Jurnal Litigasi, Vol 12 No 2 Tahun 2013 ISSN 141-871
ABSTRACT
Oleh: Inggrit Fernandes, SH.,MH
(Dosen Hukum Internasional Univ.
Islam Idragiri)
The
purpose of humanitarian law is to for a war can be done with more attention to
the principles of humanity and also to humanize the war or preventing the cruel
war without knowing the limit, ensure human rights are so fundamental.
Humanitarian Law consists of the law of The Hague and Geneva law, both the
International Convention. Hague law regulating the ways and means to fight
while the Geneva law regulating the protection of war victims. One of the
important principles of humanitarian law is the principle of distinction (a
distinction principle). The principle of this distinction is a principle that
distinguishes between groups that can participate directly in battle
(combatants) on the one hand, and the group who did not participate and should
be protected in the fighting (civilians). In the Israeli occupation in
Palestine is very much visible violation of the provisions of international
humanitarian law, and therefore the protection of international law in a period
of Israeli occupation in Palestine is needed serious attention.
Keyword: Legal protection of civilian
population, Palestinian occupation
1.
Pendahuluan
Kongres pertama gerakan
Zionis yang didirikan oleh Theodore Herzl pada tahun 1896 merekomendasikan
berdirinya sebuah negara khusus bagi kaum Yahudi yang tercerai berai di seluruh
dunia.[1]
Kemudian pada kongres berikutnya pada tahun 1906, gerakan Zionis
merekomendasikan secara tegas berdirinya sebuah negara bagi bangsa Yahudi di
Palestina. Situasi politik di benua Eropa akibat pecahnya Perang Dunia 1
(1914-1918), memberikan peluang bagi gerakan Zionis untuk mewujudkan cita-cita
tersebut. Inggris yang terlibat pada Perang Dunia I melawan Jerman, bekerjasama
dengan gerakan Zionis pimpinan Theodore Herzl
dan bangsa-bangsa Arab yang berada di bawah otoritas dinasti Ottoman
khalifah Ustmaniyah.
Di satu pihak Inggris
mendorong bangkitnya nasionalisme bangsa Arab untuk melawan dinasti Ottoman
yang memihak Jerman, sedangkan di pihak lain Inggris memberikan janji kepada
gerakan Zionis pimpinan Theodore Herzl
untuk mendirikan negara di Palestina.[2]
Sehingga terjadi konspirasi internasional yang memberi peluang berdirinya
negara bagi bangsa Yahudi di wilayah Palestina. Negara-negara barat dengan
segala upaya menciptakan suatu kondisi untuk mendukung cita-cita gerakan
Zionis, dan lemahnya Kekhalifahan Ustmaniyah pada saat Palestina berada di
bawah kekuasaannya (1526-1917), berperan dalam keberhasilan gerakan Zionis
tersebut. Pada Konferensi London (1905-1907) muncul gagasan untuk mendirikan
“negara tirai” di wilayah Palestina dan pada saat itu Perdana Menteri Inggris Campbell Weizm,
merekomendasikan untuk mendirikan entitas yang menjadi tirai humanis yang kuat
dan asing di wilayah timur laut tengah
dan sebaik-baik pelaksana proyek ini adalah Yahudi.[3]
Konflik Bersenjata dapat berupa konflik Bersenjata internasional hanya Dan
konflik Bersenjata non internasional hanya (konflik Dalam, Negeri). Akibat
konflik Bersenjata Timbul banyak Korban.[4]
Negara Israel berdiri pada
tanggal 14 Mei 1948 didasarkan pada Resolusi Majelis Umum PBB No. 181 tahun
1947.[5]
Resolusi ini menetapkan Jerusalem sebagai daerah yang berada di bawah kekuasaan
internasional. Pada tanggal 29 November tahun 1947 Israel melanggar Resolusi
ini dengan mengklaim Jerusalem sebagai jantung kota Israel.[6]
Sejak diklaimnya Palestina sebagai teritorial negara Israel, maka Israel mulai
melakukan pembangunan pemukiman di wilayah Palestina dengan dua proses evekuasi
dan substitusi. Proses evakuasi dan substitusi yaitu dengan mengosongkan
wilayah dan mengganti penduduknya dengan bangsa Yahudi yang dilakukan dengan
cara kekerasan dan pembunuhan terhadap
penduduk sipil Palestina. Hal ini sesuai dengan kebijakan utama politik luar
negeri Israel adalah ekspansi wilayah , yang
dapat dilihat dari dikuasainya 80% wilayah Palestina pada tahun 1949,
jauh melebihi bagian yang ditetapkan PBB pada tahun 1947 yaitu hanya sebesar
56%. Proses substitusi rakyat Palestina dengan penduduk Israel mencapai
proporsi yang sulit dipecahkan, selain itu pemerintahan Israel menghancurkan
tempat ibadah Islam dan Kristen dan pada bulan Mei 1949 kemudian Israel
membangun 1.947 pemukiman baru dan bulan
Oktober 1947 imigran Yahudi berdatangan ke wilyah Palestina, jumlah mereka
mencapai 25.255 imigran.[7]
Pemukiman-pemukiman Yahudi
yang didirikan di atas tanah milik bangsa Palestina di wilayah-wilayah
pendudukan menjadi rintangan serius bagi usaha mencapai perdamaian. Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa secara spesifik menyatakan tidak sah perebutan
wilayah dengan kekerasan, dan Konvensi
Jenewa Keempat tentang Perlindungan Orang-orang Sipil di masa Perang pada 1949
secara khusus melarang kekuatan pendudukan agar tidak memindahkan bagian dari
penduduknya sendiri ke wilayah yang didudukinya. Israel terus-menerus melanggar
kedua perjanjian internasional ini. Sejak 1967 Israel menduduki Jerusalem Timur
Arab, Tepi Barat, Dataran Tinggi Golan, dan Jalur Gaza melalui tindak kekerasan dan pada saat
yang sama terus mendirikan pemukiman-pemukiman Yahudi di semua wilayah
tersebut. [8] Hal ini
merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan internasional bagi
penguasa pendudukan untuk memindahkan penduduk dari negaranya dalam jumlah yang
signifikan ke dalam wilayah yang diduduki.
