Dalam Jurnal Mahkamah, Vol 5 No. Tahun 2013 ISSN 1979-7427
Abstract
Diplomacy can be defined as the art
and practice of negotiation between representatives of the country or group of
countries. practice of diplomacy has long been done by giving priority to peace
for a common goal or shared interest. This is very effective because in
addition to saving the cost and casualties, diplomacy also helped improve
relations between countries. Settlement of the Israeli-Palestinian conflict is
believed to facilitate the settlement of other problems in the region. However,
in the Israeli Palestinian conflict and diplomacy that has been done rarely
produce results. So it is necessary to study the extent to which the
effectiveness of diplomacy in resolving conflicts that have lasted this long.
Is effective diplomacy is still maintained, if maintained it must find the
right instrument. If not, then what is the most effective way.
A.
PENDAHULUAN
Secara
sederhana, diplomasi dapat didefinisikan sebagai seni dan praktik negosiasi
antara wakil-wakil dari negara atau sekelompok negara. Istilah ini biasanya
merujuk pada diplomasi internasional, dimana hubungan internasional melalui
perantara diplomat profesional terkait isu-isu perdamaian, perdagangan, perang,
ekonomi dan budaya. Begitu pula perjanjian internasional yang biasanya
dinegosiasikan oleh para diplomat sebelum disetujui oleh politisi nasional
dalam negeri.
Geoffrey
McDermott mengatakan diplomasi adalah pertimbangan dalam manajemen hubungan
internasional. Masing-masing Negara, seberapapun kualitasnya dan ukurannya,
selalu ingin memelihara/ mengembangkan posisinya dalam kancah internasional.
Menurut The Chamber’s Twentieth Century Dictionary[2], diplomasi adalah
“the art of negotiation, especially of
treaties between states; political skill.” (seni berunding, khususnya
tentang perjanjian di antara negara-negara; keahlian politik).
Berabad-abad silam praktek diplomasi sudah lama dilakukan
dengan mengutamakan perdamaian untuk tujuan bersama atau kepentingan bersama.
Hal ini sangat efektif karena selain menghemat biaya dan tidak menelan korban
jiwa, diplomasi juga membantu memperbaiki hubungan antar negara. Biasanya, orang menganggap diplomasi sebagai cara
mendapatkan keuntungan dengan kata-kata yang halus. Perjanjian-perjanjian
internasional umumnya dirundingkan oleh para diplomat terlebih
dahulu sebelum disetujui oleh pembesar-pembesar negara. Istilah diplomacy
diperkenalkan ke dalam bahasa Inggris oleh Edward Burke pada tahun 1796 berdasarkan sebuah
kata dari bahasa Perancis yaitu diplomatie.[3]
Diplomasi menjadi sebuah insterument politik luar
negeri yang sangat diutamakan, mengingat sudah banyak juga konflik-konflik lama
yang belum diselesaikan akibat dampak dari perang dunia ke-1 dan ke-2 ditambah
lagi permasalahan-permasalahan baru mengenai terorisme, isu lingkungan, serta
isu-isu kontemporer lainnya.
Diplomasi terbagi menjadi dua bentuk, yaitu diplomasi
bilateral dan diplomasi multilateral. Diplomasi bilateral adalah diplomasi yang
dilakukan oleh dua Negara saja. Dan diplomasi multilateral adalah diplomasi
yang dilakukan oleh lebih dari dua Negara. Posisi tawar (Bergaining) sebuah Negara dalam diplomasi sangat menentukan sebuah
Negara dalam dinamika politik global. Posisi bargaining ini biasanya menjadi sangat berpengaruh dalam bentuk
diplomasi multilateral. Karena tidak semua perjanjian yang biasanya terjadi
dalam sebuah diplomasi multilateral dapat disetujui oleh beberapa Negara. Untuk
itu pengajuan bargaining ini sebagai
bagian dalam diplomasi sangat diperlukan untuk menyetarakan dengan perjanjian
yang akan dibentuknya.[4]
Timur
Tengah merupakan kawasan yang mempunyai daya tarik tersediri bagi setiap orang
dan setiap negara. Dunia tidak akan melepaskan pandangannya dari kawasan ini,
jika dilihat dari aspek historis, kawasan ini adalah tempat diturunkannya
agama-agama samawi (Agama langit) dengan penganut terbesar seperti Islam,
Yahudi, dan Nasrani. Dari aspek ekonomi, negara-negara yang berada di kawasan
ini adalah penghasil minyak dan gas terbesar, yang selama ini menjadi penopang
kebutuhan dunia akan energi, dan dari aspek politik dan keamanan, kawasan ini
memiliki letak geografis yang sangat strategis.
Semenjak akhir tahun 1940an, konflik yang paling
berpengaruh terhadap kawasan timur tengah itu adalah Israel-Palestina dan aktor-aktor
lain seperti Syria, Mesir, dan Lebanon merupakan bagian dari serangkaian upaya
dalam mengkondisikan konflik yang terjadi, namun kedamaian yang terjadi di
timur tengah ini bergantung kepada Israel-Palestina. Konflik ini mencapai
titik puncaknya sejak dikeluarkannya Resolusi Majelis Umum PBB No. 181 tahun 1947.[5] Resolusi ini membagi
wilayah Palestina menjadi tiga bagian yaitu: wilayah Arab Palestina, wilayah
Israel, dan Yerussalem sebagai wilayah yang dikelolah oleh Dunia Internasional.
Pada tanggal 29 November tahun 1947 Israel melanggar Resolusi
ini dengan mengklaim Jerusalem sebagai jantung kota Israel.[6] Bangsa
Palestina kemudian keberatan, dengan menolak pembagian tersebut karena penduduk
Palestina lebih mayoritas dan lebih dahulu mendiami wilayah tersebut
dibandingkan Israel.
Anggota
Kongres Amerika Serikat, Lewrence H. Smith mengungkapkan dengan jelas
keterlibatan negaranya dalam penentuan Resolusi nomor 181 tahun 1947, dalam
suratnya kepada kongres Amerika Serikat, 18 Desember 1947, Lewrence H. Smith
mengungkapkan bahwa untuk perolehan duapertiga suara di Majelis Umum PBB agar Resolusi
itu sah maka delegasi Amerika Serikat
melakukan tekanan kepada tiga negara kecil yaitu Liberia, Haiti, dan Philipina,
awalnya ketiga negara ini tidak ingin memberikan dukungan suara mereka.[7]
Bagi rakyat Palestina Resolusi PBB ini merupakan
suatu kebijakan yang semakin memperburuk kondisi mereka, namun sebaliknya bagi Israel,
Resolusi ini merupakan legitimasi yang semakin memperkuat posisinya terhadap
kepemilikan wilayah Palestina, sehingga muncul banyak perlawanan yang dilakukan
oleh rakyat Palestina. Gerakan-gerakan Aliansi regional untuk mematahkan
Resolusi ini banyak muncul dikawasan Timur Tengah, diantaranya Front timur yang
terdiri dari Suriah, Irak dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).[8]
Ketegangan selanjutnya terjadi pada tahun 1967,
dimana peperangan antara Israel menghadapi gabungan tiga negara Arab yakni
Mesir, Yordania, dan Suriah yang mendapatkan bantuan aktif dari Irak, Kuait,
Arab Saudi, Sudan dan Aljasair. Perang ini dikenal
dengan Perang Enam Hari Arab-Israel yang belangsung selama 132 jam 30 menit.[9] Dalam perang tahun 1967 ini Israel berhasil mencaplok Jerusalem Timur
secara resmi menyatakan Jerusalem adalah ibu kota Israel, Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 242 dan 338 tahun
1967 mengharuskan Israel keluar dari Jerusalem, namun Israel hanya menyerahkan
Sinai kepada Mesir. Kekalahan bangsa
Arab dari Israel pada perang
tahun 1967, merupakan penguat eksistensi Resolusi PBB No 242 yang justru lebih
menguntungkan Israel.
