancis keberatan atas penahanan yang dilakukan Turki, karena dianggap tindakan itu tidak sejalan dengan Hukum Internasionl, dan pihak Turki tidak memiliki Jurisdiksi untuk mengadili perkara itu, dan berpandangan bahwa negara benderalah yang memiliki Jurisdiksi eksklusif atas kapal di laut lepas (floating island theory). sehingga permasalahan ini diajukan ke Mahkamah Internasional Permanen.
    2.Permasalahan Hukum
    Ada beberapa masalah yang timbul dalam kasus ini :
    •Apakah ada ketentuan-ketentuan Hukum Internasional yang melarang turki melaksanakan Jurisdiksinya? (yakni mengadili orang asing ‘M.Demons’ di negaranya).
    •Apakah tindakan yang dilakukan Turki sesuai dengan perjanjian Lausanne, dan teori floating island?
    3.Putusan
    Mahkamah Internasional Permanent atau Permanent Court of International justice (PCIJ) menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan Turki adalah benar sesuai dengan Jurisdiksi negaranya. Dan tidak ada larangan dalam hukum kebiasaan internasional bagi suatu negara untuk menjalankan yurisdiksinya atas suatu tindakan pidana yang terjadi diluar negeri, dan merugikan negara tersebut.
    4.Analisis
    Dilihat dari Putusan Mahkamah Internasional Permanent, bahwa walaupun negara tidak dapat melaksanakan kekuasaannya di luar wilayahnya dalam hal tidak adanya ketentuan hukum internasional, namun tidak berarti hukum internasional melarang suatu negara melaksanakan jurisdiksinya sehubungan dengan kasus yang terjadi di luar negeri.
    Mengenai negara bendera memiliki jurisdiksi eksklusif atas kapal laut lepas, dalam putusan Mahkamah, hukum internasional tidak mengatur ketentuan tersebut. Dan karena kapal turki mengalami kerusakan maka sama saja telah terjadi kerusakan di wilayah turki. Maka hal ini memungkinkan turki memberlakukan jurisdiksinya berdasarkan prinsip territorial objektif, yaitu Jurisdiksi dimana tindakan tersebut diselesaikan, (karena tindakan itu terjadi pada kapal turki, maka sama saja terjadi di wilayah turki), dengan jurisdiksi territorial objektif ini, maka turki berhak menjalankan jurisdiksinya.
    Selain itu tindakan penangkaman kapten M. Demons yang dilakukan Turki adalah perwujudan dari asas perlindungan, guna pembelaan atas 8 korban awak kapal turki. Dan asas Nasionalitas Pasif, bahwa suatu negara memiliki jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri.

    BalasHapus
  22. NAMA : YUNI HASTUTI
    NIM : 301151010034
    ANALISIS KASUS LOTUS CASE ANTARA TURKI DAN PRANCIS
    1.FAKTA HUKUM
    a.Pada tanggal 2 Agustus 1926 terjadi tabrakan antara SS Lotus, sebuah kapal uap Prancis dengan SS-Boz Kourt, sebuah kapal Turki, di suatu daerah di utara Mytilene. Delapan warga Turki atas kapal Boz Kourt tenggelam akibat kecelakaan tersebut.
    b.Kapten kapal Lotus yang bernama M. Demons ditangkap oleh pemerintah Turki sekaligus dimintai keterangan. M. Demons ditahan dan diadili oleh Turki dengan alasan telah melakukan tindakan kejahatan pidana pembunuhan yang menimbulkan korban dan menyebabkan kerugian terhadap kapal tambang Turki.
    c.Pemerintah Prancis keberatan atas penahanan yang dilakukan Turki karena dianggap tindakan itu tidak sejalan dengan Hukum Internasional dan pihak Turki tidak memiliki Jurisdiksi untuk mengadili perkara itu, serta berpandangan bahwa negara benderalah yang memiliki Jurisdiksi eksklusif atas kapal di laut lepas (floating island theory).
    d.Pada tanggal 7 September 1927, ketika belum adanya Perserikatan Bangsa-Bangsa, kasus tersebut diajukan Mahkamah Internasional Permanen (Permanent-ICJ), yang mana merupakan bagian yudisial dari Liga Bangsa-Bangsa (pendahulu Perserikatan Bangsa-Bangsa).
    2.ANALISIS KASUS
    Asas-asas Hukum Internasional yang berlaku adalah
    a.Jurisdiksi atas Kapal
    Kebangsaan kapal laut mengikuti negara dimana kapal didaftarkan. Karenanya pendaftaran kapal menjadi bukti terciptanya status kebangsaan atas kapal yang ditunjukkan dengan bendera negara dimana kapal didaftarkan. Oleh karenanya bendera negara dan tanda-tanda negara menjadi bukti prima facie bagi kebangsaan suatu kapal. Adanya kebangsaan kapal ini menjadikan negara bendera memiliki kualitas sebagai penjamin (guarantor) dan pelindung (protector) atas kapal itu dalam kegiatannya (pengaturan lebih lanjut terdapat dalam pasal 91, 92, 94 UNCLOS 1982). Kapal perang juga tunduk pada jurisdiksi negara bendera dan memiliki kekebalan terhadap jurisdiksi negara lain. Namun, jika kapal tersebut tidak menaati peraturan yang dikeluarkan oleh negara pantai mengenai lalu lintas laut territorial, maka negara pantai dapat menuntu kapal perang untuk segera meninggalkan laut teritorialnya.
    Terdapat dua teori mengenai kapal-kapal perang dan kapal pemerintah yang dioperasikan
    b.Asas Teritorial Objektif
    Beberapa Negara melaksanakan jurisdiksinya terhadap pelanggar, yang pelanggarannya dimulai di Negara lain, tetapi diselesaikan di dalam wilayah mereka atau menimbulkan akibat yang merugikan ketertiban social di dalam wilayah mereka.
    c.Jurisdiksi di Laut Lepas
    Setiap negara baik negara pantai (coastal state) maupun negara tidak berpantai (land locked state) mempunyai hak untuk melayarkan kapalnya di bawah bendera negaranya di laut lepas (Pasal 90 UNCLOS 1982). Pelaksanaan jurisdiksi suatu negara di laut lepas ini sesuai dengan prinsip universal, yaitu setiap negara mempunyai jurisdiksi untuk mengadili tindak kejahatan tertentu yang terjadi atau dilakukan di laut lepas seperti pembajakan, perdagangan gelap obat narkotika atau bahan-bahan psokotropis, dll.
    d.Asas Nasionalitas Pasif
    Titik berat asas ini terletak pada usaha negara untuk melindungi kepentingan warga negaranya sendiri terhadap tindakan-tindakan atau perilaku orang asing yang merugikannya. Jadi, warga yang bukan warga negaranya ditundukkan di bawah hukum nasionalnya, disebabkan oleh karena perbuatan atau perilaku orang asing yang merugikan kepentingan warga negaranya dan orang asing itu dapat dihukum oleh negara yang dirugikan jika pelaku berada di wilayahnya.