Salah satu jenis konflik bersenjata internasional yang merupakan jenis
konflik baru, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) Protokol Tambahan I tahun 1977, adalah
konflik bersenjata yang dikenal dengan nama “pendudukan asing”.[9] Sejak
dimulainya konflik bersenjata antara Israel dan Palestina dari tahun 1947
hingga saat ini, banyak sekali pelanggaran Hukum Humaniter yang dilakukan oleh
Israel. Sebenarnya, pelanggaran yang dilakukan oleh Israel tidak saja
bertentangan dengan Hukum Humaniter, akan tetapi sekaligus juga bertentangan
dengan Hukum Internasional pada umumnya dan bertentangan pula dengan Hukum Hak
asasi Manusia Internasional.[10]
Operasi pendeportasian massal
penduduk Palestina dilakukan oleh Israel secara terencana sepanjang tahun 1967,
yaitu 500 ribu Penduduk Sipil Palestina.[11]
Selain melakukan pendeportasian maka juga berlangsung proses pembumihangusan
dan penghancuran rumah-rumah penduduk baik di desa maupun kota.[12]
Komisi tinggi hak asasi manusia PBB mengkritik pelanggaran HAM yang dilakukan
Israel di wilayah-wilayah Palestina, anggota Komisi Louise Arbour mengatakan,
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Israel di Palestina tidak bisa ditoleransi.[13]
Perang atau konflik
bersenjata pasti tidak bisa dihindarkan
jatuh nya korban, baik korban dari pihak kombatan maupun dari pihak
penduduk sipil yang tidak ikut berperang, baik tua maupun muda, wanita dan
anak-anak. Dalam sejarah dunia, konflik bersenjata telah membawa malapetaka
yang sangat besar karena harus dibayar dengan hilangnya nyawa banyak orang dan
kebanyakan dari korban yang meninggal adalah penduduk sipil yang tidak
bersalah. Pendudukan Israel di Palestina menjadi bagian penting dalam penegakan
hak asasi manusia serta pencapaian perdamaian dunia. Tantangan bagi komunitas internasional
adalah menegakan keadilan dengan menyeret penjahat kemanusiaan ke Pengadilan
Pidana Internasional dan menjamin pedamaian untuk Palestina serta kawasan timur
tengah pada umumnya.[14]
2.
Perlindungan
terhadap Penduduk Sipil dalam Hukum Internasional
Kejahatan perang (war crimes) yang
diatur dalam berbagai instrument hukum internasional telah menunjukan perhatian
yang besar masyarakat internasional terhadap masalah tersebut. Hal itu terutama
terlihat setelah Perang Dunia II yang diwujudkan dalam Nuremberg Trial dan
Tokyo Trial. Perkembangan selanjutnya juga menunjukan bahwa secara
substansial kejahatan perang dewasa ini juga telah diatur dalam Konvensi Jenewa
1949, Protokol Tambahan 1977, statuta lnternational Criminal Court (ICC)
maupun dalam statuta lnternational Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia
(ICTY) dan lnternational Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR).[15]
a.
Perlindungan
Penduduk Sipil dalam Konvensi jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I dan II tahun
1977
Perlindungan terhadap
penduduk sipil dalam hukum humaniner Internasional terdapat dalam Konvensi
Jenewa ke IV tahun 1949 dan dalam Protokol Tambahan tahun 1977. Istilah orang
yang dilindungi pertama-tama merujuk pada orang-orang yang tergabung dalam peperangan
atau pertikaian bersenjata yang telah menjadi korban perang. Dalam arti yang
lebih luas orang-orang yang dilindungi meliputi penduduk sipil yang jatuh ke
tangan musuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 4 dan 13 Konvensi Jenewa Ke IV.
Article
4
Persons protected by the Convention are those
who, at a given moment and in any manner whatsoever, find themselves, in case
of a conflict or occupation, in the hands of a Party to the conflict or
Occupying Power of which they are not nationals. Nationals of a State which is
not bound by the Convention are not protected by it. Nationals of a neutral
State who find themselves in the territory of a belligerent State, and
nationals of a co-belligerent State, shall not be regarded as protected persons
while the State of which they are nationals has normal diplomatic
representation in the State in whose hands they are.
Article
13
The provisions of Part II cover the whole of
the populations of the countries in conflict, without any adverse distinction
based, in particular, on race, nationality, religion or political opinion, and
are intended to alleviate the sufferings caused by war
Sejak di diproklamirknnya
kemerdekaan negara Israel pada tanggal 14 Mei tahun 1948 telah terjadi berbagai
pertempuran antara bangsa Arab dan Israel dalam mempertahankan Palestina.[16]
Israel adalah negara yang mencari kekuasaannya dengan melakukan terorisasi
terhadap musuh dan menghalangi segala potensi yang dapat menentang kekuatannya,
sehingga Israel dapat dikategorikan sebagai
barak militer yang mempraktekkan penghancuran lawan, pertumpahan darah,
menghancurkan tempat tinggal penduduk sipil, deportasai secara paksa penduduk
sipil, dan menanamkan rasa takut terhadap anak-anak Palestina.