Selanjutnya penyerahan persoalan Palestina kepada Palestinian Liberation
Organization (PLO)[10]
merupakan penegasan eksistensi bahwasanya PLO merupakan satu-satunya lembaga
konstitusional bagi Palestina. PLO yang sebelumnya tidak berkompromi dengan
Israel, Setelah perang 1967 mulai berubah. Kekalahan perang 1967 melemahkan PLO
dan berakhir pada kepindahannya dari Lebanon, dan kecenderungan di dalam PLO
untuk berdamai dengan Israel mulai menguat, konsesi dalam perdamaian tersebut termasuk dua
masalah yang mendasar, pertama; mengakui entitas Zionis[11]
dan haknya untuk ada di Palestina dan kedua; memberikan sebagian besar
Palestina kepada Zionis.[12]
Posisi bangsa Arab pada awalnya sangat kuat,
sehingga diselenggarakanlah konferensi Khourtoum pada Mei 1967 dimana para
raja, pemimpin, dan Emirat Arab memutuskan bahwa tidak ada perdamaian,
negosiasi, dan tidak ada perdamaian dengan Israel. Pada
tanggal 6 Oktober 1973 perang Arab-Israel pecah. Pasukan Arab berhasil meraih
kemenangan pada peperangan ini dan berhasil memasuki Sinai. Israel tidak
berhasil memanfaatkan bantuan dari angkatan udara Amerika Serikat. Perang ini
sebenarnya merupakan kemenangan yang besar bagi Mesir dan Suriah. Namun,
pemimpin Mesir Anwar Sadat lmemilih jalan perdamaian yang ditandai dengan kunjungannya
ke Jerusalem pada tahun 1977 ditandatanganinya Perjanjian Camp David dimana isi perjanjian ini mempelopori
eksisnya Resolusi PBB No 242.
Pada
tahun 1993 diselenggarakan lagi perjanjian Oslo, isinya penarikan pemukiman Yahudi dan kota Jerusalem Timur
ditunda pada perundingan final, tanpa ada jaminan Israel tidak mengubah keadaan
lapangan yang menguntungkan Israel, perdebatan antara para delegasi dan
pimpinan PLO terjadi cukup sengit, namun sudah terlambat, karena Yasser
Arafat telah menyetujuinya dengan
Yitzhak Rabin saat itu.[13]
Tahap
diplomasi selanjutnya adalah Kesepakatan Wye
River dibuat pada bulan Oktober
tahun 1998, adalah sebuah persetujuan
perdamaian bagi Yasser Arafat sebagai langkah penyelamatan bahwasanya Kesepakatan
Oslo masih dapat dipertahankan,
isinya yang menyangkut mengenai Kemanan[14] yaitu Yasser Arafat harus
menerima penarikan pasukan Israel tahap
kedua saja dari Tepi Barat dengan menunda penarikan tahap ketiga sedang Benyamin
Netanyahu juga harus menerima Palestina tidak akan menyerahkan kelompok anti
Israel. Kesepakatan inipun sebagian besar berkisar tentang keamanan rakyat Israel dan negara Israel.
Dalam
kerangka Multilateral PBB
banyak mengeluarkan resolusi-resolusinya kepada Israel, baik berupa seruan
lunak maupun mendesak agar Israel mengambil atau menahan diri dari
tindakan-tindakan tertentu, hingga pesan-pesan lebih tajam menuntut tindakan
Israel dan mengecam tindakannya.[15] Majelis Umum PBB sangat
sering mengecam pendudukan Israel atas Palestina, pelanggaran-pelanggaran
terhadap hak-hak asasi bangsa Palestina dalam pendudukan,
pelanggaran-pelanggarannya terhadap Konvensi Jenewa Keempat, klaimya atas
Jerusalem sebagai ibu kotanya, namun
Israel tidak mengacuhkannya dan tetap menjalankan prinsipnya.
Sejak diklaimnya Palestina sebagai teritorial negara Israel, maka Israel mulai melakukan pembangunan
pemukiman di wilayah Palestina dengan dua proses evekuasi dan
substitusi. Proses evakuasi dan substitusi yaitu dengan mengosongkan
wilayah dan mengganti penduduknya dengan
bangsa Yahudi yang
dilakukan dengan cara kekerasan dan pembunuhan terhadap penduduk sipil Palestina. Hal ini sesuai dengan
kebijakan
utama politik luar negeri Israel adalah ekspansi wilayah , yang dapat dilihat dari dikuasainya 80% wilayah
Palestina pada tahun 1949, jauh melebihi bagian yang ditetapkan PBB pada tahun
1947 yaitu hanya sebesar 56%. Proses substitusi rakyat Palestina dengan penduduk Israel mencapai proporsi yang sulit dipecahkan, selain
itu pemerintahan Israel menghancurkan tempat ibadah Islam dan Kristen dan pada bulan Mei 1949 kemudian Israel membangun 1.947 pemukiman baru dan bulan Oktober 1947 imigran
Yahudi berdatangan ke wilyah Palestina, jumlah mereka mencapai
25.255 imigran.[16]
Pemukiman-pemukiman Yahudi yang didirikan di
atas tanah milik bangsa Palestina di wilayah-wilayah pendudukan menjadi
rintangan serius bagi usaha mencapai perdamaian. Sejak 1967 Israel menduduki Jerusalem Timur Arab, Tepi
Barat, Dataran Tinggi Golan, dan Jalur Gaza
melalui tindak kekerasan dan pada saat yang sama terus mendirikan
pemukiman-pemukiman Yahudi di semua wilayah tersebut. [17] Hal ini merupakan tindakan yang
tidak sesuai dengan ketentuan internasional bagi penguasa pendudukan untuk
memindahkan penduduk dari negaranya dalam jumlah yang signifikan ke dalam
wilayah yang diduduki.
Palestina menuntut agar israel
meninggalkan jalur Gaza serta mengosongkan wilayah Tepi Barat sesuai sseperti
sebelum perang 1967.mengembalikan 3,5 pengungsi Palestina dari pengasingan
serta membebaskan sekitar 7.000 tahanan Palestina di penjara – penjara Israel.