    BalasHapus
  23. Nama : SHATBER SAHAT SIMANJUNTAK
    NIM : 301151010032
    KELAS : III/B

    KASUS LOTUS CASE ANTARA PERANCIS DAN TURKI
    TENTANG KAPAL TABRAKAN DI LAUT LEPAS

    FAKTA HUKUM
    a.) Pada tanggal 2 Agustus 1926, terjadi tabrakan antara SS Lotus, sebuah kapal uap Prancis dan SS-Boz Kourt sebuah kapal Turki, di lautan di utara Mytilene. Sebagai akibat dari kecelakaan itu, terdapatlah delapan warga Turki atas kapal-Boz Kourt tenggelam ketika kapal itu ditabrak oleh Kapal Lotus.
    b.) Kapten kapal Lotus yang bernama M. Demons ditangkap oleh pemerintah Turki sekaligus dimintai keterangan. M. Demons ditahan dan diadili oleh Turki dengan alasan telah melakukan tindakan kejahatan pidana pembunuhan yang menimbulkan korban dan menyebabkan kerugian terhadap kapal tambang Turki.
    c.) Pemerintah Prancis keberatan atas penahanan yang dilakukan Turki, karena dianggap tindakan itu tidak sejalan dengan Hukum Internasionl, dan pihak Turki tidak memiliki Jurisdiksi untuk mengadili perkara itu, dan berpandangan bahwa negara benderalah yang memiliki Jurisdiksi eksklusif atas kapal di laut lepas (floating island theory), sehingga permasalahan ini diajukan ke Mahkamah Internasional Permanen.
    d.) Pada tanggal 7 September 1927, yakni ketika belum adanya Perserikatan Bangsa-Bangsa, kasus tersebut diajukan Mahkamah Internasional Permanen (Permanent-ICJ), yang mana merupakan bagian yudisial dari Liga Bangsa-Bangsa (pendahulu Perserikatan Bangsa-Bangsa).
    MASALAH HUKUM
    a.) Bagaimana PCIJ (Permanenent Court of International Justice) menyelesaikan perkara tersebut menggunakan kebiasaan internasional?
    b.) Apakah ada ketentuan kebiasaan internasional yang mengatur mengenai kasus tersebut?
    c.) Apakah ada ketentuan-ketentuan Hukum Internasional yang melarang Turki melaksanakan Jurisdiksinya? (yakni mengadili orang asing ‘M.Demons’ di negaranya).
    PUTUSAN PENGADILAN
    Prinsip atau pendekatan Lotus, biasanya dianggap sebagai dasar hukum internasional, mengatakan bahwa negara-negara berdaulat dapat bertindak dengan cara apapun yang mereka inginkan asalkan tidak bertentangan dengan larangan eksplisit. Prinsip ini – hasil dari kasus Lotus – kemudian ditolak oleh pasal 11 dari Tinggi Konvensi Laut 1958.Konvensi, yang diadakan di Jenewa, meletakkan penekanan pada fakta bahwa hanya negara atau bendera negara yang tersangka pelaku adalah yang memiliki yurisdiksi nasional atas pelaut tentang insiden yang terjadi di laut lepas.
    Keputusan dalam perkara ini adalah, diantaranya:
    1. Memutuskan bahwa tidak ada kaidah kebiasaan yang memberikan yurisdiksi pidana eksklusif dalam kasus tabrakan di laut lepas dari pihak Negara bendera kapal, berkenaan dengan semua insiden di atas kapal, karena dari materi yang relevan yang dipertimbangkan, perundang-undangan nasional tidak konsisten, tidak ada kecenderungan yang seragam yang dapat disimpulkan dari traktat-traktat, serta adanya perbedaan pandangan di antara para sarjana.Untuk itu jurisdiksi dapat dilaksanakan juga oleh Negara bendera kapal atas kapal dimana tindak pidana yang mengakibatkan timbulnya tabrakan.
    2. Memutuskan bahwa tidak ada pembatasan atas pelaksanaan yurisdiksi oleh setiap Negara kecuali jika pembatasan itu dapat diperlihatkan dengan bukti konklusif yang keberadaannya sebagai suatu prinsip hokum internasional. PCIJ tidak menerima tesis yang dikemukakan oleh Perancis bahwa suatu klaim yurisdiksi oleh suatu Negara harus dibenarkan oleh hukum internasional dan praktek hokum internasional.Kewajiban tersebut terletak di pihak Negara yang menyatakan bahwa pelaksanaan yurisdiksi itu sah, untuk mempelihatkan bahwa praktek jurisdiksi itu dilarang oleh hukum internasional.
    3. Terkait dengan tanggung jawab pidana atau disiplin nahkoda atau setiap orang lainnya dalam kapal, maka tidak boleh ada penuntutan pidana atau disiplin terhadap orang-orang tersebut kecuali di hadapan peradilan atau pejabat-pejabat administrasi dari Negara bendera atau Negara dari mana orang tersebut menjadi warga Negara.