Pergerakan Israel yang
berideologi Zionis menciptakan sumber daya manusia berupa organisasi yang
bergerak dibidang konsep, metode yang dijalankan dengan melakukan pembantaian
massal, penghancuran, pendeportasian massal penduduk sipil.[17]
Selain itu politik apharheid yang sistematis, pembunuhan dan pembersihan etnis.[18]
Semua ini dilaksanakan berdasarkan pergerakan Zionis internasional yang berada
dibawah legitimasi hukum internasional Deklarasi Balfour dan pembagian wilayah menurut Resolusi PBB, penyerahan
persoalan Palestina dari bangsa Arab ke PLO dan perjanjian-perjanjian lain yang
menguatkan eksistensi Israel di wilayah Palestina.
b. Perlindungan terhadap Penduduk Sipil dalam Statuta Roma
Pelanggaran
yang dilakukan Israel terhadap hukum interansional di wilayah Palestina. Mulai
dari genosida, pembunuhan, pembantaian masal, penyiksaan, pengusiran,
deportasi, isolasi ekonomi, diskriminasi rasial Pasal 6 Statuta Roma,
memberikan pengertian tentang perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk
menghancurkan, seluruhnya atau untuk sebagian kelompok nasional, etnis, ras
atau keagamaan, atu disebut juga dengan Genosida.[19]
Berikut ini diantara bentuk-bentuk perbuatan yang tergolong dalam genosida yang
diberikan Pasal 6 Statuta Roma:
1. Membunuh
anggota kelompok;
2. Menimbulkan
luka atau mental yang serius terhadap anggota kelompok;
3. Secara
sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok tersebut yang diperhitungkan akan menyebabkan
kehancuran fisik secara keseluruhan atau untuk sebagian;
4. Memaksakan
tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut;
5. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok itu kepada kelompok lain.
Pasal 7 Statuta Roma menjelaskan mengenai kejahatan
terhadap kemanusiaan. Perbuatan yang ditetapkan sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan adalah pembunuhan, pemerkosaan dan bentuk lain dari pelecehan
seksusal, pemusnahan, perbudakan, deportasi dan tindakan tidak manuisawi
lainnya yang dilakukan terhadap penduduk sipil, atau pembatasan berdasarkan
agama, ras, pandangan politik yang dilakukan berkaitan dengan pelaksanaan atau
berhubungan dengan kejahatan terhadap perdamaian atau kejahatan perang.[20]
Yang menjijikan adalah bahwa kejahatan itu dilakukan dengan sengaja sebagai
bagian dari serangan yang meluas dan sistematis (yang melibatkan banyak pihak)
dan ditujukan pada setiap penduduk mengikuti atau mendorong kebijakan negara
atau organisasi untuk melakukan tindakan semacam itu.[21]
Pasal 8 ayat 1
Statuta Roma tentang kejahatan Perang menjelaskan bahwa Mahkamah Internasional
mempunyai yurisdiksi dengan kejahatan Perang pada khususnya apabila dilakukan
sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijakan atau bagian dari suatu
pelaksanaan secara besar-besaran dari kejahatan tersebut, sedangkan ayat 2 nya
: Pelanggaran berat terhadap Konvensi jenewa tahun 1949, yaitu masing-masing
dari perbuatan berikut terhadap orang-orang atau hak milik yang dilindungi
berdasarkan ketentuan Konvensi jenewa yang bersangkutan:
1.
Pembunuhan yang dilakukan dengan Sadar;
2.
Penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk percobaan biologis;
3. Secara
sadar menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau
kesehatan;
4. Perusakan
meluas dan perampasan hak nilik, yang tidak dibenarkan oleh kebutuhan militer
dan dilakukan secara tidak sah dan tanpa alsan;
5. Memaksa
seorang tawanan perang atau orang lain yang dilindugi ujtuk berdinas dalam
pasukan dari suatu kekuatan yang bermusuhan;
6. Secara
sadar merampas hak-hak seorang tawanan perang atau orang lain yang dilindungi
atas pengadilan yang jujur dan adil;
7. Deportasi
tidak sah atau pemindahan atau penahanan tidak sah.
Statuta Roma
memberikan kepada Mahkamah Internasional yurisdiksi atas kejahatan Perang baik
yang dilakukan dalam konflik Internasional maupun internal. Sayangnya, Pasal 12 ayat 2 nya menyatakan, suatu negara
dinyatakan menerima yurisdiksi Mahkamah jika ia telah meratifikasi Stauta. Hal
ini, tentu tidak menguntungkan karena negara yang tidak meratifikasi tidak
dapat di adili, hal ini menunjukan bahwa sangat lemahnya ketentuan
internasional dalam mengadili masalah HAM yang selama ini telah di
proklamirkannya.
Perhimpunan bantuan hukum Indonesia,
menyatakan bahwa serangkaian tindakan Israel adalah kejahatan serius yang bisa
dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional (international
criminal court), disebutkan dalam pernyataan bersama itu bahwa,
Mahkamah Internasional bersifat permanen guna mengadili pelaku kejahatan
kemanusiaan (crime against humanity),
kejahatan agresi (crime of agression), kejahatan perang (crime of war ) dan kejahatan genosida (crime of genocide).[22]
Dewan Keamanan PBB sebenarnya bisa saja
meminta nasehat hukum atau merujuk pelanggaran HAM yang telah dilakukan
pemimpin Israel ke Mahkamah Pidana Internasional, sayangnya veto yang dimiliki
oleh negara-negara adidaya, seperti Amerika Serikat menghambat terwujudnya
prinsip yang ada dalam Statuta Roma sesuai dengan rule of law yang mendasari pembuatan Statuta ini.