Palestina juga menuntut agar Israel membongkar pagar pembatas yang tingginya 7
meter serta panjangnya 750 km yang baru dibangun untuk mengahalangi kaum
militan masuk, pagar yang disebut arafat Tembok Berlin baru yang panjangnya
dimulai dari kota Jenin hingga ke selatan Bersheba di jalur Gaza, Serta Israel
harus menghentikan pengambilan sumber air dari Galilea, Tiberas dan Dataran
tinggi Golan. Sedangkan Israel menghendaki agar kaum militan menghentikan
serangannya dan perlucutan senjata hingga level zero untuk menjaga keamanan dan memepertahankan jerussalem hentikan
serangan kaum militan, perlucutan senjata pasukan keamanan hingga ke level zero
cukup untuk menjaga keamanan internal (polisi) dan mempertahankan Yerusalem.[18]
Kelemahan pemikir politik bangsa Arab telah
mencapai titik kritis yang menimbulkan sikap pesimis dan putus asa bagi rakyat
Palestina yang telah membolehkan adanya perjanjian tersebut dengan harapan
perjanjian tersebut dapat memberikan keuntungan bagi rakyat Palestina. Diantara
hal lain yang dirasakan sangat memprihatinkan adalah pemikiran bangsa Arab
ketika itu yang berbaik sangka kepada Israel dimana perdamaian dan keadilan
hak-hak rakyat Palestina akan dikembalikan ketika bangsa Palestina memulai
untuk melaksanakan perjanjian ini, Arab telah kehilangan kesadaran dan menjauhi
realitas bahwasanya antara keduanya (Arab-Israel) tidak akan pernah ada
perdamaian.
B. Pembahasan
1. Diplomasi
Kata Diplomasi berasal
kata Yunani yaitu “Diploun” yang berarti “melipat”. Pada masa itu kekaisaran
Romawi menggunakan piringan cetak logam sebagai bentuk paspor yang melewati
jalan negara atau surat-surat jalan. Kemudian istilah ini berkembang dan
mencakup dokumen-dokumen resmi khususnya pemberian hak istimewa tertentu
menyangkut perjanjian dengan bangsa asing di luar bangsa Romawi.
Dokumen-dokumen dari perjanjian yang bertumpuk inilah kemudian dilipat. [19]
Kemudian seiring
berjalannya waktu serta perubahan zaman, diplomasi dikaitkan dengan hal-hal
yang berhubungan dengan hubungan internasional dalam pencapaian kepentingan
nasional. Maka makna diplomasi berkembang menjadi suatu keahlian atau kemampuan
atas keberhasilan di dunia hubungan internasional. Diplomasi lalu dipandang
sebagai kemampuan seseorang dalam melakukan perundingan atau negosiasi dengan
pihak lain, baik bilateral maupun multilateral yang menghasilkan suatu
kesepakatan yang disetujui oleh semua pihak. Dalam suatu negosiasi kepentingan
nasional suatu negara yang diwakili oleh orang-orang yang berkompeten dalam
bidang ini atau disebut Diplomat tetaplah yang paling utama. Hans-George Wieck
menyatakan :
Diplomacy as a concept to help solving
international problems by way of meaningful and professionally conducted
negotiations is certainly still valid – if not even more valid than in the
past. Such diplomacy constitutes an extremely prestigious mission for the sake
of the international community, not simply for governments, but for the public
in general affected in so many ways by the conduct of international affairs.[20]
Oleh karena unsur-unsur penting didalam diplomasi adalah
menyangkut sebuah negosiasi yang mengedepankan kepentingan nasional, dan dengan
jalan yang damai. Pemeliharaan perdamaian tanpa merusak kepentingan nasional
adalah menjadi salah satu tujuan utama diplomasi. Namun selain itu teknik
diplomasi juga sering dipakai untuk menyiapkan perang, karena berkaitan erat
dengan tujuan dan politik luar negeri serta sistem suatu negara yang diwakili
oleh para perwakilan negara atau diplomat.[21]
Hans-George Wieck menyatakan :
It is safe to say that diplomacy
has assumed a new meaning and dimension
under the conditions of a shrinking world and in the age of multiple
communications available to governments, enterprise, science, media and last
but not least to the human being and the civil society or civic society of
which the citizens are an integral part, a notion you cannot find in any
encyclopaedia of the last century.[22]
Meski diplomasi berkaitan
erat dengan kepentingan dan politik luar negeri suatu negara dan berujung pada
pencapaian kepentingan nasional namun bukan berarti diplomasi hanya dilakukan
antara pemerintah dengan pemerintah saja atau yang kita kenal dengan First
Track Diplomacy atau Government to
Government yang dalam pelaksanaannya tidak melibatkan pihak-pihak diluar
pemerintahan dari negara-negara yang terlibat didalamnya.
Telah
banyak sarjana dan para ahli ilmu hubungan internasional juga para ahli
hukum melakukan penelitian mengenai akar
konflik antara Palestina dan Israel. Dalam tinjauan pustaka ini dimaksudkan
untuk memberikan informasi mengenai penelitian-penelitian terdahulu dan akan dijadikan
perbandingan dengan penelitian ini. Secara
umum banyak bacaan berupa karya ilmiah berbentuk konvensi atau perjanjian
internasional, buku, tugas akhir, maupun terbitan jurnal ilmiah yang membahas
masalah terkait dengan konflik atau sengketa internasional. Pada penelitian
efektifitas instrumen diplomasi dalam penyelesaian konflik internasional antara
Palestina dan Israel penulis mengkaji efektifitas instrumen diplomasi dalam
penyelesaian sengketa yang sudah lama terjadi dalam kerangka perwujudan perdamaian.
Konflik
adalah fenomena yang tidak dapat dihindari karena merupakan proses sosial yang
dissosiasif, sebagaimana Hugh Miall dalam bukunya Resolusi Damai
dan Konflik Kontemporer mendefinisikan konflik sebagai berikut:
Konflik adalah aspek intrinsik dan tidak
mungkin dihindari dalam proses perubahan sosial. Konflik adalah sebuah ekspres
heterogenitas kepentingan, nilai, dan keyakinan yang muncul sebagai formasi
baru yang ditimbulkan oleh perubahan sosial yang muncul bertentangan dengan
hambatan yang diwariskan.[23]
Ratusan
tahun yang lalu Kautilya menyimpulkan tujuan utama diplomasi sebagai
“pengamanan kepentingan negara sendiri.” Dengan kata lain tujuan dari diplomasi
yang baik atau efektif adalah untuk menjamin keuntungan maksimum negara
sendiri”[24]. Diplomasi
telah menjadi salah satu bagian yang vital dalam kehidupan negara dan merupakan
sarana utama guna menangani masalah-masalah internasional agar dapat dicapai
suatu perdamaian dunia. Dengan sarana diplomasi itu pemerintah menjalankannya
dalam rangka mencapai tujuannya dan mendapatkan dukungan dari prinsip-prinsip
yang dianutnya. Diplomasi yang merupakan proses politik itu terutama
dimaksudkan untuk memelihara kebijakan luar negeri suatu pemerintah dalam
mempengaruhi kebijakan dan sikap pemerintah negara lainnya. Sebagai sebuah
proses politik, diplomasi juga merupakan bagian dari usaha saling mempengaruhi
yang sifatnya sangat luas dan berbelit-belit dalam kegiatan internasional yang
dilakukan oleh pemerintah maupun organisasi internasional untuk meningkatkan
sasarannya melalui saluran diplomatik.