    BalasHapus
  24. Nama : SHATBER SAHAT SIMANJUNTAK
    NIM : 301151010032
    KELAS : III/B

    ANALISA KASUS
    Hukum Internasional sebagian besar terdiri dari kaidah-kaidah kebiasaan. Kaidah-kaidah ini pada umumnya telah menjalani suatu proses sejarah yang panjang yang berpuncak pada pengakuan oleh masyarakat internasional.[1]Kebiasaan sebagaimana dimaksudkan oleh hukum adalah suatu adat istiadat yang telah memperoleh kekuatan hukum. Hukum Kebiasaan internasional adalah kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum.Agar kebiasaan internasional dapat dikatakan sebagai hukum harus memenuhi kedua unsur berikut yaitu harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum dan kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum.Kedua unsur itu dapat dinamakan unsur material dan unsur psikologis.[2]
    Unsur pertama yaitu unsur material memerlukan adanya suatu kebiasaan yang merupakan suatu pola tindak yang berlangsung lama.Selain itu kebiasaan yang berlangsung lama itu harus bersifat umum dan bertalian dengan hubungan internasional. Unsur kedua yaitu unsur psikologis menghendaki bahwa kebiasaan Internasional dirasakan memenuhi suruhan kaidah atau kewajiban hukum atau seperti dikatakan dalam bahasa latin Opinio Juris Sive Necessitative .
    Tampak dari keputusan Permanenent Court of International Justice dalam Lotus case bahwa Opinio Juris merupakan suatu hal yang merupakan kesimpulan dari semua keadaan, bukan semata-mata tindakan terinci yang merupakan unsur materi dari apa yang dinyatakan kaidah kebiasaan.
    PCIJ (Permanenent Court of International Justice) memutuskan bahwa tidak ada kaidah kebiasaan yang memberikan yurisdiksi pidana eksklusif dalam kasus tabrakan kapal di laut lepas dari pihak negara bendera kapal berkenaan dengan semua insiden diatas kapal karena dari materi yang relevan yang dipertimbangkan perundang-undangan nasional tidak konsisten keputusan –keputusan pengadilan nasional yang saling bertentangan tidak ada kecenderungan yang seragam yang dapat disimpulkan dari trakta-traktat serta adanya perbedaan pandangan diantara para sarjana.
    Dalam Lotus case tidak terdapat peraturan hukum internasional berkaitan dengan yurisdiksi pidana eksklusif dari negara bendera kapal yang terlibat dalam tabrakan itu dalam kaitannya dengan tindak pidana yang berlangsung diatas kapal tersebut dan bahwa yurisdiksi dapat dilaksanakan juga oleh negara bendera kapal atas kapal dimana tindak pidana yang mengakibatkan timbulnya tabrakan.
    Walaupun negara tidak dapat melaksanakan kekuasaannya di luar wilayahnya dalam hal tidak adanya ketentuan hukum internasional, namun tidak berarti hukum internasional melarang suatu negara melaksanakan jurisdiksinya sehubungan dengan kasus yang terjadi di luar negeri.
    Karena kapal Turki mengalami kerusakan maka sama saja telah terjadi kerusakan di wilayah Turki. Maka hal ini memungkinkan Turki memberlakukan jurisdiksinya berdasarkan prinsip territorial objektif, yaitu Jurisdiksi dimana tindakan tersebut diselesaikan, (karena tindakan itu terjadi pada kapal Turki, maka sama saja terjadi di wilayah Turki), dengan jurisdiksi territorial objektif ini, maka Turki berhak menjalankan jurisdiksinya.
    Selain itu tindakan penangkapan kapten M. Demons yang dilakukan Turki adalah perwujudan dari asas perlindungan, guna pembelaan atas 8 korban awak kapal Turki.Dan asas Nasionalitas Pasif, bahwa suatu negara memiliki jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri.