Tantangan bagi masyarakat Internasional saat
ini adalah sulitnya membawa seseorang yang telah terbukti melakukan kejahatan kemanusiaan
ke Pengadilan Pidana Internasional. Seharusnya prinsip-prinsip yang terkandung
dalam Statuta Roma harus ditaati. Walupun Israel dan Palestina belum ikut
meratifikasi ICC. Dari akibat yang ditimbulkan dari konflik ini seharusnya
masyarakat internasional tidak lagi berpangku tangan atau sekedar mengadakan
perundingan-perundingan damai, sudah seharusnya prinsip Statuta Roma diterapkan
dengan rule of law yang tegas.
c.
Perlindungan
dalam Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa
Pasal 24 ayat 1 Piagam PBB menyatakan, agar PBB dapat
mengambil tindakan secara tegas dan efektif, negara-negara anggota memberikan
tanggung jawab utama kepada Dewan Keamanan untuk pemeliharaan perdamaian dan
keamanan Internasional dan setuju bahwa Dewan Keamanan dalam melaksanakan
tugasnya bertindak atas nama negara-negara anggota. Israel merupakan negara yang
paling sering mendapatkan kecaman dari Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB, hal
ini disebabkan Israel sering melanggar Piagam PBB. Pada awal bergabungnya
Israel di PBB ia berjanji akan bertindak sesuai dengan piagam PBB dan berusaha
menjalankan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan dan
Majelis Umum PBB. Namun, Israel tidak pernah memenuhi komitmennya itu, hal ini
disebabkan karena adanya dukungan dari Amerika Serikat, bahkan Amerika Serikat
pernah mengancam PBB pada tahun 1983 untuk menarik diri dari Majelis Umum PBB,
jika PBB menghukum Israel karena penolakan Israel dalam mematuhi
Resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh Majelis Umum dan juga dewan keamanan
PBB.[23]
PBB sering mengeluarkan Resolusi yang
mengecam Israel, baik berupa seruan lunak maupun mendesak agar Israel mengambil
atau menghentikan tindakan tertentu, hingga pesan-pesan lebih tajam dengan
ancaman. Veto yang dimiliki Amerika Serikat membuat resolusi-resolusi tersebut menjadi
tumpul hal ini dikarenakan Resolusi wajib disetujui secara terbuka oleh negara
pemegang hak veto. Majelis Umum PBB telah sering menjelaskan tentang hak-hak
asasi bangsa Palestina, Majelis Umum mengakui bangsa Palestina sebagai suatau
bangsa tersendiri dengan hak-hak yang tidak dapat dicabut, yang mencakup hak
untuk menentukan nasib sendiri, hak untuk memiliki tanah air, hak untuk kembali
kerumah-rumah mereka atau mendapatkan kompensasi dan hak mendasar untuk berjuang dengan segala
cara yang mereka punya.[24]
Berikut ini terdapat beberapa
resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB terhadap Israel:[25]
1.
Resolusi Nomor 106,
tanggal 29 Maret 1955: "mengecam" Israel karena serangannya atas
Gaza.
2. Resolusi Nomor 127,
tanggal 22 Januari 1958: "menyarankan" Israel agar menutup "zona
tak bertuan" di Jerusalem.
3.
Resolusi Nomor 162,
tanggal 11 April 1961: "mendesak" Israel untuk mentaati
keputusan-keputusan PBB.
4. Resolusi Nomor 237,
tanggal 14 Juni 1967: "mendesak" Israel untuk rnengizinkan kembalinya
para pengungsi baru Palestina pada 1967.
5. Resolusi Nomor 250,
tanggal 27 April 1968: "menyerukari" pada Israel agar tidak
menyelenggarakan parade militer di Jerusalem.
6. Resolusi Nomor 251,
tanggal 2 Mei 1968: "sangat menyesalkan" parade militer Israel di
Jerusalem bertentangan dengan Resolusi 250.
7. Resolusi Nomor 252,
tanggal 21 Mei 1968: "menyatakan tidak sah" aksi-aksi Israel
menyatukan Jerusalem sebagai ibukota Yahudi.
8.
Resolusi Nomor 259, tanggal 27 September 1968:
"menyesalkan" penolakan Israel untuk menyambut misi PBB untuk
memeriksa pendudukan.
9. Resolusi Nomor 267,
tanggal 3 Juli 1969: "mencela" Israel atas tindakantindakan
administratifnya untuk merubah status Jerusalem.
10. Resolusi Nomor 270, tanggal 26 Agustus 1969:
"mengecam" Israel karena serangan udaranya atas desa-desa di Lebanon
Selatan.
11. Resolusi Nomor271, tanggal 15 September 1969:
"mengecam" Israel karena penolakannya untuk mematuhi
resolusi-resolusi PBB mengenai Jerusalem.
12. Resolusi Nomor 298, tanggal 25 September 1971:
"menyesalkari" tindakan Israel mengubah status Jerusalem.
13. Resolusi
Nomor 444, tanggal 19 Januari 1979: "menyesalkan" kurangnya kerja
sama Israel dengan pasukan penjaga perdamaian PBB.
14. Resolusi
Nomor 446, tanggal 22 Maret 1979: "menetapkan" bahwa
pemukiman-pemukiman Israel merupakan suatu "rintangan serius" bagi
perdamaian dan meminta Israel agar menaati Konvensi Jenewa Keempat.
15. Resolusi Nomor 452, tanggal 20 juli 1979:
"menyerukan" pada Israel agar berhenti membangun pemukiman-pemukiman
di wilayah-wilayah pendudukan.
16. Resolusi Nomor 465, tanggal 1 Maret 1980: "menyesalkan"
pemukiman-pemukiman Israel dan meminta semua negara anggota agar tidak membantu
program pemukiman Israel.