Dalam
interaksi sesama manusia, konflik atau sengketa adalah hal yang lumrah terjadi.
Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan
sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau
kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain.[25]
Berbagai
metode penyelesaian sengketa telah berkembang sesuai dengan tuntutan jaman.
Metode penyelesaian sengketa dengan kekerasan, misalnya perang, invasi, dan
lainnya, telah menjadi solusi bagi negara sebagai aktor utama dalam hukum
internasional klasik. Cara-cara kekerasan yang digunakan tersebut akhirnya
direkomendasikan untuk tidak digunakan lagi semenjak lahirnya The Hague Peace
Conference pada tahun 1899 dan 1907, yang kemudian menghasilkan Convention on
the Pacific Settlement of International Disputes 1907. Namun karena sifatnya
yang rekomendatif dan tidak mengikat, konvensi tersebut tidak mempunyai
kekuatan memaksa untuk melarang negara-negara melakukan kekerasan sebagai
metode penyelesaian sengketa.[26]
Konflik
Palestina-Israel memang merupakan bagian dari konflik yang lebih luas antara
Arab-Israel yang memerlukan penyelesaian, secara terpadu atau pun terpisah,
pada setiap jalur yang ada. Meskipun demikian, berdasarkan pendekatan pada inti
permasalahan (core problem approach),
hampir semua pihak, baik di tingkat regional maupun internasional, meyakini
bahwa masalah Palestina merupakan inti dan akar dari berbagai masalah yang ada
di Timur Tengah. Penyelesaian konflik Palestina-Israel dipercaya akan
memudahkan penyelesaian berbagai masalah lain di kawasan dan bahkan dipercaya
akan membantu pula penyelesaian berbagai konflik lain di sekitar kawasan yang
dipandang sebagai efek samping, secara langsung atau pun tidak, dari berlarut-larutnya
penyelesaian masalah Palestina.
“Power”,
Menururt Josep S. Nye, adalah “kemampuan dalam mempengaruhi perilaku yang
lain”. Soft Power adalah kemampuan
dalam menjadi “menarik”, sehingga bisa bekerjasama dengan yang lain. Sumber
Daya utama dari Soft Power adalah kebijakan luar negeri, budaya dan nilai atau
norma-norma.[27] Diplomasi
dianggap sebagai pendekatan soft power
dalam hubungan internasional. Sedangkan Hard
Power adalah lawan kontras dari Soft
Power merupakan cara mempengaruh tindakan yang lain sesuai dengan keinginan
yang menginginkannya dengan cara memaksa atau kekerasan. Kekerasan akan
menimbulkan kekerasan yang lain sehingga hal ini akan menimbulkan konflik yang
tak berujung.
Dalam
sumber lain disebutkan Hard power is the use of military and economic means to influence the behavior or interests of other political
bodies. This form of political power is often aggressive, and is most effective
when imposed by one political body upon another of lesser military and/or
economic power[28]
Hard power yang
diidentifikasikan sebagai kemampuan suatu Negara untuk memaksa Negara lain
melalui kekuatan militer dan ekonomi atau keduanya. Negara dengan hard
power tersebut sering terkesan mengancam dengan kekuatan militer yang
mereka miliki. Dalam konflik Palestina-Israel dapat dilihat adanya
Pengaplikasian smart power[29] karena adanya
keseimbangan antara hard power seperti kekuatan militer dengan soft
power seperti kekuatan diplomasi. Contoh nyatanya adalah saat Palestina
bersitegang dengan Israel terkait masalah perbatasan wilayah. Palestina tidak
hanya perlu memperkuat kekuatan militernya di daerah perbatasan saja tetapi
juga perlu melakukan diplomasi dengan Israel untuk menyelesaikan konflik yang
sedang terjadi.
Dari penjelasan diatas dapat kita lihat bahwa
adanya kedekatan terhadap apa yang dijelaskan dengan penelitian ini. Hanya saja
terdapat perbedaan fokus penelitian maupun konsep-konsep yang digunakan untuk
mendukung penelitian ini, seperti pada penelitian pertama yang hanya fokus pada
latar belakang konflik Palestina dan Israel. Kemudian pada penelitian kedua
yang fokus pada intrumen diplomasi apasaj yang pernah dilakukan dalam upaya
penyelesaian sengketa. Kemudian pada
penelitian ke tiga fokus pada efektifitas instrumen diplomasi dalam penyelsaian
konflik.
Diplomasi
damai dalam menyelesaikan sengketa internasional dapat dikelompokkan menjadi
tiga bagian, yaitu penyelesaian sengketa secara politik, pengawasan di bawah
PBB, dan secara hukum. Dalam
pasal 2 ayat (4) Piagam. Penyelesaian sengketa secara damai ini, kemudian
dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 33 Piagam yang mencantumkan beberapa cara
damai dalam menyelesaikan sengketa, diantaranya :
a.
Negosiasi;
b.
Enquiry atau
penyelidikan;
c.
Mediasi;
d.
Konsiliasi
e.
Arbitrase
f.
Judicial
Settlement
atau Pengadilan;
g.
Organisasi-organisasi
atau Badan-badan Regional.
2.
Konsep
Efektifitas
Pengertian Efektivitas berasal dari
kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas dapat diartikan sebagai
suatu proses pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Menurut
kamus besar bahasa Indonesia Efektif
adalah ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya); dapat membawa hasil atau
berhasil guna (tentang usaha, tindakan). [30]
Efektivitas selalu terkait dengan
hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya
dicapai. Mengutip Ensiklopedia administrasi, The Liang Gie, menyampaikan
pemahaman tentang efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh
target (kuantitas,kualitas dan waktu) yang telah dicapai oleh manajemen, yang
mana target tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu. [31]
Dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu hal
dapat dikatakan efektif apabila hal tersebut sesuai dengan dengan yang
dikehendaki. Artinya, pencapaian hal yang dimaksud merupakan pencapaian tujuan
dilakukannya tindakan-tindakan untuk mencapai hal tersebut.
Menurut K. J.
Holsti dalam bukunya Politik Internasional Suatu Krangka Analisa, konflik
dapat didefenisikan sebagai:[32]
Konflik adalah pertikaian antar negara
dalam mencapai tujuan tertentu seperti perluasan atau mempertahankan wilayah
territorial, keamanan, semangat, jalur kemudahan menuju daerah pemasaran,
prestise, persekutuan, revolusi dunia, penggulingan pemerintahan negara yang
tidak bersahabat, mengubah prosedur dalam PBB dan lain lain.