    BalasHapus
  25. NAMA : ARDIANTO
    NIM : 301151010004

    KASUS POSISI

    Kasus Lotus merupakan kasus yang terjadi pada 2 Agustus 1926 dikarenakan oleh adanya tabrakan antara SS Lotus, sebuah kapal uap Prancis dan SS-Boz Kourt, sebuah kapal Turki, di suatu daerah di utara Mytilene. Sebagai akibat dari kecelakaan itu, terdapatlah delapan warga Turki atas kapal-Boz Kourt tenggelam ketika kapal itu ditabrak oleh Kapal Lotus. Kapten kapal Lotus yang bernama M. Demons ditangkap oleh pemerintah Turki sekaligus dimintai keterangan. M. Demons ditahan dan diadili oleh Turki dengan alasan telah melakukan tindakan kejahatan pidana pembunuhan yang menimbulkan korban dan menyebabkan kerugian terhadap kapal tambang Turki.

    Pemerintah Prancis keberatan atas penahanan yang dilakukan Turki, karena dianggap tindakan itu tidak sejalan dengan Hukum Internasionl, dan pihak Turki tidak memiliki Jurisdiksi untuk mengadili perkara itu, dan berpandangan bahwa negara benderalah yang memiliki Jurisdiksi eksklusif atas kapal di laut lepas (floating island theory). sehingga permasalahan ini diajukan ke Mahkamah Internasional Permanen.

    Pada tanggal 7 September 1927, yakni ketika belum adanya Perserikatan Bangsa-Bangsa, kasus tersebut diajukan Mahkamah Internasional Permanen (Permanent-ICJ), yang mana merupakan bagian yudisial dari Liga Bangsa-Bangsa (pendahulu Perserikatan Bangsa-Bangsa).

    ANALISIS PUTUSAN

    Dilihat dari Putusan Mahkamah Internasional Permanent, bahwa walaupun negara tidak dapat melaksanakan kekuasaannya di luar wilayahnya dalam hal tidak adanya ketentuan hukum internasional, namun tidak berarti hukum internasional melarang suatu negara melaksanakan jurisdiksinya sehubungan dengan kasus yang terjadi di luar negeri.

    Mengenai negara bendera memiliki jurisdiksi eksklusif atas kapal laut lepas, dalam putusan Mahkamah, hukum internasional tidak mengatur ketentuan tersebut. Dan karena kapal turki mengalami kerusakan maka sama saja telah terjadi kerusakan di wilayah turki. Maka hal ini memungkinkan turki memberlakukan jurisdiksinya berdasarkan prinsip territorial objektif, yaitu Jurisdiksi dimana tindakan tersebut diselesaikan, (karena tindakan itu terjadi pada kapal turki, maka sama saja terjadi di wilayah turki), dengan jurisdiksi territorial objektif ini, maka turki berhak menjalankan jurisdiksinya.

    Selain itu tindakan penangkaman kapten M. Demons yang dilakukan Turki adalah perwujudan dari asas perlindungan, guna pembelaan atas 8 korban awak kapal turki. Dan asas Nasionalitas Pasif, bahwa suatu negara memiliki jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri.

    BalasHapus
  26. NAMA: RIEKE GUSNIANTY
    NIM : 301151010048

    "LOTUS CASE"
    Pada tahun 1926 di laut lepas, sekitar luar wilayah perairan turki terjadi tabrakan kapal uap antara kapal uap Turki ‘Bozkourt’ dan kapal uap Prancis ‘Lotus’. Dalam kecelakaan itu menimbulkan 8 orang korban dari pihak Turki. Ketika kapal uap Lotus bersandar di pelabuhan turki, kapten kapal Lotus yang bernama M. Demons ditangkap oleh pemerintah Turki sekaligus dimintai keterangan. M. Demons ditahan dan diadili oleh Turki dengan alasan telah melakukan tindakan kejahatan pidana pembunuhan yang menimbulkan korban.
    Pemerintah Prancis keberatan atas penahanan yang dilakukan Turki, karena dianggap tindakan itu tidak sejalan dengan Hukum Internasionl, dan pihak Turki tidak memiliki Jurisdiksi untuk mengadili perkara itu, dan berpandangan bahwa negara benderalah yang memiliki Jurisdiksi eksklusif atas kapal di laut lepas (floating island theory). sehingga permasalahan ini diajukan ke Mahkamah Internasional Permanen.
    Dari hasil penyelidikan, mahkamah berpendapat bahwa suatu negara tidak dapat melaksanakan kekuasaan di luar wilayahnya.
    Mahkamah menolak argumentasi Prancis bahwa negara benderalah yang memiliki yurisdiksi eksklusif atas kapal di laut lepas. Mahkamah berpendapat bahwa tidak ada ketentuan tentang hal ini dalam hukum internasional dan menyatakan pula bahwa kerusakan terhadap kapal Turki sama saja dengan kerusakan terhadap wilayah Turki. Hal ini memungkinkan Turki melaksanakan yurisdiksinya berdasarkan prinsip teritorial obyektif. Namun, lanjut pengadilan, hal tersebut tidak berarti bahwa hukum internasional melarang suatu negara melaksanakan yurisdiksi di dalam wilayahnya sehubungan dengan setiap perkara (sengketa) yang terjadi di luar negeri.
    Dari sengketa ini dapat disimpulkan bahwa prinsip yurisdiksi teritorial dapat pula berlaku terhadap kejahatan yang dilakukan tidak hanya di wilayah negara yang bersangkutan, tapi juga dalam atau di luar laut teritorial, yakni terhadap sengketa-sengketa tertentu yang terjadi di jalur tambahan atau di laut lepas yaitu manakala negara tersebut adalah negara bendera kapal (Negara yang berkaitan dengan kapal yang berlayar, dengan disimbolkan bendera suatu Negara).