17. Resolusi Nomor 468, tanggal 8 Mei 1980:
"menyerukan" pada Israel agar membatalkan pengusiran tidak sah
terhadap dua orang walikota dan seorang hakim Palestina dan memberikan
kemudahan bagi mereka untuk kembali.
18. Resolusi
Nomor 469, tanggal 20 Mei
1980: "sangat menyesalkan" penolakan Israel untuk menaati perintah
dewan untuk tidak mendeportasikan orang-orang Palestina.
19. Resolusi Nomor 471, tanggal 5 Juni 1980:
"mengungkapkan keprihatian mendalam" atas penolakan Israel untuk
menaati Konvensi Jenewa Keempat.
20. Resolusi Nomor 476, tanggal 30 Juni 1980:
"mengulangi pernyataan" bahwa klaim-klaim Israel atas Jerusalem
"batal dan tidak sah".
21. Resolusi Nomor 478, tanggal 20 Agustus 1980:
"mencela Israel dalam pengertian paling keras" karena klaimnya atas
Jerusalem dalam "Hukum Dasar"-nya.
22. Resolusi Nomor 484, tanggal 19 Desember 1980:
"menyatakan wajib" agar Israel menerima kembali dua walikota
Palestina yang dideportasikan. .
23. Resolusi Nomor 573, tanggal 4 Oktober 1985:
"mencela" Israel "dengan keras" karena membom Tunisia dalam
serangan atas markas besar PLO.
24. Resolusi
Nomor 592, tanggal 8
Desember 1986: "sangat menyesalkan" pembunuhan para mahasiswa
Palestina di Bir Zeit University oleh pasukan Israel.
25. Resolusi
Nomor 605, tanggal 22
Desember 1978: "sangat menyesalkan" kebijaksanaan-kebijaksanaan dan
praktek-praktek Israel yang menyalahi hak-hak asasi manusia dari bangsa
Palestina.
26. Resolusi
Nomor 607, tanggal 5
Januari 1988: "menyerukan" pada Israel agar tidak mendeportasi
orang-orang Palestina dan mernintanya dengan sangat agar mentaati Konvensi
Jenewa Keempat.
27. Resolusi
Nomor 608, tanggal 14
januari 1988: "sangat menyesalkan" bahwa Israel menentang
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan mendeportasi penduduk sipil Palestina.
28. Resolusi
Nomor 636, tanggal 6 juli
1989: "sangat menyesalkan" pendeportasian orang-orang Palestina oleh
Israel.
29. Resolusi
Nomor 641, tanggal 30
Agustus 1989: "menyesalkan" tindakan Israel yang terus mendeportasi
orang-orang Palestina.
30. Resolusi Nomor 672, tanggal 12
Oktober 1990: "mengecam" Israel karena tindakan kekerasannya terhadap
orang-orang Palestina di Haram Al-Syarif/Temple Mount.
31. Resolusi Nomor 673, tanggal 24 Oktober 1990:
"menyesalkan" penolakan Israel untuk bekerja sama dengan Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
32.Resolusi Nomor 681, tanggal 20 Desember 1990:
"menyesalkan" tindakan Israel mengulangi lagi pendeportasian orang-orang
Palestina.
33.Resolusi Nomor 694, tanggal 24 Mei 1991:
"menyesalkan" tindakan Israel mendeportasikan orang-orang Palestina
dan menyerukannya agar memastikan keselamatan dan kembalinya mereka dengan
segera.
34.Resolusi Nomor 726, tanggal 6 Januari 1992:
"mengecam keras" tindakan Israel mendeportasikan orang-orang
Palestina.
35.Resolusi Nomor 799, tanggal 18 Desember 1992:
"mengecam keras" tindakan Israel mendeportasi 413 orang Palestina dan
menyerukan pengembalian mereka dengan segera.
Amerika Serikat telah menggunakan
hak vetonya dalam konflik Arab-Israel, dari 175 resolusi Dewan Keamanan PBB
tentang Israel, 97 menentang Israel, 74 netral dan 4 mendukung Israel. Tentunya
ini tidak termasuk resolusi yang diveto Amerika Serikat. Sedangkan pada
pemungutan suara pada Majelis Umum, 55.642 suara menentang Israel, dan hanya
7.938 yang mendukung Israel.[26]
Khusus konflik Palestina-Israel, dari 82 veto Amerika Serikat, setengahnya
berhubungan dengan dukungan Amerika Serikat terhadap Israel, yaitu sebanyak 41
veto. Akibat dari pembelaan yang dilakukan Amerika Serikat itu, banyak kasus
pembangkangan yang dilakukan oleh Israel terutama implementasi resolusi 271,
298, 452, dan 673.[27]
Pembelaan dari Amerika Serikat ini menjadi kekuatan bagi Israel untuk terus
melakukan pelanggaran terhadap hokum internasional, karena Amerika Serikat
secara politis memiliki kekuatan dalam pergaulan internasional.
Atas fakta diatas perlu kiranya kita
melihat pendapat dari ahli hukum yang
meragukan eksistensi dari hukum internasional, salah satunya adalah Jon Austin
(1790-1895), dia menyatakan bahwa hukum internasional bukanlah hukum melainkan
hanya etika dan norma kesopanan. Pandangan Jhon austin didasarkan pada pemahamannya
yang sempit tentang arti hukum yang sebenarnya. hukum hanya dipandang sebagai
perintah yakni perintah dari pihak yang menguasai. Pihak yang berkuasa memiliki kedaulatan dan
manifestasi dari kedaulatan itu adalah membuat hukum, melaksanakan dan
memaksakan terhadap pihak yang dikuasainya. Hal ini berarti hukum hanyalah perintah yang
berasal dari penguasa yang berdaulat. Jadi jika suatu peraturan tidak berasal
dari penguasa yang berdaulat, peraturan semacam itu bukanlah merupakan hukum,
melainkan hanyalah norma moral belaka, seperti norma kesopanan dan norma kesusilaan.