3. Efektivitas Instrumen Diplomasi Dalam Penyelesaian
Konflik Internasional Antara Palestina Dan Israel
Selama masa pendudukan Israel di
Palestina, banyak dibuat berbagai perjanjian yang menguatkan eksistensi Israel
di Palestina, diantaranya:
a. Perjanjian Camp
David 1
Salah satu peristiwa terpenting dalam
sejarah resolusi Palestina dan merupakan timbal balik hubungan Arab-Israel
adalah penandatanganan Perjanjian Camp
David dibulan September 1978, menyusul meninggalnya Gamal Abdul Naser pada
bulan September 1970.[33]
Setelah meninggalnya Gamal Abdul Nasser digantikan oleh Anwar Sadat, Sadat
menandatangani dua kesepakatan dengan
Israel atas Sinai, tahun 1977 ia dengan
sepihak membatalkan perdamaian dengan Soviet dan meningkatkan
ketergantungan dengan Amerika Serikat, pada tahun 1978 Anwar Sadat
menandatangani perjanjian damai dengan perdana menteri Israel Menachem Begin di
bawah arahan presiden Jimmy Carter, sehingga mnejadikan mesir sebagai bangsa
Arab pertama yang secara resmi mengakui rezim Zionis di dunia Arab.[34]
- Egypt-Israel
undertake not to resort to the threat or the use of force to settle
disputes. Any disputes shall be settled by peaceful means in accordance
with the provisions of Article 33 of the U.N. Charter.
- n
order to achieve peace between them, the parties agree to negotiate in
good faith with a goal of concluding within three months from the signing
of the Framework a peace treaty between them while inviting the other
parties to the conflict to proceed simultaneously to negotiate and
conclude similar peace treaties with a view the achieving a comprehensive
peace in the area. The Framework for the Conclusion of a Peace Treaty
between Egypt and Israel will govern the peace negotiations between them.
The parties will agree on the modalities and the timetable for the
implementation of their obligations under the treaty.
Kesepakatan damai ini terdiri dari dua bab pokok, bab I tentang
kesepakatan damai bilateral Israel-Mesir, bab II memuat pembentukan pemerintahan otonomi
Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Dalam
Perjanjian Camp David disepakati pembentukan suatu komite khusus untuk
pembentukan pemerintahan otoritas Palestina di Tepi Barat Jalur Gaza. Komite
tersebut mengusulkan tiga usulan yaitu: pertama; rakyat Palestina memegang
otoritas urusan jasa, pemerintahan lokal, administrasi, keagamaan, dan sipil,
membentuk mejelis khusus lewat pemilihan umum yang demokratis dan rahasia,
kedua; pemerintahan Israel tetap tegak di wilayah otonomi Palestina, ketiga;
urusan tanah dan sumber air berada dibawah otoritas Israel.[36] Walaupun Anwar Sadat kecewa dan menolak
usulan komite ini namun, Israel tetap menjalankan rencananya.
Menurut
Ayyatullah Khomeini Perjanjian Camp David
adalah persengkokolan untuk mengabsahkan agresi Israel ke Palestina, dan
Khomeini juga mengutuk Anwar Sadat atas sikapnya yang sangat berani dengan
membuat Perjanjian Camp David.
Khomeini menambahkan Camp David
adalah sebuah tipuan dan permainan politik untuk mempertahankan Agresi Israel
di Palestina, dan juga menganggap kesepakatan damai Anwar Sadat merupakan
penghianatannya terhadap Umat Islam, dengan menerima perdamaian Anwar Sadat
menunjukan ketergantungannya kepada Israel dan sekutunya.[37]
b.
Kesepakatan
Oslo
PLO
sebagai satu-satunya wakil rakyat Palestina yang diakui oleh PBB pada tahun 1974,
sehingga organisasi pembebasan Palestina ini bertanggung jawab untuk mewakili rakyat Palestina di forum Internasional untuk memperjuangkan kemerdekaannya. Kesepakatan Oslo adalah perjanjian rahasia di Oslo pada tahun 1993, yang diadakan pada
saat di Washington juga sedang terjadi
perundingan bilatetal Israel-Palestina yang dinamakan dengan Konferensi Madrid, dan ketika
mencapai putaran kesepuluh tentang penarikan pasukan Israel secara bertahap
dari wilayah Palestina dan penarikan pertama akan dilakukan dari Jalur Gaza
atau dikenal dengan nama Gaza Pertama.[38]
Ketika perundingan selesai
delegasi Palestina meminta persetujuan Yaser Arafat. Namun Arafat meminta
delegasi untuk menambahkan Jericho Tepi Barat atau dikenal dengan Gaza Jericho
pertama, agar kota Jericho menjadi simbol kedaulatan Palestina di Tepi Barat.
Setelah tercapai kesepakatan antara para pemimpin Palestina tentang
Gaza-Jericho Pertama, ketika para delegasi Palestina yang ikut pada Perundingan
Washington pulang ke Tepi Barat untuk
menunggu kedatangan menteri luar negeri Amerika Serikat Warren Christoper, pada
saat itu juga Kesepakatan Oslo hampir
mencapai babak final.
Menjelang kedatangan menteri luar negeri Amerika Serikat
di Jerusalem para delegasi Palestina menerima kiriman rancangan dokumen
deklarasi prinsip baru dari Yaser Arafat dan delegasi Palestina yang ada di
Tunisia, para delegasi yang mewakili Palestina di kesepakatan Washington
menolak rancangan itu karena mengandung kelemahan.[39] Namun Yasser Arafat mengintruksikan agar dokumen itu tetap diserahkan,
akibatnya para delegasi mengundurkan diri karena berbeda dengan apa yang
disepakati pada Gaza-Jericho Pertama dan lebih menguntungkan Israel, Yasser
Arafat menolak pengunduran diri mereka dan mereka diajak untuk mengadakan
pertemuan tertutup dan Yasser Arafat menjelaskan bahwasanya Israel akan mundur
total dari Gaza dan Jericho dan Palestina akan menegakkan kedaulatannya di kota
Jerusalem. [40]
Para delegasi terkejut ternyata Kesepakatan Oslo hampir mencapai final dan ketika
mereka membaca secara langsung dokumen itu dan ternyata isu penarikan pemukiman Yahudi dan kota Jerusalem Timur
ditunda pada perundingan final, tanpa ada jaminan Israel tidak mengubah lagi
keadaan lapangan yang menguntungkan Israel, perdebatan antara para delegasi dan
pimpinan PLO terjadi cukup sengit, namun sudah terlambat, karena Yasser
Arafat telah menyetujuinya dengan
Yitzhak Rabin saat itu.[41] Berikut beberapa ketentuan Kesepakatan Oslo:[42]
The Government of the State
of Israel and the P.L.O. team (in the Jordanian-Palestinian delegation to the
Middle East Peace Conference) (the "Palestinian Delegation"),
representing the Palestinian people, agree that it is time to put an end to
decades of confrontation and conflict, recognize their mutual legitimate and
political rights, and strive to live in peaceful coexistence and mutual dignity
and security and achieve a just, lasting and comprehensive peace settlement and
historic reconciliation through the agreed political process.