    BalasHapus
  27. NAMA : AYU FITRIA NURWAHIDAH HAKIM
    NIM : 301151010050
    ANALISIS KASUS LOTUS CASE ANTARA TURKI DAN PRANCIS

    Pada tahun 1926 di laut lepas, sekitar luar wilayah perairan turki terjadi tabrakan kapal uap antara kapal uap Turki ‘Bozkourt’ dan kapal uap Prancis ‘Lotus’. Dalam kecelakaan itu menimbulkan 8 orang korban dari pihak Turki. Ketika kapal uap Lotus bersandar di pelabuhan turki, kapten kapal Lotus yang bernama M. Demons ditangkap oleh pemerintah Turki sekaligus dimintai keterangan. M. Demons ditahan dan diadili oleh Turki dengan alasan telah melakukan tindakan kejahatan pidana pembunuhan yang menimbulkan korban.

    Pemerintah Prancis keberatan atas penahanan yang dilakukan Turki, karena dianggap tindakan itu tidak sejalan dengan Hukum Internasionl, dan pihak Turki tidak memiliki Jurisdiksi untuk mengadili perkara itu, dan berpandangan bahwa negara benderalah yang memiliki Jurisdiksi eksklusif atas kapal di laut lepas (floating island theory). sehingga permasalahan ini diajukan ke Mahkamah Internasional Permanen.
    Mahkamah Internasional Permanent atau Permanent Court of International justice (PCIJ) menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan Turki adalah benar sesuai dengan Jurisdiksi negaranya. Dan tidak ada larangan dalam hukum kebiasaan internasional bagi suatu negara untuk menjalankan yurisdiksinya atas suatu tindakan pidana yang terjadi diluar negeri, dan merugikan negara tersebut.
    Dilihat dari Putusan Mahkamah Internasional Permanent, bahwa walaupun negara tidak dapat melaksanakan kekuasaannya di luar wilayahnya dalam hal tidak adanya ketentuan hukum internasional, namun tidak berarti hukum internasional melarang suatu negara melaksanakan jurisdiksinya sehubungan dengan kasus yang terjadi di luar negeri.

    Mengenai negara bendera memiliki jurisdiksi eksklusif atas kapal laut lepas, dalam putusan Mahkamah, hukum internasional tidak mengatur ketentuan tersebut. Dan karena kapal turki mengalami kerusakan maka sama saja telah terjadi kerusakan di wilayah turki. Maka hal ini memungkinkan turki memberlakukan jurisdiksinya berdasarkan prinsip territorial objektif, yaitu Jurisdiksi dimana tindakan tersebut diselesaikan, (karena tindakan itu terjadi pada kapal turki, maka sama saja terjadi di wilayah turki), dengan jurisdiksi territorial objektif ini, maka turki berhak menjalankan jurisdiksinya.

    Selain itu tindakan penangkaman kapten M. Demons yang dilakukan Turki adalah perwujudan dari asas perlindungan, guna pembelaan atas 8 korban awak kapal turki. Dan asas Nasionalitas Pasif, bahwa suatu negara memiliki jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri.

    BalasHapus
  28. NAMA : AGUS SUSANTO
    NIM : 301151010049
    ANALISIS KASUS LOTUS CASE ANTARA TURKI DAN PRANCIS

    Kasus Lotus merupakan kasus yang terjadi pada 2 Agustus 1926 dikarenakan oleh adanya tabrakan antara SS Lotus, sebuah kapal uap Prancis dan SS-Boz Kourt, sebuah kapal Turki, di suatu daerah di utara Mytilene. Sebagai akibat dari kecelakaan itu, terdapatlah delapan warga Turki atas kapal-Boz Kourt tenggelam ketika kapal itu ditabrak oleh Kapal Lotus. Kapten kapal Lotus yang bernama M. Demons ditangkap oleh pemerintah Turki sekaligus dimintai keterangan. M. Demons ditahan dan diadili oleh Turki dengan alasan telah melakukan tindakan kejahatan pidana pembunuhan yang menimbulkan korban dan menyebabkan kerugian terhadap kapal tambang Turki.
    Pemerintah Prancis keberatan atas penahanan yang dilakukan Turki, karena dianggap tindakan itu tidak sejalan dengan Hukum Internasionl, dan pihak Turki tidak memiliki Jurisdiksi untuk mengadili perkara itu, dan berpandangan bahwa negara benderalah yang memiliki Jurisdiksi eksklusif atas kapal di laut lepas (floating island theory). sehingga permasalahan ini diajukan ke Mahkamah Internasional Permanen. Pada tanggal 7 September 1927, yakni ketika belum adanya Perserikatan Bangsa-Bangsa, kasus tersebut diajukan Mahkamah Internasional Permanen (Permanent-ICJ), yang mana merupakan bagian yudisial dari Liga Bangsa-Bangsa (pendahulu Perserikatan Bangsa-Bangsa.