Pandangan Jhon Austin ini merupakan
penyangkalan atas eksistensi dari hukum kebiasaan, termasuk hukum kebiasan
internasional, sebab hukum kebiasaan tidak dibuat oleh penguasa yang berdaulat,
melainkan tumbuh dan berkembang ditengah-tengah pergaulan masyarakat.
Terhadap pendapat John Austin ini dalam studi
Hukum Internasional pendapat bahwa Hukum Internasional itu hanyalah Moral
Internasional memiliki 2 kelemahan mendasar. Pertama, Hukum Internasional
mengenal eksistensi hukum kebiasaan internasional (customary international
law) yang timbul dalam tata pergaulan internasional yang keberadaannya
dipertahankan oleh masyarakat internasional juga. Kedua, jika Hukum
Internasional adalah moral internasional saja, maka eksistensinya sama dengan teori
bahwa hukum hanyalah kekuasaan belaka yaitu siapa yang kuat dialah yang menang,
padahal dalam tertib hukum internasional hukum digunakan untuk sarana kontrol
terhadap pencapaian bersama (common goals) masyarakat internasional.
Pada dasarnya dalam Hukum
Internasional yaitu Humaniter Internasional (HHI) diciptakan khu- sus untuk melindungi dan
memelihara hak asasi korban dan
non kombatan dalam konflik ber- senjata.[28] Doktrin
tanggung jawab komando sesungguhnya telah ada jauh sebelum Perang Dunia II.
Praktik masyarakat internasional pasca Perang Dunia II semakin mengukuhkan
eksistensi doktrin ini dalam kancah hukum internasional. Doktrin ini kemudian
dikodifikasikan ke dalam Konvensi dan Protokol di bidang hukum humaniter internasional,
Statuta Pengadilan Internasional Ad hoc di bekas Yugoslavia dan Rwanda
serta Statuta Mahkamah Pidana Internasional.[29] Pelanggaran hukum humaniter yang terjadi di Palestina dapat di bawa ke International Criminal Crime (ICC),
namun karena adanya kepentingan politik dari negara-negara pemegang veto di
Dewan Keamanan PBB sampai saat ini belum pernah ada komando Israel yang di
adili.
Dan kenyataannya hari ini, tujuan dari hukum
internasional untuk menciptakan sebuah orde yang akan menjamin kedamaian dunia
masih patut dipertanyakan, karena masih terkendala didalam pelaksanaannya yang
terkesan tebang pilih, dan hukum internasional dijadikan sebuah alat untuk
melegitimasi tindakan-tindakan anarkisme internasional oleh negara-negara maju
terhadap negara-negara berkembang dan negara-negara terbelakang.[30]
Masyarakat pun kemudian menyaksikan bagaimana dengan mudah sebuah negara menyerang negara lain dengan alasan penegakan
hukum. Kekuatan politik internasional
menjadi sangat kuat dalam penjatuhan sanksi internasional.
Penggunaan sistem veto sejak awal
pembentukannya memang digunakan untuk melindungi kepentingan para pendiri PBB,
dimana hal tersebut hanya diperuntukan bagi negara-negara yang memenangkan
Perang Dunia II.[31]
Pada saat pendiriannya
di tahun 1948, telah ditentukan bahwa perwakilan dari Inggris, China, Uni
Soviet, Amerika Serikat, dan Prancis akan menjadi anggota tetap Dewan Kemanan
yang kemudian hak veto tersebut melekat padanya berdasarkan Pasal 27 Piagam PBB.
Dewan Keamanan mempunyai kekuasaan dan
wewenang untuk mengambil tindakan-tindakan kekerasan demi terpeliharanya
perdamaian dan keamanan dunia. Hal ini bisa dilihat pada pasal 39-51 Piagam PBB
yang memberikan rekomendasi kepada Dewan Keamanan melalui investigasi untuk
menentukan apakah terdapat suatu keadaan yang mengancam (threat of peace),
pelanggaran terhadap perdamaian (breach of peace), ataupun suatu agresi
(act of aggression).[32]
Namun Faktanya, implementasi menjadi tidak efektif karena nuansa politis dari
kepentingan negara anggota tetap (terutama Amerika Serikat) yang begitu dominan
dibandingkan common interest bagi anggotanya. Akibatnya, penggunaan hak
veto sering melenceng dari garis yang telah ditetapkan. Hak veto yang
dikeluarkan oleh anggota tetap Dewan Keamanan selalu menjadi penghambat
legitimasi keputusan yang akan diambil oleh Dewan Keamanan. Bagi negara
pemegang Hak veto jika ada keputusan yang tidak sesuai dengan kepentingan
negaranya atau sekutunya Veto menjadi senjata paling ampuh untuk melumpuhkan
keputusan itu.
PBB sebagai sebuah organ yang mengayomi masyarakat internasional sudah selayaknya
melihat pada anggota non pemegang Hak Veto. Dalam dunia yang lebih seimbang,
tampaknya tak perlu lagi ada veto dalam tubuh PBB, khususnya Dewan Keamanan
PBB. Veto adalah bentuk dari ketidakadanya pengakuan suara negara-negara
mayoritas. Dukungan atas sebuah Resolusi Dewan Keamanan PBB sangat bergantung
pada negara pemegang hak veto.