Masa-masa damai itu tidak berlangsung lama, karena
kebebasan hanya dirasakan oleh kota-kota yang terkena perjanjian saja
selebihnya masih dijajah Israel dan keadaan semakin memanas ketika Israel
membunuh tokoh muda Palestina Yahya Ayyash, dan Israel harus membayar mahal
baik secara politik maupun keamanan. Sebagai aksi pembalasan, Brigade Alqassam
yang merupakan sayap militer HAMAS yang dipimpin oleh Yahya Ayyash melancarkan
serangkaian aksi bom syahid yang menewaskan lebih dari 70 orang Zionis dan
melukai ratusan lainnya. Berdasarkan Kesepakatan Oslo, negara Palestina
sudah harus berdiri pada tanggal 14 Mei 1999, namun Jerusalem masih belum bisa
diputuskan. Sedangkan mengenai Pelihan langsung yang akan diselenggarakan untuk
rakyat Palestina dalam Kesepakatan ini dimuat dalam pasal 3:[43]
Article 3
Elections
1. In order that the Palestinian people in the West Bank and Gaza Strip may govern themselves according to democratic principles, direct, free and general political elections will be held for the Council under agreed supervision and international observation, while the Palestinian police will ensure public order.
2. An agreement will be concluded on the exact mode and conditions of the elections in accordance with the protocol attached as Annex I, with the goal of holding the elections not later than nine months after the entry into force of this Declaration of Principles.
3. These elections will constitute a significant interim preparatory step toward the realization of the legitimate rights of the Palestinian people and their just requirements.
1. In order that the Palestinian people in the West Bank and Gaza Strip may govern themselves according to democratic principles, direct, free and general political elections will be held for the Council under agreed supervision and international observation, while the Palestinian police will ensure public order.
2. An agreement will be concluded on the exact mode and conditions of the elections in accordance with the protocol attached as Annex I, with the goal of holding the elections not later than nine months after the entry into force of this Declaration of Principles.
3. These elections will constitute a significant interim preparatory step toward the realization of the legitimate rights of the Palestinian people and their just requirements.
Pemilihan umum pertama Palestina berlangsung hari Sabtu
tanggal 20 Januari 1996, salah satu pasal dari Kesepakatan Oslo yang ditandatangani Israel dan Palestina pada tanggal 13
September tahun 1993 di Washington menegaskan
pemilihan umum merupakan langkah pendahuluan kearah tercapainya hak-hak rakyat
Palestina.
Berbagai pihak lain
termasuk Israel dan oposisi Yasser Arafat memiliki kepentingan atas
pemilihan umum Palestina, bagi Israel penyelenggaraan Pemilihan umum Palestina
membawa keuntungan, karena akan memberi legitimasi atas Kesepakatan Oslo yang masih diragukan kerena tidak
ditawarkan kepada rakyat Palestina lewat referendum, bahkan posisi Israel akan
semakin kuat jika kelompok oposisi Israel seperti HAMAS ikut dalam Pemilihan
umum, namun sebenarnya bagi Israel juga membawa kerugian karena 80% karena
anggota legislatif yang terpilih belum tentu akan loyal terhadap Kesepakatan Oslo, sehingga Israel lebih memilih
berhubungan dengan fraksi Fatah yang lebih mendukung Kesepakatan Oslo.[44]
Kesepakatan
Wye River dibuat pada bulan Oktober tahun 1998, adalah
sebuah persetujuan perdamaian bagi
Yasser Arafat sebagai langkah penyelamatan bahwasanya Kesepakatan
Oslo masih dapat dipertahankan, bagi Perdana Menteri
Benjamin Neetanyahu adalah sebagai alat untuk memperbaiki citra dirinya
didunia internasional yang selama ini menuduhnya sebagai penghambat utama
perdamaian Israel-Palestina, sedangkan bagi Bill Clinton adalah merupakan politik pencitraan agar ia bebas dari
isu yang pada saat itu sedang dialaminya yaitu skandal dengan Monica Lewinsky mantan pegawai magang gedung
putih.
In the provisions on security arrangements
of the Interim Agreement, the Palestinian side agreed to take all measures
necessary in order to prevent acts of terrorism, crime and hostilities directed
against the Israeli side, against individuals falling under the Israeli side's
authority and against their property, just as the Israeli side agreed to take
all measures necessary in order to prevent acts of terrorism, crime and
hostilities directed against the Palestinian side, against individuals falling
under the Palestinian side's authority and against their property. The two
sides also agreed to take legal measures against offenders within their
jurisdiction and to prevent incitement against each other by any organizations,
groups or individuals within their jurisdiction.
Both sides recognize that it is in their
vital interests to combat terrorism and fight violence in accordance with Annex
I of the Interim Agreement and the Note for the Record. They also recognize
that the struggle against terror and violence must be comprehensive in that it
deals with terrorists, the terror support structure, and the environment
conducive to the support of terror. It must be continuous and constant over a
long-term, in that there can be no pauses in the work against terrorists and
their structure. It must be cooperative in that no effort can be fully
effective without Israeli-Palestinian cooperation and the continuous exchange
of information, concepts, and actions.
Kesepakatan yang telah diselenggarakan sebelumnya seakan tidak
membuahkan hasil dan akhirnya kembali diadakan perundingan yaitu Wye River yang hasilnya adalah Yasser
Arafat harus menerima penarikan pasukan Israel tahap kedua saja dari Tepi
Barat dengan
menunda penarikan tahap ketiga sedang Netanyahu
juga harus menerima Palestina tidak akan menyerahkan kelompok anti
Israel. Kesepakatan inipun sebagian besar berkisar tentang keamanan rakyat Israel dan negara Israel.[47]
d.
Perjanjian
Camp David II
Perjanjian
Camp David II berlansung antara Perdana Menteri Israel Ehud Barak dan Presiden Amerika Serikat Bill
Clinton , keberhasilan Camp
David II terwujud jika Yasser Arafat dan Ehud Barak mengambil
jalan kompromi dalam bentuk saling memberi konsesi, dalam agenda Camp David II akan membahas isu-isu
sensitif yaitu masalah Jerusalem, pengungsi Palestina, pemukiman Yahudi, perbatasan wilayah Israel-Palestina dan pembagian jatah air. Berikut esensi
dari Camp David II:
1. Palestinian Statehood and Conditions
A Palestinian state would be established in
most of the West Bank and all of the Gaza strip, with these conditions:
1. The
state would not have an army with heavy weapons,
2.
The state would not make alliances with
other countries without Israeli approval and would not allow introduction of
foreign forces west of the River Jordan.
3.
Israel would be allowed deploy troops in
the Jordan Valley if Israel were to be threatened by invasion from the east.
4.
Israeli aircraft could overfly
Palestinian airspace.
5.
Israeli would install early warning
stations in the mountains overlooking the Jordan valley and other areas.
6.
Palestinians would control border crossings
with Jordan and Egypt along with Israeli security observation.
7.
The Israelis would retain management over
water sources in the West Bank while approving a limited quota to the
Palestinians.
8.
Israel would lease areas in the Jordan
Valley or maintain temporary sovereignty over them for up to 25 years.
2. Refugees
The Palestine refugee problem would be
solved in the following way:
1.
Israel would not accept any legal or
civilian responsibility for their displacement.
2.