    Hukum Internasional sebagian besar terdiri dari kaidah-kaidah kebiasaan. Kaidah-kaidah ini pada umumnya telah menjalani suatu proses sejarah yang panjang yang berpuncak pada pengakuan oleh masyarakat internasional. Kebiasaan sebagaimana dimaksudkan oleh huku, adalah suatu adat istiadat yang telah memperoleh kekuatan hukum. Hukum Kebiasaan internasional adalah kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum. Agar kebiasaan internasional dapat dikatakan sebagai hukum harus memenuhi kedua unsur berikut yaitu harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum dan kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum. Kedua unsur itu dapat dinamakan unsur material dan unsur psikologis.

    Dalam Lotus case tidak terdapat peraturan hukum internasional berkaitan dengan yurisdiksi pidana eksklusif dari negara bendera kapal yang terlibat dalam tabrakan itu dalam kaitannya dengan tindak pidana yang berlangsung diatas kapal tersebut dan bahwa yurisdiksi dapat dilaksanakan juga oleh negara bendera kapal atas kapal dimana tindak pidana yang mengakibatkan timbulnya tabrakan.

    Karena kapal Turki mengalami kerusakan maka sama saja telah terjadi kerusakan di wilayah Turki. Maka hal ini memungkinkan turki memberlakukan jurisdiksinya berdasarkan prinsip territorial objektif, yaitu Jurisdiksi dimana tindakan tersebut diselesaikan, (karena tindakan itu terjadi pada kapal turki, maka sama saja terjadi di wilayah Turki), dengan jurisdiksi territorial objektif ini, maka turki berhak menjalankan jurisdiksinya. Selain itu tindakan penangkapan kapten M. Demons yang dilakukan Turki adalah perwujudan dari asas perlindungan, guna pembelaan atas 8 korban awak kapal Turki. Dan asas Nasionalitas Pasif, bahwa suatu negara memiliki jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri.

    BalasHapus
  29. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  30. Nama Sri ramadhana
    nim 301151010046

    Analisa kasus lotus case Perancis vs Turki
    Putusan

    Mahkamah Internasional Permanent atau Permanent Court of International justice (PCIJ) menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan Turki adalah benar sesuai dengan Jurisdiksi negaranya. Dan tidak ada larangan dalam hukum kebiasaan internasional bagi suatu negara untuk menjalankan yurisdiksinya atas suatu tindakan pidana yang terjadi diluar negeri, dan merugikan negara tersebut.

    Analisa

    Dilihat dari Putusan Mahkamah Internasional Permanent, bahwa walaupun negara tidak dapat melaksanakan kekuasaannya di luar wilayahnya dalam hal tidak adanya ketentuan hukum internasional, namun tidak berarti hukum internasional melarang suatu negara melaksanakan jurisdiksinya sehubungan dengan kasus yang terjadi di luar negeri.

    Mengenai negara bendera memiliki jurisdiksi eksklusif atas kapal laut lepas, dalam putusan Mahkamah, hukum internasional tidak mengatur ketentuan tersebut. Dan karena kapal turki mengalami kerusakan maka sama saja telah terjadi kerusakan di wilayah turki. Maka hal ini memungkinkan turki memberlakukan jurisdiksinya berdasarkan prinsip territorial objektif, yaitu Jurisdiksi dimana tindakan tersebut diselesaikan, (karena tindakan itu terjadi pada kapal turki, maka sama saja terjadi di wilayah turki), dengan jurisdiksi territorial objektif ini, maka turki berhak menjalankan jurisdiksinya.

    Selain itu tindakan penangkaman kapten M. Demons yang dilakukan Turki adalah perwujudan dari asas perlindungan, guna pembelaan atas 8 korban awak kapal turki. Dan asas Nasionalitas Pasif, bahwa suatu negara memiliki jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri.

    BalasHapus
  31. Nama : Sarayudi Bastian
    Nim : 301151010031

    Analisis Kasus Lotus Case Perancis dan Turki

    Dari hasil penyelidikan, Mahkamah berpendapat bahwa suatu Negara tidak dapat melaksanakan kekuasaan di luar wilayahnya. Pernyataan Mahkamah berbunyi sebagai berikut :
    “The first and foremost restriction imposed by International Law upon a state is that-failing the existence of a permissive rule to the contrary-it may not exercise its power in any form in the territory of another state”.
    Mahkamah Internasional Permanent atau Permanent Court of International justice (PCIJ) menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan Turki adalah benar sesuai dengan Jurisdiksi negaranya. Dan tidak ada larangan dalam hukum kebiasaan internasional bagi suatu negara untuk menjalankan Jurisdiksinya atas suatu tindakan pidana yang terjadi diluar negeri, dan merugikan negara tersebut.