Mahkamah Pidana Interansional atau
International criminal Justice (ICJ), mempunyai peran dalam penyelesaian
sengketa ini, sayangnya yurisdiksi Mahkamah berlaku jika adanya usulan dari
negara anggota maupun anggota tetap dewan keamanan agar sengketa itu dapat di
proses, namun sampai saat ini sulit terwujud karena veto dari Amerika Serikat menjadi penghambat utama penyelesaian
Perdamaian antara Israel dan Palestina.
Dilihat dari banyaknya resolusi yang tidak
ditaati oleh Israel terlihat tidak adanya itikad baik dari Israel untuk
kooperatif dengan PBB dan disisi lain PBB tidak berani mengambil tindakan tegas
dalam menangani pelanggaran HAM yang dilakukan Israel. Seharusnya Dewan
Keamanan PBB segera mencabut hak operasi militer Israel, tapi Dewan Keamanan
tidak melakukannya. Hal ini dipengaruhi oleh veto yang diberikan Amerika
Serikat kepada Dewan Keaman terhadap setiap Resolusi yang ditujukan terhadap
pelanggaran Israel terhadap rakyat Palestina.
3. Kesimpulan dan Saran
Dalam
ketentuan hukum internasional banyak terdapat ketentuan yang mengatur mengenai
perlindungan terhadap penduduk sipil dalam masa pendudukan, Secara normatif, perlindungan hukum internasional
terhadap penduduk sipil Palestina dalam Hukum
Internasional terdapat dalam; pertama Konvensi Jenewa Ke
IV tahun 1949 meliputi (perlindungan umum dan perlindungan
khusus); kedua Protokol Tambahan I dan II; ketiga dalam Statuta Roma dan
keempat perlindungan dalam kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hanya saja
dalam pelaksanaannya norma-norma tersebut selama ini menjadi tumpul karena
pemihakan absolut yang dilakukan Amerika Serikat terhahap Israel.
Legitimasi pendudukan Israel di
wilayah Palestina sebaiknya ditinjau ulang karena faktor-faktor yang
melatarbelakangi pendudukan Israel di Palestina merugikan rakyat Palestina dan menguntungkan
Israel secara sepihak. Dari faktor-faktor yang ada terlihat banyaknya
perjanjian damai yang diadakan tidak sesuai dengan ketentuan hukum
internasional. Masyarakat internasional seharusnya mendesak untuk dilakukan
restrukturisasi terhadap Dewan Keamanan PBB agar anggota tetap pemilik hak veto
PBB ditambah satu Negara untuk mewakili dunia Islam (muslim state). Solidaritas bangsa Arab khususnya dan dunia Islam
umumnya untuk mendesak Amerika Serikat agar menghentikan kebijakan standar
ganda dalam kebijakan politik luar negerinya dalam penyelesaian konflik
Israel-Palestina.
Sulitnya membawa Israel ke Mahkamah
Internasional adalah karena perkara yang dibawa ke mahkamah adalah perkara yang
bersifat non procedural yang
menyangkut perdamaian dunia, dalam perkara non
procedural memerlukan persetujuan suara dari anggota tetap Dewan Keamanan
PBB. Seperti yang terdapat dalam pasal 27 ayat 3 Piagam PBB. Setiap Israel akan
di adili Amerika Serikat selalu memvetonya sehingga sangat sulit untuk diadili.
PBB dan negara-negara anggotanya, demi perlindungan
jiwa ribuan warga sipil di Jalur Gaza, harus bekerja secara
sungguh-sungguh dan lebih keras lagi untuk segera menghentikan perang yang
melibatkan Palestina dan Israel. PBB harus mampu membentengi dirinya dari
jebakan yuridis yang menjadi legitimasi atas pemusnahan penduduk sipil di Jalur
Gaza.
Dalam perjalanan selanjutnya hukum
internasional yang hendak dilaksanakan dengan menjatuhkan sanksi internasional
seringkali gagal dilaksanakan karena munculnya hak veto yang melemahkan
efektifitas hukum internasional yang ada. Negara lain yang tak memegang hak
veto tak memiliki suara dalam tubuh Dewan Keamanan PBB. Inilah sesungguhnya
awal dari ketiadaan ruang keadilan dalam PBB. Sanksi hukum tak dapat dijatuhkan
ketika muncul veto. Tidak ada lagi adagium hukum bahwa suara tertinggi adalah
hukum, semuanya tergantung pada lobi-lobi internasional yang mampu menggerakkan
negara pemegang veto untuk berpihak kepadanya. Jika ingin hukum internasional
berjalan efektif dalam pendudukan Israel di Palestina, masyarakat internasional
harus tegas dan Amerika Serikat tidak memberikan dukungan nya kepada Israel
melalui veto di Dewan Keamanan PBB.
Hukum Internasional sampai saat ini
menjadi pilihan rasional, walaupun upya menggerakkannya membutuhkan lobi-lobi
internasional. Hukum Internasional adalah pilihan terbaik dari beberapa pilihan
yang ada. Ketika hukum internasional tak berjalan, maka pilihan lainnya adalah
perang. Perang hanya akan merugikan semuanya, ia adalah bentuk dari
keberingasan masyarakat yang tak beradab. Ketika kita mengedepankan perang
maka yang terjadi hanyalah kepedihan terhadap
nasib umat manusia. ketika perang menjadi pilihan terakhir, maka pelaksanaan
perangpun harus berada dalam ruang atau koridor hukum internasional. Akhirnya
kita hanya bisa berhaharap kepada itikad baik dari negara-negara atau subjek
internasional itu sendiri untuk mematuhi hukum yang sudah disepakatinya, tanpa
adanya kepatuhan dan ketaatan maka hukum internasional hanyalah bersifat moral
atau nilai-nilai kesopanan saja seperti yang telah di ungkapkan oleh John
Austin.
REFERENSI:
a.
Buku
Abd. Rahman, Mustthafa , Jejak-jejak juang palestina dari oslo hingga
intifadah Al Aqsa, PT Kompas media nusantara, Jakarta, 2002.
Agustina, Shinta, Hukum Pidana Internasional dalam teori dan Praktek, Andalas University
Press, Padang, 2006.
COMES
(Penerjemah), Terorisme Israel
membedah paradigma dan strategi terorisme Zionis, Asy Syamil, Bandung, 2001.
Husaini, Adian, Mau menang sendiri Israel sang
teroris yang pragmatis, Pustaka Progressif, Jakarta, 2002.
Muhamad Shaleh Muhsin, Palestina, sejarah, perkembangan dan konspirasi, Gema Insani Press, Jakarta, 2002.
-------, Terorisme
dalam strategi Israel, Asy Syamil, Jakarta, 2001.
Mushtafa, Walid, (Penerjemah Nazaf Azzour) At tadmir al jama’i lil
Qur’an al Filistiniyah,
Pusat studi Pengembangan Al Quds, COMES, Surabaya, 2001.
Robertson,
QC Goeffrey, Kejahatan terhadap
Kemanusiaan, Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komite Nasional
Hak Asasi Manusia, Jakarta, 1982.
b. Jurnal
Rizanizarli,
"Hukum Humaniter Internasional Dan Hubungannya Baru Hak Asasi Manusia ", Jurnal
Ilmu
Hukum Kanun Vol. XI No
29 Agustus 2001, FH UNSYIAH Aceh.
Natsri Anshar, “Tanggung
Jawab Komando Menurut Hukum Internasional Dan Hukum Nasional
Indonesia”
Jurnal Hukum Humaniter, Vol 1 No 1 2005 , Universitas Gajah Mada.
Heru Cahyono, “Kejahatan Perang Yang Diatur Dalam Hukum
Internasional Dan Hukum Nasional” Jurnal
Hukum Humaniter, Vol 1 No 1 2005 , Universitas Gajah Mada,
c.
Konvensi Internasional
Deklarasi
Sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia Tahun
1948
Deklarasi
tentang Pemberian Kemerdekaan pada Negara-negara dan Bangsa bangsa Kolonial
Tahun 1960
Deklarasi tentang Perlindungan dari Penyiksaan tahun 1975
Konvensi
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik tahun 1966
Konvensi
tentang Pencegahan dan Hukuman terhadap Kejahatan Pemusnahan suatu Bangsa
dengan Sengaja Tahun 1948
Konvensi Jenewa Tahun
1949
Piagam PBB Tahun
1948
Piagam HAMAS
Protokol Tambahan I Tahun 1977
Protokol Tambahan II Tahun 1977
Statuta Roma
d.
Website
Http://www.pustakaonlinemedia.net:
Ball, The Passionate Attachment,
178-91; Mallison dan Mallison, The Palestine Problem in International Law
and World Order, 240-75; Quigley, Palestine and Israel
Http://www.arlina’sweb.blog.com. Israel dan
Pendudukan Asing atas Palestina. Konflik
Bersenjata yang
Harus Diakhiri, 4 Januari 2009
Oleh : Arlina Permanasari
Http://www.republikaonline. Kejahatan AS- Israel menyerang
Palestina dan Lebanon dapat
dibawa ke Mahkamah Internasional
legislation of foreign relation
through 1986
Http:// kakniam.com/2001/06/11
dominasi-amerika-serikat-terhadap-pbb
Http:// idysorhamzah.wordpress.com.
Rosyidi Hamzah, Jhon Austin:
Mempertanyakan
veto, Dewan Keamanan dan Indonesia
oleh Pan Mohamad Faiz (*Penulis adalah
Mahasiswa
Pascasarjana Master of Comparative Law pada Faculty of Law, University of
Delhi,
New Delhi
Http:// www.kontras.org. Keprihatinan
Bersama terhadap Jatuhnya Korban Warga Sipil di Jalur
Gaza Palestina dan Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat Terhadap Kasus Pembunuhan
Munir
[13]
Http://www.eramuslim.com. Pelanggaran HAM Israel di Palestina Tidak Bisa Ditoleransi, diakses 21 November 2006.
[23]
Http:// www.eramuslim.com, Senat
Amerika Serikat dan dewan perwakilan Rakyat AS, legislation of foreign relation
through 1986,
diakses 9 Maret 2008
[28] Rizanizarli,
"Hukum Humaniter Internasional Dan Hubungannya Baru Hak Asasi Manusia ", Jurnal
Ilmu
Hukum Kanun Vol. XI No
29 Agustus 2001, FH UNSYIAH Aceh, hlm.
394
[29] Natsri Anshar ,
Tanggung Jawab Komando Menurut Hukum Internasional Dan Hukum Nasional
Indonesia, Jurnal Hukum Humaniter, Universitas Gajah Mada, Vol 1 No 1 2005, hlm
1
[30] Http://
idysorhamzah.wordpress.com. Rosyidi Hamzah, Jhon
Austin: Mempertanyakan Eksistensi Hukum Internasional? Juli 26, 2010 oleh Rosyidi Hamzah, diakses 16 Juli 2011
[31] Http://jurnalhukum.blogspot.com/2006/11/hak-veto-mesin-perang-amerika-serikat.html, Hak veto, Dewan Keamanan dan Indonesia oleh Pan Mohamad Faiz (*Penulis adalah
Mahasiswa Pascasarjana Master of Comparative Law pada Faculty of Law, University of Delhi,
New Delhi), diakses 16 Juli 2011