Israel would allow the return of around
100,000 refugees under “humanitarian” grounds in the form of family reunions
and considers such a step as compliance with UN Resolution 194.
3.
According to one source, the Palestinian
State would be limited in the number of refugees it could absorb to half a
million refugees according to a fixed timetable. This is not confirmed by other
sources and is problematic, since a much larger number of refugees, well over a
million, already live in camps in Gaza and the West Bank.
4.
An international fund would compensate
refugees. Israel, the U.S. and Europe are to contribute. According to one
source, this fund would also provide compensation to Jews who were forced to
leave their possessions in Arab countries when they fled to Israel.
3. Jerusalem
Palestine would obtain
sovereignty over suburbs in the north and the south of Jerusalem that would be
annexed to the West Bank, including Abu Dees, Alezariye and eastern
Sawahre.
Within East Jerusalem,
in (Beit Hanina-Shuafat), there would be a civilian administration
affiliated with the Palestinian Authority with the possibility of linking it to
West Jerusalem through a municipality covering both sectors. The Palestinians
would run a branch municipality within the framework of the Israeli higher
municipal council while depriving them from planning and construction
jurisdictions.
The proposals allowed
for Palestinian, Arab, Islamic and Christian administration of holy sites
in the old city of Jerusalem. The Palestinians would be allowed to hoist the
Palestinian flag over the Islamic and Christian shrines along with a safe
passage linking northern Jerusalem, which would be annexed to the West Bank, to
those areas so that Palestinians and Muslims would not pass through lands under
Israeli sovereignty.
4. Land Area of Palestine
The initial area of the
Palestinian state would comprise about 73% of the land area of the West Bank
and all of Gaza. The West Bank would be divided by the road from Jerusalem to
the Dead Sea and a corridor on either side of it. This would form two relatively
large Palestinian areas and one small enclave surrounding Jericho. The three
areas would be joined by a free passage without checkpoints, but the safe
passage could be closed by Israel in case of emergency. According to
Palestinian sources, there would be another division between the area north of
the Ariel and Shilo settlements along the trans-Shomron highway built by
Israel.
In later stages (10-25
years) Israel would cede additional areas, particularly in the mountains
overlooking the Jordan valley, to bring the total area to slightly under 90% of
the area of the West Bank (94% excluding greater Jerusalem).
The major settlement
blocks adjacent to Jerusalem and in the Jerusalem corridor would be annexed to
Israel: Efrat, Gush Etzion, Ma'ale Edumim. The town of Ariel and the corridor
along the trans-Samaria highway would be annexed to Israel. The Jewish
settlement town of Qiriat Arba would remain under Israeli administration in the
heart of Palestinian territory, with a single road through Palestinian territory
reaching it from the south. Isolated Jewish settlements including the
settlement in Hebron, would come under Palestinian jurisdiction and would
probably be.
Camp David II kembali menimbulkan
kegagalan pasalnya, Israel berusaha mempertahankan status quo di Jalur Gaza dan
Tepi Barat yang intinya adalah ibu kota Jerusalem, pemukiman
Yahudi dibawah kedaulatan Israel, tidak ada militer di Tepi Barat, tidak mengakui
hak pulang pengungsi Palestina dan tidak kembali pada perbatasan tahun 1967, sementara Amerika
Serikat secara Implisit mendukung kebijakan Israel tersebut.[48]
Bagi persoalan Palestina-Israel perdamaian bukan merupakan solusi,
hal ini terlihat dari semua perjanjian yang diadakan yang selalu menemui jalan
buntu. Hal ini terlihat saat ini meski
hidup dihimpit pelbagai kesulitan, terutama ekonomi dan keamanan, Mahmud Zahar,
pendiri sekaligus pemimpin Hamas di Jalur Gaza menegaskan perlawanan bersenjata
merupakan cara terbaik untuk mengusir penjajah Israel dari wilayah Palestina.
Bukan melalui perundingan seperti yang ditempuh faksi saingan mereka, Fatah,
yang dipimpin Presiden otoritas Palestina Mahmud Rida Abbas.[49]
C. Kesimpulan dan Saran
Tujuan diplomasi baru akan terwujud jika ada itikad baik bagi Negara-negara
yang menginginkan sebuah bentuk kerjasama demi kebaikan bersama. Seperti contoh dari kasus Israel-Palestina. Kedua belah pihak harus
punya itikad baik dalam mencari solusi bagi permasalahan yang selama ini menjadi hal yang
sangat substansial dan menjadi inti dari konflik Israel dan Palestina seperti
isu wilayah, pemukiman, dan tawanan. Dengan adanya kesepakatan untuk melakukan diplomasi diharapkan mengantarkan
Israel dan Palestina memulai proses penyelesaian konflik dan mencapai perdamaian. Sebaliknya, Diplomasi
tidak selamanya berhasil meskipun dimediatori oleh negara yang memiliki
pengaruh besar seperti Amerika Serikat dan Dalam kerangka Multilaretal oleh
Persekikatan Bangsa-bangsa ketika niat baik dan kemauan untuk mengusahakan
perdamaian dengan jalan diplomasi tidak ada dari kedua belahpihak. Hal ini tercermin dari banyaknya perdamaian-perdamain melalui jalur
diplomasi yang sudah dilakukan namun tidak membuahkan hasil. Hingga saat ini
konflik masih berlangsung.
Diplomasi
merupakan seni dalam mengemukakan sebuah gagasan sehingga dapat diterima oleh
pihak lain. Diplomasi berkaitan erat dengan
kepentingan dan politik luar negeri suatu negara dan berujung pada pencapaian
kepentingan nasional. Dalam penyelesaian sebuah konflik negara terlebih dahulu
cenderung memilih cara diplomasi untuk
menghindari pertumpahan darah. Namun, dalam konflik Palestina dan Israel jalur
diplomasi yang sudah dilakukan jarang membuahkan hasil. Baik diplomasi secara
bilateral maupun secara multilateral yang difaslitasi oleh organisasi regional
seperti PLO, maupun melaui organisasi Internasional seperti Organisasi
Konferensi Islam (OKI) dan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Sehingga perlu
dikaji sejauh mana efektifitas diplomasi dalam penyelesaian konflik yang sudah
berlangsung lama ini. Apakah diplomasi masih efektif dipertahankan, jika tetap
dipertahankan maka harus dicari instrumen yang tepat. Jika tidak, maka cara apa
yang paling efektif.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Buku
Muhamad Shaleh Muhsin, Palestina, sejarah, perkembangan dan konspirasi, Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
Abd. Rahman, Mustthafa , Jejak-jejak juang palestina dari oslo hingga
intifadah Al Aqsa, Jakarta: PT Kompas media nusantara, 2002.
Adolf, Huala, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakrata: Sinar Grafika,
2005.
Albana, Shofwan, Palestine emang gue
Pikirin, Yogyakarta: ProYou, 2005.
COMES
(Penerjemah), Terorisme Israel
membedah paradigma dan strategi terorisme Zionis, Bandung: Asy Syamil, 2001.
Husaini, Adian, Mau menang sendiri Israel sang
teroris yang pragmatis, Jakarta: Pustaka Progressif, 2002.