    Analisa
    Dilihat dari Putusan Mahkamah Internasional Permanen, bahwa walaupun negara tidak dapat melaksanakan kekuasaannya di luar wilayahnya dalam hal tidak adanya ketentuan hukum internasional, namun tidak berarti hukum internasional melarang suatu negara melaksanakan Jurisdiksinya sehubungan dengan kasus yang terjadi di luar negeri.
    Mengenai negara bendera memiliki Jurisdiksi eksklusif atas kapal laut lepas, dalam putusan Mahkamah, hukum internasional tidak mengatur ketentuan tersebut. Dan karena kapal Turki mengalami kerusakan di Laut lepas, maka sama saja telah terjadi kerusakan di wilayah Turki. Maka hal ini memungkinkan Turki memberlakukan Jurisdiksinya berdasarkan prinsip territorial objektif, yaitu Jurisdiksi dimana tindakan tersebut diselesaikan, (karena tindakan itu terjadi pada kapal Turki, maka sama saja terjadi di wilayah Turki), dengan Jurisdiksi territorial objektif ini, maka Turki berhak menjalankan Jurisdiksinya.
    Selain itu tindakan penangkapan kapten M. Demons yang dilakukan Turki adalah perwujudan dari asas perlindungan, guna pembelaan atas 8 korban awak kapal Turki. Dan asas Nasionalitas Pasif, bahwa suatu negara memiliki Jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri.
    Dari sengketa ini dapat disimpulkan bahwa prinsip Jurisdiksi territorial dapat pula berlaku terhadap kejahatan yang dilakukan tidak hanya di wilayah Negara yang bersangkutan, tapi juga di dalam atau di luar laut territorial, yakni terhadap sengketa-sengketa tertentu yang terjadi di jalur tambahan atau di laut lepas yaitu manakala Negara tersebut adalah Negara bendera kapal.

    BalasHapus
  32. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  33. Nama : Sarayudi Bastian
    Nim : 301151010031

    Analisis Kasus Lotus Case Perancis dan Turki

    Dari hasil penyelidikan, Mahkamah berpendapat bahwa suatu Negara tidak dapat melaksanakan kekuasaan di luar wilayahnya. Pernyataan Mahkamah berbunyi sebagai berikut :
    “The first and foremost restriction imposed by International Law upon a state is that-failing the existence of a permissive rule to the contrary-it may not exercise its power in any form in the territory of another state”.

    Mahkamah Internasional Permanent atau Permanent Court of International justice (PCIJ) menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan Turki adalah benar sesuai dengan Jurisdiksi negaranya. Dan tidak ada larangan dalam hukum kebiasaan internasional bagi suatu negara untuk menjalankan Jurisdiksinya atas suatu tindakan pidana yang terjadi diluar negeri, dan merugikan negara tersebut.

    Analisa :
    Dilihat dari Putusan Mahkamah Internasional Permanen, bahwa walaupun negara tidak dapat melaksanakan kekuasaannya di luar wilayahnya dalam hal tidak adanya ketentuan hukum internasional, namun tidak berarti hukum internasional melarang suatu negara melaksanakan Jurisdiksinya sehubungan dengan kasus yang terjadi di luar negeri.

    Mengenai negara bendera memiliki Jurisdiksi eksklusif atas kapal laut lepas, dalam putusan Mahkamah, hukum internasional tidak mengatur ketentuan tersebut. Dan karena kapal Turki mengalami kerusakan di Laut lepas, maka sama saja telah terjadi kerusakan di wilayah Turki. Maka hal ini memungkinkan Turki memberlakukan Jurisdiksinya berdasarkan prinsip territorial objektif, yaitu Jurisdiksi dimana tindakan tersebut diselesaikan, (karena tindakan itu terjadi pada kapal Turki, maka sama saja terjadi di wilayah Turki), dengan Jurisdiksi territorial objektif ini, maka Turki berhak menjalankan Jurisdiksinya.

    Selain itu tindakan penangkapan kapten M. Demons yang dilakukan Turki adalah perwujudan dari asas perlindungan, guna pembelaan atas 8 korban awak kapal Turki. Dan asas Nasionalitas Pasif, bahwa suatu negara memiliki Jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri.

    Dari sengketa ini dapat disimpulkan bahwa prinsip Jurisdiksi territorial dapat pula berlaku terhadap kejahatan yang dilakukan tidak hanya di wilayah Negara yang bersangkutan, tapi juga di dalam atau di luar laut territorial, yakni terhadap sengketa-sengketa tertentu yang terjadi di jalur tambahan atau di laut lepas yaitu manakala Negara tersebut adalah Negara bendera kapal.

    BalasHapus
  34. Nama : Didi Syaputra
    Nim : 301151010007


    Dalam hal ini PCIJ menemukan bahwa kedua kapal tersebut terlibat dalam satu kecelakaan yang sama, jadi kedua negara ini sama-sama memiliki yurisdiksi atas kecelakaan tersebut. Namun PCIJ menemukan suatu hukum kebiasaan internasional yang memberi yurisdiksi pada prancis, akan tetapi tidak memberi mereka yurisdiksi eksklusif "di bawah hukum internasional, semua yang tidak dilarang diperbolehkan".

    Kasus ini mengarah pada prinsip lotus (pendekatan lotus), yang berbunyi kekuasaan negara dapat bertindak bagaimanapun juga sebatas mereka tidak melanggar hukum yang tertulis.
    Namun prinsip lotus ini telah disempurnakan oleh 1958 High Seas Convention dalam pasal 11 Ayat (1).

    Dalam sengketa lotus case, permasalahan kedaulatan negara diluar wilayah teritorial menjadi faktor utama, dimana Turki melakukan tindakan asas perlindungan, guna pembelaan atas 8 korban awak kapal Turki, dan asas nasionalitas pasif yang berarti bahwa suatu negara memiliki jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri.

    Dilihat dari Putusan Mahkamah Internasional Permanen, bahwa walaupun negara tidak dapat melaksanakan kekuasaannya di luar wilayahnya dalam hal tidak adanya ketentuan hukum internasional, namun tidak berarti hukum internasional melarang suatu negara melaksanakan jurisdiksinya sehubungan dengan kasus yang terjadi di luar negeri.

    Mengenai negara bendera memiliki jurisdiksi eksklusif atas kapal laut lepas, dalam putusan Mahkamah Internasional Permanen, hukum internasional tidak mengatur ketentuan tersebut. Tetapi karena kapal Turki mengalami kerusakan maka sama saja telah terjadi kerusakan di wilayah Turki tersebut. Maka hal ini memungkinkan Turki memberlakukan jurisdiksinya berdasarkan prinsip teritorial objektif, yaitu jurisdiksi dimana tindakan tersebut diselesaikan, (karena tindakan itu terjadi pada kapal Turki, maka sama saja terjadi di wilayah Turki), dengan jurisdiksi teritorial objektif ini, maka turki berhak menjalankan jurisdiksinya.

    Selain itu tindakan penangkaman kapten M. Demons yang dilakukan Turki adalah perwujudan dari asas perlindungan, guna pembelaan atas 8 korban awak kapal Turki. Dan asas Nasionalitas Pasif, bahwa suatu negara memiliki jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri.

    BalasHapus
  35. NAMA :YUSRI
    NIM : 301151010025

    KASUS HUKUM
    1. Kasus Lotus merupakan kasus yang terjadi pada 2 Agustus 1926 dikarenakan oleh adanya tabrakan antara SS Lotus, sebuah kapal uap Prancis dan SS-Boz Kourt, sebuah kapal Turki, di suatu daerah di utara Mytilene. Sebagai akibat dari kecelakaan itu, terdapatlah delapan warga Turki atas kapal-Boz Kourt tenggelam ketika kapal itu ditabrak oleh Kapal Lotus.
    2. Kapten kapal Lotus yang bernama M. Demons ditangkap oleh pemerintah Turki sekaligus dimintai keterangan. M. Demons ditahan dan diadili oleh Turki dengan alasan telah melakukan tindakan kejahatan pidana pembunuhan yang menimbulkan korban dan menyebabkan kerugian terhadap kapal tambang Turki.
    3. Pemerintah Prancis keberatan atas penahanan yang dilakukan Turki, karena dianggap tindakan itu tidak sejalan dengan Hukum Internasionl, dan pihak Turki tidak memiliki Jurisdiksi untuk mengadili perkara itu, dan berpandangan bahwa negara benderalah yang memiliki Jurisdiksi eksklusif atas kapal di laut lepas (floating island theory). sehingga permasalahan ini diajukan ke Mahkamah Internasional Permanen.
    4. Pada tanggal 7 September 1927, yakni ketika belum adanya Perserikatan Bangsa-Bangsa, kasus tersebut diajukan Mahkamah Internasional Permanen (Permanent-ICJ), yang mana merupakan bagian yudisial dari Liga Bangsa-Bangsa (pendahulu Perserikatan Bangsa-Bangsa).

    ANALISA
    Dilihat dari Putusan Mahkamah Internasional Permanent, bahwa walaupun negara tidak dapat melaksanakan kekuasaannya di luar wilayahnya dalam hal tidak adanya ketentuan hukum internasional, namun tidak berarti hukum internasional melarang suatu negara melaksanakan jurisdiksinya sehubungan dengan kasus yang terjadi di luar negeri.
    Mengenai negara bendera memiliki jurisdiksi eksklusif atas kapal laut lepas, dalam putusan Mahkamah, hukum internasional tidak mengatur ketentuan tersebut. Dan karena kapal turki mengalami kerusakan maka sama saja telah terjadi kerusakan di wilayah turki. Maka hal ini memungkinkan turki memberlakukan jurisdiksinya berdasarkan prinsip territorial objektif, yaitu Jurisdiksi dimana tindakan tersebut diselesaikan, (karena tindakan itu terjadi pada kapal turki, maka sama saja terjadi di wilayah turki), dengan jurisdiksi territorial objektif ini, maka turki berhak menjalankan jurisdiksinya.
    Selain itu tindakan penangkaman kapten M. Demons yang dilakukan Turki adalah perwujudan dari asas perlindungan, guna pembelaan atas 8 korban awak kapal turki. Dan asas Nasionalitas Pasif, bahwa suatu negara memiliki jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri.

    BalasHapus