Hugh MIall,
Oliver Ramsbotham, & Tom Woodhouse, Resolusi Damai Konflik Kontemporer.
Terj. Tri Budhi Satrio, Jakarta: PT. Rja Grafindo Persada, 2000.
Jr. Joseph Nye S. Soft Power. The means to
success in world politics , New York : Public Affairs, 2004.
G. Merrils, International Dispute Settlement,
Cambridge: Cambridge University Press, 1998.
Hans
and George Wieck. Diplomacy and Globalization. Safety of global Communications Principal
Mission of Modern Diplomacy, Berlin,
2006.
Kasiyanto, Analisis Wacana dan
teoritis Penafsiran Teks, dalam
Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke
Arah Penguasaan Model Aplikasi, ed. Burhan Bungin, Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2005.
Mauna,
Boer, Hukum Internasional:Pengertian
Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung: Penerbit Alumni, 2003.
Roy. S. L, Diplomacy, Alih Bahasa
Harwanto, Mirsawati, Diplomasi,
Jakarta : PT Raja Grafindo, 1995.
Supardi, Metode Penelitian
Ekonomi dan Bisnis, Yogyakarta: UII Press, 2005.
M. Muksim Jamil, Resolusi Konflik: Model
dan Strategis, Semarang: Walisongo Median Centre, 2007.
K.J. Holsty, Politik
Internasional Suatu Kerangka Analisis, Bandung: Percetakan Bina Cipta,
1987.
2. Jurnal
dan Artikel
Devi
Prianti, Definisi, Tujuan, Metode Dan
Instrumen Diplomasi, dalam Http://deviaprianti185.blogspot.com, diakses 21 Mei 2013
Hans
and George Wieck. Diplomacy and Globalization. Safety
of global Communications – Principal Mission of Modern Diplomacy (Berlin: July 2006), 1. dalam http://www.hans-georg-wieck.com/.../Diplomacy%20and%20Globalization.pdf, diakses 3
Desember 2010
Lesly
Agistania, Peran Liga Arab dalam
Penyelesaian Konflik perselisihan Israel-Palestina, 2 Juni 2010 dalam Http:// diplomacy945.blogspot.com, diakses 21
Mei 2013
Mallison dan Mallison, The Palestine
Problem in International Law and World Order, dalam Http://www.pustakaonlinemedia.net, diakses Desember 2012
3.
Website
Http://id.wikipedia.org/w/idek/konfli-palestina-israel, diakses 21 Mei 2013
Http://www.arlina’sweb.blog.com. diakses 28
Desember 2010
Http://pirhot.wordpreess.com/2008/06/08/penyelesaian-sengketa-internasional-secara-diplomatik. diakses 21 Mei 2013
Http://menarailmuku.blogspot.com.Cara%20Penyelesaian%20Sengketa%20Internasional%20Secara%20Damai.htm, diakses 21 Mei 2013
Http://pirhot.wordpress.com/penyelesaian-sengketa-internasional-secara-diplomatik/2008/06/08. dikases 21 Mei 2013
Http://En.Wikipedia.Org/Wiki/United_Nations, diakses
21 Mei 2013
[1] Dosen bagian Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Islam Indragiri
[2] Http://deviaprianti185.blogspot.com, Definisi, Tujuan, Metode
Dan Instrumen Diplomasi, diakses 21 Mei 2013
[6] Ibid, hal 157
[8]Musthafa Abd. Rahman, Jejak-jejak Juang Palestina dari Oslo hingga
Intifadah Al Aqsa, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2002, hal xxxiv
[9] Lilik
Wijayawati. (2009). Latar Belakang Sejarah Konflik Palestina-Israel.
Pada Http: //Id.Shvoong.Com/Humanities/History/1947563-Latar-Belakang-Sejarah-Konflik-Palestina/, diakses pada
16 Desember 2011
[11] Istilah zionis pertama kali dipakai
oleh perintis kebudayaan Yahudi, Mathias
Acher (1864-1937) sedangkan zionisme adalah ebuah gerakan politik kaum Yahudi yang tersebar di seluruh dunia
untuk kembali lagi ke Zion, bukit di mana kota Yerusalem berdiri. Gerakan yang muncul di abad ke-19 ini semula ingin mendirikan
sebuah negara Yahudi di Afrika kemudian berubah di tanah Palestina yang kala itu dikuasai Kekaisaran Ottoman (Khalifah Ustmaniah) Turki
[14] Http://www.state.gov/www/regions/nea/981023_interim_agmt.html, diakses 15 Juli 2011 dalam Tesis Inggrit
Fernandes, Perlindungan Hukum Internasional terhadap penduduk sipil Palestina,
2011, Unand
[18] Lesly
Agistania, Peran Liga Arab dalam
Penyelesaian Konflik perselisihan Israel-Palestina, 2 Juni
2010
dalam Http:// diplomacy945.blogspot.com. diakses 21 Mei 2013
[20] Hans and George
Wieck. Diplomacy and Globalization. Safety
of global Communications – Principal Mission of Modern Diplomacy (Berlin : July 2006), 1. Dalam http://www.hans-georg-wieck.com/
.../Diplomacy%20and%20Globalization.pdf , diakses 3 Desember 2010
[21] Roy. S. L. (1995). Diplomacy,
Alih Bahasa Harwanto, Mirsawati, Diplomasi,
Jakarta: PT Raja Grafindo, hal 5-6
[22] Hans and George Wieck.
Diplomacy and Globalization. Safety
of global Communications
Principal Mission of Modern Diplomacy, Berlin, 2006, hal 2
[23] Hugh MIall,
Oliver Ramsbotham, & Tom Woodhouse. (2000). Resolusi Damai Konflik
Kontemporer. Terj. Tri Budhi Satrio.Jakarta: PT. Rja Grafindo Persada, hal
7-8
[25] J.G. Merrils, International
Dispute Settlement, Cambridge University Press, Cambridge, 1998, hal 1. Teks asli dalam buku
ini berbunyi: Specific disagreement
concerning a matter of fact, law or policy in which a claim or assertion of one
party is met with refusal, counter-claim or denial by another.
[27] Jr. Joseph Nye S. Soft Power. The
means to success in world politics, Public Affairs, New York, 2004.
[29] Smart Power adalah pengertian kekuatan nasional yang
sebenarnya, karena smart power adalah perpaduan dari hard power
dan soft power. Smart power lebih mengedepankan kemampuan
otak dan ilmu pengetahuan untuk menjaga pertahanan Negara.
[30] Dalam makalah Henny Hendarti, Anderes Gui, di sampaikan pada Seminar Nasional Aplikasi Teknologi
Informasi 2008 (SNATI 2008) ISSN: 1907-5022 Yogyakarta, 21 Juni 2008, hal 2
[32] K.J. Holsty .
(1987). Politik Internasional Suatu Kerangka Analisis. Bandung:
Percetakan Bina Cipta, hal 592.
[35]Http://www.mfa.gov.il/MFA/Peace%20Process/Guide%20to%20the%20Peace%20Process/Camp%20David%20Accords, diakses 15 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar